Merajut Kebangsaan: Kisah Rantau Indah dan Persatuan yang Tak Terbantahkan

Posted on

Pernah kepikiran nggak sih, kenapa kadang kita ribut soal perbedaan, padahal hidup ini udah cukup ribet? Nah, di desa kecil bernama Rantau Indah, justru hal itu yang hampir bikin mereka pecah. Dari soal budaya, gengsi, sampai kompetisi desa, semuanya jadi alasan buat saling sikut.

Tapi, di tengah bencana yang datang tanpa permisi, mereka akhirnya sadar… kalau bertahan itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang mau berjalan bersama. Ini bukan sekadar cerita tentang desa, tapi tentang kita semua—tentang Indonesia yang nggak akan jadi sekuat ini kalau nggak ada perbedaan yang saling melengkapi.

 

Merajut Kebangsaan

Benang yang Mulai Kusut

Desa Rantau Indah selalu dikenal sebagai desa yang damai. Pagi-pagi, suara ayam berkokok menyatu dengan sapaan hangat para ibu yang berbelanja di warung. Anak-anak berlarian di jalan setapak, tertawa tanpa memedulikan dari keluarga mana mereka berasal. Lelaki tua duduk di teras rumah, berbincang tentang sawah, hujan, dan masa lalu. Di sini, tak ada yang merasa asing. Semua adalah saudara.

Namun, semua mulai berubah ketika kabar itu datang—kompetisi desa terbaik tingkat kabupaten. Hadiahnya besar, cukup untuk membangun balai desa baru dan memperbaiki jalan yang rusak. Awalnya, semua menyambut kabar itu dengan semangat. Tapi perlahan, semangat itu berubah menjadi bara api yang membakar kebersamaan.

“Kalau desa ini mau menang, kita harus punya ciri khas!” seru Burhan, seorang pemuda yang dikenal vokal. “Dan jujur aja, yang bikin desa ini unik ya budaya kita. Kalau mau menang, kita harus tunjukkan siapa yang paling dominan.”

Beberapa orang mengangguk setuju. Namun, di pojok balai desa, Pak Tjen, pemilik warung yang sudah bertahun-tahun jadi tempat berkumpul warga, hanya menghela napas. “Kalau kalian mikir menang dengan menonjolkan satu budaya aja, terus yang lain harus gimana?” tanyanya.

“Bukan gitu, Pak Tjen,” sela Bu Ina. “Cuma… mungkin ada beberapa yang lebih ‘asli’ dari yang lain.”

Suasana jadi hening. Kata ‘asli’ itu menggantung di udara, menusuk seperti duri.

Tak lama setelah pertemuan itu, sesuatu mulai berubah di desa. Orang-orang yang biasanya tak pernah memikirkan perbedaan, kini mulai melihat siapa yang ‘lebih berhak’ atas desa ini. Warung Pak Tjen yang biasanya ramai, mendadak sepi. Beberapa orang yang dulu sering duduk di sana kini memilih warung lain.

Di sisi lain, rumah makan Bu Ina juga mulai dijauhi. “Mereka tuh lebih banyak ngurus orang mereka sendiri,” bisik seseorang di pasar. Kata-kata itu menyebar seperti angin kering di musim kemarau.

Kepala desa, Pak Ridwan, mulai khawatir. Ia melihat perubahan ini bukan sebagai persaingan sehat, tapi bibit perpecahan. “Dulu kalian makan di warung yang sama, duduk di meja yang sama, kenapa sekarang jadi begini?” tanyanya pada beberapa warga.

“Bukan gitu, Pak,” jawab Burhan. “Cuma… ya kalau kita mau menang, kita harus lebih tegas.”

“Tegas itu bukan berarti menjauhkan orang lain,” balas Pak Ridwan. “Kalian pikir desa ini milik siapa? Kita semua di sini punya bagian.”

Tapi, kata-katanya tak langsung mengubah keadaan. Desa yang dulu penuh dengan tawa, kini terasa dingin. Percakapan yang dulu hangat, kini penuh bisikan.

Sampai akhirnya, langit berubah muram. Hujan turun deras, lebih deras dari biasanya. Sungai kecil yang melintasi desa mulai meluap, dan tanpa ada yang benar-benar siap, airnya merangsek masuk ke rumah-rumah yang ada di lembah.

Di tengah kepanikan, rumah Pak Tjen adalah yang pertama kali terancam hanyut. Ia berusaha menyelamatkan barang dagangannya, tapi arus terlalu kuat. “Tolong! Ada yang bisa bantu?!” teriaknya.

Tapi, tak banyak yang langsung bergerak. Beberapa hanya saling pandang, ragu.

Hanya ada dua pilihan: membiarkan perbedaan semakin melebar, atau mengulurkan tangan di saat yang paling dibutuhkan.

Dan di sinilah awal dari sesuatu yang akan mengubah desa itu selamanya.

 

Hujan yang Membuka Mata

Air sungai semakin naik, menyapu halaman rumah-rumah yang ada di lembah. Terlihat jelas dari kejauhan, warung Pak Tjen hampir hanyut. Lelaki tua itu berusaha menyelamatkan beberapa karung beras, tapi kakinya terpeleset, membuatnya jatuh ke dalam air yang deras.

“Pak Tjen!” teriak seseorang.

Tak ada yang langsung bergerak. Entah karena panik atau ragu. Beberapa warga hanya berdiri di bawah naungan rumah mereka, melihat air yang semakin liar.

Namun, satu sosok menerobos hujan deras tanpa pikir panjang. Burhan. Pemuda yang tadi begitu vokal soal ‘ciri khas desa’ itu kini melompat ke dalam air, berusaha meraih tangan Pak Tjen. Arusnya kuat, nyaris membuatnya ikut terseret.

“Pegang tangan aku, Pak!” serunya.

Pak Tjen mencoba meraih, tapi tangannya licin. Saat itu juga, dua orang lainnya menerobos air—Rahmat dan Damar, pemuda dari sisi lain desa yang tadi ikut mendengar perdebatan di balai desa. Tanpa bicara, mereka langsung membantu menarik tubuh Pak Tjen ke tempat yang lebih aman.

Seketika suasana berubah. Orang-orang yang tadi hanya menonton, mulai sadar. Mereka saling pandang, seakan menyadari sesuatu yang selama ini terabaikan.

Tak lama, warga lain ikut bergerak. Beberapa orang langsung menuju rumah-rumah di dekat sungai, membantu mengangkat barang-barang sebelum terbawa arus. Para ibu mengumpulkan anak-anak ke tempat yang lebih tinggi, memastikan mereka aman. Hujan tak kunjung reda, tapi perasaan canggung yang sempat menggantung di desa itu mulai memudar.

Pak Ridwan datang tergesa-gesa dengan beberapa warga lain. “Kita harus evakuasi yang rumahnya di dekat sungai! Semua bantu semampunya!” serunya.

Tak ada yang membantah. Tak ada yang bertanya siapa berasal dari mana. Semua langsung bergerak.

Dari rumah makan Bu Ina, dapur segera disiapkan. “Bawa orang-orang yang kedinginan ke sini! Kita bisa masak air hangat!” teriaknya.

Beberapa ibu lain ikut membantu. Sementara itu, para pemuda bergotong royong menambal pagar yang roboh, menyalakan obor di beberapa titik agar desa tak gelap gulita di tengah badai.

Salah satu anak kecil yang berlindung di rumah makan menatap keadaan di luar dengan mata berbinar. “Bu, kenapa semua jadi saling nolong gini?” tanyanya polos.

Bu Ina terdiam sejenak sebelum tersenyum kecil. “Karena kita satu desa, Nak. Mau gimana pun juga, kalau satu jatuh, yang lain harus bangun bareng.”

Dan memang itulah yang terjadi. Hujan terus mengguyur, tapi tidak ada satu pun warga yang duduk diam. Mereka bekerja bahu-membahu, menyelamatkan rumah, ternak, dan satu sama lain.

Saat fajar mulai menyingsing, hujan akhirnya reda. Desa masih basah, jalanan berlumpur, tapi tak ada yang terpecah lagi.

Burhan duduk di pinggir jalan, basah kuyup dan kelelahan. Pak Tjen duduk di sebelahnya, tersenyum kecil. “Kamu nyelamatin aku tanpa mikirin aku bagian dari siapa,” katanya pelan.

Burhan menghela napas panjang. “Harusnya dari dulu aku sadar, Pak.”

Pak Tjen tertawa kecil. “Kadang kita memang butuh hujan biar bisa lihat lebih jelas.”

Di kejauhan, desa yang sebelumnya terbelah kini kembali menyatu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tak lagi melihat perbedaan. Mereka hanya melihat satu hal—mereka adalah bagian dari satu rumah yang sama.

Dan rumah itu bernama Rantau Indah.

 

Luka yang Harus Dijahit

Mentari pagi mengintip dari balik bukit, menyinari desa yang masih basah oleh hujan semalam. Genangan air belum sepenuhnya surut, tetapi semangat warga telah menyala kembali. Pagi itu, balai desa mendadak ramai. Mereka yang semalam sibuk menolong kini berkumpul, sebagian membawa peralatan, sebagian lagi duduk dengan wajah penuh kelelahan.

Pak Ridwan berdiri di tengah-tengah, menatap warganya satu per satu. Ia melihat wajah Burhan yang masih letih, Pak Tjen yang kini duduk dengan secangkir teh hangat, Bu Ina yang terus mengawasi anak-anak kecil yang bermain di halaman. Semuanya hadir di sana, tanpa ada sekat.

“Kita harus bangkit,” suara Pak Ridwan memecah keheningan. “Apa yang terjadi semalam bukan cuma bencana, tapi juga peringatan. Kita terlalu sibuk melihat perbedaan, sampai lupa bahwa kita adalah satu.”

Tak ada yang menyangkal. Mereka semua tahu, hujan semalam telah menghapus batas-batas tak kasat mata yang mulai terbentuk di desa mereka.

Burhan berdiri, suaranya tak lagi setegas biasanya. “Kita nggak bisa terus-terusan begini. Kalau Rantau Indah mau maju, kita harus bergerak bersama. Nggak ada lagi yang ‘lebih asli’ atau ‘lebih pantas’. Kita semua bagian dari desa ini.”

Beberapa warga mengangguk setuju. Bahkan mereka yang semula enggan menerima perubahan kini mulai memahami.

Pak Tjen mengelus janggutnya, menatap Burhan dengan bangga. “Jadi, apa langkah pertama kita?” tanyanya.

Damar, yang sejak tadi diam, angkat bicara. “Kita perbaiki rumah yang rusak lebih dulu. Setelah itu, kita pastikan nggak ada lagi yang ditinggalkan.”

Dan begitulah, pagi itu, desa Rantau Indah mulai menata ulang dirinya sendiri. Mereka bergotong royong, memperbaiki pagar, membersihkan lumpur dari rumah-rumah yang terendam, dan menyalakan kembali api kebersamaan yang hampir padam.

Beberapa pemuda membangun ulang warung Pak Tjen. Rahmat dan Burhan memaku papan-papan kayu, sementara yang lain membantu mengangkat barang dagangan yang sempat terseret air.

Bu Ina, dengan apron yang masih basah, mendekati mereka sambil membawa nampan penuh teh panas. “Istirahat dulu, kalian juga butuh tenaga.”

Burhan menerima cangkirnya, menatap Bu Ina sejenak sebelum tersenyum kecil. “Bu, aku minta maaf.”

Bu Ina menggeleng pelan. “Aku juga, Nak. Kita semua salah. Tapi yang penting, kita sadar sekarang.”

Sementara itu, anak-anak kecil mulai bermain di sekitar sungai yang kini lebih tenang. Mereka tertawa, berlarian tanpa sedikit pun menyadari betapa dekatnya desa ini dengan perpecahan.

Di pojok balai desa, Pak Ridwan duduk bersama beberapa tokoh masyarakat, membahas kompetisi desa yang sempat jadi pemicu masalah.

“Kalau kita tetap ikut, kita harus tunjukkan jati diri kita yang sebenarnya,” ujar salah satu warga. “Bukan budaya siapa yang lebih dominan, tapi bagaimana kita bisa hidup berdampingan tanpa merasa lebih tinggi atau lebih rendah.”

Pak Ridwan tersenyum. “Itu baru Rantau Indah yang sebenarnya.”

Hari itu, langit Rantau Indah terasa lebih luas. Tak ada lagi bisik-bisik, tak ada lagi tatapan curiga. Yang tersisa hanya tangan-tangan yang bekerja bersama, bahu-membahu menata ulang desa yang hampir terbelah.

Dan tanpa mereka sadari, sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di depan.

 

Rumah yang Kembali Utuh

Pagi itu, Rantau Indah berdiri dengan wajah baru. Sisa-sisa banjir telah dibersihkan, rumah-rumah yang rusak sudah diperbaiki, dan suara canda tawa kembali memenuhi jalanan desa. Namun, ada satu hal yang masih tersisa—persiapan untuk kompetisi desa yang sempat membuat mereka berpecah.

Di balai desa, para warga berkumpul, bukan untuk berdebat seperti sebelumnya, tapi untuk berdiskusi.

“Jadi, mau ditampilkan apa?” tanya Rahmat. “Kita nggak bisa cuma bawa satu budaya aja. Rantau Indah punya banyak warna.”

Pak Ridwan mengangguk. “Kita harus tunjukkan bahwa desa ini nggak bisa diwakili satu kelompok saja. Kita harus membawa semuanya.”

Diskusi pun dimulai. Dari tari tradisional, musik, hingga kuliner khas, semua diusulkan tanpa ada yang merasa lebih unggul. Tak ada lagi perselisihan tentang mana yang lebih pantas, karena mereka sadar—Rantau Indah bukan tentang satu budaya, melainkan tentang bagaimana semuanya bisa hidup berdampingan.

Malam sebelum keberangkatan ke kota, warga mengadakan latihan terakhir di tengah lapangan desa. Seorang anak kecil, Dini, menarik-narik tangan Burhan. “Kak, aku takut salah pas nari besok.”

Burhan berjongkok, tersenyum. “Dini, kalau kita bikin kesalahan, nggak apa-apa. Yang penting, kita jalanin bareng-bareng.”

Dini mengangguk pelan, matanya berbinar.

Keesokan harinya, rombongan desa berangkat ke kota. Di atas panggung kompetisi, mereka tidak hanya menampilkan satu tarian, melainkan gabungan dari berbagai budaya yang ada di desa. Alunan musik mengalir, menampilkan warna-warni Rantau Indah yang sesungguhnya.

Di akhir pertunjukan, tepuk tangan bergema. Bukan hanya dari juri, tapi juga dari desa-desa lain yang terkesan dengan bagaimana Rantau Indah menyatukan keanekaragaman mereka.

Dan ketika pengumuman pemenang dibacakan, sesuatu yang lebih penting terjadi.

Rantau Indah memang tidak membawa pulang piala juara pertama. Tapi, desa mereka mendapat penghargaan khusus sebagai desa dengan semangat kebersamaan terbaik.

Di tengah lapangan tempat kompetisi diadakan, Pak Ridwan berdiri di antara warga desa, menggenggam piala kecil itu. Matanya menatap semua yang berdiri di hadapannya—Burhan, Pak Tjen, Rahmat, Damar, Bu Ina, dan banyak lainnya.

“Dulu kita bertanya, apa yang membuat desa ini kuat,” katanya pelan. “Hari ini, kita sudah tahu jawabannya.”

Burhan tersenyum tipis, menatap piala itu bukan sebagai sebuah trofi, melainkan sebagai simbol sesuatu yang lebih berharga.

Malam itu, saat mereka kembali ke Rantau Indah, desa itu tak lagi terasa sama.

Karena kini, mereka benar-benar telah menjadi satu.

 

Rantau Indah bukan cuma sebuah desa, tapi cerminan kecil dari negeri ini. Kadang kita ribut, kadang kita lupa kalau kita ini saudara, tapi pada akhirnya, kita selalu balik ke satu hal—kita butuh satu sama lain.

Nggak peduli dari mana asalnya, apa budayanya, atau bahasanya, yang penting adalah kita bisa berjalan berdampingan. Karena kalau Rantau Indah bisa menyatukan perbedaan mereka, masa kita nggak?

Leave a Reply