Mimpi Anak Desa: Perjuangan, Air Mata, dan Sukses di Kota

Posted on

Dulu, di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, ada seorang anak yang punya mimpi besar. Dia bukan siapa-siapa, bukan anak orang kaya, dan bahkan buat sekolah aja harus jalan kaki jauh. Tapi satu hal yang bikin dia beda—dia nggak pernah berhenti bermimpi.

Dia percaya kalau suatu hari nanti, dia bakal berdiri di kota besar, bukan cuma sebagai pendatang, tapi sebagai seseorang yang berhasil. Tapi perjalanan ke sana nggak gampang. Ada air mata, ada luka, ada kelelahan yang bikin nyaris menyerah. Dan yang lebih gila lagi, kota nggak segampang itu nerima anak desa kayak dia. Nah, gimana ceritanya? Siapin hati, karena ini bukan sekadar cerita biasa.

Mimpi Anak Desa

Langit Luas dan Mimpi Kecil

Langit desa itu selalu biru, seolah tak ada batasnya. Awan putih berarak pelan, membentuk bayangan di hamparan sawah hijau yang menghampar sejauh mata memandang. Udara pagi masih segar, bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan semalam. Di pematang sawah yang sempit, seorang bocah laki-laki berlarian tanpa alas kaki, tertawa lepas seperti tak ada beban di dunia ini.

“Javar! Jangan lari-lari di situ! Nanti jatuh ke lumpur!” teriak seorang wanita dari kejauhan. Suaranya lantang, tapi penuh kelembutan.

Javar berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah ibunya yang berdiri di halaman rumah dengan tangan masih memegang tampah berisi padi yang baru dijemur. Bocah itu terkekeh, lalu malah melompat-lompat kecil di pematang.

“Aku nggak bakal jatuh, Bu! Aku udah jago seimbang di sini!” katanya dengan nada bangga.

Sang ibu hanya menggelengkan kepala, sementara seorang lelaki tua yang duduk di dekatnya tertawa kecil.

“Biarkan saja, Wati. Anak laki-laki memang harus begitu. Kalau nggak lari-larian di sawah, bukan anak desa namanya,” ujar lelaki itu—ayah Javar.

Ibunya mendesah, lalu kembali menebar padi ke tampah. Sementara itu, Javar sudah kembali berlari ke arah sungai kecil yang mengalir di dekat sawah. Di sana, dua temannya, Rama dan Suta, sudah lebih dulu menunggu dengan membawa jala kecil.

“Javar, ayo cepat! Ikan-ikannya masih banyak!” panggil Rama sambil menggulung celananya hingga ke lutut.

Javar melompat turun ke air dangkal yang jernih. Kakinya merasakan arus kecil yang mengalir melewati sela-sela batu sungai. Tanpa ragu, ia ikut membantu menangkap ikan kecil yang berenang di antara batu-batu licin.

Suta, yang sedari tadi mengamati Javar, mendengus pelan. “Eh, kamu itu katanya mau ke kota, ya?”

Javar mengangkat kepalanya, lalu tersenyum lebar. “Iya! Nanti kalau aku udah besar, aku bakal merantau ke kota. Aku bakal kerja di gedung tinggi, naik mobil, pakai baju rapi, terus bisa kirim uang buat Bapak sama Ibu!”

Rama tertawa kecil, tapi ada sedikit rasa iri di dalam hatinya. “Kota itu kayak apa sih, Var? Kamu kan belum pernah ke sana.”

Javar mengangkat bahunya. “Nggak tahu, tapi aku sering dengar cerita dari Pak Udin. Katanya di sana ada lampu-lampu yang nyala terus meskipun malam. Jalannya lebar, mobil-mobil banyak. Terus, sekolah di sana lebih bagus, banyak buku, banyak ilmu!”

Suta mendengus. “Tapi di kota nggak ada sawah, nggak ada sungai kayak gini.”

Javar menunduk sebentar, lalu menatap sungai yang mengalir di bawah kakinya. Ia suka bermain di sini. Ia suka bau tanah sawah setelah hujan, suara jangkrik yang ramai di malam hari, bahkan suara ayam berkokok yang selalu membangunkannya di pagi buta. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa seperti panggilan dari jauh—sebuah tempat yang belum pernah ia lihat, namun sudah ia impikan sejak lama.

“Aku tetap mau ke kota,” katanya akhirnya. “Aku pengen lihat dunia lebih luas.”

Di rumah, Javar duduk di depan lampu minyak, membaca buku yang sudah mulai lusuh. Ia mendapatkannya dari Pak Rendra, guru sekolahnya yang tahu betapa besar semangatnya untuk belajar. Javar membaca setiap kata dengan penuh perhatian, membayangkan bagaimana hidup di luar desanya.

Sementara itu, ibunya duduk di samping, merapikan pakaian yang sudah dilipat. Ia sesekali melirik anaknya yang begitu serius membaca.

“Kamu benar-benar mau ke kota nanti, Var?” tanyanya pelan.

Javar mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. “Iya, Bu.”

Ibunya diam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Kota itu nggak gampang, Nak. Ibumu dulu pernah ke kota sebentar waktu muda. Banyak orang yang datang dengan harapan besar, tapi nggak semuanya berhasil. Ada yang malah pulang dengan tangan kosong.”

Javar menutup bukunya dan menatap ibunya. “Tapi ada juga yang berhasil, kan? Aku mau jadi salah satu dari mereka, Bu. Aku mau buktikan kalau anak desa juga bisa sukses.”

Sang ibu tersenyum kecil, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia mengulurkan tangannya, mengusap rambut anaknya yang mulai panjang. “Kalau itu memang mimpimu, kamu harus siap buat kerja keras. Kota nggak seperti desa ini, Var. Kamu nggak bisa cuma berlari-lari di pematang dan tertawa-tawa.”

Javar mengangguk mantap. “Aku siap, Bu.”

Sang ibu tidak menjawab lagi. Dalam hatinya, ia tahu, suatu hari nanti anak laki-lakinya yang kecil ini akan benar-benar pergi meninggalkan desa ini, mengejar mimpinya yang sudah ia tanam sejak kecil.

Di luar, suara jangkrik mulai memenuhi malam. Langit yang tadi biru kini sudah berubah hitam pekat, dengan bintang-bintang bertaburan di atasnya.

Dan di bawah langit luas itu, ada seorang anak desa yang menatapnya dengan mata penuh harapan.

 

Jalan Panjang ke Kota

Fajar baru saja menyingsing ketika Javar berdiri di depan rumahnya, mengenakan baju paling rapi yang ia punya—kemeja polos yang sedikit kebesaran dan celana kain yang diwariskan dari kakak sepupunya. Sebuah tas lusuh tergantung di punggungnya, berisi beberapa potong pakaian, buku catatan, dan sepasang sandal cadangan.

Ibunya sibuk memasukkan beberapa bungkus nasi dan lauk ke dalam plastik kecil. Ayahnya duduk di kursi bambu, menggenggam rokok yang sudah padam sejak tadi. Wajahnya keras, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran bangga, cemas, dan sedih.

“Kamu yakin nggak mau aku antar sampai terminal?” tanya ayahnya akhirnya.

Javar menggeleng. “Nggak usah, Pak. Aku udah besar, aku bisa sendiri.”

Ibunya menatap anaknya lekat-lekat, lalu menarik napas panjang. “Jaga diri di sana, Var. Jangan lupa makan, jangan gampang percaya sama orang. Kalau ada apa-apa, pulang aja.”

Javar tersenyum kecil. “Aku nggak bakal pulang sebelum sukses, Bu.”

Sang ibu menahan napas, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menarik Javar ke dalam pelukan erat, sebelum akhirnya melepaskannya dengan berat hati.

Javar berbalik, melangkah meninggalkan rumahnya yang sederhana. Setiap langkah terasa semakin berat, tapi semangatnya lebih kuat dari itu semua. Di pinggir jalan, sebuah bus tua dengan cat yang mulai pudar sudah menunggu. Para penumpang naik satu per satu, membawa barang bawaan mereka dengan ekspresi yang beragam—ada yang riang, ada yang muram, ada pula yang hanya diam.

Javar naik, membayar ongkos dengan uang yang sudah ia siapkan sejak lama. Ia duduk di dekat jendela, mengamati desanya yang perlahan mulai menjauh saat bus mulai bergerak. Sawah hijau yang luas, jalanan tanah yang berdebu, sungai kecil tempat ia biasa bermain—semuanya kini tampak seperti gambar yang mulai memudar.

Di belakangnya, seorang pria paruh baya menyapa dengan suara serak. “Mau ke kota, Nak?”

Javar menoleh, lalu mengangguk. “Iya, Pak.”

Pria itu terkekeh. “Banyak anak muda dari desa pergi ke kota. Ada yang berhasil, ada yang hilang entah ke mana.”

Javar menggenggam tasnya erat. “Aku bakal berhasil, Pak.”

Pria itu menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Semoga.”

Begitu bus tiba di terminal kota, Javar segera turun. Hiruk-pikuk langsung menyambutnya—klakson kendaraan yang bersahutan, orang-orang berjalan cepat, pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka. Udara di sini lebih panas, lebih sesak, lebih bising dari yang pernah ia bayangkan.

Ia menyesuaikan tasnya di punggung, lalu melangkah ke arah yang telah ia rencanakan. Sebelum pergi, ia sudah berbicara dengan Pak Rendra, gurunya, yang memberinya alamat sebuah tempat kos murah yang bisa ia tinggali sementara.

Jalanan kota lebih sulit dinavigasi dibandingkan jalan tanah di desanya. Ia hampir tertabrak motor saat menyeberang, membuat seorang pengendara mengumpat kesal. Javar hanya bisa menunduk dan buru-buru melangkah pergi.

Sesampainya di tempat kos, seorang wanita tua pemilik kos menyambutnya dengan tatapan tajam. “Kamar yang murah di lantai atas, nggak ada kipas, nggak ada air panas. Bisa bayar tiap minggu. Kalau telat, langsung keluar.”

Javar mengangguk cepat. Ia sudah tahu, di kota ini, tidak ada yang gratis.

Setelah membayar uang muka dengan tabungan yang ia bawa dari desa, ia masuk ke kamar kecilnya—hanya ada kasur tipis di lantai dan meja kecil di pojok. Dindingnya penuh coretan, jendela kayunya sudah sedikit lapuk. Tapi ini cukup. Setidaknya, ia punya tempat untuk tidur malam ini.

Ia duduk di atas kasur, membuka plastik berisi nasi bungkus dari ibunya. Aromanya masih hangat, mengingatkannya pada rumah. Ia menggigit suapan pertama, tapi tiba-tiba matanya terasa panas.

Ia menunduk, menggigit bibirnya sendiri. Tidak. Ia tidak boleh menangis. Ia sudah jauh-jauh datang ke sini, ia harus bertahan.

Javar menutup nasi bungkusnya kembali.

Besok, ia harus mulai mencari kerja.

Besok, ia harus membuktikan bahwa ia bisa.

 

Kota yang Tak Ramah

Pagi pertama di kota dimulai dengan suara klakson yang terus-menerus membahana di luar jendela kos Javar. Ia terbangun dengan mata yang masih berat, tapi semangatnya lebih besar daripada kantuknya. Hari ini, ia harus mulai mencari pekerjaan.

Dengan baju paling rapi yang ia punya—kemeja yang sama seperti kemarin—ia keluar dari kamar kos dengan langkah tegap. Di kantong celananya, ada beberapa lembar uang hasil tabungan bertahun-tahun di desa. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi cukup untuk makan beberapa hari ke depan.

Di pinggir jalan, Javar berdiri menunggu angkot, mengamati orang-orang yang bergerak dengan ritme cepat. Kota ini tidak punya waktu untuk orang yang lambat. Semua orang berjalan tergesa-gesa, wajah mereka penuh tujuan.

Saat sebuah angkot berhenti, Javar buru-buru naik. “Ke pusat kota, Bang,” ucapnya sambil menyerahkan uang pas.

Supirnya hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Javar duduk di pojok, mendengarkan percakapan dua penumpang di seberangnya—dua pemuda yang tampaknya sudah lebih lama tinggal di kota.

“Kerjaan makin susah sekarang,” kata yang satu.

“Iya, apalagi kalau nggak punya koneksi. Bisa mati kelaparan,” sahut yang lain sambil terkekeh.

Javar menelan ludah. Ia tidak punya koneksi. Yang ia punya hanyalah tekad.

Sepanjang hari itu, Javar berkeliling kota, mencari pekerjaan. Ia memasuki beberapa warung makan, bertanya apakah mereka butuh pekerja tambahan.

“Kami udah penuh, Dek.”

“Belum ada lowongan, coba bulan depan.”

“Ada, tapi kerja dari jam lima pagi sampai tengah malam, gaji kecil, makan tanggung sendiri.”

Javar terus mencoba. Ia pergi ke toko-toko kecil, minimarket, bahkan sempat melamar jadi kuli di pasar. Namun, jawabannya tetap sama—tidak ada tempat untuk seorang anak desa yang baru tiba di kota tanpa pengalaman.

Siang hari, ia duduk di bawah pohon di pinggir jalan, membuka nasi bungkus terakhir yang dibawanya dari desa. Ia makan pelan-pelan, menatap jalanan yang ramai.

Seorang anak kecil tiba-tiba berdiri di depannya, menatap makanannya dengan mata yang penuh harap. Bajunya lusuh, kakinya kotor.

Javar menghela napas. Ia tahu betul rasanya lapar. Tanpa berpikir panjang, ia membagi separuh nasinya untuk anak itu.

“Terima kasih, Kak!” Anak itu tersenyum lebar sebelum berlari pergi.

Javar menatap nasi yang tersisa di tangannya. Besok, ia tidak akan punya bekal lagi.

Tapi ia tidak menyesal.

Menjelang sore, Javar kembali ke tempat kos dengan langkah lelah. Perutnya kosong, kakinya pegal, dan pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran.

Di depan kos, Bu Darmi, pemilik kosnya, sedang duduk di bangku kayu sambil menghisap rokok. “Gimana, udah dapet kerja?” tanyanya tanpa menoleh.

Javar menggeleng. “Belum, Bu.”

Bu Darmi mendengus pelan. “Di kota ini, orang yang lemah nggak akan bertahan. Kalau nggak kuat, mending balik aja ke desa.”

Javar mengepalkan tangannya. “Saya nggak akan pulang sebelum sukses.”

Bu Darmi menatapnya sekilas, lalu menghembuskan asap rokoknya. “Ya, kita lihat aja nanti.”

Malam itu, Javar duduk di kamar gelapnya, hanya diterangi lampu redup dari luar jendela. Ia menatap ponselnya—sinyal lemah, baterai tinggal separuh.

Ia membuka pesan terakhir dari ibunya.

“Jangan lupa makan. Kalau capek, istirahat. Kalau sulit, pulang aja, Nak.”

Javar menutup matanya, menarik napas dalam-dalam.

Tidak. Ia tidak akan pulang.

Ia datang ke kota ini bukan untuk menyerah. Besok, ia akan mencoba lagi. Bagaimanapun caranya.

 

Langkah yang Tak Akan Berhenti

Javar bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum muncul sepenuhnya, tapi pikirannya sudah penuh dengan rencana. Hari ini harus berbeda. Hari ini, ia harus menemukan jalan.

Dengan sisa uang terakhir di kantongnya, ia membeli sepotong roti di warung dekat kos. Sambil berjalan, ia menggigit rotinya perlahan, memastikan bisa bertahan sampai nanti.

Tujuan pertamanya adalah sebuah proyek bangunan yang kemarin ia lihat di pusat kota. Ia tahu, pekerjaan kasar mungkin bukan impiannya, tapi ia tidak dalam posisi untuk memilih.

Saat sampai di lokasi, ia langsung menghampiri mandor yang sedang mengawasi pekerja. “Pak, saya mau kerja. Kuli juga nggak apa-apa.”

Mandor itu menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Pernah kerja di proyek?”

Javar menggeleng.

Mandor itu mendecakkan lidah. “Kerja di sini berat. Kalau nggak kuat, jangan banyak ngeluh.”

Javar mengangguk tegas. “Saya siap kerja keras, Pak.”

Dan begitu saja, ia mendapat pekerjaan pertamanya di kota.

Sejak pagi, Javar mengangkut semen, mengaduk pasir, dan memindahkan bata tanpa henti. Tubuhnya yang belum terbiasa mulai terasa nyeri, tapi ia terus bekerja.

Saat istirahat siang, seorang pekerja tua duduk di sebelahnya, menyodorkan sebotol air. “Kamu baru di kota, ya?”

Javar menerima botol itu dengan senyum tipis. “Iya, Pak.”

“Merantau sendirian?”

Javar mengangguk.

Laki-laki tua itu tertawa kecil. “Dulu saya juga gitu. Datang ke kota dengan harapan besar. Tapi kota ini nggak pernah mudah buat orang seperti kita.”

Javar menatapnya, mendengarkan setiap kata.

“Tapi yang bisa bertahan, akhirnya bakal nemu jalannya sendiri,” lanjut pria itu. “Kamu kuat, Nak. Terus aja jalan.”

Javar mengeratkan genggamannya di botol air itu. Kata-kata pria itu terasa seperti dorongan yang ia butuhkan.

Hari berlalu, minggu berganti. Javar tetap bekerja di proyek itu, sedikit demi sedikit mengumpulkan uang. Setiap malam, meski tubuhnya lelah, ia belajar dari orang-orang di sekitarnya. Ia mulai memahami cara kerja bangunan, mulai belajar menggambar denah, bahkan mulai bertanya tentang material.

Suatu hari, mandornya memanggilnya setelah jam kerja. “Javar, besok kamu ikut saya ke kantor. Ada yang mau saya tunjukin.”

Javar mengangguk, meski hatinya bertanya-tanya.

Keesokan harinya, di kantor proyek, mandor itu memberikan sebuah buku tebal. “Ini dasar-dasar teknik sipil. Kalau kamu mau lebih dari sekadar kuli, kamu harus belajar.”

Javar menatap buku itu dengan mata berbinar. Ia tidak pernah membayangkan seseorang akan percaya padanya sejauh ini.

“Saya nggak punya ijazah tinggi, Pak,” katanya pelan.

Mandor itu tersenyum kecil. “Tapi kamu punya kemauan. Itu lebih penting.”

Bertahun-tahun kemudian, Javar bukan lagi kuli. Ia bekerja sebagai pengawas proyek, bahkan mulai mengelola pembangunan kecil-kecilan. Hidupnya tidak lagi sesulit dulu, tapi ia tidak pernah melupakan hari-hari pertama di kota.

Suatu sore, ia duduk di bangku taman, menatap jalanan yang dulu terasa asing. Ponselnya bergetar—sebuah pesan dari ibunya.

“Jadi kapan pulang, Nak?”

Javar tersenyum. Kali ini, ia pulang bukan sebagai anak desa yang bermimpi, tapi sebagai seseorang yang sudah mewujudkan mimpinya.

Dan perjalanannya belum berakhir. Karena bagi Javar, selama ia masih berjalan, mimpi itu akan selalu hidup.

 

Hidup di kota bukan akhir dari perjalanan Javar. Dia sadar, mimpi itu nggak ada batasnya, dan selama dia masih bisa melangkah, dia nggak bakal berhenti. Dari bocah desa yang dulu cuma bisa menatap langit penuh harapan, sampai sekarang berdiri sebagai seseorang yang akhirnya berhasil membuktikan kalau mimpi itu bisa jadi nyata.

Tapi buat kamu yang lagi berjuang, inget satu hal—semua orang punya titik mulainya sendiri. Kamu boleh capek, kamu boleh nangis, tapi jangan pernah berhenti. Karena siapa tahu, besok atau lusa, kamu yang bakal ngerasain kemenangan yang selama ini kamu impikan.

Leave a Reply