Mimpi Liburan ke Pantai Bersama Keluarga yang Tak Pernah Jadi Nyata

Posted on

Pernah gak sih ngerasa tinggal serumah sama keluarga, tapi rasanya kayak tinggal bareng orang asing? Kayak makan bareng, tapi gak ada yang ngobrol. Pulang ke rumah, tapi gak ngerasa pulang. Nah, cerpen ini tentang itu.

Tentang seseorang yang cuma bisa menghayal punya keluarga yang utuh, cuma bisa mimpi bisa liburan ke pantai bareng ayah dan ibu. Tapi ya, namanya juga mimpi. Kenyataannya? Beda banget. Siap-siap aja kalau cerpen ini bakal bikin kamu mikir dan… mungkin aja nyesek.

 

Mimpi Liburan ke Pantai Bersama Keluarga yang Tak Pernah Jadi Nyata

Rumah Tanpa Suara

Langit di luar masih gelap ketika suara alarm berdering nyaring di salah satu kamar di sudut rumah itu. Bunyi yang menusuk telinga, namun tidak ada seorang pun yang mengetuk pintu dan menyuruhnya untuk segera bangun. Tidak ada suara langkah kaki terburu-buru atau suara ibu yang memanggil namanya dari dapur, mengingatkan bahwa sarapan sudah siap. Tidak ada suara ayah yang sibuk mencari dasi atau jam tangan, mengeluh bahwa ia hampir terlambat ke kantor.

Rumah itu sunyi.

Pemuda itu membuka mata perlahan. Kedua bola matanya kosong, seperti masih tersesat di dunia yang baru saja ia tinggalkan—sebuah dunia di mana keluarganya tidak sekadar berbagi atap, tetapi juga berbagi tawa.

Tangannya meraba ponsel di meja samping tempat tidur, mematikan alarm tanpa melihat layar. Sekilas, ia mendengar suara pintu kamar utama terbuka, lalu tertutup lagi. Itu pasti ayahnya. Seperti biasa, pria itu akan keluar rumah sebelum fajar, pergi bekerja tanpa sepatah kata pun. Tidak ada ucapan selamat pagi. Tidak ada pertanyaan apakah anaknya sudah bangun atau belum.

Sejenak, pemuda itu tetap berbaring, menatap langit-langit kamar yang mulai terlihat lebih jelas seiring bertambahnya cahaya pagi. Ia tidak terburu-buru untuk bangun. Tidak ada yang menunggunya.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya ia menyeret tubuhnya ke luar kamar, menuju dapur yang dingin dan sepi. Tidak ada aroma masakan. Tidak ada sarapan di meja. Yang ada hanya roti tawar kering yang dibiarkan terbuka sejak entah kapan.

Saat sedang mengunyah potongan roti itu tanpa selera, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Ibunya duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel. Jemarinya bergerak lincah, sesekali mengerutkan kening, lalu tersenyum kecil seolah sedang membaca sesuatu yang menarik.

Pemuda itu memperhatikan wanita itu sejenak. Mereka tinggal di rumah yang sama, tapi rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berbicara lebih dari dua kalimat dalam sehari.

Ia menelan sisa roti di mulutnya sebelum akhirnya bersuara.
“Ibu nggak masak?” tanyanya, suaranya datar.

Ibunya menoleh sekilas, ekspresinya tidak berubah. “Beli aja di luar.”

Jawaban yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Pemuda itu tidak terkejut. Ia hanya mengangguk pelan, meletakkan piring kosong di bak cuci piring sebelum berbalik ke kamarnya. Namun, sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu, ibunya kembali bersuara.

“Ayahmu pulang malam nanti.”

Pemuda itu berhenti sejenak. Lalu, tanpa menoleh, ia hanya menjawab, “Oke.”

Itu saja. Itu satu-satunya percakapan mereka pagi ini.

Siang hari, rumah tetap sepi. Tidak ada suara televisi yang menyala, tidak ada obrolan, tidak ada langkah kaki yang berlarian. Hanya ada suara detak jam dinding yang terasa semakin menusuk telinga.

Pemuda itu menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan membaca buku yang bahkan tidak begitu menarik baginya.

Namun, meskipun matanya menyusuri kata demi kata, pikirannya justru melayang ke tempat lain. Ke pantai yang hanya ada dalam mimpinya.

Di sana, pasirnya putih, lautnya biru jernih, anginnya sejuk. Di sana, ia melihat ayah dan ibunya berdiri di sampingnya, tersenyum kepadanya. Tidak ada jarak di antara mereka. Tidak ada kebisuan yang menyiksa. Mereka berbicara, tertawa, bermain bersama.

Saat ombak datang, ia berlari, dan ayahnya mengejar dari belakang. Ibunya berteriak mengingatkan mereka agar tidak terlalu jauh ke tengah.

Sebuah keluarga yang sempurna. Sebuah kebahagiaan yang terasa begitu nyata, meskipun hanya ada di dalam kepala.

Lalu, tiba-tiba, suara ponsel bergetar di dekatnya, menariknya kembali ke kenyataan.

Ia menghela napas panjang, menutup bukunya dengan perlahan.

Hari ini, sama seperti kemarin. Sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sama seperti esok yang akan datang.

Namun, malam nanti, ketika ia kembali memejamkan mata, ia akan kembali ke tempat yang lebih baik.

Ke dunia di mana keluarganya masih utuh.

 

Mimpi yang Lebih Nyata dari Hidup

Angin malam berembus pelan dari jendela yang sedikit terbuka. Lampu kamar sudah dipadamkan, hanya tersisa cahaya redup dari luar yang masuk melalui celah tirai. Di atas tempat tidurnya, pemuda itu berbaring diam, matanya menatap langit-langit.

Ia tidak ingin terjaga lebih lama. Semakin lama ia terjaga, semakin lama pula ia terjebak di dalam dunia yang kosong ini.

Jadi, ia memejamkan mata.

Perlahan, suara detak jam dinding menghilang. Kedinginan yang menusuk dari lantai kamar berganti dengan kehangatan pasir di bawah kakinya. Udara yang hampa berubah menjadi angin laut yang sejuk, membawa aroma asin yang menenangkan.

Ia membuka mata.

Dan di sanalah ia berada—pantai yang selalu menjadi tempatnya kembali.

Langit jingga keemasan, ombak berkejaran menuju bibir pantai, dan di tepi air, ia melihat dua sosok yang berdiri membelakanginya.

“Ayo sini, jangan diam aja,” suara ayahnya terdengar ringan, hampir seperti tawa.

Ia melangkah mendekat, merasa hatinya menghangat hanya karena mendengar suara itu.

“Kamu nggak mau berenang?” tanya ibunya sambil menoleh. Rambutnya yang panjang ditiup angin, dan senyumnya—senyum yang sudah lama tidak ia lihat di dunia nyata—terpampang begitu jelas.

Ia ingin menjawab. Ingin mengatakan bahwa ia bisa berdiri di sini selamanya jika itu berarti ia bisa merasakan kehangatan ini. Tapi, kata-kata itu tidak keluar. Ia hanya mengangguk kecil sebelum berlari ke arah laut, merasakan air dingin menyentuh kakinya.

Ayahnya menyusul, menggulung celana hingga lutut lalu menyibakkan air ke arahnya. Ia tertawa, balas menyibak air ke tubuh pria itu.

“Dek, kamu nggak boleh nakal sama ayah,” ujar ibunya sambil pura-pura menegur.

“Dia mulai duluan!” protesnya dengan nada bercanda.

Ayahnya tertawa, suara itu terdengar penuh kehidupan—tidak seperti di dunia nyata, di mana suara itu jarang terdengar, bahkan untuk sekadar menjawab satu pertanyaan sederhana.

Mereka menghabiskan waktu di pantai itu, seperti keluarga pada umumnya. Seperti seharusnya.

Saat malam tiba di dalam mimpinya, mereka duduk di atas pasir, memandangi langit yang bertabur bintang. Ibu bersandar pada bahu ayah, sedangkan ia duduk dengan kaki terlipat, memainkan pasir dengan jemarinya.

“Kalau dunia nyata bisa seperti ini,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Ibunya menoleh. “Maksud kamu?”

Ia menggeleng. “Nggak apa-apa.”

Ayahnya tersenyum, menatap laut yang tenang. “Kamu suka tempat ini?”

Ia mengangguk. “Sangat suka.”

“Sama,” ujar ibunya, mengeratkan genggamannya pada tangan ayah. “Kalau bisa, aku ingin kita selalu di sini.”

Ia menatap ibunya, sedikit terkejut. Kata-kata itu—pernahkah wanita itu mengatakannya di dunia nyata? Pernahkah ia mengungkapkan keinginannya untuk tetap bersama keluarga?

Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara aneh mulai terdengar. Samar, pelan, seperti sesuatu yang tidak seharusnya ada di tempat ini.

Suara dering.

Tidak, tidak mungkin.

Ia menoleh, dan semuanya mulai bergetar. Langit yang tadinya tenang menjadi kabur, ombak mulai memudar, suara tawa orang tuanya terdengar semakin jauh.

Tidak!

Ia ingin tetap tinggal. Tidak ingin kembali.

Namun, semakin ia berusaha bertahan, semakin dunia itu menghilang.

Sampai akhirnya, yang tersisa hanyalah kegelapan.

Ia terbangun dengan napas tersengal. Matanya menyapu kamar yang gelap, hanya cahaya kecil dari layar ponsel di meja yang menyala.

Panggilan masuk.

Dengan tangan gemetar, ia meraihnya, menatap nama yang tertera di layar. Ayah.

Jantungnya berdegup lebih cepat. Kenapa ayah menelepon? Sudah berapa lama sejak terakhir kali pria itu meneleponnya lebih dulu?

Dengan ragu, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.

“Halo?” suaranya masih bergetar sedikit.

“Aku nggak bisa pulang malam ini,” suara ayahnya terdengar datar, tanpa emosi. “Ada urusan kerja.”

Sejenak, ia terdiam.

Seharusnya ia tidak terkejut. Seharusnya ia tidak berharap.

“…Oke,” jawabnya akhirnya, sebelum panggilan itu berakhir begitu saja.

Ia menurunkan ponsel dari telinga, menatap layar yang kembali gelap.

Rumah tetap sunyi.

Ia menarik napas panjang, lalu kembali berbaring.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidak ingin tidur. Karena ia tahu, sekeras apa pun ia mencoba kembali, pantai itu sudah menghilang.

 

Ombak yang Tidak Pernah Sampai ke Daratan

Malam terus merayap dalam kesunyian yang menusuk. Udara di kamar terasa lebih dingin dari biasanya, seperti ada sesuatu yang menghilang—sesuatu yang tak bisa ia sentuh, tapi ia tahu keberadaannya. Ponsel di sampingnya masih tergeletak dengan layar hitam, panggilan terakhir dari ayahnya sudah tak lagi tersimpan di riwayat karena begitu singkat dan tidak berarti.

Ia menutup matanya. Mencoba tidur. Mencoba kembali ke pantai itu.

Tapi, malam ini berbeda. Tidak ada deburan ombak yang menyambut. Tidak ada pasir yang menghangatkan. Tidak ada suara tawa yang menggema.

Hanya gelap.

Dan dalam kegelapan itu, samar-samar terdengar suara ibu.

“Kamu nggak bosan hidup kayak gini?”

Ia menahan napas. Itu suara yang sangat ia kenal, tapi entah kenapa terdengar jauh, seakan datang dari tempat yang tak bisa ia jangkau.

“Kita ini keluarga. Kenapa kita nggak bisa ngobrol tanpa merasa asing?”

Lalu, suara ayah menyahut, dingin dan datar seperti biasanya. “Apa gunanya ngobrol kalau ujungnya sama saja?”

Hatinya mencelos. Tidak. Ia tidak ingin mendengar ini. Tidak di sini. Tidak di dalam kepalanya.

Namun suara itu terus berlanjut.

“Apa yang kamu maksud ‘sama saja’?”

“Hidup kita. Rumah ini. Kita semua. Nggak ada yang benar-benar ada di sini, kan?”

Dada pemuda itu terasa sesak. Ia ingin berteriak, ingin menutup telinga, tapi suara itu terus mengalir seperti ombak yang menghantam karang—berulang-ulang, menyakitkan, dan tak bisa dihentikan.

“Kamu masih cinta aku?”

Kali ini, ayah tidak langsung menjawab. Ada jeda panjang, seakan pria itu mempertimbangkan jawabannya dengan sangat hati-hati.

Dan akhirnya, jawaban itu keluar.

“Aku nggak tahu.”

Detik itu juga, semuanya runtuh.

Ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Kamar masih gelap. Sepi. Sama seperti sebelumnya.

Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Hening yang terasa lebih menusuk.

Dan entah kenapa, ia merasa seakan sesuatu sudah hilang untuk selamanya.

Esok harinya, suasana rumah tetap sama seperti biasa—atau setidaknya, tetap seperti rumah yang tidak seharusnya disebut ‘rumah.’

Ayah pergi lebih awal tanpa sepatah kata pun. Ibu menghabiskan paginya di meja makan, sibuk dengan layar laptop, seolah tak ada yang perlu dibicarakan.

Ia duduk di hadapan ibunya, mengaduk-aduk sarapannya yang sejak tadi tidak disentuh.

“Ibu…”

Wanita itu menoleh sekilas. “Hm?”

Ia ragu sejenak, tapi akhirnya bertanya juga. “Aku denger Ibu sama Ayah ngobrol tadi malam…”

Jemari ibunya yang sedang mengetik tiba-tiba berhenti. Ada jeda hening yang membuat suasana makin berat.

“Kamu denger apa?” tanyanya, suaranya terdengar hati-hati.

Ia menelan ludah. “Cuma… obrolan biasa.”

Ibu menatapnya cukup lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Obrolan biasa ya?” katanya pelan, hampir seperti bergumam pada dirinya sendiri.

Mereka kembali terdiam.

Dan di saat itulah, ia menyadari sesuatu.

Tidak ada suara gelas yang diletakkan di meja. Tidak ada bunyi kursi yang digeser.

Pagi ini, mereka bahkan tidak saling menyapa.

Ia memandangi ibunya, mencoba mengingat kapan terakhir kali wanita itu benar-benar tersenyum. Bukan senyum kecil yang dipaksakan, bukan senyum lelah yang hanya muncul sekilas sebelum menghilang.

Senyum yang benar-benar tulus.

Dan semakin ia mencoba mengingat, semakin ia sadar… sudah terlalu lama sejak itu terjadi.

Ia berpikir untuk mengatakan sesuatu, apa saja. Tapi, saat bibirnya terbuka, ibu sudah berdiri lebih dulu.

“Aku harus kerja,” ucapnya singkat sebelum berjalan pergi.

Dan sekali lagi, ia dibiarkan sendirian.

Malamnya, ia mencoba tidur lebih awal.

Tidak ada harapan besar kali ini. Tidak ada keinginan untuk kembali ke pantai.

Tapi begitu matanya terpejam, dunia yang lain mulai mengambil alih.

Namun, itu bukan pantai.

Melainkan ruang tamu rumahnya sendiri.

Ia berdiri di sana, sendirian, melihat ke arah ruang makan yang kosong. Kursi-kursi tertata rapi, meja bersih tanpa noda.

Tidak ada sisa makan malam.

Tidak ada tawa.

Tidak ada apa pun yang menunjukkan bahwa tempat ini pernah menjadi bagian dari sebuah keluarga.

Ia berjalan ke dapur, berharap menemukan sesuatu—apa saja yang bisa membuat tempat ini terasa hidup. Tapi, saat ia melewati cermin di lorong, langkahnya terhenti.

Karena di sana, di balik pantulan cermin, ada dirinya sendiri.

Berdiri sendirian.

Tanpa bayangan orang tua di belakangnya.

Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu yang lebih menyakitkan daripada kesepian.

Ia sudah terbiasa dengan itu.

 

Pantai yang Tidak Pernah Ada

Langit mendung menggantung rendah di atas rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah. Hujan turun perlahan, seakan-akan enggan membasahi bumi sepenuhnya. Di dalam kamar, seorang pemuda duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya yang hening. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan dari ayah. Tidak ada panggilan dari ibu.

Tidak ada siapa-siapa.

Ia mencoba mengabaikan rasa kosong yang makin menekan dadanya. Lalu, ia menarik napas panjang dan memejamkan mata.

Jika dunia nyata begitu hampa, mungkin dunia mimpinya masih bisa memberinya sedikit harapan.


Angin laut menerpa wajahnya. Hangat. Menenangkan. Pasir putih terasa lembut di bawah kakinya. Ombak berkejaran dengan riang, pecah di bibir pantai sebelum kembali ke lautan luas.

Ia berdiri di sana, memandangi cakrawala, lalu menoleh.

Ayah dan ibu duduk di atas tikar pantai, menikmati es kelapa sambil mengobrol. Bukan sekadar berbicara, tapi benar-benar mengobrol. Saling menatap, saling tersenyum.

Ia melihat dirinya sendiri, berlari menghampiri mereka dengan penuh semangat, melempar lelucon bodoh yang membuat mereka tertawa. Bukan tawa yang dipaksakan, bukan tawa hampa—tapi tawa yang sesungguhnya.

“Ayah, ayo berenang!”

Sosok itu—dirinya dalam mimpi—menarik tangan ayah, membuat pria itu terkekeh sebelum akhirnya mengalah. Ibu ikut berdiri, melepas sandal dan berlari kecil ke arah air.

Dan di sana, untuk pertama kalinya, mereka benar-benar seperti keluarga.

Mereka bercanda, bermain air, saling menyiram satu sama lain dengan tawa yang menggema di sepanjang pantai. Tidak ada dingin, tidak ada jarak, tidak ada kesepian yang membekukan hati mereka.

Hanya kebahagiaan.

Hanya… mimpi.


Saat ia membuka mata, kamar itu masih sama. Dingin, sunyi, gelap.

Tidak ada suara tawa.

Tidak ada pasir di bawah kakinya.

Tidak ada ayah dan ibu yang tersenyum.

Hanya dirinya, duduk di tempat tidur, ditemani oleh realitas yang tak pernah bisa ia hindari.

Di luar, suara hujan semakin deras.

Ia menghela napas panjang, merasakan sesak yang menggumpal di dadanya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sekilas, ada harapan kecil yang melintas di pikirannya.

Tapi saat ia melihat layar, harapan itu langsung padam.

Bukan pesan dari ayah.

Bukan telepon dari ibu.

Hanya notifikasi tak penting dari media sosial.

Ia tersenyum kecil, pahit.

Tentu saja.

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela, menatap tetesan hujan yang berjatuhan di kaca.

Dulu, ia berpikir bahwa suatu hari mereka akan berubah. Bahwa suatu hari mereka akan sadar, saling mencari, saling memperbaiki. Bahwa akan ada satu momen di mana keluarga ini kembali menjadi utuh, di mana kehangatan yang dulu hanya ada di dalam mimpinya akan menjadi nyata.

Tapi kini ia tahu—mimpi itu tak lebih dari sekadar ombak yang tak pernah sampai ke daratan.

Mereka semua satu atap, tapi tetap saja asing.

Dan tidak peduli seberapa keras ia berharap, tidak peduli seberapa dalam ia menginginkannya…

Pantai itu tidak pernah ada.

Dan tidak akan pernah ada.

 

Kadang, yang paling nyakitin itu bukan perpisahan, tapi ada di dekat seseorang tapi ngerasa jauh banget. Kadang, yang paling bikin sakit bukan karena gak punya, tapi karena udah pernah punya, terus hilang.

Dan kadang, yang paling bikin sesak itu bukan karena gak bisa liburan ke pantai, tapi karena sadar… pantai itu gak pernah ada dan gak akan pernah ada. Jadi, gimana? Masih mau percaya kalau keluarga itu selalu tentang kebersamaan? Atau justru sadar kalau kadang… keluarga cuma status di kartu keluarga?

Leave a Reply