Daftar Isi
Gini, ya… sukses dalam pendidikan itu bukan cuma soal dapet nilai bagus atau jadi juara kelas. Kadang, ada orang yang harus jatuh bangun, nahan lapar, ninggalin kampung halaman, bahkan ngelawan rasa minder buat bisa sekolah dan ngejar mimpi.
Nah, ini kisah Zafrel—anak desa biasa yang nekad bermimpi besar. Dari nulis esai di kamar kecilnya sampai bisa berdiri di depan ratusan mahasiswa, ceritanya bakal bikin kamu sadar… kalau pendidikan itu bukan sekadar belajar di kelas, tapi perjuangan seumur hidup!
Perjuangan Zafrel
Jejak Kecil di Jalan Berdebu
Langit masih gelap saat Zafrel bangun dari tidurnya. Udara pagi terasa menusuk kulit, tapi ia sudah terbiasa. Matanya masih mengantuk, tapi ia tak punya pilihan selain segera bersiap. Ia meraih tas lusuhnya yang sudah mulai robek di beberapa bagian, memasukkan buku-buku yang sebagian besar sudah lecek.
Dari dapur kecil, Mayrina—ibunya—sedang menyiapkan sarapan sederhana. Sepiring nasi dengan sepotong tempe goreng dan teh hangat sudah tersedia di meja kayu yang usianya mungkin lebih tua dari Zafrel sendiri.
“Kamu harus makan dulu sebelum berangkat,” kata Mayrina sambil menuangkan teh ke dalam gelas.
“Aku nggak telat, kan, Bu?” Zafrel menarik kursi dan duduk, menyendok nasi ke mulutnya dengan cepat.
“Masih cukup waktu, tapi jangan sampai buru-buru. Nanti malah keselek,” ucap ibunya, tersenyum tipis.
Zafrel mengangguk, tapi tangannya tetap gesit menyuapkan nasi.
Mayrina duduk di seberangnya, mengamati anak laki-lakinya yang makin besar. Dalam hatinya, ada kekhawatiran yang selalu mengintai—bagaimana kalau suatu hari nanti ia tak bisa lagi membiayai sekolah Zafrel? Tapi setiap melihat tekad di mata putranya, ia tahu satu hal: Zafrel akan menemukan jalannya sendiri.
Setelah selesai makan, Zafrel menyambar tasnya. “Aku berangkat, Bu.”
“Hati-hati, ya.”
Seperti biasa, perjalanan menuju sekolah bukan hal yang mudah. Lima kilometer bukan jarak yang dekat, dan jalan setapak yang ia lewati bukan jalan mulus seperti di kota. Kadang becek saat hujan, kadang berdebu saat kemarau. Sepatu yang dipakainya sudah berlubang, tapi ia tetap melangkah dengan penuh semangat.
Di tengah jalan, suara langkah kaki lain terdengar di belakangnya.
“Zafrel! Tunggu!”
Seorang anak laki-laki berlari kecil mendekatinya. Namanya Gibran, teman satu kelas sekaligus satu-satunya orang yang sering berjalan bersamanya ke sekolah.
“Kamu kesiangan?” tanya Zafrel tanpa menoleh.
“Enggak juga, cuma tadi disuruh bantuin bapak dulu,” jawab Gibran, napasnya masih sedikit tersengal. “Eh, kita ada PR Matematika, kan?”
“Ada, tapi aku udah ngerjain tadi malam,” kata Zafrel santai.
“Wah, pamer, nih!” Gibran meringis. “Kayaknya aku bakal dihukum Pak Harun lagi, deh.”
Zafrel hanya tertawa kecil. Gibran memang bukan anak yang malas, tapi dia sering lupa mengerjakan tugas.
Perjalanan mereka masih panjang. Matahari mulai naik, menghangatkan kulit mereka yang sudah terbiasa dengan teriknya siang di desa. Tapi bagi Zafrel, panas atau hujan bukan alasan untuk berhenti. Ia tahu, satu-satunya cara agar hidupnya berubah adalah dengan terus melangkah maju.
Saat mereka akhirnya tiba di sekolah, halaman sudah penuh dengan siswa lain. Beberapa berlarian, ada yang duduk mengobrol, dan ada yang masih sibuk menyelesaikan PR dadakan.
Bel masuk berbunyi. Zafrel dan Gibran segera bergegas ke kelas. Hari ini, mereka akan belajar seperti biasa—atau mungkin, ada sesuatu yang akan mengubah hidup Zafrel untuk selamanya.
Tinta Harapan di Atas Kertas Lusuh
Di dalam kelas, Pak Harun—guru bahasa Indonesia—berdiri di depan papan tulis dengan ekspresi serius. Para siswa langsung duduk dengan tenang, tahu betul kalau beliau bukan tipe guru yang bisa diajak bercanda di jam pelajaran.
“Anak-anak, dengarkan baik-baik.” Suara beratnya memenuhi ruangan. “Sekolah kita akan mengadakan lomba esai dengan tema Pendidikan untuk Masa Depan. Pemenang utama akan mendapatkan beasiswa penuh sampai kuliah.”
Seisi kelas langsung gaduh. Beasiswa kuliah? Itu kesempatan langka.
Zafrel yang duduk di barisan tengah menggenggam pensilnya lebih erat. Dadanya berdegup kencang. Beasiswa itu bukan sekadar hadiah baginya—itu adalah jalan keluar dari semua keterbatasannya.
“Kalian punya waktu satu minggu untuk menulis esai terbaik kalian. Saya harap semua ikut serta,” lanjut Pak Harun. “Dan saya tidak ingin ada yang menyontek dari internet. Saya mau tulisan kalian sendiri.”
Setelah itu, pelajaran dimulai seperti biasa, tapi pikiran Zafrel terus melayang pada lomba esai tersebut.
Saat istirahat, ia duduk di bawah pohon mangga di dekat lapangan. Gibran menghampirinya sambil membawa dua gorengan.
“Kamu mau ikut lomba, kan?” tanya Gibran, menyerahkan satu gorengan pada Zafrel.
Zafrel mengangguk, menerima gorengan itu. “Aku harus ikut.”
“Ya iyalah, kamu kan jago nulis.” Gibran duduk di sampingnya, menggigit gorengannya dengan lahap. “Tapi… kalau menang, kamu beneran bisa kuliah gratis?”
“Itu kata Pak Harun tadi.” Zafrel menatap gorengannya yang belum disentuh. “Aku nggak bisa nyia-nyiain kesempatan ini, Bran. Kalau aku bisa kuliah, aku bisa bantu ibu. Aku bisa kasih kehidupan yang lebih baik buat kami.”
Gibran mengangguk pelan. Ia tahu betapa keras perjuangan Zafrel selama ini.
Malamnya, di rumah kecilnya yang hanya diterangi lampu minyak, Zafrel mulai menulis. Tangannya bergerak di atas kertas lusuh, merangkai kata demi kata. Ia tidak menulis sesuatu yang rumit. Ia menulis tentang hidupnya, tentang bagaimana setiap hari ia berjalan jauh demi sekolah, tentang bagaimana ibunya bekerja keras untuknya, dan tentang impiannya untuk membangun sekolah-sekolah di tempat-tempat terpencil.
Kertas pertama penuh coretan. Ia merobeknya dan mulai lagi.
Beberapa jam berlalu, tapi ia tidak menyerah. Setiap kata yang ia tulis berasal dari hatinya. Ia ingin siapapun yang membaca esainya bisa merasakan perjuangannya, bisa melihat pendidikan dari sudut pandangnya.
Ketika akhirnya ia selesai, ia membaca ulang tulisan itu berkali-kali. Tangannya gemetar saat menyentuh huruf-huruf yang ia goreskan. Ini lebih dari sekadar esai—ini adalah harapannya yang dituangkan dalam tinta.
Ia menatap lampu minyak yang mulai meredup. Besok, ia akan menyerahkan esai ini.
Dan ia hanya bisa berharap… bahwa kata-kata di atas kertas lusuh itu akan mengubah hidupnya.
Menjemput Cahaya di Kota Orang
Hari pengumuman pemenang lomba esai akhirnya tiba. Zafrel duduk di bangkunya dengan tangan mengepal di bawah meja. Suasana kelas terasa lebih tegang dari biasanya. Pak Harun berdiri di depan kelas dengan selembar kertas di tangan, siap membacakan hasil lomba.
“Nggak gugup?” bisik Gibran dari sampingnya.
Zafrel menghembuskan napas pelan. “Jujur, iya.”
Gibran menepuk bahunya pelan. “Apapun hasilnya, kamu udah ngelakuin yang terbaik.”
Zafrel mengangguk. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ia tak mau hanya melakukan yang terbaik—ia ingin menang.
Pak Harun membuka kertas itu perlahan, menatap seluruh kelas dengan mata tajamnya sebelum akhirnya membaca.
“Juara pertama lomba esai jatuh kepada…” Ia sengaja berhenti sejenak, menambah ketegangan. “Zafrel Akhwan!”
Ruangan langsung riuh. Beberapa teman sekelasnya bertepuk tangan, beberapa lainnya tampak terkejut. Sementara itu, Zafrel hanya duduk diam selama beberapa detik, mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.
“Kamu menang, Zafrel!” seru Gibran, mendorong bahunya dengan penuh semangat.
Baru setelah itu, ia tersadar. Ia menang.
Dengan langkah sedikit gemetar, ia maju ke depan untuk menerima sertifikat dari Pak Harun. “Selamat, Zafrel. Esai kamu benar-benar luar biasa.”
“Terima kasih, Pak.” Suaranya hampir bergetar.
Namun, kemenangan itu bukanlah garis akhir—justru ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Seminggu setelahnya, seorang perwakilan dari universitas datang langsung ke sekolah untuk memberikan informasi tentang beasiswa yang ia dapatkan.
“Kami sangat terkesan dengan tulisanmu, Zafrel,” kata pria berkacamata itu. “Kami ingin kamu melanjutkan pendidikan di universitas kami dengan beasiswa penuh. Semua biaya akan ditanggung, termasuk tempat tinggal dan uang saku.”
Zafrel hampir tidak bisa berkata-kata. Semua itu terasa seperti mimpi.
Hari perpisahan dengan ibunya menjadi salah satu momen paling emosional dalam hidupnya. Di stasiun bus yang sederhana, Mayrina menggenggam tangan anak semata wayangnya dengan erat.
“Kamu benar-benar pergi sekarang,” gumamnya dengan senyum yang dipaksakan.
“Aku janji bakal sering telepon, Bu.” Zafrel menahan air matanya.
Mayrina mengangguk. “Kamu harus belajar yang benar di sana. Jangan lupa ibadah, jangan lupa makan, jangan lupa istirahat.”
“Iya, Bu.”
Bus yang akan membawanya ke kota besar tiba. Dengan langkah berat, Zafrel naik ke dalamnya. Dari balik jendela, ia melihat ibunya masih berdiri di sana, melambaikan tangan dengan mata berkaca-kaca.
Saat bus mulai bergerak, Zafrel menghela napas panjang.
Perjalanan baru saja dimulai.
Panggung Ilmu, Panggung Kehidupan
Di kota baru yang penuh gedung tinggi dan orang-orang asing, Zafrel memulai hidupnya sebagai mahasiswa. Awalnya, semuanya terasa sulit—mata kuliah yang berat, lingkungan yang berbeda, dan rasa rindu yang terus mengganggu. Namun, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat ibunya yang melepasnya dengan penuh harapan di stasiun.
Setiap pagi, ia datang lebih awal ke perpustakaan untuk membaca dan mencatat materi tambahan. Setiap malam, ia belajar hingga larut, mengerjakan tugas dengan tekad yang sama seperti saat ia menulis esai kemenangan itu. Ia tahu bahwa beasiswa ini adalah kesempatan sekali seumur hidup, dan ia tak ingin menyia-nyiakannya.
Suatu hari, di tengah kesibukannya, seorang dosen senior bernama Prof. Satria memanggilnya setelah kelas berakhir.
“Zafrel, saya sudah membaca tugas-tugasmu. Kamu anak yang sangat berbakat,” katanya sambil menyesap kopinya. “Kamu pernah berpikir untuk menjadi asisten penelitian?”
Zafrel menatap dosennya dengan mata terbelalak. “Asisten penelitian, Pak?”
“Ya. Kami sedang mengerjakan proyek pendidikan untuk daerah pelosok. Saya butuh seseorang yang paham bagaimana rasanya berjuang untuk pendidikan.”
Dada Zafrel berdegup kencang. Ini bukan sekadar tawaran pekerjaan—ini adalah kesempatan untuk membuat perubahan nyata.
Dengan suara mantap, ia menjawab, “Saya mau, Pak.”
Tahun-tahun berlalu, dan Zafrel lulus dengan predikat terbaik. Di hari wisuda, ia berdiri di atas panggung dengan toga kebanggaannya, menerima ijazah yang dulu hanya bisa ia impikan. Dari atas podium, ia melihat ibunya duduk di antara para undangan, tersenyum penuh haru.
Saat ia turun dari panggung, ibunya memeluknya erat. “Kamu berhasil, Nak,” bisiknya.
Zafrel menahan air matanya. “Kita berhasil, Bu.”
Namun, perjalanannya belum selesai. Dengan ilmu yang ia dapatkan, ia kembali ke kampung halamannya, membangun sekolah kecil bagi anak-anak yang pernah berada di posisi yang sama dengannya—anak-anak yang ingin belajar, tetapi terhalang keadaan.
Di depan kelas pertamanya sebagai pengajar, ia berdiri dengan senyum bangga, melihat anak-anak kecil menatapnya penuh semangat.
Hari itu, Zafrel menyadari bahwa kesuksesan bukan hanya tentang gelar atau pekerjaan bergaji tinggi.
Kesuksesan sejati adalah ketika ia bisa menjadi cahaya bagi orang lain.
Dan begitulah, perjalanan Zafrel yang dimulai dari lembaran kosong, berubah jadi kisah sukses yang menginspirasi banyak orang. Dari anak desa yang cuma bisa ngimpi, sampai akhirnya bisa ngebangun sekolah buat generasi berikutnya.
Hidup emang penuh lika-liku, tapi kalau niatnya kuat dan nggak gampang nyerah, nggak ada yang nggak mungkin. Jadi, masih mau rebahan terus atau mulai kejar mimpi kamu sekarang?


