Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasain mimpi yang terlalu nyata sampai pas bangun malah bikin bingung? Nah, bayangin kalau kamu seorang anak nelayan biasa, tapi pas tidur malah kelempar ke dunia laut yang magis, penuh makhluk aneh, dan ada misi super gede yang harus kamu selesain.
Ini bukan sekadar mimpi biasa, ini mimpi yang bisa ngubah segalanya! Siap buat nyelam lebih dalam? Yuk, mulai ceritanya!
Mimpi Anak Nelayan
Bisikan Ombak di Malam Purnama
Laut selalu punya cara sendiri untuk berbicara dengan orang-orang yang mau mendengarkan. Malam itu, ombak berbisik lebih pelan dari biasanya, seolah takut membangunkan desa nelayan yang sudah terlelap. Bulan purnama menggantung di langit, sinarnya memantul di permukaan air, membuat laut tampak seperti kain sutra yang berkilauan.
Di tepi dermaga kayu yang sudah mulai lapuk, seorang anak lelaki duduk sendirian di atas perahu tua. Kakinya menggantung, berayun pelan mengikuti ritme ombak. Matanya menatap laut yang membentang tanpa ujung, sementara angin laut membelai rambut hitamnya yang agak berantakan.
Namanya Raka. Anak nelayan yang selalu merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik laut yang terlihat biasa ini.
“Raka! Kamu belum tidur?”
Suara berat itu berasal dari seorang pria paruh baya yang berdiri di pinggir dermaga. Ayahnya. Seorang nelayan tangguh yang sejak muda sudah akrab dengan laut, dengan kulit yang legam karena bertahun-tahun diterpa matahari.
“Belum, Yah,” jawab Raka tanpa menoleh. “Aku cuma mau lihat laut sebentar lagi.”
Ayahnya menghela napas. “Laut itu gak bakal kemana-mana. Tapi kalau kamu begadang terus, besok kamu yang bakal tumbang duluan.”
Raka tertawa kecil. “Aku cuma penasaran, Yah… kalau laut ini sebesar ini, pasti ada sesuatu di dalamnya yang kita gak tahu, kan?”
Ayahnya ikut duduk di tepi dermaga, pandangannya mengikuti arah mata Raka yang masih terpaku ke laut. “Laut memang penuh rahasia. Tapi gak semua rahasia harus kita bongkar.”
“Tapi gimana kalau laut nyimpan sesuatu yang luar biasa?” Raka menoleh, matanya penuh semangat. “Mungkin ada tempat yang belum pernah dijelajahi manusia. Mungkin ada makhluk yang gak pernah kita lihat sebelumnya.”
Ayahnya tertawa pendek. “Kamu ini kebanyakan baca buku atau kebanyakan mimpi, sih?”
Raka tersenyum kecil. Mungkin dua-duanya.
Angin malam semakin dingin. Ayahnya akhirnya berdiri. “Sudah malam. Jangan sampai kebiasaan duduk di perahu ini sampai kamu ketiduran di sini.”
“Iya, bentar lagi,” sahut Raka.
Ayahnya hanya menggeleng sebelum berjalan kembali ke rumah. Sementara itu, Raka masih tetap duduk di sana, ditemani suara ombak dan bulan yang menggantung sendirian di langit.
Saat angin bertiup sedikit lebih kencang, Raka akhirnya berbaring di atas perahu. Tangannya menyentuh kayu yang mulai kasar karena termakan usia. Matanya perlahan mulai terasa berat, sementara pikirannya melayang entah kemana.
Dan di situlah, tanpa ia sadari, malam mulai menuntunnya ke dunia lain.
Awalnya, yang terdengar hanyalah suara ombak. Tapi kemudian, ada sesuatu yang berubah.
Perahu yang tadi terasa kokoh kini terasa seperti melayang. Udara di sekelilingnya semakin hangat, dan ada cahaya aneh yang menyusup di balik kelopak matanya.
Ketika Raka membuka mata, napasnya tercekat.
Ia tidak lagi berada di atas perahu.
Laut di sekelilingnya bersinar dengan warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya—hijau bercampur emas, seolah ada ribuan bintang yang tenggelam ke dalam air. Langit di atasnya tidak lagi gelap, tapi dipenuhi cahaya lembut yang berputar seperti aurora.
Dan yang paling mengejutkan—ia berdiri di atas air.
Bukan di atas perahu, bukan di atas sesuatu yang terapung. Tapi benar-benar berdiri, seolah air laut di bawahnya adalah tanah padat. Ia mengangkat kakinya sedikit, lalu menurunkannya lagi. Airnya beriak, tapi tidak menenggelamkannya.
“Ini… mimpi?” gumamnya.
Angin bertiup pelan, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. Saat ia menoleh ke arah laut, jantungnya hampir berhenti.
Dari dalam air yang berkilauan, muncul sosok raksasa. Seekor ikan berwarna biru kehijauan dengan sisik yang bersinar seperti batu permata. Matanya secerah bulan, dan tubuhnya begitu besar hingga bayangannya menutupi sebagian lautan.
“Raka…”
Suara itu bergema, bukan hanya terdengar di telinganya, tapi juga di dalam dadanya.
Mulut Raka mengering. “Siapa… kamu?”
“Aku adalah Penjaga Lautan,” jawab makhluk itu, suaranya dalam seperti ombak yang bergulung di tengah badai. “Dan kau… telah dipilih untuk melihat apa yang tersembunyi.”
Seketika, lautan di sekitar mereka mulai berubah. Ombak berputar dalam pusaran yang lembut, dan dari kedalamannya, sesuatu muncul perlahan.
Raka menahan napas. Itu… istana.
Istana yang berdiri megah di tengah lautan, terbuat dari kristal yang bersinar. Pilar-pilarnya tinggi menjulang, dan gerbangnya terbuka lebar, seolah mengundangnya masuk.
Dan saat itulah, Raka tahu—ia baru saja melangkah ke dalam dunia yang selama ini hanya ada di dalam mimpinya.
Penjaga Lautan dan Istana Kristal
Lautan terasa hidup. Ombak yang tadinya bergulung pelan kini membentuk pola berputar di sekeliling Raka, seakan memberi jalan menuju istana kristal yang berdiri megah di tengah samudra. Cahaya dari istana itu menembus air, membuat bayangan pilar-pilar tingginya terpantul ke segala arah, menciptakan ilusi seolah langit dan laut menyatu.
Raka menelan ludah. Ini jelas bukan sekadar mimpi biasa.
“Ayo, melangkahlah,” suara sang Penjaga Lautan bergema. Matanya yang bercahaya menatap Raka dengan intensitas yang sulit dijelaskan—tenang, namun penuh makna.
Raka menggerakkan kakinya dengan ragu. Air di bawahnya terasa padat, seperti lantai kaca yang tak terlihat. Setiap langkah yang ia ambil meninggalkan riak-riak cahaya yang perlahan memudar. Semakin dekat ke istana, semakin ia merasakan sesuatu yang aneh—seolah ada energi di udara, mengalir melalui tubuhnya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Di depan gerbang istana, dua sosok berdiri tegap. Mereka bukan manusia. Tubuh mereka tinggi, hampir dua kali lipat ukuran Raka, dengan kulit berkilauan seperti mutiara. Mata mereka bersinar seperti permata hijau laut, dan di punggung mereka, sirip panjang berkilau di bawah cahaya kristal.
Mereka menatap Raka dengan ekspresi tak terbaca.
“Dia telah dipilih,” kata sang Penjaga Lautan dengan suara tegas.
Tanpa berkata apa pun, kedua penjaga itu melangkah ke samping, membuka jalan.
Raka menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah melewati gerbang.
Begitu masuk, Raka seakan masuk ke dunia lain. Langit-langit istana begitu tinggi, hampir tak terlihat, dengan lampu-lampu yang melayang di udara, bersinar lembut dalam warna kebiruan. Dinding-dindingnya terbuat dari kristal transparan, memperlihatkan bayangan makhluk-makhluk laut yang berenang di luar, seakan istana ini berdiri di tengah samudra yang tak berbatas.
Di tengah ruangan utama, sebuah singgasana berdiri. Bukan singgasana biasa—bentuknya seperti batu karang yang dipenuhi cahaya di dalamnya, berdenyut pelan seperti jantung yang berdetak.
Dan di atasnya, duduk sosok yang jauh lebih agung dari siapapun yang pernah Raka lihat.
Ia tampak seperti manusia, tapi juga bukan. Rambutnya panjang, mengalir seperti ombak, berkilau dalam warna biru kehijauan. Matanya sama bercahayanya dengan milik sang Penjaga Lautan, tapi lebih dalam, seolah di dalamnya tersimpan ribuan rahasia samudra.
“Selamat datang, anak nelayan,” suaranya bergema lembut, tapi tetap menggetarkan dada Raka. “Aku telah menunggumu.”
Raka merasa lidahnya kelu. Ia mencoba mencari kata-kata, tapi yang keluar hanya gumaman tak jelas.
Sosok itu tersenyum tipis. “Kau bertanya-tanya… kenapa kau di sini?”
Raka hanya bisa mengangguk.
“Karena laut memilihmu,” jawabnya. “Ada sesuatu yang ingin kami tunjukkan. Sesuatu yang telah lama tersembunyi dari manusia.”
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka mulai berubah. Permukaannya yang semula padat menjadi bening seperti air, lalu mulai berpendar, membentuk gambar-gambar yang bergerak seperti ilusi.
Raka menatapnya dengan mata membelalak.
Yang ia lihat bukan hanya laut yang ia kenal. Ia melihat kapal-kapal karam yang telah tertutup terumbu karang. Ia melihat makhluk-makhluk laut yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya, berenang dalam kegelapan samudra terdalam.
Tapi kemudian… sesuatu berubah.
Gambar-gambar itu memperlihatkan laut yang mulai surut. Karang yang memutih. Ikan-ikan yang menghilang. Ombak yang dulunya tenang, kini berubah menjadi badai yang mengamuk tanpa kendali.
“Laut… sekarat?” suara Raka hampir tak terdengar.
Sosok di atas singgasana mengangguk pelan. “Dan hanya sedikit yang bisa mendengar tangisannya.”
Raka menggigit bibir. “Tapi aku cuma anak nelayan. Apa yang bisa aku lakukan?”
“Kadang, satu bisikan bisa mengubah segalanya,” jawabnya. “Dan kau, Raka… adalah bisikan itu.”
Raka menatap laut yang tergambar di lantai. Tiba-tiba, sesuatu dalam dadanya terasa bergetar.
Entah bagaimana… ia tahu, ini bukan sekadar mimpi.
Dan mungkin… ini baru permulaan.
Rahasia di Balik Gelombang Kelam
Raka berdiri terpaku, masih menatap lantai kristal yang memantulkan gambaran laut yang sekarat. Ombaknya yang dulu lembut kini berubah liar, terumbu karang memutih, dan makhluk-makhluk laut menghilang ke dalam kegelapan. Dadanya terasa sesak. Seumur hidup, laut adalah rumahnya—tempat ia tumbuh, tempat ayahnya mencari nafkah, tempat ia selalu merasa bebas. Tapi kini, laut yang ia kenal sedang sekarat.
“Kenapa ini terjadi?” suara Raka lirih, nyaris tenggelam dalam hening yang melingkupinya.
Sosok di atas singgasana, sang Penguasa Lautan, menatapnya dalam-dalam. “Karena manusia.”
Raka mengepalkan tangan. “Tapi tidak semua manusia merusak laut!”
Sang Penguasa Lautan tersenyum tipis, tapi ada kesedihan di matanya. “Benar. Tapi segelintir manusia yang tamak sudah cukup untuk mengubah keseimbangan. Sampah, pencemaran, dan keserakahan mereka merusak segalanya. Bahkan sesuatu yang telah dijaga selama ribuan tahun… kini mulai memudar.”
Raka menelan ludah. “Jadi… aku di sini untuk menghentikannya?”
“Kau di sini untuk melihat,” jawab sang Penguasa Lautan, “dan memutuskan apa yang akan kau lakukan.”
Seketika, ruangan mulai bergetar. Ombak di luar istana bergerak tak beraturan, dan dari kegelapan, sesuatu mulai muncul.
Bayangan raksasa, berkelok seperti tubuh ular, perlahan melingkari istana. Raka menajamkan mata, jantungnya berdegup kencang. Sosok itu terus membesar, dan ketika akhirnya kepalanya muncul dari kegelapan, Raka terbelalak.
Makhluk itu bukan sekadar monster laut biasa. Sisiknya hitam legam, matanya menyala merah seperti bara api, dan di sekujur tubuhnya, jaring-jaring nelayan tersangkut, bercampur dengan potongan plastik yang melilit ekornya. Dari mulutnya yang penuh taring, asap hitam mengepul, membuat air di sekitarnya berubah pekat.
“Ap… apa itu?” suara Raka tercekat.
Sang Penguasa Lautan berdiri dari singgasananya. “Itulah wujud dari kejahatan manusia terhadap laut. Ia adalah Kegelapan yang lahir dari keserakahan, polusi, dan pengabaian. Dan kini, ia bangkit.”
Raka mundur selangkah. “Lalu… bagaimana cara menghentikannya?”
“Kegelapan tidak bisa dihancurkan dengan kekuatan,” kata sang Penguasa Lautan, “hanya bisa dipadamkan dengan harapan.”
Sebelum Raka sempat mencerna kata-kata itu, makhluk raksasa itu meraung. Suaranya menggema di seluruh istana, membuat gelombang besar menghantam pilar-pilar kristal. Cahaya di sekeliling mereka bergetar, dan retakan mulai muncul di lantai.
“Dia akan menghancurkan tempat ini!” Raka berseru panik.
Sang Penjaga Lautan melangkah maju, berdiri di sampingnya. “Kau harus menghadapi ketakutanmu, Raka. Kau bukan hanya anak nelayan biasa. Laut telah memilihmu.”
“Tapi aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa!”
“Percayalah pada laut. Dengarkan bisikannya.”
Raka terengah-engah, pikirannya kacau. Tapi di tengah kekacauan itu, ia mendengar sesuatu. Bisikan halus, lirih, namun semakin jelas.
Lautan tidak hanya berisi air. Ia menyimpan kenangan. Ia mengingat kebaikan, mengingat mereka yang menjaganya.
Raka menutup mata. Ia mengingat ayahnya yang selalu mengajarkannya untuk tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Ia mengingat nelayan-nelayan tua di desanya, yang selalu merawat laut dengan penuh hormat. Ia mengingat suara ombak yang selalu menenangkannya sejak kecil.
Ketika ia membuka mata, sesuatu yang aneh terjadi.
Di sekelilingnya, air mulai bersinar. Cahaya biru lembut mengalir dari telapak tangannya, menjalar seperti akar pohon ke lantai kristal, lalu merambat ke dinding istana. Cahaya itu semakin terang, semakin kuat, hingga akhirnya meledak ke luar, menghantam makhluk hitam itu.
Makhluk itu meraung kesakitan, tubuhnya bergetar hebat. Jaring-jaring dan plastik yang melilitnya mulai terlepas, terbakar oleh cahaya yang terpancar dari tubuh Raka. Ombak yang tadinya gelap mulai kembali jernih, dan perlahan, lautan kembali berwarna.
Raka terengah-engah, lututnya lemas.
Makhluk itu tidak hilang. Tapi ia melemah. Matanya yang semula menyala merah kini meredup, tubuhnya mengecil, lalu akhirnya tenggelam kembali ke dasar laut.
Keheningan menyelimuti istana.
Sang Penguasa Lautan menatap Raka dengan mata penuh kebanggaan. “Kau telah melakukan hal yang bahkan para penjaga laut pun tak bisa lakukan.”
Raka masih sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Apa yang sebenarnya aku lakukan?”
“Kau mengingatkan laut akan harapan. Dan harapan… lebih kuat dari ketakutan.”
Raka menatap telapak tangannya yang masih bersinar samar. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi satu hal yang pasti—ia bukan lagi anak nelayan yang sama seperti sebelumnya.
Dan ia sadar… ini belum berakhir.
Bisikan Lautan yang Terakhir
Raka masih berdiri di tengah istana, napasnya tersengal. Cahaya biru yang tadi menyelimuti tangannya perlahan meredup, tetapi kehangatannya masih terasa di dadanya. Laut di sekitarnya kembali berkilau, ombaknya lebih tenang, dan istana kristal yang sempat bergetar kini kembali tegak, memantulkan warna-warna indah yang menari di permukaannya.
Sang Penguasa Lautan menatapnya dengan sorot mata penuh kebanggaan. “Kau telah menyelamatkan lautan ini dari kegelapan, Raka.”
Raka menggeleng pelan. “Aku tidak yakin. Makhluk itu hanya tenggelam, bukan menghilang.”
“Benar,” suara Penguasa Lautan terdengar bijak. “Kegelapan tidak bisa dihancurkan sepenuhnya. Ia hanya bisa dikendalikan. Dan itu semua bergantung pada manusia.”
Raka terdiam. Kata-kata itu menusuk dalam. Manusia yang menyebabkan lautan sakit. Manusia yang membuat makhluk itu lahir. Dan manusia pulalah yang harus bertanggung jawab untuk menyembuhkan semuanya.
Sang Penguasa Lautan melangkah mendekat, lalu mengulurkan tangannya. Sebuah pecahan kristal berbentuk tetesan air melayang ke arah Raka, bersinar lembut. “Ini adalah bagian dari lautan. Simpanlah. Suatu hari, kau akan tahu bagaimana menggunakannya.”
Raka ragu-ragu, lalu meraih kristal itu. Begitu jarinya menyentuhnya, sesuatu terasa mengalir dalam dirinya—suara laut, bisikan ombak, kenangan dari makhluk-makhluk yang pernah hidup di dalamnya.
Dan tiba-tiba, semuanya memudar.
Raka membuka mata, terengah-engah. Ia tidak lagi berada di istana kristal.
Ia terbaring di atas perahu kecilnya, dengan langit fajar membentang di atasnya. Laut di sekelilingnya tenang, seolah kejadian semalam hanya ilusi belaka.
Tapi ada yang berbeda.
Tangannya masih menggenggam sesuatu.
Ketika ia membuka telapak tangannya, di sana ada pecahan kristal berbentuk tetesan air—persis seperti yang diberikan oleh Sang Penguasa Lautan.
Jadi… itu bukan mimpi.
Raka duduk perlahan, menatap laut yang kini terasa lebih hidup. Ia bisa mendengar bisikannya dengan lebih jelas.
Suara yang lembut.
Suara yang meminta tolong.
Suara yang mempercayainya.
Ia mengepalkan kristal itu erat-erat.
Laut telah memilihnya.
Dan ia tidak akan mengecewakannya.
Gila, siapa sangka ya, dari cuma mimpi doang, Raka malah dapet sesuatu yang nyata? Tapi kalau dipikir-pikir, ini bukan cuma tentang laut atau keajaiban aja, tapi juga soal tanggung jawab. Kadang yang kita anggap cuma khayalan, justru ngasih kita petunjuk tentang hidup yang lebih besar. Jadi, kalau besok kamu mimpi sesuatu yang aneh, siapa tahu… itu bukan sekadar mimpi.


