Daftar Isi
Hai, guys! Siapa sih yang nggak pernah merindukan masa-masa indah dalam hidup? Ketika segala sesuatunya terasa lebih sederhana dan penuh warna?
Nah, cerita ini bakal ngajak kamu menyelami perasaan rindu yang mendalam dan perjalanan dua orang yang berusaha menemukan kembali jalan menuju satu sama lain. Jadi, siap-siap baper, ya!
Merindukan Masa-Masa Itu
Bayangan yang Tak Pernah Pergi
Langit malam menggantung kelam, hanya rembulan yang setia mengintip dari celah awan. Dedaunan di halaman rumah itu bergerak pelan, digoyang angin yang berembus lembut. Di dalam kamar yang remang, lampu meja menyala samar, membiarkan bayangan samar menari di dinding.
Di atas ranjang, seorang pemuda duduk dengan punggung bersandar pada tembok. Matanya terpaku ke layar ponsel, jari-jarinya menggulir percakapan lama yang sudah berkali-kali dibacanya. Pesan terakhir yang dikirimnya sebulan lalu masih ada di sana, tanpa balasan.
“Kamu baik-baik aja, kan?”
Pesan yang sederhana. Tapi maknanya tidak sesederhana itu.
Dada pemuda itu mengembang, menarik napas panjang, seolah berharap udara yang masuk bisa mengurangi sedikit beban yang menghimpitnya. Tapi tidak ada yang berubah, hatinya tetap sesak.
Di tempat lain, jauh dari kamar itu, seorang gadis berdiri di balkon apartemennya, menatap ke langit yang sama. Rambut panjangnya sedikit berantakan, ditiup angin malam. Di tangannya, ponsel menyala, memperlihatkan percakapan yang sama—pesan yang belum pernah ia balas.
Jemarinya ragu bergerak di atas layar. Beberapa kali ia mengetik sesuatu, lalu menghapusnya lagi.
“Kenapa, sih, kamu masih diam aja?” suara seorang gadis lain terdengar dari dalam apartemen, nadanya sedikit kesal.
Gadis di balkon itu tetap diam. Matanya masih terpaku pada satu nama di layar ponselnya. Seseorang yang sejak dulu selalu ada untuknya, seseorang yang dulu bisa dengan mudah ia hubungi kapan pun ia mau. Tapi sekarang… semuanya terasa berbeda.
“Dengerin, ya,” gadis itu akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Aku nggak tahu harus ngomong apa sama dia sekarang.”
Temannya mendesah. “Ya ampun, kalau kangen bilang kangen, kalau mau ketemu bilang mau ketemu. Sesimpel itu, kan?”
“Tapi nggak sesimpel itu.”
Seketika suasana menjadi sunyi. Hanya suara angin yang terdengar, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara.
Di tempat lain, pemuda yang masih duduk di ranjangnya akhirnya menghela napas. Dengan enggan, ia meletakkan ponselnya di meja, membiarkan layar itu padam. Tapi pikirannya tetap penuh dengan bayangan seseorang—seseorang yang begitu jauh, meskipun dulunya terasa begitu dekat.
Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada perpisahan, tidak ada pertengkaran besar, tidak ada alasan yang jelas. Hanya tiba-tiba segalanya berubah, seperti ada dinding tak kasat mata yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Ia ingat dulu mereka bisa berbicara berjam-jam, tentang apa pun dan tanpa alasan apa pun. Tidak ada jarak, tidak ada rasa canggung. Tapi sekarang, sekadar mengirim pesan pun terasa sulit.
Di apartemennya, gadis itu masih menatap layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Jemarinya sekali lagi mengetik sesuatu.
“Aku baik-baik aja.”
Tapi kemudian, sebelum sempat dikirim, ia menghapusnya lagi.
Langit di luar tetap sama. Dingin. Sepi. Seperti mereka yang sama-sama merindu, tapi tak tahu bagaimana harus menyampaikan.
Dan malam kembali berlalu, meninggalkan dua hati yang masih bertahan dalam diam.
Pesan yang Tak Terbalas
Pagi datang tanpa perubahan berarti. Matahari perlahan naik, menyinari kota yang masih setengah terjaga. Di sebuah apartemen kecil, seorang gadis masih duduk di pinggir ranjangnya, memandangi ponsel yang kini tergeletak di sampingnya. Layar itu sudah mati sejak tadi, tapi pikirannya masih terus berkutat pada pesan yang belum juga dikirim.
Di luar, suara kendaraan mulai terdengar, membaur dengan langkah-langkah orang-orang yang memulai harinya. Tapi di dalam kamar itu, semuanya tetap sunyi.
“Aku harus pergi dulu,” suara temannya terdengar dari pintu kamar. “Jangan terlalu lama ngelamun, ya.”
Gadis itu hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Pintu tertutup pelan, meninggalkannya seorang diri dengan pikirannya.
Sementara itu, di sebuah rumah di pinggiran kota, seorang pemuda menyesap kopi yang rasanya hambar pagi itu. Ponselnya tergeletak di atas meja dapur, masih dengan percakapan lama yang tak berubah. Tak ada notifikasi baru, tak ada nama itu muncul di layarnya.
Ia tersenyum miris. Apa yang sebenarnya ia harapkan?
Berkali-kali ia mencoba mengabaikan perasaan itu, berusaha untuk berhenti menunggu. Tapi setiap malam, bayangan masa lalu tetap datang, membawa semua kenangan yang seharusnya sudah ia lupakan.
Dan pagi ini, ia akhirnya menyerah.
Dengan satu gerakan cepat, ia mengambil ponsel dan mengetik pesan baru. Tidak panjang, hanya beberapa kata yang terasa cukup untuk menyampaikan kegelisahannya.
“Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kalau kita masih bisa bicara, aku pengen tahu kabarmu.”
Pesan itu terkirim. Dan seperti sebelumnya, ia hanya bisa menunggu.
Di apartemen, gadis itu merasakan getaran kecil di genggaman tangannya. Sebuah pesan baru muncul di layar ponselnya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat nama pengirimnya.
Ia menatap pesan itu lama. Jemarinya gemetar saat mengetuk layar, membuka percakapan yang sudah lama dibiarkannya membeku.
Tapi tidak ada kata yang bisa ia ketik sebagai balasan.
Tangannya mengepal, bibirnya sedikit bergetar. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, tapi semuanya terasa salah.
Pada akhirnya, ia hanya menatap layar itu dalam diam.
Dan sekali lagi, pesan itu tetap tak terbalas.
Dinding Tak Kasat Mata
Hari-hari berlalu, dan setiap malam membawa kerinduan yang semakin dalam. Pemuda itu tidak berhenti mengirim pesan, berharap ada sinyal bahwa gadis itu masih ada dalam hidupnya. Namun, jawaban yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Setiap kali ia menatap layar, rasa kecewa menggerogoti hatinya, membuat setiap ketukan di papan tombol terasa lebih berat.
Di sisi lain, gadis itu terperangkap dalam pusaran pikirannya sendiri. Satu pesan kecil dari pemuda itu berhasil mengguncang dinding-dinding yang ia bangun di sekitar hatinya. Setiap kali dia berusaha untuk melupakan, ingatan tentang mereka berdua justru semakin jelas. Mereka yang pernah tertawa bersama, berbagi mimpi, dan saling mendukung dalam kesulitan.
Dari balik jendela apartemennya, dia bisa melihat orang-orang berlalu lalang. Beberapa dari mereka tampak bahagia, tertawa dan berbincang dengan teman. Mengapa mereka bisa dengan mudahnya menjalani hidup, sementara dia terjebak dalam rasa sesak yang tak kunjung usai?
Suatu malam, ketika hujan turun dengan deras, gadis itu meraih ponselnya, memandangi layar dengan keraguan yang menghimpit. Dalam pikirannya, dia teringat kenangan akan saat-saat mereka berbagi payung di tengah hujan, tertawa saat basah kuyup, dan berjanji untuk selalu ada satu sama lain.
“Kamu ingat waktu kita terjebak hujan?” dia mengetik. Dan setelah beberapa detik, dia menghapusnya lagi.
Rasa takut menyergapnya. Apa yang bisa dia katakan? Bagaimana jika pemuda itu sudah move on? Bagaimana jika semua harapan yang ia genggam hanya sebuah ilusi?
Di rumah pemuda itu, ia merasakan kesepian yang sama. Sudah seminggu sejak pesan terakhirnya, dan setiap pagi ia merasa seolah ada yang hilang. Ia memutuskan untuk pergi keluar, berharap udara segar bisa membersihkan pikirannya.
Langkahnya membawanya ke taman dekat rumah, tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Di sana, dia bisa merasakan kehadiran gadis itu, meskipun hanya dalam kenangan. Bangku di bawah pohon besar menjadi saksi bisu segala cerita mereka.
Pemuda itu duduk di sana, menatap langit yang kelabu. Hujan mulai rintik-rintik, membawa kembali ingatan akan tawa dan canda yang seolah sudah menjadi bagian dari masa lalu. Dan saat itu, dia merasakan gelombang kerinduan yang begitu kuat, seakan dinding tak kasat mata antara mereka semakin menghalangi jalan untuk kembali.
Di apartemen, gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon. Dengan bergetar, ia menekan nomor pemuda itu. Jantungnya berdetak cepat, tapi saat nada sambung terdengar, dia merasa ragu. Seperti ada suara kecil dalam dirinya yang bertanya, “Apa yang harus kamu katakan?”
Saat panggilan itu terhubung, suara pemuda itu terdengar di ujung telepon. Suara yang sangat dikenalnya, namun kini terasa asing.
“Halo?”
Dan saat itu, semua rasa takut dan keraguan melanda. Dinding yang selama ini menghalangi mereka tampak semakin kokoh, menunggu untuk dihancurkan.
Merindu dalam Diam
Suasana hening mengisi telepon antara mereka. Hanya detak jantung yang terdengar, bergetar dalam ketegangan. Gadis itu tidak tahu harus berkata apa.
“Halo? Ada di sana?” suara pemuda itu kembali memecah keheningan, dan seolah menambah beratnya suasana.
Akhirnya, dengan napas yang ditahan, gadis itu menjawab, “Iya, aku di sini.”
“Kenapa kamu nggak balas pesanku?” tanya pemuda itu, suara penuh rasa ingin tahu dan kerinduan.
Dia terdiam sejenak, kata-kata terjebak di tenggorokannya. “Aku… aku bingung,” ujarnya akhirnya. “Aku nggak tahu harus ngomong apa setelah semua ini.”
“Tapi kita nggak bisa terus begini. Aku merindukanmu,” pemuda itu berkata, dan suara lembutnya membangkitkan rasa yang sudah lama terpendam.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata gadis itu. Rindu yang selama ini terpendam kembali mencuat. “Aku juga merindukanmu. Setiap malam, aku merindukan semua yang kita miliki.”
Di sisi lain, pemuda itu merasakan beban di hatinya seolah terangkat sedikit. “Kalau kita sama-sama merindukan, kenapa kita harus terus menunggu?”
Dia mengangguk, meskipun pemuda itu tidak bisa melihatnya. “Aku takut. Takut kehilangan semua yang pernah kita miliki.”
“Tapi kalau kita nggak mencoba, kita akan kehilangan lebih banyak lagi,” katanya dengan penuh keyakinan. “Mari kita bicarakan semua ini, jangan biarkan dinding itu menghalangi kita lagi.”
Mendengar kata-kata itu, gadis itu merasa tergerak. Keberanian seolah menyusup ke dalam dirinya. “Kamu benar. Kita bisa mulai dari sini. Berbicara, saling mendengarkan. Kita tidak perlu kembali ke masa lalu, tapi kita bisa membangun yang baru.”
Dia dapat merasakan perubahan di antara mereka, meski jarak fisik masih membentang. Suara pemuda itu mengandung harapan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada jalan keluar dari kesedihan ini.
“Kalau gitu, bagaimana kalau kita ketemu?” tawaran itu keluar dari bibirnya dengan penuh harapan.
“Ya, aku ingin sekali. Di tempat kita dulu, di taman itu?”
Sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. “Oke, aku akan ke sana. Aku tidak ingin menunggu lagi.”
Panggilan ditutup, dan saat itu juga, gadis itu merasa beban yang membelenggunya mulai lepas. Ia bersiap-siap, berusaha merapikan diri dengan semangat baru.
Begitu juga pemuda itu. Ia melangkah ke luar rumah, hatinya bergetar penuh harapan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, tetapi malam-malam sunyi yang menyiksa itu kini mulai memberikan cahaya.
Saat langkah mereka semakin mendekati satu sama lain, dinding tak kasat mata yang selama ini membatasi mereka perlahan mulai runtuh. Rindu yang terpendam mulai terobati, dan mereka siap untuk merajut kembali benang yang sempat terputus.
Ketika mereka akhirnya bertemu di taman, senyuman menghiasi wajah mereka, seolah menandakan bahwa semua rasa sakit dan kerinduan itu akan terbayar dengan harapan baru. Merindu dalam diam kini berubah menjadi kebersamaan yang tak lagi terhalang oleh apapun. Dan malam itu, mereka tahu bahwa ini bukanlah akhir, tetapi awal dari kisah yang lebih indah.
Dan gitu deh, kisah mereka berlanjut, bukan sebagai dua orang asing, tapi sebagai dua hati yang saling mengerti. Ketika rindu dan harapan berpadu, semua terasa lebih ceria, kan? Semoga cerita ini bikin kamu teringat momen-momen berharga dalam hidupmu. Jangan lupa, setiap kerinduan punya jalannya sendiri untuk kembali!


