Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa dunia tiba-tiba kayak berhenti? Waktu nggak jalan, suara di sekitar mendadak sunyi, dan kamu cuma bisa diem, nggak tahu harus ngapain?
Nah, ini cerita tentang seorang anak dan ibunya—bukan sekadar kisah sedih biasa, tapi sesuatu yang bakal bikin kamu diem sejenak, merenung, dan mungkin… nangis. Kalau kamu ngerasa kuat, silakan baca, tapi siapin hati, ya.
Tangisan Terakhir di Bawah Hujan
Pelita di Tengah Gelap
Hujan baru saja reda, menyisakan jalanan yang masih basah dan udara dingin yang menusuk. Cahaya lampu jalan yang redup membuat gang sempit itu terlihat semakin suram. Di ujung sana, rumah kecil berdinding kayu berdiri dengan pintu yang sedikit terbuka. Tidak ada suara, tidak ada kehidupan yang terasa—hanya kesunyian yang melingkupi.
Arya berdiri di depan pintu, napasnya sedikit tersengal setelah berlari sepanjang jalan pulang. Tangannya menggenggam erat sekotak obat yang tadi ia beli dari apotek. Sisa uang di sakunya tak seberapa, mungkin hanya cukup untuk makan beberapa hari ke depan. Tapi bukan itu yang ada di pikirannya sekarang.
“Ibu… aku pulang,” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara gerimis yang masih turun pelan.
Di dalam, seorang wanita paruh baya terbaring di kasur tipis. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, namun matanya tetap penuh kehangatan saat melihat putranya berdiri di ambang pintu.
“Kamu kehujanan lagi?” suara ibunya lemah, namun masih terdengar penuh perhatian.
Arya menghela napas, melepas jaketnya yang basah dan meletakkan sekotak obat di meja kecil di samping tempat tidur. “Gak apa-apa. Aku beli obat buat kamu.”
Wanita itu tersenyum samar. “Kamu makan dulu?”
Arya hanya mengangguk, meskipun perutnya terasa kosong sejak pagi. Ia tidak ingin ibunya tahu bahwa tadi dia hanya minum air putih sebelum pergi.
Ibunya mengulurkan tangan, menyentuh pipi Arya dengan lembut. “Jangan bohong. Ibu tahu kamu belum makan.”
Arya menelan ludah, menundukkan kepala. Tangannya menggenggam jemari ibunya yang terasa dingin. “Nanti aku makan, setelah ibu minum obat ini.”
Wanita itu hanya tersenyum. Senyum yang sama, yang selalu ia lihat sejak kecil. Senyum yang tetap bertahan meskipun tubuh ibunya semakin lemah dari hari ke hari.
Dulu, rumah ini selalu hangat. Ada suara mesin jahit ibunya yang terus berbunyi sepanjang malam, ada aroma teh manis yang selalu diseduh setiap pagi. Dulu, ibunya selalu bangun lebih awal, memastikan Arya sarapan sebelum berangkat sekolah, bahkan ketika ia sendiri tidak makan.
Kini, semuanya berbeda.
“Ibu harus minum obat ini,” kata Arya pelan, membuka bungkus obat dengan hati-hati.
Wanita itu menatap putranya dalam-dalam. Ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan—antara kasih sayang, kesedihan, dan ketenangan yang aneh.
“Arya…” suara ibunya lirih.
Arya mengangkat kepala, menatap wajah wanita itu dengan cemas. “Kenapa, Bu?”
Ibunya diam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kamu capek, ya?”
Arya mengerjap. “Enggak.”
“Kamu bohong lagi,” ibunya tersenyum, menepuk tangan putranya pelan. “Ibu tahu kamu kerja keras buat kita. Tapi jangan terlalu keras, Nak. Ibu nggak mau lihat kamu sakit.”
Arya menggigit bibir, menunduk untuk menyembunyikan matanya yang mulai memanas. “Aku nggak capek, Bu. Aku cuma… pengen ibu sembuh.”
Sunyi.
Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, mengikuti ritme napas ibunya yang terdengar semakin berat.
“Aku baik-baik aja, Arya,” suara ibunya pelan, tapi tegas. “Jangan khawatir, ya?”
Arya menggenggam tangan ibunya semakin erat. Ia ingin percaya. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi hatinya berkata lain.
Di luar, hujan kembali turun. Seperti air matanya yang ia tahan mati-matian.
Hujan di Ujung Senja
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga samar di langit yang tertutup awan mendung. Udara semakin dingin, dan suara rintik hujan yang kembali turun membuat rumah kecil itu terasa semakin sepi. Arya duduk di samping kasur, memperhatikan ibunya yang kini terlelap. Napas wanita itu terdengar berat, sesekali diiringi batuk pelan yang membuat dada Arya semakin sesak.
Obat yang tadi ia beli sudah diminum ibunya, tapi Arya tahu itu hanya membantu sedikit. Penyakit ini bukan sesuatu yang bisa sembuh hanya dengan beberapa butir obat dari apotek murah.
Arya meremas rambutnya, frustrasi. Ia ingin melakukan lebih banyak, tapi apa yang bisa ia lakukan? Uang mereka hampir habis. Pekerjaan paruh waktu yang ia jalani tidak cukup untuk membayar biaya rumah sakit, apalagi untuk pengobatan yang lebih layak.
Suara batuk ibunya terdengar lagi, kali ini lebih parah. Arya langsung berdiri, mengambil gelas berisi air yang sudah ia siapkan di meja.
“Ibu, minum dulu,” katanya pelan, membantu ibunya bangun sedikit agar bisa menyesap air itu.
Wanita itu membuka matanya perlahan, tersenyum kecil meskipun jelas terlihat betapa lemahnya dia saat ini. “Maaf ya, bikin kamu repot terus.”
Arya menggeleng cepat. “Jangan ngomong gitu, Bu. Aku nggak pernah ngerasa direpotin.”
Ibunya menatapnya sejenak, lalu tersenyum lagi. Senyum yang sama, tapi kali ini terasa lebih lemah. “Kamu anak baik, Arya… Ibu bangga sama kamu.”
Tenggorokan Arya terasa tercekat. “Aku nggak ngelakuin apa-apa, Bu… Aku malah nggak bisa bikin ibu sembuh.”
“Tapi kamu selalu ada di sini,” jawab ibunya pelan. “Itu lebih dari cukup.”
Arya menunduk, menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya terasa tertahan di tenggorokan.
Hening.
Di luar, hujan mulai turun lebih deras, menghantam atap rumah dengan suara yang menenangkan sekaligus menyayat hati.
“Arya,” panggil ibunya lagi setelah beberapa saat.
“Hm?”
“Besok… kalau ada waktu, ibu pengen lihat hujan di luar. Dari teras,” katanya pelan.
Arya mengernyit. “Kenapa?”
Ibunya menghela napas panjang. “Dulu, waktu kamu masih kecil, kita sering duduk di teras sambil dengerin suara hujan. Kamu ingat?”
Arya terdiam. Tentu saja ia ingat. Saat itu hidup mereka memang sulit, tapi kebahagiaan kecil seperti itu selalu bisa membuat segalanya terasa lebih ringan.
“Kamu dulu suka bilang hujan itu suara Tuhan yang lagi nyanyi buat kita,” lanjut ibunya, tertawa kecil meskipun suaranya nyaris tak terdengar. “Ibu suka dengar kamu ngomong gitu.”
Arya tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa semakin berat.
“Besok kita lihat hujan bareng, ya?” ibunya berbisik.
Arya menggenggam tangan ibunya yang semakin dingin. “Iya, Bu. Besok kita lihat hujan bareng.”
Namun, di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa menyesakkan.
Entah kenapa, hujan malam ini terdengar seperti sebuah perpisahan yang mendekat.
Janji yang Tertunda
Fajar datang dengan cahaya redup, seolah enggan mengusir dinginnya malam yang masih tersisa. Udara terasa lembap setelah hujan semalam, dan aroma tanah basah tercium samar dari halaman kecil di depan rumah.
Arya duduk di lantai, punggungnya bersandar di kaki kasur ibunya. Matanya terasa berat, tapi ia tahu kalau pun ia memejamkan mata, pikirannya tidak akan membiarkannya benar-benar tertidur. Semalaman ia terjaga, mendengarkan napas ibunya yang semakin lemah.
Wanita itu masih tertidur, wajahnya tampak lebih pucat dari kemarin. Selimut yang menutupi tubuhnya nyaris tidak bergeser, menandakan betapa lemahnya ia bahkan untuk sekadar bergerak dalam tidur.
Arya menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan. Ia berjalan ke dapur, membuka lemari kayu yang isinya semakin kosong. Hanya ada beberapa butir beras di dalam toples kaca dan sebungkus teh yang tinggal separuh.
Sial.
Ia mengepalkan tangan, menahan frustrasi yang makin menyesakkan dada. Hari ini ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang—apa pun caranya. Ibunya butuh makanan yang layak, bukan hanya teh manis atau bubur encer yang selalu ia buat setiap pagi.
Arya melangkah kembali ke kamar, berniat untuk mengambil jaketnya dan pergi lebih awal. Namun, sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu, suara lirih menghentikan langkahnya.
“Arya…”
Ia menoleh cepat. Ibunya sudah bangun, meski matanya masih tampak sayu. Wanita itu berusaha tersenyum, tapi yang muncul hanyalah tarikan kecil di sudut bibirnya.
“Kamu mau ke mana?”
Arya menghampiri, duduk di samping kasur. “Aku mau keluar sebentar, cari kerja tambahan.”
Ibunya menggeleng pelan. “Jangan pergi dulu… temenin ibu sebentar.”
Arya menelan ludah, lalu mengangguk. Ia melepas jaketnya lagi dan duduk di lantai, menggenggam tangan ibunya yang terasa semakin dingin.
“Kamu masih inget janji kamu semalam?” tanya ibunya pelan.
Arya terdiam.
“Tentang hujan?” ibunya tersenyum lemah. “Ibu pengen lihat hujan dari teras hari ini.”
Arya mengerjap, menoleh ke luar jendela. Langit masih mendung, tapi hujan belum turun.
Ia berdiri, membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu berjalan ke teras. Udara pagi menusuk kulitnya, dan jalanan di luar masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia menengadah, berharap hujan segera turun agar bisa memenuhi permintaan ibunya.
Tapi langit tetap diam.
Arya mengepalkan tangan.
Tidak mungkin ia menunggu begitu saja.
Ia kembali masuk, menatap ibunya yang masih menunggu dengan tatapan penuh harap.
“Ibu mau duduk di luar sekarang?” tanyanya pelan.
Wanita itu tersenyum kecil. “Boleh?”
Arya langsung bergerak. Dengan hati-hati, ia merangkul tubuh ibunya, membantunya duduk di kursi roda yang selama ini jarang digunakan karena kondisi mereka yang semakin sulit. Ia memastikan ibunya hangat dengan selimut, lalu mendorong kursi roda itu ke depan rumah.
Angin pagi menerpa wajah mereka, dan ibunya memejamkan mata sejenak, menikmati udara segar yang entah sudah berapa lama tidak ia rasakan.
“Segar, ya?” bisiknya pelan.
Arya mengangguk. “Iya, Bu.”
Mereka duduk dalam diam, menunggu hujan turun seperti yang dijanjikan semalam. Tapi langit tetap menahan airnya.
Ibunya menoleh ke arah Arya. “Kamu ingat nggak? Dulu kamu pernah nari-nari di bawah hujan pas masih kecil. Waktu itu ibu sampai teriak-teriak nyuruh kamu masuk.”
Arya tertawa kecil, meski ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Iya, aku ingat. Waktu itu aku pikir kalau aku berdiri lama di bawah hujan, aku bisa berubah jadi anak ikan.”
Ibunya terkekeh, meski suaranya hampir tak terdengar. “Ibu sampai heran, anak siapa sih kamu ini.”
Arya ikut tertawa, tapi senyumnya cepat menghilang saat melihat ibunya menutup mata, seolah sedang mengumpulkan tenaga.
“Ibu, kamu capek?”
Wanita itu menggeleng lemah. “Ibu cuma… senang. Bisa duduk di sini lagi sama kamu.”
Arya menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Hujan belum turun hari ini.
Tapi hatinya sudah basah sejak tadi.
Hujan yang Terakhir
Siang merayap lambat, membawa angin yang semakin dingin. Langit masih murung, seolah ragu untuk menjatuhkan airnya. Arya tetap duduk di samping ibunya, tangannya masih menggenggam tangan wanita itu yang terasa semakin dingin.
“Ibu ngantuk?” tanya Arya pelan.
Ibunya membuka mata sedikit, lalu mengangguk lemah. “Tapi aku mau nunggu hujan dulu,” suaranya terdengar lirih.
Arya menoleh ke langit, berharap kali ini hujan benar-benar turun. Tapi langit tetap menahan diri.
Kesal, Arya berdiri dan masuk ke dalam rumah. Ia mengambil gayung dari kamar mandi, mengisinya dengan air, lalu berjalan ke luar lagi.
Ibunya mengernyit lemah melihat tingkahnya. “Kamu ngapain?”
Arya tidak menjawab. Ia berdiri di depan ibunya, lalu menumpahkan air dari gayung ke atas kepalanya. Air itu jatuh ke wajah dan pundaknya, membasahi bajunya.
“Hujannya udah turun, Bu,” katanya sambil tersenyum.
Ibunya menatapnya lama, lalu tertawa kecil—suara yang nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menusuk hati Arya.
“Kamu masih sama kayak dulu…” bisik ibunya.
Arya mengangkat gayung lagi, hendak menumpahkan air untuk kedua kalinya, tapi tiba-tiba tangan ibunya menggenggam pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya.
Arya menoleh, dan saat itu juga dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang berat.
Ibunya menatapnya dengan mata yang mulai kehilangan cahaya. Bibirnya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar.
Arya buru-buru berlutut, menggenggam tangan ibunya dengan kedua tangannya yang gemetar.
“Ibu…?”
Wanita itu tersenyum kecil—senyum paling lembut yang pernah Arya lihat, lalu perlahan kelopak matanya tertutup.
Napasnya berhenti.
Angin berembus kencang, membuat dedaunan bergetar di dahan. Langit yang sedari tadi menahan airnya akhirnya menyerah. Hujan turun, deras dan dingin, membasahi tanah, atap rumah, dan tubuh Arya yang masih mematung di tempatnya.
Ia mengguncang tubuh ibunya pelan, berharap wanita itu membuka mata lagi, berharap senyum itu masih bisa ia lihat untuk satu kali lagi.
Tapi tubuh itu tak lagi bergerak.
Air hujan bercampur dengan air mata di wajahnya, tapi Arya tak peduli. Ia menggenggam tangan ibunya erat-erat, mendekatkannya ke dadanya, seolah ingin menyalurkan sisa kehangatan yang masih tersisa.
“Ibu…” suaranya pecah.
Tapi ibunya tidak akan menjawab lagi.
Hujan akhirnya turun, tapi ibunya tidak lagi di sini untuk melihatnya.
Dan begitulah… hujan akhirnya turun, tapi orang yang paling ditunggu udah nggak ada buat lihatnya. Nyesek? Banget. Karena kadang, kita baru sadar betapa berharganya seseorang justru pas dia udah nggak ada.
Jadi, sebelum semuanya terlambat, pulanglah… peluk ibu kamu, bilang kalau kamu sayang dia. Jangan sampai kamu baru nyesel pas udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi.


