Daftar Isi
Pernah nggak sih, kepikiran ada minuman yang bisa bikin kamu ngelihat sesuatu yang nggak seharusnya ada? Bukan cuma sekadar halu, tapi beneran nyata, seolah dunia lain tiba-tiba kebuka di depan mata.
Kedai misterius, cangkir berbentuk angsa, dan rasa yang nggak bisa dijelasin… Semua itu jadi awal dari perjalanan gila yang bahkan akal sehat pun ogah nerima. Siap buat masuk ke cerita yang nggak biasa ini?
Minuman dari Cangkir Angsa
Lonceng Perak di Ambang Pintu
Kabut menggantung di udara seperti kain tipis yang mengambang, menyelimuti hutan dengan kesunyian yang ganjil. Pohon-pohon berdiri diam, seolah mengawasi siapa pun yang berani melangkah lebih jauh ke dalam bayang-bayang mereka. Di antara pepohonan itu, sebuah bangunan kecil berdiri tanpa suara—sebuah kedai yang tak pernah muncul di peta mana pun.
Tidak ada tanda keberadaannya, kecuali lonceng perak yang menggantung di ambang pintunya. Lonceng itu berkilau meski malam begitu pekat, seolah memanggil siapa saja yang tersesat di dalam hutan ini.
Dan malam itu, seseorang datang.
Langkah kaki menyeret tanah basah, beradu dengan suara ranting yang patah. Seorang pemuda dengan pakaian lusuh dan luka yang mengering di pelipisnya berhenti di depan pintu kedai. Matanya kosong, tidak benar-benar melihat. Ia bukan tersesat dalam arti yang biasa—ia tersesat dalam dirinya sendiri.
Pintu berderit ketika ia mendorongnya perlahan. Udara di dalam berbeda. Hangat. Dipenuhi aroma kayu manis dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Cahaya dari lentera-lentera tua menerangi rak-rak kayu yang dipenuhi botol berisi cairan berwarna-warni. Beberapa berpendar samar, seolah mengandung kilauan bintang di dalamnya.
Di balik meja, seorang wanita berdiri. Rambutnya mengalir seperti air, keemasan seperti sinar bulan. Tapi yang paling aneh adalah matanya—warna emas yang tampak tembus cahaya, seperti bisa melihat ke dalam jiwa seseorang.
Pemuda itu tidak berbicara. Ia hanya berdiri, menatap tanpa benar-benar tahu harus berbuat apa.
Wanita itu, Sang Penyaji, mengangkat tangannya. Dalam genggamannya, sebuah cangkir porselen berbentuk angsa. Sayapnya terukir halus, begitu indah hingga seolah bisa mengepak dan terbang kapan saja.
“Kamu sudah sampai,” katanya, suaranya tenang namun ada sesuatu di dalamnya yang menusuk jauh ke dalam kepala siapa pun yang mendengarnya.
Pemuda itu mengerjap. “Apa tempat ini?”
“Kedai.”
“Kenapa aku ada di sini?”
Sang Penyaji mengisi cangkir angsa dengan cairan bening yang tampak bergerak perlahan, seperti embun pagi yang baru saja terbentuk.
“Kamu yang memilih ke sini.”
Pemuda itu menggeleng. “Aku enggak—”
“Tapi kakimu membawamu ke sini.” Wanita itu mendorong cangkir ke arahnya. “Minumlah.”
Pemuda itu menatap cairan di dalam cangkir. Tidak ada aroma, tidak ada gelembung atau uap yang keluar dari permukaannya. Hanya cairan bening, tapi anehnya, semakin lama ia menatapnya, semakin ia merasa seperti ditarik ke dalamnya.
“Apa ini?” tanyanya pelan.
“Rasa yang belum pernah kamu kenal.”
“Tapi aku enggak pesan apa-apa.”
Sang Penyaji tersenyum kecil, seakan sudah mendengar kata-kata itu ribuan kali sebelumnya. “Kedai ini enggak bekerja seperti itu. Cangkir angsa memilih apa yang akan kamu minum.”
Pemuda itu diam. Jarinya mengetuk pinggiran meja kayu, pikirannya berputar. Ia seharusnya tidak di sini. Ia bahkan tidak ingat bagaimana bisa sampai ke kedai ini. Terakhir kali ia sadar, ia sedang berjalan tanpa arah di hutan, dengan kepala yang terlalu penuh dan hati yang terlalu berat.
Tapi sekarang, ia ada di sini.
Dan cangkir angsa itu ada di depannya.
Ia menelan ludah. “Kalau aku enggak mau minum?”
Sang Penyaji menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Maka kamu akan terus tersesat.”
Hening.
Lirian—itu namanya—mengeraskan rahangnya. Ia bukan tipe orang yang percaya pada omong kosong magis atau takdir yang sudah ditentukan. Tapi saat ini, di dalam kedai yang tidak seharusnya ada, di hadapan seorang wanita dengan mata yang melihat terlalu dalam, ia merasa bahwa apa pun yang dikatakan wanita itu… mungkin benar.
Jari-jarinya meraih cangkir angsa.
Begitu ia menyentuhnya, ukiran sayap pada cangkir terasa hangat. Seolah hidup.
Ia menarik napas dalam, lalu meneguk cairan di dalamnya.
Dan dunia mulai berputar.
Rasa yang Tidak Dikenal
Lirian menelan tegukan pertamanya. Rasanya… tidak ada. Tidak manis, tidak pahit, tidak asam, tidak sejuk ataupun panas. Itu hanya cairan, tapi begitu melewati tenggorokannya, sesuatu di dalam dirinya berubah.
Detak jantungnya melambat. Suara di sekitarnya meredam, seolah ia terjun ke dalam air yang pekat. Cahaya dari lentera-lentera di kedai mulai meredup, lalu meledak menjadi kilauan kecil seperti kunang-kunang yang beterbangan di udara. Dada Lirian naik-turun, tangannya mencengkeram tepi meja saat ruangan di sekitarnya berubah.
Kedai menghilang.
Atau mungkin, ia yang menghilang dari kedai itu.
Ia berdiri di tempat yang tidak ia kenal—sebuah ruang tanpa langit dan tanpa tanah. Udara di sekitarnya dipenuhi kabut emas yang bergerak seperti arus sungai, mengalir pelan di sekeliling tubuhnya.
“Di mana aku?” gumamnya. Suaranya terdengar jauh, seperti terpantul dalam ruangan besar yang kosong.
Sebuah suara lain menjawab.
“Kamu ada di dalamnya.”
Lirian menoleh. Di depannya, sesosok pria berdiri. Tidak, bukan pria biasa. Sosok itu memiliki mata sewarna langit di ambang senja, dan di punggungnya, sepasang sayap transparan berkilauan seperti kaca yang retak oleh cahaya.
Lirian mundur selangkah. “Siapa kamu?”
Sosok itu tersenyum. “Aku adalah rasa yang baru saja kamu telan.”
Kening Lirian berkerut. “Apa maksudmu?”
Sosok bersayap itu mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, kabut emas di sekeliling mereka berputar, membentuk gambaran yang menggantung di udara. Seperti potongan kenangan yang bukan miliknya.
Sebuah rumah kecil di tengah ladang bunga liar. Seorang anak lelaki berlari di antara kelopak-kelopak yang bergoyang tertiup angin. Seorang wanita berdiri di beranda rumah, tersenyum kepadanya.
Lirian menelan ludah. Ia mengenali tempat itu.
Rumahnya.
Atau lebih tepatnya, rumah yang pernah menjadi miliknya, sebelum semuanya berubah.
“Kenapa kamu menunjukkan ini?” tanyanya pelan.
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya lagi, dan gambaran di udara berganti. Kini, Lirian melihat dirinya sendiri—lebih muda, lebih polos, lebih ringan. Tidak ada beban di matanya seperti sekarang. Tidak ada luka di dadanya seperti sekarang.
“Minuman dari cangkir angsa membawamu kembali ke tempat yang kamu lupakan,” ujar sosok itu. “Bukan untuk mengubah masa lalu, tapi untuk mengingatkan apa yang pernah hilang.”
Lirian menggeleng, mencoba mengusir pemandangan itu. “Aku enggak mau melihat ini.”
“Tapi kamu butuh melihatnya.”
Seketika, gambar itu meledak menjadi pecahan cahaya, lalu menyatu kembali menjadi sesuatu yang baru.
Sebuah jembatan kayu di bawah langit mendung. Lirian yang lebih muda berdiri di sana, dengan wajah yang penuh kemarahan dan kepedihan. Di depannya, seorang pria lebih tua—ayahnya. Kata-kata terlontar dari mulut Lirian yang lebih muda, kata-kata yang tajam seperti belati, menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya.
“Aku benci kamu!”
Ayahnya hanya diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Dan untuk pertama kalinya, Lirian yang sekarang melihat sesuatu yang dulu tidak ia sadari—kesedihan di mata pria itu.
Tapi saat itu, Lirian tidak peduli. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan pria itu di bawah langit yang mulai meneteskan hujan.
Lirian mengepalkan tangannya. “Sudah cukup.”
Tapi gambaran itu tidak berhenti. Langit mendung berubah menjadi badai, jembatan kayu memudar, dan kini hanya ada jalan kosong yang gelap.
Sosok bersayap itu melangkah maju. “Kamu melupakan banyak hal, Lirian. Tapi ingatan tidak bisa dihapus. Itu hanya terkubur.”
Lirian memejamkan mata, dadanya terasa sesak. Ia tidak mau mengingatnya.
Tapi minuman dari cangkir angsa telah membawanya kembali ke sini.
Dan ia tidak bisa lari lagi.
Jalan yang Tak Bisa Dihindari
Lirian membuka matanya.
Seketika, pemandangan di sekelilingnya berubah. Badai lenyap. Sosok bersayap itu menghilang. Ia berdiri di tengah sebuah jalan berbatu yang membentang lurus ke depan, samar-samar diselimuti kabut keemasan. Di kejauhan, terdengar suara—bisikan yang datang dari arah yang tidak bisa ia tentukan.
Lirian menelan ludah. Ia tidak tahu apakah ia masih ada di dalam dunia minuman itu atau sudah kembali ke kenyataan. Semuanya terasa nyata, tapi juga tidak sepenuhnya masuk akal.
Langkah kaki terdengar dari balik kabut. Lirian menegang, tangannya terkepal, bersiap menghadapi apa pun yang akan muncul.
Tapi yang muncul bukan monster atau makhluk aneh.
Melainkan seseorang yang sangat dikenalnya.
Langkah kaki itu berhenti hanya beberapa meter darinya. Lelaki tua dengan rambut abu-abu yang mulai menipis, dengan mata tajam yang pernah membuat Lirian merasa kecil. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Tidak ada kemarahan di sana. Tidak ada ketegasan yang biasanya membuat Lirian merasa seperti anak kecil yang selalu salah.
Hanya kelelahan.
Dan sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—penyesalan.
Ayahnya berdiri di sana, menatapnya dalam diam.
Lirian tidak tahu harus berkata apa.
“Aku sudah lama menunggu,” suara itu terdengar dalam, tapi tidak setajam yang ia ingat.
Lirian mengepalkan tangannya lebih erat. “Kamu bukan dia.”
Senyum kecil muncul di wajah lelaki tua itu. “Mungkin tidak. Tapi apa bedanya? Jika aku bukan dia, lalu kenapa kamu terlihat begitu ketakutan?”
Lirian terdiam.
Jalan berbatu di antara mereka seakan membentang lebih lebar, seperti jurang yang tidak bisa diseberangi.
“Aku tidak takut,” kata Lirian akhirnya.
Lelaki tua itu mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu meski ia tahu itu dusta. “Baiklah.”
Lirian menarik napas dalam-dalam. “Apa ini? Ujian? Hukuman? Atau sekadar permainan dari minuman aneh itu?”
“Bukan semuanya,” jawab lelaki itu. “Ini hanya jalan yang harus kamu lalui.”
Lirian tertawa pendek, penuh sinisme. “Dan jika aku menolak?”
“Kamu tetap akan berada di sini. Sampai kamu siap.”
Dada Lirian naik-turun. Ia ingin marah, ingin meneriaki sosok di depannya. Tapi amarah itu sudah terlalu lama ia simpan. Sekarang, yang tersisa hanya kebingungan.
Ia melangkah maju.
Setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengikat kakinya. Tapi ia terus berjalan.
Sampai akhirnya, ia hanya berdiri satu meter di depan lelaki itu.
“Saat itu… di jembatan…” suara Lirian bergetar. “Aku tidak pernah benar-benar membencimu.”
Angin bertiup di antara mereka, membawa suara itu pergi, seolah memastikan kata-kata itu tidak bisa ditarik kembali.
Lelaki tua itu tersenyum kecil. “Aku tahu.”
Lirian mengepalkan tangannya lebih keras, menahan sesuatu yang terasa panas di tenggorokannya. “Lalu kenapa kamu tidak pernah bilang apa-apa?”
Lelaki tua itu menatapnya lama. “Karena aku pikir, jika aku membiarkanmu pergi… suatu hari kamu akan menemukan jalan untuk kembali.”
Lirian menahan napas.
“Dan jika aku tidak kembali?”
“Setidaknya, aku sudah menunggumu.”
Sesuatu di dalam diri Lirian runtuh. Bukan rasa bersalah, bukan penyesalan. Tapi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang selama ini ia abaikan.
Tangannya terangkat, hampir menyentuh lelaki itu. Tapi sebelum ia sempat melakukannya, kabut keemasan di sekeliling mereka berputar cepat, seperti angin topan yang menghisap segalanya.
Lelaki tua itu tersenyum, samar-samar, sebelum sosoknya larut dalam cahaya.
Lirian mencoba meraih tangannya, tapi jari-jarinya hanya menggenggam udara kosong.
Seketika, semuanya lenyap.
Dan ia terbangun.
Bukan di jalan berbatu.
Bukan di dunia kabut emas.
Melainkan di kedai, dengan cangkir angsa kosong di tangannya.
Lentera-lentera di sekelilingnya kembali bersinar seperti biasa. Suara obrolan, denting gelas, dan aroma rempah kembali memenuhi udara.
Ia ada di dunia nyata.
Tapi dadanya masih terasa berat. Tangannya masih sedikit gemetar.
Seolah sesuatu dari dunia itu belum sepenuhnya pergi.
Seolah, sesuatu masih tertinggal.
Bayangan yang Tetap Tinggal
Lirian menatap cangkir angsa di tangannya.
Cairan di dalamnya telah lenyap. Tidak ada kilauan magis, tidak ada aroma aneh yang membius pikirannya. Hanya sisa noda di dasar cangkir, seperti minuman biasa yang sudah habis diminum. Tapi tangannya masih terasa dingin, dan dadanya masih bergetar.
Ia menelan ludah, mencoba mengatur napasnya.
“Bagaimana rasanya?” suara seseorang terdengar di sebelahnya.
Lirian menoleh. Pemilik kedai berdiri di sana, menatapnya dengan senyum samar. Mata pria tua itu seakan menembus lapisan pikirannya, seolah ia tahu apa yang baru saja terjadi.
Lirian meletakkan cangkir angsa itu ke atas meja, nadinya masih berdenyut cepat. “Apa yang sebenarnya kamu jual di sini?”
Pemilik kedai mengangkat bahu ringan. “Minuman, kenangan, jawaban—tergantung siapa yang meminumnya.”
Lirian terdiam. Jawaban itu tidak memuaskan, tapi di sisi lain, ia juga tidak mengharapkan penjelasan yang lebih masuk akal.
“Aku… melihat seseorang,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan dari yang ia inginkan. “Seseorang yang seharusnya tidak ada di sana.”
Pemilik kedai tersenyum kecil. “Dia ada di sana karena dia masih ada di dalam dirimu.”
Lirian terdiam.
Itu terdengar seperti sesuatu yang klise—kata-kata bijak yang sering dilontarkan orang-orang tua kepada anak muda yang tersesat. Tapi kali ini, ia tidak bisa menyangkalnya.
Sosok itu, ayahnya… mungkin memang selalu ada di sana. Dalam pikirannya, dalam setiap langkah yang ia ambil, dalam setiap ketakutan yang tidak pernah ia akui.
Dan minuman itu hanya membukakan pintu yang selama ini ia hindari.
“Kamu akan baik-baik saja,” pemilik kedai berkata pelan. “Kamu sudah menemukan jawabannya.”
Lirian tertawa kecil, tapi tidak ada keceriaan di dalamnya. “Jawaban apa? Aku bahkan tidak tahu apakah semua ini nyata atau hanya efek dari minuman aneh itu.”
“Apakah itu penting?” Pemilik kedai menatapnya dalam. “Kamu merasa berbeda sekarang?”
Lirian terdiam sesaat sebelum mengangguk pelan.
Ia memang merasa berbeda. Ada sesuatu yang sedikit lebih ringan di dadanya, sesuatu yang selama ini ia pikul tanpa ia sadari.
Bukan berarti semuanya sudah selesai. Bukan berarti semua luka di masa lalunya telah sembuh begitu saja.
Tapi setidaknya, sekarang ia bisa melangkah tanpa dihantui bayangan yang sama.
Ia berdiri, menatap pemilik kedai sekali lagi. “Terima kasih… aku rasa.”
Pria tua itu tersenyum kecil. “Aku hanya menyajikan minuman. Sisanya adalah pilihanmu.”
Lirian menghela napas, lalu berjalan keluar dari kedai.
Angin malam menyambutnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Jalanan masih basah, lampu-lampu kota memantulkan cahaya kekuningan di atas aspal.
Ia berdiri di sana sejenak, merasakan udara dingin menusuk kulitnya.
Ia sudah kembali ke dunia nyata.
Tapi jejak dari dunia lain itu tetap tinggal.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa… siap.
Siap untuk menghadapi masa lalu.
Siap untuk berjalan maju.
Dan siap untuk menerima kenyataan bahwa beberapa bayangan tidak harus dilupakan.
Beberapa cukup untuk diterima.
Lirian menarik napas panjang, lalu melangkah pergi.
Meninggalkan kedai di belakangnya.
Tapi tidak meninggalkan apa yang telah ia temukan.
Kadang, jawaban yang kita cari nggak selalu datang dari logika, tapi dari sesuatu yang lebih dalam—yang selama ini kita hindari atau nggak berani hadapi. Lirian udah nemuin miliknya, lewat satu teguk minuman dari cangkir angsa. Sekarang, pertanyaannya… kalau kamu ada di posisinya, berani minum juga nggak?


