Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasain kehilangan seseorang yang bener-bener berarti? Yang biasanya ada, terus tiba-tiba nggak ada… dan kamu cuma bisa ngerasa hampa, kayak ada bagian dari diri kamu yang ikut hilang?
Nah, ini cerita tentang itu. Tentang Arya, tentang Lavia, dan tentang hujan yang dulu indah, tapi sekarang cuma meninggalkan luka. Ini bukan sekadar kisah cinta biasa, ini cerita tentang kenangan yang nggak bakal bisa tergantikan. Baca pelan-pelan, ya. Siapin hati juga, soalnya ini bakal bikin kamu nyesek.
Hujan yang Tak Lagi Sama
Payung di Taman Hujan
Hujan turun perlahan di taman kecil di pinggiran kota. Jalan setapak yang biasa ramai kini hanya dipenuhi suara rintik hujan yang menghantam dedaunan dan tanah basah. Udara terasa dingin, tetapi ada ketenangan di dalamnya—sebuah keheningan yang hanya bisa ditemukan di antara suara hujan.
Di bawah sebuah pohon rindang yang batangnya mulai dipenuhi lumut, seorang gadis berdiri diam, memandangi langit kelabu. Rambut panjangnya sedikit basah, menempel di bahunya. Ia tampak tidak terganggu oleh hujan, bahkan sama sekali tidak berusaha mencari tempat berteduh.
Tak jauh dari situ, seorang pemuda berjalan melewati taman, memegang payung hitam. Langkahnya terhenti saat melihat gadis itu. Satu alisnya terangkat. Orang-orang biasanya menghindari hujan, tapi gadis itu justru berdiri diam di bawahnya, seolah menikmati setiap tetesan yang jatuh ke tanah.
Tanpa berpikir panjang, pemuda itu mendekat, menaungi gadis itu dengan payungnya. “Kamu nggak kedinginan?” tanyanya.
Gadis itu menoleh pelan, lalu menatap pemuda itu dengan ekspresi datar. Sejenak, keduanya hanya diam, saling mengamati. Pemuda itu baru menyadari kalau mata gadis itu… entah bagaimana terasa berbeda. Seperti menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
“Aku suka hujan,” jawab gadis itu akhirnya.
Pemuda itu mengerutkan dahi. “Suka hujan?”
“Iya,” gadis itu tersenyum tipis. “Hujan selalu datang dengan kenangan.”
Pemuda itu terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Biasanya, orang-orang mengeluh kalau hujan turun. Jalanan jadi becek, baju basah, sepatu kotor. Tapi gadis ini justru menyukainya?
“Jadi kamu sengaja diem di sini cuma buat ngerasain hujan?”
Gadis itu mengangguk kecil. “Hujan itu jujur. Dia nggak bisa pura-pura. Kalau dia datang, ya datang. Kalau dia berhenti, ya berhenti. Manusia nggak kayak gitu.”
Pemuda itu mengerutkan kening, bingung dengan maksud gadis itu. “Manusia nggak jujur maksudnya?”
Gadis itu tersenyum samar. “Kebanyakan manusia suka berpura-pura. Pura-pura bahagia, pura-pura kuat, pura-pura baik-baik aja.”
Pemuda itu terdiam, mencoba mencerna kata-kata gadis itu.
“Kamu pernah pura-pura?” tanya gadis itu tiba-tiba, menatap pemuda itu lurus-lurus.
Pemuda itu sedikit tersentak. “Pernah… mungkin.”
“Kalau gitu, kita sama,” kata gadis itu. Ia lalu mengulurkan tangannya. “Namaku Lavia.”
Pemuda itu menatap tangan gadis itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menjabatnya. “Aku Arya.”
Lavia tersenyum, lalu menatap langit lagi. Hujan masih turun dengan ritme yang sama, tapi kehadiran mereka berdua di bawah pohon itu entah kenapa membuat taman kecil itu terasa lebih hangat.
“Mau duduk?” Arya menunjuk bangku kayu di dekat mereka.
Lavia mengangguk dan berjalan ke sana. Arya mengikutinya, masih menutupi mereka dengan payungnya. Mereka duduk berdampingan, mendengarkan suara hujan tanpa banyak bicara.
“Aku sering ke sini,” kata Lavia setelah beberapa saat.
“Sendirian?”
Lavia mengangguk. “Orang lain biasanya nggak suka hujan. Jadi taman ini selalu sepi kalau lagi hujan.”
“Kamu aneh,” komentar Arya tanpa sadar.
Lavia terkekeh pelan. “Banyak yang bilang begitu.”
Arya menghela napas. Ia tidak tahu kenapa, tapi duduk di sini bersama gadis ini terasa nyaman. Biasanya, ia bukan tipe orang yang suka berbasa-basi dengan orang asing, apalagi sampai duduk bersama di taman begini. Tapi Lavia… ada sesuatu tentang gadis ini yang membuatnya berbeda.
Setelah beberapa saat, Arya akhirnya bertanya, “Kenapa kamu suka hujan?”
Lavia menatapnya, lalu kembali memandangi rintik hujan di depan mereka. “Karena hujan itu seperti perasaan manusia. Kadang turun deras, kadang cuma gerimis. Tapi selalu ada alasan kenapa dia turun.”
Arya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap gadis di sampingnya, mencoba memahami setiap kata yang ia ucapkan.
Lavia tiba-tiba menoleh. “Kamu sendiri? Kenapa masih di luar pas hujan gini?”
Arya mengangkat bahu. “Nggak sengaja lewat.”
“Lalu kenapa kamu malah duduk di sini?”
Arya terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mungkin karena aku penasaran sama seseorang yang diem aja di bawah hujan.”
Lavia tersenyum miring. “Jadi, kamu orangnya gampang penasaran?”
“Nggak juga. Cuma… ada sesuatu tentang kamu yang bikin aku penasaran.”
Lavia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu kembali menatap hujan.
Hening kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini, bukan hening yang canggung. Lebih seperti keheningan yang nyaman, di mana dua orang bisa duduk berdampingan tanpa perlu banyak kata.
Hujan masih turun, tapi bagi mereka berdua, waktu seakan melambat.
Dan tanpa mereka sadari, pertemuan sederhana di bawah hujan itu akan mengubah segalanya.
Senja yang Tak Pernah Sama
Tiga bulan setelah pertemuan itu, Arya mulai terbiasa dengan kehadiran Lavia di hidupnya. Gadis itu selalu ada di taman setiap kali hujan turun, duduk di bangku kayu yang mulai lapuk, menikmati rintik hujan seolah itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup.
Tanpa sadar, Arya pun mulai menjadikan hujan sebagai alasan untuk datang ke taman yang sebelumnya tidak pernah menarik perhatiannya. Ia tidak tahu sejak kapan hujan tidak lagi terasa menyebalkan. Tidak tahu sejak kapan suara rintiknya justru membawa ketenangan. Tidak tahu sejak kapan Lavia menjadi seseorang yang selalu ingin ia temui.
Mungkin sejak hari pertama mereka bertemu.
“Hari ini hujannya agak deras,” kata Arya sambil membuka payungnya.
Lavia yang sudah lebih dulu duduk di bangku kayu itu hanya menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. “Iya, tapi aku suka. Kalau hujannya deras, orang-orang bakal makin malas keluar rumah. Berarti aku bisa menikmati hujan sendirian lebih lama.”
Arya mendengus pelan. “Kamu nggak sendirian.”
Lavia tertawa kecil, lalu menatap Arya. “Kamu juga mulai suka hujan?”
Arya terdiam sejenak. Ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. “Nggak tahu. Tapi kalau hujan turun, aku jadi pengin ke sini.”
Lavia menatapnya tanpa berkata-kata. Hanya tatapan lembut, tanpa makna yang bisa langsung dimengerti.
Mereka duduk berdampingan di bangku yang sama, seperti biasa. Hujan deras membasahi tanah, membuat aroma tanah basah semakin kuat di udara.
“Kamu percaya sama takdir?” tanya Lavia tiba-tiba.
Arya mengangkat bahu. “Nggak tahu. Kenapa?”
Lavia tersenyum kecil. “Kalau dipikir-pikir, aneh juga ya. Dari sekian banyak tempat di dunia ini, kita malah ketemu di taman kecil yang orang-orang lupakan.”
“Kamu percaya kalau kita dipertemukan karena takdir?” tanya Arya balik.
Lavia terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Mungkin.”
Hening sesaat. Hanya suara hujan yang terdengar.
“Lavia.”
“Hm?”
“Aku suka sama kamu.”
Lavia tersenyum samar, seolah sudah menebak apa yang akan Arya katakan. Ia menunduk, memainkan ujung bajunya. “Jangan suka sama aku, Arya.”
Arya menoleh cepat. “Kenapa?”
Lavia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Karena aku nggak bisa ada di hidup kamu selamanya.”
Arya mengernyit. “Maksudnya?”
Gadis itu tidak langsung menjawab. Tatapannya menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Aku pernah bilang, hujan selalu datang dengan kenangan, kan?”
Arya mengangguk pelan.
Lavia tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Aku juga seperti hujan, Arya. Aku datang… tapi aku nggak bisa tinggal lama.”
Arya menatap gadis itu dengan alis berkerut. “Aku nggak ngerti, Lavia.”
Lavia menoleh, menatap mata Arya dengan sorot yang sulit diartikan. “Nanti kamu bakal ngerti.”
Jawaban itu terasa menggantung di udara, menimbulkan rasa tidak nyaman di dada Arya.
Hujan masih turun, tapi tiba-tiba, taman kecil itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Dan senja di hadapan mereka… entah kenapa terasa berbeda dari senja-senja sebelumnya.
Kepergian yang Tak Berjejak
Arya menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah tiga hari sejak hujan terakhir turun, dan Lavia tidak muncul di taman. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.
Taman kecil itu kini terasa kosong. Bangku kayu yang biasa mereka duduki tetap ada di tempatnya, basah oleh sisa gerimis yang turun tadi siang. Tapi tidak ada suara tawa kecil Lavia. Tidak ada tatapan lembutnya. Tidak ada Lavia yang duduk dengan tenang, menikmati hujan seolah itu adalah satu-satunya hal yang berarti di dunia ini.
Dan itu membuat Arya resah.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Arya mengetik pesan untuk Lavia.
“Kamu ke mana?”
Dikirim. Tapi tidak ada tanda centang dua.
Hening.
Setengah jam kemudian, ia mengetik lagi.
“Kamu baik-baik aja?”
Tetap tidak ada jawaban.
Dada Arya mulai terasa sesak. Entah kenapa, ia punya firasat buruk.
Tanpa pikir panjang, ia membuka kontak yang pernah Lavia berikan beberapa minggu lalu. Nomor telepon rumahnya. Dulu, Arya tidak pernah berpikir untuk meneleponnya karena Lavia lebih sering membalas pesan. Tapi kali ini…
Dering pertama.
Dering kedua.
Dering ketiga—
“Halo?”
Suara seorang wanita menjawab. Suara yang asing.
“Halo, maaf mengganggu malam-malam. Saya Arya, temannya Lavia,” kata Arya cepat. “Apa saya bisa bicara dengan Lavia?”
Di ujung telepon, ada keheningan beberapa detik. Lalu suara itu berkata dengan pelan, “Kamu… temannya Lavia?”
“Iya.”
Wanita itu terdiam lagi. Lalu, dengan suara yang lebih lirih, ia berkata, “Nak… Lavia sudah pergi.”
Arya membeku. “Maksudnya?”
Suara di telepon terdengar bergetar. “Lavia… dia meninggal dua hari yang lalu.”
Arya merasakan sesuatu menghantam dadanya dengan keras. Seperti pukulan tak kasat mata yang merobohkan seluruh dunianya dalam sekejap.
“Meninggal?” tanyanya pelan, hampir berbisik. “Nggak mungkin… Saya baru ketemu dia empat hari yang lalu… Dia baik-baik saja… Dia sehat…”
Suara di telepon terdengar semakin sedih. “Lavia memang sering berusaha terlihat baik. Tapi dia sudah sakit sejak lama, Nak. Leukemia.”
Leukemia.
Kata itu menghantam Arya lebih keras daripada kenyataan yang baru saja ia dengar.
“Dia nggak pernah bilang apa-apa,” suara Arya nyaris tidak terdengar.
“Karena dia nggak mau kamu melihatnya dengan kasihan,” jawab wanita itu, suaranya penuh duka. “Lavia sering cerita tentang kamu. Dia bilang, kamu membuat hujan terasa lebih indah untuknya. Dia… sangat menyukaimu, Nak.”
Arya tidak tahu harus berkata apa. Taman yang kosong di hadapannya tiba-tiba terasa lebih sepi. Bangku kayu yang basah itu kini hanya menyisakan kenangan.
Lavia sudah pergi.
Dan hujan… tidak akan pernah terasa sama lagi.
Hujan yang Tak Lagi Sama
Hujan turun malam itu. Tidak deras, hanya gerimis kecil yang menari di bawah cahaya lampu jalan. Udara terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat Arya menggigil.
Ia duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk itu, di taman yang kini terasa asing tanpa kehadiran Lavia. Biasanya, gadis itu akan ada di sini—tersenyum, berbicara pelan, menatap hujan dengan mata yang penuh makna. Tapi sekarang, yang ada hanya hening.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arya membenci hujan.
Tangannya meremas payung yang ia bawa, tapi tidak membukanya. Biar saja tubuhnya basah. Biar saja dingin meresap sampai ke tulangnya. Mungkin dengan begitu, ia bisa merasakan sedikit dari rasa sakit yang Lavia sembunyikan selama ini.
Lavia.
Nama itu terasa seperti luka yang belum mengering.
Dia tidak pernah bilang apa-apa. Tidak pernah menunjukkan betapa sakitnya dia. Bahkan saat tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia masih tertawa, masih menikmati hujan seolah itu adalah sahabat terbaiknya.
Dan sekarang, hujan itu tetap turun… tapi tanpa Lavia.
Arya mengangkat wajahnya, membiarkan butiran air jatuh ke kulitnya.
“Dungu banget kamu, Lavia…” gumamnya pelan. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Kenapa nggak bilang apa-apa?”
Angin bertiup pelan. Hanya suara hujan yang menjawabnya.
Arya menutup mata. Di dalam kepalanya, ia bisa membayangkan suara tawa kecil Lavia. Bisa membayangkan bagaimana gadis itu akan menggoda dirinya karena mulai menyukai hujan. Bisa membayangkan tatapan matanya yang selalu terlihat seperti menyimpan sesuatu yang tidak pernah bisa Arya pahami.
Tapi semua itu sekarang hanya ada di kepalanya.
Dan akan selalu begitu.
Pelan-pelan, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah surat. Warna kertasnya sedikit pudar karena terkena air. Surat itu diberikan oleh ibu Lavia saat Arya datang ke rumahnya kemarin.
“Untuk Arya,” tertulis di bagian depan dengan tulisan tangan yang ia kenali dengan baik.
Tangan Arya gemetar saat membukanya.
Arya,
Maaf.
Maaf karena aku pergi tanpa bilang apa-apa.
Maaf karena aku membiarkan kamu percaya bahwa kita masih punya banyak waktu.
Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku cuma ingin kamu tahu… aku bahagia bisa mengenal kamu.
Aku nggak pernah suka orang lain melihatku dengan kasihan. Aku ingin mereka mengingatku sebagai seseorang yang ceria. Dan aku ingin kamu mengingat aku seperti itu juga.
Jangan benci hujan, ya.
Hujan itu indah. Hujan itu penuh kenangan.
Dan setiap kali hujan turun, aku ingin kamu mengingat aku dengan senyuman.
Lavia.
Arya menutup surat itu dengan mata yang memanas. Ia menggigit bibir, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Lavia tidak ingin ia membenci hujan.
Tapi bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin ia bisa melihat hujan tanpa mengingat gadis itu?
Dan bagaimana mungkin ia bisa mengingatnya tanpa merasa kehilangan yang begitu dalam?
Suara hujan semakin deras.
Arya menunduk, menggenggam surat itu erat-erat.
Ia tahu, tidak peduli seberapa sering hujan turun, Lavia tidak akan pernah kembali.
Tapi mungkin… suatu hari nanti, ia akan bisa menatap hujan tanpa rasa sakit yang menghantui.
Mungkin suatu hari nanti, ia akan bisa tersenyum saat mengingatnya.
Mungkin suatu hari nanti…
Tapi tidak hari ini.
Hari ini, ia hanya ingin membiarkan hujan menemani kesepiannya.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh Lavia.
Kesedihan yang indah.
Kadang, kehilangan itu nggak bisa dihindari. Mau sekeras apa pun kita mencoba, ada hal-hal yang tetap akan pergi. Tapi bukan berarti kita harus lupa. Karena kenangan itu nggak akan pernah benar-benar hilang, dia cuma berubah bentuk—jadi hujan, jadi lagu, jadi momen-momen kecil yang tiba-tiba bikin kita terdiam.
Dan pada akhirnya, yang bisa kita lakuin cuma satu: belajar berdamai. Jadi, kalau besok hujan turun, coba deh lihat lebih lama. Siapa tahu, ada seseorang di sana yang sedang mengingat kamu juga.


