Daftar Isi
Kamu pernah ngerasa ribet sama mertua yang super ngotot, apalagi soal masak-memasak? Nah, di cerpen ini, kita bakal ngeliat gimana serunya Rania berhadapan dengan mertuanya yang super picky, Ny. Ratna. Siap-siap ketawa ngakak dan ngerasa relatable, deh!
Mertua dan Menantu
Menantu Anti Dapur, Mertua Anti Menantu
Hari itu, udara di rumah Ny. Ratna terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena kehadiran seorang perempuan yang sejak awal sudah masuk daftar hitam mertua galak se-Indonesia—menantunya sendiri, Rania.
Ny. Ratna masih sibuk di dapur, memotong sayur dengan kecepatan seorang juru masak profesional. Bara, putranya, duduk di ruang tamu dengan wajah cemas. Ia tahu, perang dingin akan segera dimulai.
“Rania datang,” gumamnya lirih saat mendengar suara langkah heels berbunyi di lantai marmer.
“Assalamu’alaikum!” suara ceria khas Rania menggema.
Ny. Ratna hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus ke pisau dan talenan. “Wa’alaikumsalam,” jawabnya datar.
Rania, dengan santainya, duduk di sofa dan menyenderkan tubuhnya ke Bara. “Kamu kenapa, Sayang? Mukanya kaya kertas kusut gitu?” tanyanya sambil terkekeh.
Bara hanya mengusap wajahnya dengan pasrah. “Nggak kenapa-kenapa,” jawabnya pelan.
Ny. Ratna tiba-tiba muncul dari dapur dengan mangkuk penuh bawang merah. “Rania, kamu bantu kupas ini,” katanya dengan nada yang terdengar seperti perintah.
Rania menoleh, menatap mangkuk itu seakan isinya adalah ular berbisa. “Eh, Bunda… buat apa?” tanyanya polos.
“Buat bumbu dasar, mau masak sup ayam.”
Rania mengangkat alis. “Oh, sup ayam. Tapi aku kan nggak masak, Bun,” katanya santai.
Ny. Ratna mendelik. “Ya terus? Masa dari dulu sampai sekarang nggak ada niat belajar masak sama sekali?”
Rania nyengir. “Nggak, Bun. Aku tuh sibuk kerja, nggak sempet urusan dapur.”
Ny. Ratna menarik napas dalam-dalam. “Rania, perempuan itu harus bisa masak. Itu bekal rumah tangga!”
Rania hanya tersenyum. “Bun, jaman sekarang banyak restoran, catering, layanan antar makanan. Kalau lapar, tinggal pesan. Simple, kan?”
Ny. Ratna mendelik ke arah Bara. “Kamu denger sendiri, Nak? Ini istrimu, calon ibu dari anak-anakmu nanti! Gimana coba kalau dia nggak bisa masak?”
Bara tersentak, merasa dirinya mendadak jadi target. “Ee… aku… aku bisa masak sendiri, Bun,” jawabnya hati-hati.
Ny. Ratna mengelus dadanya. “Ya Allah, ini anak laki-laki satu-satunya, aku didik baik-baik, malah disuruh masak sendiri sama istrinya.”
Rania tertawa kecil. “Bun, jangan gitu dong. Aku kan bukannya nggak sayang Bara, aku cuma nggak mau buang waktu di dapur. Aku kerja, Bun. Aku juga cari duit buat keluarga.”
Ny. Ratna melipat tangan di dada. “Terus maksudmu, perempuan yang masak itu nggak bisa cari duit?”
Rania langsung mengangkat tangan. “Bukan gitu! Aku cuma lebih milih fokus di karir. Aku bukannya nggak mau urus rumah tangga, aku kan tetep ngurus, tapi ya dengan cara yang beda.”
Ny. Ratna menatapnya dengan tajam. “Jadi menurut kamu, masak itu buang waktu?”
“Kalau buat aku pribadi, iya,” jawab Rania tanpa ragu.
Bara menunduk, menyesali hidup. Kenapa harus ada di tengah situasi ini?
“Terus kalau kamu punya anak nanti, mau dikasih makan apa?” Ny. Ratna masih belum selesai.
“Kan bisa pakai asisten rumah tangga, Bun.”
Ny. Ratna menatap Bara dengan tatapan ini anak nikah sama siapa sih sebenarnya?
“Rania, dulu kamu itu anaknya cantik, tapi cegil,” lanjut Ny. Ratna. “Sekarang kamu makin cantik, tapi… ya gitu deh.”
“Ya ampun, Bunda. Aku tetep istri yang baik kok. Aku tetep sayang Bara. Aku tetep sayang Bunda juga!” Rania menangkupkan tangannya dengan manja.
Ny. Ratna mendengus. “Yaelah, gaya kamu kaya anak kecil yang lagi minta jajan. Sayang kok nggak mau belajar masak?”
“Bun, aku tuh bukan nggak bisa masak. Aku cuma nggak mau.”
Hening. Bara memejamkan mata, siap mendengar suara petir.
Ny. Ratna akhirnya menghela napas panjang. “Ya sudah lah. Kamu tuh susah dibilangin.”
“Bunda juga,” balas Rania santai sambil tersenyum.
Ny. Ratna hanya bisa geleng-geleng kepala sambil kembali ke dapur.
Bara menghembuskan napas lega. Setidaknya, hari ini selesai tanpa ada yang banting panci.
Tapi ia tahu, ini belum selesai.
Perang Bumbu Dan Prinsip Hidup
Sehari setelah perdebatan kecil di rumah Ny. Ratna, suasana kembali memanas. Seperti biasa, setiap kali Rania datang berkunjung, akan selalu ada misi terselubung dari sang mertua.
Pagi itu, Ny. Ratna sudah siap di dapur dengan persenjataan lengkap—pisau, ulekan, dan wajan yang siap bertempur. Di meja dapur, berbagai bahan masakan tertata rapi. Ada ayam mentah, bumbu dapur, dan setumpuk cabai merah yang seolah menyiratkan pertempuran pedas yang akan terjadi hari ini.
Rania datang dengan pakaian kerja yang rapi. Blazer hitam dipadukan dengan celana bahan berpotongan lurus, rambut dikuncir rapi, dan wajahnya sudah full make-up. Sama sekali nggak cocok buat yang mau ke dapur.
“Bun, aku cuma mampir sebentar, ya. Habis ini aku ada meeting,” kata Rania sambil duduk di meja makan, menyilangkan kaki dengan elegan.
Ny. Ratna menyipitkan mata. “Mampir sebentar, tapi cukup lama buat belajar masak, kan?”
Rania langsung tegak. “Bun, Bun, Bun… Kita udah bahas ini kemarin, loh,” katanya sambil tersenyum manis.
Ny. Ratna menyerahkan celemek ke Bara. “Nak, kamu bantu ibu di dapur. Siapkan bumbunya.”
Bara melongo. “Lho, aku?”
“Daripada istrimu yang nggak ada harapan, mending kamu aja sekalian belajar biar nanti nggak kelaparan,” ujar Ny. Ratna ketus.
Rania tertawa kecil. “Bunda nggak boleh gitu. Aku ini kan pekerja keras. Udah kerja dari pagi sampe malem, masa masih harus masuk dapur juga?”
“Terus aku dulu bukan pekerja keras, gitu?” Ny. Ratna langsung menatap tajam. “Dulu waktu aku seusia kamu, aku kerja, ngurus anak, masak, dan tetep bisa bikin suami betah di rumah.”
Rania meletakkan dagunya di tangan. “Ya kan itu Bunda. Aku beda. Tiap orang punya cara sendiri dalam rumah tangga.”
Ny. Ratna melipat tangan di dada. “Jadi menurut kamu, perempuan zaman dulu itu terlalu nurut sama suami?”
Rania mengangkat bahu. “Aku nggak bilang gitu, Bun. Aku cuma… lebih milih jalan yang cocok buat aku.”
Bara, yang sudah memegang ulekan, hanya bisa pasrah melihat dua perempuan terpenting dalam hidupnya bertukar serangan tanpa henti.
Ny. Ratna akhirnya berjalan ke arah meja makan, lalu meletakkan sebuah piring di hadapan Rania.
“Kalau gitu, kamu makan ini,” katanya.
Rania melihat piring itu. Nasi putih dengan ayam goreng yang sudah dipotong kecil-kecil. “Oh, ayam goreng. Kenapa?”
Ny. Ratna tersenyum penuh kemenangan. “Itu aku yang masak. Nah, kalau kamu bilang masak itu nggak penting, jangan makan ini. Jangan makan masakan yang dibuat pakai bumbu, pakai tenaga, pakai cinta.”
Bara hampir tersedak udara. Ibunya mulai pakai strategi emosional.
Rania menatap ayam goreng itu lama, lalu memandang Ny. Ratna dengan senyum geli.
“Bun,” katanya sambil menyodorkan piring itu ke Bara. “Mau aku pesenin ayam geprek dari restoran langganan aku? Gratis buat Bunda.”
Ny. Ratna terdiam. Bara memejamkan mata. Astaga, Rania makin parah.
“Rania…” suara Ny. Ratna terdengar lebih serius sekarang. “Kamu tahu nggak, kalau suami itu butuh istri yang bisa merawat rumah tangga?”
Rania mengangguk santai. “Ya, tentu aja. Aku tetap merawat rumah tangga kok, Bun. Aku kerja buat keluarga, aku tetap ada buat Bara, aku tetap pulang ke rumah.”
“Tapi kamu nggak masak,” ujar Ny. Ratna tegas.
“Aku bisa beli makanan enak tiap hari,” balas Rania cepat.
Ny. Ratna langsung berdiri dan menunjuk Bara. “Dengar tuh, Nak! Ini istrimu! Masa kamu betah makan makanan beli terus?”
Bara, yang seharusnya menjawab, malah sibuk menggiling bumbu dengan kecepatan kilat, berharap dirinya menghilang.
Rania tertawa dan menepuk bahu suaminya. “Bara tuh nggak masalah, Bun. Ya kan, Sayang?”
Bara menatap ibunya, lalu menatap istrinya, lalu menatap ulekan. Kenapa beban rumah tangga ini jatuh ke dia?
Ny. Ratna mendesah. “Suatu hari nanti, kamu bakal ngerti, Rania. Kalau rumah tangga bukan cuma soal karir dan uang.”
Rania hanya tersenyum. “Dan suatu hari nanti, Bunda juga bakal ngerti. Kalau rumah tangga bisa berjalan tanpa aku harus masuk dapur.”
Hening lagi. Bara akhirnya bersuara, meski pelan. “Mau makan sekarang atau nanti, Bun?”
Ny. Ratna melengos. “Terserah. Makanannya tetap aku yang masak juga.”
Rania tersenyum puas, lalu berdiri. “Ya udah, aku ke kantor dulu. Bye, Bun! Bye, Sayang!”
Bara dan Ny. Ratna sama-sama menatap punggungnya yang semakin menjauh. Begitu Rania pergi, Ny. Ratna menoleh ke putranya.
“Jadi gimana, Nak? Mau lanjut masak atau kita panggil catering aja sekalian?” tanyanya ketus.
Bara mengangkat tangan. “Bun, jangan bawa-bawa aku, ya. Aku udah cukup pusing.”
Ny. Ratna mendecak kesal dan kembali ke dapur. Perang bumbu ini masih jauh dari kata selesai.
Gempuran Kalian dan Kebetulan yang Manis
Pagi berikutnya, suasana di rumah Ny. Ratna mulai terasa lebih tegang. Beberapa hari terakhir, debat antara ibu dan menantu ini seolah menjadi tontonan sehari-hari bagi Bara, seperti drama komedi yang tidak ada habisnya.
Hari itu, Ny. Ratna memutuskan untuk melakukan langkah yang lebih agresif. Ia telah menyiapkan beberapa bahan masakan di dapur dengan niat mengundang Rania untuk memasak bersama. Namun, rencananya tidak berjalan mulus. Rania mengabari suaminya bahwa dia terpaksa lembur karena proyek di kantor.
“Gimana sih, Bun? Rania itu udah kerja keras, loh!” Bara mencoba membela istri di hadapan ibunya.
Ny. Ratna melipat tangan, tidak terpengaruh. “Tapi kamu tahu kan, dia harus belajar masak! Jangan sampai dia kesusahan saat kamu mau makan enak di rumah!”
“Tapi, Bun…” Bara melanjutkan, “Kita kan bisa pesan makanan dari luar. Itu jauh lebih mudah.”
“Lebih mudah, tapi mana ada rasa sayangnya? Rania bisa terus menerus pesan makanan, tetapi kamu mau tumbuh di dalam rumah dengan apa? Kemanisan, kehangatan, dan cinta?”
Bara mengeluh pelan. “Bun, udahlah. Biarin aja Rania masak sesekali. Kita semua punya cara masing-masing.”
Ny. Ratna menyeringai, “Nanti kamu ingat semua ini, Nak. Suatu saat dia akan menyesal nggak bisa masak.”
Hari berganti dan Rania tetap tidak pulang ke rumah. Ny. Ratna memutuskan untuk memanfaatkan waktu ini untuk memasak berbagai hidangan, lalu membekukan semuanya.
Setelah selesai, ia menghubungi Rania. “Sayang, Bun udah masak banyak makanan enak. Besok kamu ambil ya.”
Rania di ujung telepon terdengar terkejut. “Bun, serius? Nggak usah repot-repot. Aku bisa pesan.”
“Bisa. Tapi aku mau kamu merasakan hasil masakan bunda, ya. Aku akan kirim semuanya.”
Mendengar kata “kirim,” Rania mulai menyetujui. Ia tahu betapa keras kepala Ny. Ratna, dan kali ini, ia merasa tidak ingin berdebat lebih jauh.
“Ya udah, Bun. Terima kasih!”
Setelah panggilan itu, Ny. Ratna tersenyum lebar, yakin bahwa dia bisa membuktikan pada menantunya tentang pentingnya memasak.
Esok harinya, Rania datang ke rumah dengan senyuman lebar. “Bun, aku penasaran banget sama masakanmu!”
Ny. Ratna segera menyambutnya dengan penuh antusias, “Ayo, lihat ini! Semua ini hasil kerjaku.”
Rania melirik piring-piring berisi masakan yang sudah disiapkan. “Wow, banyak banget, Bun! Kapan bisa habisin semuanya?”
“Eh, kamu bisa ajak teman-teman kamu ke sini. Kita buat pesta makan siang!”
“Pesta makan siang? Dengan masakan Bunda? Sounds fun!”
Mendengar kata “fun,” Bara yang muncul dari belakang pun ikut memeriahkan. “Bisa bawa beberapa rekan kerja Rania? Mungkin mereka bisa merekomendasikan Rania untuk masak dengan lebih baik!”
Rania hanya tertawa. “Ayo, Bun! Kita bikin rencana!”
Pesta makan siang pun disiapkan. Rania mengundang beberapa rekan kerjanya, dan tanpa disadari, suasana di rumah Ny. Ratna semakin hidup.
Ketika para tamu datang, Rania terlihat sangat bahagia. “Selamat datang semuanya! Siap-siap merasakan masakan ibu mertua saya!”
Ny. Ratna langsung mengeluarkan semua hidangan dari dapur, dan para tamu terpesona oleh keindahan makanan yang disajikan.
Rania kemudian berdiri di tengah ruangan dan mengajak semua orang untuk mencicipi. “Ayo, kita mulai dengan ayam goreng dan sambal yang pedasnya bikin nagih!”
Tepat saat itu, Bara berusaha menjelaskan kepada teman-temannya tentang ibunya yang sangat memperhatikan detail dalam memasak. “Jangan kaget, ya. Masakan Bunda itu pasti penuh dengan cinta!”
Namun, kemeriahan pesta tiba-tiba berubah menjadi kegaduhan saat Ny. Ratna mulai menginterogasi teman-teman Rania tentang kemampuan mereka di dapur. “Jadi, siapa di antara kalian yang bisa memasak?”
Beberapa orang di antara mereka saling pandang, tidak tahu harus menjawab apa. Ny. Ratna tampak tidak sabar menunggu jawaban. “Kalau kalian bisa masak, berarti ada harapan!”
“Bun, santai saja. Kita di sini untuk bersenang-senang,” Rania mencoba meredakan suasana.
Ny. Ratna menggeleng. “Aku tidak bisa. Aku harus tahu kemampuan kalian!”
Sementara itu, para tamu mulai melirik satu sama lain, lalu tertawa geli melihat kegigihan Ny. Ratna. Momen itu seolah menyatukan mereka dalam tawa yang lebih akrab.
Rania mengusulkan, “Oke, Bun! Kalau gitu, aku tantang kamu semua, yuk! Siapa yang berani ikut aku memasak besok?”
Semua tamu mulai saling berbisik, seolah ingin menyambut tantangan itu. Namun, Ny. Ratna langsung bersikap keras. “Kalau mau memasak, harus ada resep yang jelas! Bukan sekadar ‘ayo coba-coba’!”
Kegaduhan makin jadi seru, Bara hanya bisa tertawa melihat kekacauan yang terjadi. “Ibu, Rania, sepertinya kita benar-benar harus berbenah untuk momen masak bersama!”
Hari itu pun diakhiri dengan tawa dan gelak yang meriah. Rania berpikir bahwa semua ini justru membuat ikatan antara dia dan Ny. Ratna semakin kuat, meskipun di tengah konflik masak-memasak ini.
Cinta Dalam Masakan
Pesta makan siang di rumah Ny. Ratna berlangsung sangat meriah. Tawa dan gelak tawa para tamu mengisi ruang tamu, sementara aroma masakan khas dari dapur semakin menggoda selera. Rania merasa senang, seolah semua kerumitan hubungan antara dirinya dan ibu mertuanya mulai mencair dengan kehangatan tawa dan makanan.
Ny. Ratna memutuskan untuk mengikuti tantangan yang diajukan Rania. “Baiklah, besok kita masak bersama! Tapi ingat, aku akan menjadi chef utama!”
“Chef utama? Oh tidak, Bun! Kita harus berbagi peran! Ini bukan hanya soal kamu, tapi juga tentang aku,” Rania mengajukan protes dengan senyum nakal.
“Jadi, kamu mau masak dengan cara yang lebih baik?” Ny. Ratna menggoda. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang bisa masak lebih enak!”
“Deal! Tapi aku bawa resep rahasiaku juga,” Rania menantang kembali.
Tamu-tamu lain pun tertawa, mendukung Rania. “Kami ingin melihat pertarungan masak ini!”
Di tengah gelak tawa, Bara merasa lega melihat suasana semakin akrab. “Jadi, besok kita punya duel masak? Ini pasti seru!”
Saat pesta berakhir, para tamu pamit dan pulang, meninggalkan Rania dan Bara bersama Ny. Ratna. Mereka semua sudah lelah, tetapi hati mereka terasa hangat.
“Mau makan malam?” tanya Rania, mengubah topik sambil melihat ke arah suaminya.
“Kayaknya kita sudah kenyang, ya?” Bara menjawab sambil tersenyum.
“Belum, kita belum membahas rencana masak kita besok,” Ny. Ratna menegaskan.
Rania tertawa. “Iya, Bun! Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya, tetapi kita perlu berbagi tugas. Bukan hanya kamu yang bisa masak, kan?”
Ny. Ratna mengangguk, “Oke, kita coba cara baru. Aku akan mengajarkanmu hal-hal yang perlu, tetapi kamu juga harus berkontribusi.”
Di sinilah pergeseran dimulai. Rania dan Ny. Ratna menghabiskan waktu bersama di dapur keesokan harinya. Dengan sabar, Ny. Ratna menunjukkan teknik memasak yang tepat, sementara Rania belajar dengan penuh semangat.
Saat mengiris sayuran, Rania berbagi cerita tentang pekerjaan dan pengalaman kerjanya, yang membuat Ny. Ratna semakin memahami putrinya yang baru. “Kamu tahu, aku sangat bangga dengan apa yang kamu lakukan,” ujar Ny. Ratna.
“Terima kasih, Bun! Dan aku juga ingin membuatmu bangga dalam hal memasak,” Rania membalas, semakin merasa nyaman.
Ketika mereka mulai memasak, suasana semakin hidup. Rania merasakan kehangatan dan kasih sayang dalam setiap langkah yang diambil. Ny. Ratna menambahkan bumbu, sementara Rania mencoba mengganti resepnya dengan twist modern.
Tak lama kemudian, dapur mereka dipenuhi dengan aroma yang menggugah selera. “Coba kita buat dessert juga, Bun! Kita bisa bikin cake!” Rania mengusulkan.
“Cake? Ayo! Itu ide yang bagus!” Ny. Ratna merespons dengan antusias.
Hari itu diisi dengan canda tawa, dan semua perselisihan di antara mereka pun seakan sirna. Dalam setiap momen, Rania merasakan bahwa Ny. Ratna bukan hanya ibu mertuanya, tetapi juga seorang mentor dan teman.
Ketika mereka menyajikan hasil masakan mereka ke meja makan, Bara datang dengan mata berbinar-binar. “Wah, apa yang kalian buat? Aromanya bikin ngiler!”
Rania dan Ny. Ratna saling berpelukan sambil tertawa. “Ini hasil kerja sama kita!”
Mereka semua duduk bersama dan mulai mencicipi hidangan. Rania dan Ny. Ratna melihat ekspresi Bara yang sangat menikmati makanan yang telah disiapkan.
“Enak banget, Bun! Dan kamu juga, Rania! Hebat!” Bara memuji.
“Lihat? Kita bisa masak bersama tanpa ribut-ribut,” Ny. Ratna berseri-seri.
Dari momen itu, Rania merasa seolah ikatan antara dia dan Ny. Ratna semakin kuat. Meski mereka memiliki perbedaan, mereka menemukan cara untuk saling menghargai dan berbagi. Rania menyadari bahwa di balik semua keributan dan perselisihan, ada cinta dan dukungan yang lebih besar.
Akhirnya, Rania merasa bahwa masakan bukan sekadar tentang rasa, tetapi juga tentang hubungan yang terjalin di antara mereka. Ny. Ratna melihat menantunya dengan cara yang baru, merasakan kehangatan dalam hubungannya yang dulu penuh konflik.
Dari hari itu, masakan bukan lagi menjadi sumber perdebatan, melainkan menjadi alat untuk menyatukan mereka. Rania pun bertekad untuk terus belajar dan memasak bersama Ny. Ratna, karena di dalam setiap masakan ada cinta dan cerita yang ingin mereka bagi selamanya.
Cinta dalam masakan, ternyata bisa membawa dua generasi mendekat. Dan meski tantangan tetap ada, mereka telah menemukan cara untuk menikmati setiap bumbu yang ada, baik di dapur maupun dalam hidup mereka.
Jadi, gitu deh! Rania dan Ny. Ratna akhirnya bisa saling mendukung dan merayakan perbedaan mereka. Masakan bukan lagi sekadar masalah, tapi jadi jembatan cinta yang bikin mereka makin akrab. Semoga kamu juga bisa menemukan cara buat deketin orang-orang terdekat lewat masakan atau hobi lainnya. Sampai ketemu di cerita seru berikutnya!


