Mimpi Aneh Itu Jadi Nyata: Rahasia Liontin Misterius yang Mengubah Hidup

Posted on

Kamu pernah gak sih ngalamin mimpi yang terasa nyata banget? Yang pas bangun tuh masih kebayang-bayang di kepala, kayak kejadian itu beneran ada? Nah, Alvaro ngalamin hal yang lebih gila dari itu. Awalnya cuma mimpi biasa, tapi siapa sangka, mimpi itu malah jadi awal dari sesuatu yang nggak pernah dia bayangin seumur hidup.

Sebuah liontin tua, bayangan misterius, dan dunia yang selama ini dia gak tau eksis—semuanya mulai berantakan dalam satu malam. Gimana caranya mimpi yang aneh itu malah ngebawa dia ke petualangan hidup dan mati? Kamu wajib baca ini sampe abis!

Mimpi Aneh Itu Jadi Nyata

Pertanda di Balik Tidur

Langit malam merangkak perlahan, menggantung bulan pucat yang tertutup selapis awan tipis. Kota masih terjaga dalam remang lampu jalan, tetapi di dalam kamar Alvaro, keheningan mengambil alih. Hanya suara detak jam yang pelan berdenting di dinding, mengiringi napasnya yang teratur dalam tidur.

Angin menggesek tirai jendelanya, membawa hawa sejuk yang menyelinap di sela-sela tubuhnya yang terbaring. Namun, di balik tidurnya yang tampak lelap, sesuatu terjadi.

Di dalam mimpinya, Alvaro berdiri di padang luas yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Rumput hijau bergoyang tertiup angin, langit di atasnya kelabu dengan awan bergerak cepat, seolah waktu berjalan dengan kecepatan berbeda.

Di tengah padang itu, seorang pria tua berdiri dengan jubah hitam panjang yang tertiup angin. Wajahnya penuh keriput, namun tatapan matanya tajam seperti menembus segala isi pikirannya.

“Kau sudah datang,” kata pria itu, suaranya dalam dan bergema, seolah berasal dari segala arah.

Alvaro diam, tubuhnya menegang. Ada sesuatu yang tidak beres.

“Kau akan bertemu dengan apa yang telah lama mencari dirimu,” lanjut pria itu. “Jangan takut, karena ini adalah takdir yang harus kau jalani.”

Langit di atas mereka bergemuruh. Awan yang tadinya hanya berarak kini berputar seperti pusaran air raksasa. Angin bertiup semakin kencang, menyapu rumput hingga hampir mencabutnya dari tanah.

“Apa maksudmu?” Alvaro akhirnya bersuara, tapi sebelum ia sempat mendapatkan jawaban, tubuhnya tersedot oleh pusaran angin itu—jatuh, melayang, dan kemudian semuanya gelap.

Alvaro terbangun dengan napas memburu. Dada naik turun, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya langsung menyapu seisi kamar. Masih gelap. Jam di meja kecilnya menunjukkan pukul 3:12 pagi.

Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat detail mimpi itu. Ada pria tua, ada padang luas, dan ada kata-kata yang terasa seperti ramalan.

“Kau akan bertemu dengan apa yang telah lama mencari dirimu.”

Apa maksudnya?

Pagi itu, matahari muncul di ufuk timur, menyelimuti kota dengan warna keemasan yang hangat. Alvaro berjalan keluar rumah, tasnya tersampir di bahu, langkahnya santai seperti biasanya. Namun, pikirannya masih sibuk mengurai mimpi aneh tadi malam.

Tapi saat ia melewati sebuah pertokoan tua di sudut jalan, langkahnya terhenti.

Ada sesuatu yang tidak beres.

Di sana, berdiri sebuah toko kecil dengan jendela kaca besar, dipenuhi berbagai barang antik di dalamnya. Rak kayu berderet rapi, menampilkan benda-benda yang tampak berasal dari zaman yang berbeda.

Masalahnya, Alvaro tahu betul kalau di sana seharusnya tidak ada toko. Tempat itu seharusnya kosong, sebuah bangunan terbengkalai yang tidak pernah digunakan selama bertahun-tahun.

Hatinya berdebar. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ia harus masuk.

Bel berbunyi pelan saat ia mendorong pintu kaca. Bau kayu tua dan debu memenuhi hidungnya. Lampu-lampu gantung remang, menyoroti berbagai barang aneh yang mungkin sudah ada di sana selama puluhan tahun.

Alvaro melangkah perlahan, matanya menyapu sekeliling hingga terhenti pada sesuatu di balik etalase kaca—sebuah liontin perak berbentuk lingkaran dengan ukiran rumit di tengahnya.

Ia menelan ludah.

Simbol itu… sama persis dengan ukiran yang ada di jubah pria tua dalam mimpinya.

“Menarik, ya?”

Suara dalam itu datang dari balik meja kasir. Alvaro menoleh, dan darahnya seakan berhenti mengalir.

Pria yang berdiri di sana adalah orang yang ada dalam mimpinya. Wajah yang sama. Mata yang sama.

“Kau akhirnya datang,” lanjut pria itu, suaranya tetap dalam dan bergema.

Alvaro mencoba meredam keterkejutannya, tetapi tubuhnya masih terasa tegang. “Siapa kamu?”

Pria itu tersenyum kecil. “Bukan aku yang penting, tapi apa yang sudah menunggumu selama ini.” Ia melirik ke arah liontin di balik kaca. “Kau tahu kenapa kau bisa melihat tempat ini, kan?”

Alvaro tidak menjawab.

“Toko ini tidak akan muncul untuk sembarang orang,” kata pria itu lagi. “Hanya untuk mereka yang sudah ditakdirkan.”

Alvaro menelan ludah. “Aku enggak ngerti apa maksudmu.”

Pria itu menghela napas, lalu melangkah mendekat. “Mimpi yang kamu alami bukan sekadar mimpi,” ucapnya. “Itu adalah pintu menuju kenyataan yang belum terbuka untukmu.”

Seketika, udara di sekitar mereka terasa lebih berat.

Alvaro memandang liontin itu sekali lagi, lalu kembali menatap pria di hadapannya.

Ia baru menyadari satu hal.

Ini baru permulaan.

 

Toko yang Tidak Pernah Ada

Alvaro berdiri kaku di depan etalase kaca. Liontin perak dengan ukiran aneh itu seakan memanggilnya, seolah memiliki nyawa sendiri. Hawa di dalam toko terasa lebih dingin dari seharusnya, seperti ada sesuatu yang tidak terlihat mengawasinya dari balik benda-benda antik yang berjejer rapi di rak-rak kayu.

Pria tua di balik meja kasir masih menatapnya dengan senyum tipis, sabar menunggu respons Alvaro.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” suara Alvaro terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan.

Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, jari-jarinya yang kurus mengetuk meja kayu dengan ritme teratur. “Liontin itu untukmu,” katanya, nadanya seolah itu adalah fakta mutlak yang tidak bisa ditawar.

Alvaro mengernyit. “Kenapa aku?”

Pria itu menghela napas, lalu berjalan ke arah etalase. Dengan gerakan yang hampir ritualistik, ia membuka kunci kaca dan mengambil liontin tersebut. Saat tangannya menyentuh permukaannya, Alvaro bisa bersumpah ia mendengar suara samar, seperti bisikan yang berasal dari dalam liontin itu sendiri.

“Apa kamu percaya pada kebetulan, Alvaro?” pria itu bertanya sambil menyodorkan liontin ke arahnya.

Alvaro menatap liontin itu lekat-lekat, tetapi tangannya tetap di samping tubuh. “Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Tapi aku nggak percaya sesuatu bisa muncul begitu saja tanpa alasan.”

Pria itu mengangguk pelan, ekspresinya puas dengan jawaban tersebut. “Bagus,” katanya. “Karena tidak ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini.”

Hening.

Untuk beberapa detik, Alvaro hanya berdiri di sana, menimbang-nimbang apakah ia harus mengambil liontin itu atau tidak. Ada bagian dari dirinya yang berteriak agar ia pergi dari tempat ini, kembali ke hidupnya yang normal. Tapi ada juga bagian lain—bagian yang lebih dalam—yang merasa bahwa ia memang harus di sini. Bahwa ini bukan pertama kalinya ia melihat liontin itu.

Akhirnya, ia mengulurkan tangan.

Begitu jari-jarinya menyentuh liontin, hawa di sekelilingnya berubah drastis.

Sebuah gelombang energi menyelimuti tubuhnya, seolah ada aliran listrik tak kasat mata yang menjalar di kulitnya. Dadanya terasa sesak, dan sesaat, ia seperti tidak bisa bernapas.

Bayangan-bayangan asing melintas di benaknya—gambaran kabur dari tempat-tempat yang belum pernah ia lihat, suara-suara yang berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti, dan wajah seseorang yang samar, tetapi terasa begitu akrab.

Kemudian semuanya menghilang.

Alvaro tersentak dan menjatuhkan liontin itu ke lantai. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia menatap pria tua itu dengan ekspresi setengah takut, setengah bingung.

“Apa-apaan barusan?!”

Pria itu hanya tersenyum kecil, tidak terlihat terkejut sedikit pun. “Liontin itu menunjukkan padamu sedikit dari apa yang akan terjadi.”

“Apa yang akan terjadi?” Alvaro merasakan sesuatu yang dingin merayapi punggungnya.

Pria itu menunduk, mengambil liontin dari lantai dengan hati-hati, lalu menaruhnya di meja kayu di depan Alvaro. “Kamu baru saja menyentuh sesuatu yang lebih tua dari yang bisa kamu bayangkan,” katanya. “Dan sekarang, kamu sudah menjadi bagian darinya.”

Alvaro menelan ludah. “Kamu serius?”

“Apa menurutmu ini terlihat seperti lelucon?”

Alvaro tidak bisa menjawab. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan perasaan aneh yang melintas di tubuhnya saat menyentuh liontin itu? Bayangan-bayangan tadi… suara-suara asing… semua itu terasa nyata.

Ia memandang liontin itu sekali lagi, perakannya bersinar redup di bawah lampu gantung toko.

“Jadi, aku harus ngapain sekarang?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih tenang, meskipun jantungnya masih berdebar cepat.

Pria itu menyeringai, untuk pertama kalinya ekspresinya tampak benar-benar hidup.

“Ambil liontin itu dan cari jawabannya sendiri.”

Alvaro melangkah keluar dari toko dengan liontin di genggamannya. Udara luar terasa lebih hangat dibandingkan di dalam toko, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Dunia di sekelilingnya tampak sama—orang-orang masih berjalan seperti biasa, suara kendaraan masih memenuhi udara—tetapi rasanya seperti ada lapisan tak kasat mata yang membungkus semuanya.

Seolah-olah, ada sesuatu yang menunggu di luar sana.

Ia melirik liontin yang kini tergantung di lehernya. Mungkin ini hanya perasaannya saja.

Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu.

Ini baru permulaan.

 

Bayangan yang Mengikuti

Alvaro berjalan cepat menyusuri trotoar. Semilir angin malam yang seharusnya menenangkan justru membuat tengkuknya meremang. Sejak meninggalkan toko antik tadi, ada perasaan aneh yang tidak bisa ia abaikan—seolah-olah ada seseorang yang mengikutinya.

Ia menoleh ke belakang.

Jalanan masih sama. Orang-orang berlalu-lalang, kendaraan sesekali melintas, lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup kekuningan. Tidak ada yang mencurigakan.

Tapi tetap saja, perasaan itu tidak hilang.

Alvaro meremas liontin di lehernya. Permukaannya dingin di telapak tangannya, tetapi anehnya, sentuhan itu memberinya sedikit rasa nyaman. Seakan ada sesuatu di dalam benda ini yang melindunginya.

Ia menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku mulai paranoid,” gumamnya.

Namun baru saja ia melangkah lagi, sebuah suara terdengar di belakangnya.

“Alvaro.”

Ia berhenti mendadak.

Dada Alvaro berdebar kencang. Suara itu… bukan suara orang yang dikenalnya. Suara itu terdengar dalam, serak, tetapi juga anehnya seperti berasal dari tempat yang jauh.

Perlahan, ia menoleh ke belakang.

Jalanan masih sama.

Tidak ada siapa-siapa di belakangnya.

Alvaro menelan ludah. Oke, ini mulai tidak masuk akal.

Tanpa berpikir panjang, ia mempercepat langkahnya, hampir setengah berlari menuju apartemennya. Sesampainya di depan pintu, ia buru-buru mengambil kunci dari saku jaketnya, tetapi jari-jarinya sedikit gemetar saat mencoba memasukkannya ke lubang kunci.

“Fokus, Var. Fokus.”

Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya berhasil membuka pintu. Begitu masuk, ia mengunci pintu kembali dan menyandarkan tubuhnya ke sana. Napasnya berat, tetapi setidaknya sekarang ia sudah di tempat yang aman.

Atau… mungkin tidak.

Lampu ruang tamu menyala seperti biasa. Tidak ada yang tampak aneh. Namun, begitu ia melangkah lebih dalam, matanya menangkap sesuatu di atas meja.

Sebuah amplop.

Amplop berwarna cokelat kusam itu tidak ada saat ia meninggalkan apartemen tadi. Dan yang lebih aneh lagi, tidak ada nama atau alamat tertulis di permukaannya.

Jantungnya kembali berdebar.

Ia ragu-ragu sebelum akhirnya mengambil amplop itu dan membukanya. Ada secarik kertas di dalamnya. Saat ia menariknya keluar dan membacanya, tenggorokannya terasa kering.

“Jangan lepaskan liontin itu, atau kau akan kehilangan semuanya.”

Alvaro menatap tulisan itu lama. Tangannya menggenggam liontin di dadanya, merasakan denyut hangat yang samar dari dalamnya.

Siapa yang mengirim ini? Bagaimana caranya masuk ke apartemennya?

Dan yang lebih penting… apa maksud dari pesan ini?

Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, lampu di apartemennya tiba-tiba berkedip-kedip.

Alvaro membeku.

Kedipan itu semakin cepat, sebelum akhirnya mati total.

Apartemennya kini gelap gulita.

Satu-satunya cahaya yang tersisa hanyalah sinar bulan dari jendela. Dan dalam redupnya cahaya itu, Alvaro merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Ada bayangan di sudut ruangan.

Dan itu bukan bayangannya sendiri.

Alvaro tidak bergerak, hampir tidak bernapas. Bayangan itu tampak diam di sana, tetapi ia bisa merasakan keberadaannya. Ada sesuatu—atau seseorang—di apartemennya.

Jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan.

Tiba-tiba, bayangan itu bergerak.

Perlahan, sangat perlahan, mendekatinya.

Alvaro ingin lari, tetapi tubuhnya terasa terkunci di tempat.

Bayangan itu semakin dekat.

Dan saat jaraknya hanya beberapa langkah dari Alvaro, terdengar bisikan yang sama seperti sebelumnya.

“Alvaro.”

Namun kali ini, suara itu bukan hanya sekadar memanggil namanya.

Kali ini, suara itu terdengar seperti sesuatu yang telah menunggu… sangat lama.

 

Kebenaran yang Terungkap

Alvaro mundur selangkah. Napasnya pendek dan cepat, jantungnya seakan berusaha menerobos keluar dari dadanya. Bayangan itu kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya—kabur, tetapi nyata.

“Siapa kamu?” suara Alvaro nyaris tidak terdengar.

Bayangan itu tidak langsung menjawab. Tapi perlahan, bentuknya mulai berubah. Dari sekadar siluet gelap, kini ia memiliki wujud yang lebih jelas. Sesosok pria bertubuh tinggi, dengan mata hitam pekat yang seakan menelan cahaya di sekitarnya.

“Apa yang kamu inginkan?” suara Alvaro bergetar.

Pria itu tersenyum tipis—senyum yang membuat udara di ruangan terasa lebih dingin. “Aku hanya ingin mengambil kembali sesuatu yang seharusnya bukan milikmu.”

Alvaro mengernyit. “Maksudmu?”

Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke liontin yang tergantung di leher Alvaro. “Itu.”

Sekelebat memori melintas di kepala Alvaro—mimpi yang ia alami malam itu, wanita dalam gaun putih yang berbisik agar ia menjaga liontin ini, rasa familiar yang aneh ketika pertama kali melihatnya di toko antik.

“Aku tidak mengerti,” kata Alvaro. “Kenapa liontin ini begitu penting?”

Pria itu menghela napas pelan. “Karena liontin itu adalah kunci. Dan kamu… telah mengaktifkannya.”

Alvaro semakin bingung, tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, ruangan kembali bergetar. Kali ini lebih kuat, seolah ada sesuatu yang mencoba menerobos masuk dari dimensi lain.

Pria itu menegang. Matanya menyipit. “Kita tidak punya waktu.”

Tiba-tiba, suara-suara aneh bergema di seluruh apartemen. Suara bisikan yang semakin lama semakin keras, hingga berubah menjadi jeritan.

Alvaro menutup telinganya. “Apa ini?!”

Pria itu melangkah cepat, meraih pergelangan tangan Alvaro. “Dengar, kalau kamu ingin tetap hidup, kamu harus ikut denganku sekarang.”

Alvaro menatap pria itu dengan penuh kecurigaan. “Kenapa aku harus percaya padamu?”

“Karena kalau tidak, mereka akan datang untuk mengambilmu.”

Saat itu juga, sesuatu menerjang jendela apartemen Alvaro—bayangan lain, lebih besar dan lebih mengerikan. Matanya merah menyala, taring panjang mencuat dari mulutnya.

Pria itu menggeram. “Terlambat.”

Tanpa peringatan, makhluk itu melesat ke arah mereka. Pria itu mendorong Alvaro ke samping, mengangkat satu tangan, dan tiba-tiba, cahaya keemasan menyembur dari telapak tangannya. Makhluk itu berteriak kesakitan, mundur beberapa langkah sebelum akhirnya menghilang seperti kabut hitam yang tersapu angin.

Alvaro terengah-engah, jantungnya masih berpacu.

“Siapa… siapa mereka?” tanyanya dengan suara gemetar.

Pria itu menatapnya dengan ekspresi serius. “Mereka yang menginginkan kunci itu kembali. Tapi bukan untuk tujuan baik.”

Alvaro menggenggam liontinnya erat. Kini ia tahu—mimpi itu bukan sekadar mimpi. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan lebih banyak.” Pria itu meraih bahu Alvaro. “Percayalah padaku atau tidak, itu pilihanmu. Tapi kalau kamu ingin hidup, kita harus pergi sekarang.”

Alvaro menatap matanya. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya merasa bahwa pria ini bukan musuh.

Ia menarik napas dalam-dalam. “Baiklah.”

Pria itu tersenyum tipis, lalu menjentikkan jarinya.

Dalam sekejap, ruang di sekitar mereka bergetar, berubah, dan sebelum Alvaro bisa memahami apa yang terjadi, mereka sudah menghilang dari apartemennya—melangkah ke dalam takdir yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

 

Kadang, yang kita kira cuma mimpi bisa jadi sesuatu yang lebih dari sekadar bunga tidur. Alvaro gak pernah nyangka, mimpi aneh yang dia alami ternyata adalah pertanda buat sesuatu yang lebih besar. Liontin itu? Ternyata bukan cuma perhiasan biasa.

Dan dunia yang dia kenal selama ini? Mungkin bukan satu-satunya yang ada. Pertanyaannya, kalau kamu ada di posisi Alvaro, kamu bakal ikutin petualangan ini atau lari sejauh mungkin? Karena sekali kamu melangkah masuk… gak ada jalan buat kembali.

Leave a Reply