Mereka yang Mengubah Masa SMP-ku dari Sepi Jadi Berwarna

Posted on

Masa SMP tuh emang penuh drama—ada yang seru, ada yang bikin malu, ada juga yang pengen di-skip aja kalau bisa. Apalagi kalau dulu kamu termasuk tipe anak yang nggak terlalu banyak omong dan lebih nyaman di pojokan kelas.

Tapi gimana kalau tiba-tiba kamu ketemu orang-orang yang tanpa sadar bikin hari-hari kamu jadi lebih seru, lebih rame, dan lebih penuh warna? Nah, ini cerita tentang mereka yang berhasil ngubah masa putih biru dari yang suram jadi penuh kenangan berharga!

 

Mereka yang Mengubah Masa SMP-ku

Langkah Pertama Diantara Warna-warna Baru

Lonceng istirahat berdentang nyaring, menggema di seluruh penjuru sekolah. Murid-murid langsung berhamburan keluar kelas, memenuhi lorong-lorong yang sempit. Beberapa menuju kantin, yang lain ke lapangan, dan sebagian memilih tetap di kelas sambil ngobrol atau mengerjakan tugas.

Di dekat pintu kelas delapan tiga, seorang gadis berkuncir tinggi menyikut lengan temannya dengan ekspresi penuh semangat.

“Riska, kamu apaan sih?” keluh Nando, mengelus lengannya yang tadi jadi korban sikutan.

“Eh, lihat deh, dia lagi sendirian.” Riska mengangguk ke arah seorang anak perempuan yang baru saja melangkah keluar kelas dengan kepala tertunduk. Langkahnya cepat, seakan ingin menghindari keramaian.

Nando dan Dika mengikuti arah pandangan Riska. Dika, yang dari tadi sibuk memainkan pensil di tangannya, hanya menatap sekilas lalu mendengus pelan.

“Dia emang gitu terus. Dari kelas tujuh juga udah gitu,” gumam Dika, suara datarnya mengambang di udara.

“Makanya, kasihan, kan?” Riska berdecak. “Aku ajak, ya?”

Belum sempat ada yang menjawab, gadis itu sudah melangkah cepat, menerobos keramaian lorong menuju sosok yang ia maksud. Nando dan Dika saling pandang sebelum akhirnya mengikutinya dari belakang, seakan tahu bahwa percuma mencegah Riska kalau dia sudah punya niat.

“Heeii!”

Suara Riska yang ceria membuat si gadis yang sedang berjalan buru-buru itu terhenti seketika. Ia menoleh, sedikit terkejut melihat Riska berdiri di hadapannya dengan senyum lebar.

“Kamu mau makan bareng kami nggak?” Riska bertanya tanpa basa-basi.

Anak perempuan itu terdiam. Matanya melirik ke arah Nando dan Dika yang berdiri di belakang Riska. Ekspresi mereka berdua cukup netral, tidak terlalu ramah, tapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan.

“Aku… ehm…” suaranya pelan, hampir tenggelam oleh riuhnya suara murid-murid lain.

“Kantin, nih. Udah pasti laper, kan?” Riska masih bersikeras dengan ekspresi seolah-olah jawaban yang diinginkan hanya “iya.”

Dika menyilangkan tangan. “Riska, jangan maksain orang kalau dia nggak mau.”

Riska memutar matanya. “Bukan maksain, aku ngajak. Itu beda.”

Anak perempuan itu menggigit bibir, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu di kepalanya. Seumur hidupnya, ia jarang sekali menerima ajakan seperti ini. Biasanya, ia memilih makan sendirian, duduk di pojokan, atau kadang bahkan menunggu kantin agak sepi sebelum membeli makanan. Tapi kali ini, ajakan itu terlalu tulus untuk diabaikan.

“Yaudah,” akhirnya ia menjawab pelan.

Riska bersorak kecil, lalu langsung merangkul bahunya dengan gaya akrab. “Yes! Yuk, yuk! Nando yang traktir, kan?”

“Hah?” Nando yang baru saja membuka botol minum tersedak airnya sendiri.

“Tadi kamu bilang kantin, udah pasti laper, kan? Nah, berarti udah siap traktir.” Riska cengengesan.

Dika mendengus. “Jangan mau, No. Ini modus.”

Mereka berjalan ke kantin, yang sudah hampir penuh oleh murid-murid yang berebut makanan. Udara dipenuhi aroma gorengan dan es teh manis yang segar.

“Kamu suka makan apa?” Riska bertanya pada anak perempuan di sampingnya.

“Hmm… aku biasanya beli risol.”

Nando langsung mengangkat tangannya. “Sama! Risol di sini enak, kan? Luarnya renyah, dalemnya meleleh, kayak aku kalo liat gebetan.”

Dika yang sedang minum hampir menyemburkan tehnya. “Lu punya gebetan aja kagak.”

Riska tertawa sementara anak perempuan itu hanya tersenyum tipis, tapi kali ini bukan senyum canggung—melainkan senyum yang perlahan mulai terbiasa dengan kehadiran mereka.

Mungkin, masa putih birunya yang dulu penuh bayangan akhirnya akan mulai terwarnai.

 

Saat Tawa Menggantikan Sunyi

Kantin siang itu ramai seperti biasa, tapi di sudut meja yang dekat jendela, ada suasana baru yang mulai terbentuk.

“Kamu tuh belum bilang nama kamu siapa,” kata Riska, sambil mengunyah risolnya dengan santai.

Anak perempuan itu terdiam sejenak. Ia memang belum memperkenalkan diri, dan sejujurnya, selama ini tidak ada yang benar-benar peduli untuk bertanya.

“Shafa,” jawabnya akhirnya, suaranya masih sedikit pelan.

“Shafa?” Riska mengulang dengan nada ceria. “Bagus, aku suka. Tapi kayaknya kurang sesuatu, ya? Hmm…”

“Kurang apaan?” tanya Nando, menyesap es teh sambil melirik Riska yang terlihat berpikir keras.

Riska menjentikkan jarinya. “Panggilannya harus ada sesuatu yang lebih unik! Shafa itu terlalu formal. Aku panggil… Fafa aja, gimana?”

Shafa sedikit mengernyit, tidak terbiasa dengan panggilan itu. “Eh, tapi—”

“Udah, Fafa aja! Setuju, kan?” Riska menoleh ke Nando dan Dika.

Nando mengangkat bahu. “Bebas sih, asal bukan nama yang aneh-aneh kayak Fafazilla atau Fafamon.”

Dika hanya menggeleng, tapi sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. “Fafa boleh, asal dia setuju.”

Shafa menatap mereka satu per satu. Seumur hidupnya, tidak ada yang repot-repot mencarikan panggilan khusus untuknya. Biasanya, orang hanya menyebut namanya sekadar untuk formalitas. Tapi di sini, mereka benar-benar ingin membuatnya merasa bagian dari kelompok.

“…Oke,” katanya akhirnya.

“YES! Diresmikan!” Riska mengangkat tangannya, memberi high-five ke Nando yang langsung menyambutnya dengan tawa kecil.

Mereka melanjutkan makan dengan obrolan ringan. Awalnya, Shafa hanya mendengar tanpa banyak bicara, tapi semakin lama, ia mulai merasa nyaman. Riska selalu punya cerita konyol yang bikin suasana ramai. Nando suka melontarkan lelucon receh yang kadang bikin Dika hanya bisa menggelengkan kepala, tapi diam-diam tersenyum.

“Terus, terus, lo tau nggak?” Nando menyikut Dika. “Si Riska ini dulu pas kelas tujuh pernah jatuh di depan lapangan gara-gara kepleset kulit pisang!”

“NOOO, JANGAN CERITA ITU!” Riska hampir menumpahkan minumnya.

Shafa tanpa sadar terkekeh kecil, dan itu langsung menarik perhatian mereka bertiga.

“Eh, dia ketawa!” seru Riska, menunjuk Shafa seolah menemukan sesuatu yang langka.

Shafa langsung menutup mulutnya, tapi senyum di matanya masih terlihat.

Dika menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tenang tapi jelas penuh pengamatan. “Berarti dia masih manusia. Kirain tadi robot.”

“Jahat!” Riska menjitak kepala Dika pelan, membuat Nando tertawa makin keras.

Shafa menggigit bibir, menahan tawa yang masih menggantung di tenggorokannya. Ini pertama kalinya ia merasa benar-benar bagian dari sesuatu.

Sesuatu yang hangat. Sesuatu yang nyata.

Dan untuk pertama kalinya, ia mulai percaya bahwa mungkin, masa putih birunya tidak harus selalu sepi.

 

Warna-warna Yang Semakin Jelas

Hari-hari berlalu lebih cepat dari yang Shafa sadari. Dulu, waktu terasa lambat, penuh dengan kebisuan dan langkah-langkah kecil yang selalu mencari tempat sepi. Tapi sekarang, ada suara. Ada tawa. Ada Riska yang cerewet, Nando yang selalu punya bahan buat diledekin, dan Dika yang meskipun jarang bicara, selalu memperhatikan lebih dari yang terlihat.

Hari ini, hujan turun sejak pagi. Langit abu-abu, tanah becek, dan suara air yang menetes dari atap sekolah menjadi latar belakang hari itu. Saat jam istirahat tiba, kebanyakan murid memilih tetap di kelas, tapi tentu saja, geng kecil mereka punya rencana lain.

“KE KANTIN, LET’S GO!” seru Riska sambil menarik tangan Shafa, yang langsung terseret tanpa bisa protes.

“Lo yakin, Ris? Becek, tau,” kata Nando, melirik tanah yang licin dari balik jendela kelas.

“Makanya kita loncat-loncat aja kayak kodok,” jawab Riska santai.

Dika yang duduk di meja hanya mendesah pelan. “Gue nggak ikut-ikutan kalau kalian kepleset.”

“Udah, jangan sok jaim, Di. Ayo!” Riska menarik tangan Dika juga, yang akhirnya hanya bisa pasrah.

Mereka berlari menembus gerimis kecil yang masih tersisa. Shafa menggenggam erat tali ranselnya, takut terpeleset, tapi dalam hati, ada rasa aneh yang menyenangkan.

Kantin tidak seramai biasanya karena sebagian besar murid malas keluar di hari hujan. Mereka memilih duduk di meja biasa, dekat jendela besar yang penuh dengan tetesan air.

“Eh, pesen bakso, yuk,” kata Nando, mengibas-ngibaskan jaketnya yang sedikit basah.

“Aku juga mau,” sahut Shafa tanpa sadar.

Tiga pasang mata langsung menoleh ke arahnya.

“Apa?” tanya Shafa bingung.

Dika melipat tangannya. “Biasanya kamu nunggu kita pesen dulu, baru nanti nyusul beli.”

Riska menepuk bahu Shafa pelan. “Fafa kita udah mulai terbuka!”

Shafa merasa pipinya memanas. Dulu, memang benar, ia selalu menahan diri. Takut mengganggu, takut tidak diterima. Tapi sekarang, entah bagaimana, ia merasa lebih berani untuk ikut dalam dinamika mereka.

Mereka memesan bakso dan mulai makan sambil mengobrol. Kali ini, Shafa tidak hanya mendengar, tapi juga sesekali menimpali candaan mereka.

“Tadi di kelas, si Widi kejedot lemari, lho,” kata Nando tiba-tiba.

Dika mengangkat alis. “Lemari mana?”

“Yang deket jendela, tuh. Gara-gara ketawa sambil jalan, nggak liat jalan.”

Shafa terkikik kecil. “Terus dia gimana?”

Nando memutar matanya. “Dia ngakak sendiri abis kejedot. Gue jadi bingung, dia sakit atau nggak?”

Tawa pun pecah di antara mereka.

Dari jendela kantin, hujan mulai mereda. Langit yang tadinya kelabu perlahan menampakkan sedikit warna biru.

Shafa menatap ke luar jendela, lalu melihat ke tiga temannya. Mungkin, selama ini yang ia butuhkan bukan hanya keberanian untuk bicara—tapi juga keberanian untuk menerima bahwa ia memang pantas punya teman.

Dan tanpa ia sadari, warna-warna dalam hidupnya semakin jelas.

 

Jejak Warna Yang tertinggal

Langit sore itu oranye keemasan, memberi warna hangat di lapangan sekolah yang mulai lengang. Beberapa siswa masih sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler, tapi bagi Shafa dan geng kecilnya, ini adalah waktu terbaik untuk duduk di tangga belakang gedung sekolah—tempat favorit mereka untuk berbincang.

“Ujian udah deket,” gumam Dika, menyandarkan punggungnya ke dinding sambil memainkan kancing bajunya.

Nando mendengus. “Yaelah, Di, udah sore gini masih aja bahas ujian.”

“Tapi bener sih,” tambah Riska, meneguk minuman kotaknya. “Kalau gue sih aman, tinggal Shafa aja nih. Lo gimana, Fafa?”

Shafa yang sejak tadi hanya mendengar, menoleh ke Riska. Dulu, mendengar kata ‘ujian’ bisa membuatnya cemas, karena tidak ada yang bisa dia ajak belajar bersama. Tapi sekarang…

“Aku udah lumayan paham, kok. Kalian kan sering ngajarin juga.”

Riska dan Nando langsung bersorak kecil, sementara Dika hanya mengangguk, tapi dengan ekspresi puas yang sulit ditebak.

“Berarti lo udah berubah banyak, Fa,” ujar Nando, menepuk pundaknya ringan.

Shafa terdiam sejenak.

Dulu, ia adalah anak yang lebih memilih diam di kelas, menunduk saat berjalan, dan merasa tak punya tempat di antara hiruk-pikuk SMP. Tapi sekarang, ia duduk di sini, tertawa bersama orang-orang yang menerima dirinya apa adanya.

“Aku juga ngerasa gitu,” jawabnya akhirnya, tersenyum kecil.

Mereka tidak menyadari, tapi sore itu lebih dari sekadar langit yang berubah warna. Itu adalah sore di mana Shafa benar-benar mengakui bahwa ia bukan lagi gadis pemalu yang tenggelam dalam sepi.

Ia telah menemukan warna-warna baru dalam hidupnya. Warna dari persahabatan. Warna dari tawa. Warna dari mereka yang kini menjadi bagian dari kenangannya di masa putih biru.

Dan ia tahu, meskipun waktu terus berjalan dan mereka mungkin akan menempuh jalan masing-masing, jejak warna itu akan selalu ada.

 

Waktu terus jalan, orang-orang datang dan pergi, tapi kenangan? Itu bakal selalu ada. Mungkin sekarang udah nggak pake seragam putih biru lagi, mungkin udah jarang ketemu, tapi semua tawa, obrolan receh, sampai drama kecil-kecilan yang dulu pernah ada tetap tinggal di hati.

Karena yang namanya persahabatan sejati nggak selalu harus bareng terus, tapi cukup jadi warna yang nggak bakal pudar di masa lalu.

Leave a Reply