Daftar Isi
Kadang, kita mikir kalau bikin orang lain senang itu butuh sesuatu yang gede—uang banyak, kejutan mewah, atau usaha yang ribet banget. Padahal, kadang hal kecil aja udah cukup buat bikin dunia jadi tempat yang lebih asik.
Kayak secangkir kopi yang dikasih dengan tulus, atau… kanvas penuh warna yang ditinggal di trotoar buat siapa aja yang ngelewatin. Nah, kalau penasaran sama cerita ini, siapin hati buat senyum-senyum sendiri!
Menyenangkan Orang Lain
Secangkir Teh dan Sebuah Senyuman
Di sudut kota yang selalu terasa hangat, meskipun angin musim gugur mulai menyelinap di antara celah-celah bangunan, terdapat sebuah kios kecil berwarna krem dengan papan nama kayu yang sedikit usang. Kios itu milik nenek Pilar, seorang wanita tua yang setiap pagi menggelar dagangannya dengan penuh ketekunan. Wajahnya berkerut, tapi senyumannya selalu mengundang siapa saja yang melewatinya untuk berhenti sejenak.
Pagi itu, embun masih menggantung di daun-daun, dan matahari baru saja mengintip dari balik gedung-gedung rendah kota kecil itu. Aroma teh hangat bercampur dengan wangi kue-kue baru matang memenuhi udara, menyatu dengan hiruk-pikuk pasar pagi yang mulai ramai.
Arsenio datang seperti biasa, dengan langkah ringan dan senyum yang sudah akrab bagi nenek Pilar. Di tangannya, ada dua cangkir teh yang masih mengepul.
“Nenek udah sarapan?” tanyanya, meletakkan salah satu cangkir di atas meja kecil tempat nenek Pilar menghitung uang recehnya.
Nenek Pilar mengangkat wajah, mengusap kedua tangannya yang mulai keriput. “Udah, tapi kalau kamu bawa teh seenak ini, rasanya nggak bakal nolak.”
Arsenio tertawa kecil. “Bukan aku yang bikin sih, tapi aku yang beliin. Hitungannya tetap spesial, kan?”
Nenek Pilar menggeleng sambil tersenyum. “Anak muda satu ini emang selalu punya cara buat nyenengin orang lain.”
Arsenio menarik kursi kayu reyot yang sudah akrab dengan tubuhnya. Ia duduk di seberang nenek Pilar, meniup teh dalam cangkirnya sebelum menyeruput pelan. Sekilas, matanya menelusuri jajaran kue yang ditata rapi di etalase kaca kios kecil itu. Ada roti kelapa, kue talam, dan pastel yang renyah.
“Kamu mau coba pastel nenek hari ini? Beda dari yang kemarin,” goda nenek Pilar.
Arsenio mengangkat alis. “Bedanya di mana?”
“Isinya lebih banyak. Soalnya aku denger ada anak muda yang tiap pagi mampir ke sini, jadi aku pikir dia bakal senang kalau pastelnya lebih padat.”
Arsenio tertawa lepas. “Wah, kalau gitu aku harus merasa spesial nih?”
“Udah dari dulu kamu itu spesial, Sen,” ujar nenek Pilar dengan nada penuh makna.
Obrolan mereka mengalir seperti biasa—tentang kabar orang-orang di pasar, tentang cuaca yang semakin dingin, dan tentang anak-anak yang suka berlarian di sekitar kios. Meski terlihat sederhana, momen-momen seperti ini yang membuat Arsenio selalu datang kembali.
Di seberang jalan, seorang ibu muda tengah mencoba menenangkan anaknya yang menangis. Bocah itu tampak kesal karena es krimnya jatuh ke trotoar. Arsenio memperhatikan sejenak sebelum berdiri dan berjalan mendekat.
“Kenapa nangis?” tanyanya lembut.
Bocah itu mendongak dengan mata berkaca-kaca. “Es krimku jatuh…”
Arsenio berpura-pura berpikir keras. “Hmmm… kalau gitu, kita cari es krim baru, gimana?”
Bocah itu berhenti menangis seketika, sementara sang ibu tersenyum lega. “Duh, nggak usah, Mas. Anak saya memang suka dramatis kalau makanannya jatuh.”
“Tapi tetap aja, kehilangan es krim itu tragedi besar buat anak kecil,” ujar Arsenio sambil mengedipkan sebelah mata.
Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan membeli es krim baru di kios sebelah. Begitu es krim itu berpindah tangan, bocah tadi langsung bersorak senang.
“Nah, sekarang senyumnya lebih manis dari es krimnya,” kata Arsenio sebelum kembali ke kios nenek Pilar.
Nenek Pilar menggelengkan kepala. “Kamu itu ya… nggak bisa lihat orang sedih sedikit pun.”
“Kenapa harus, Nek?” Arsenio kembali duduk. “Kalau kita bisa bikin orang lain bahagia, kenapa nggak?”
Nenek Pilar menatapnya lama sebelum menghela napas. “Andai di dunia ini lebih banyak orang kayak kamu…”
Arsenio hanya tersenyum. Baginya, kebahagiaan itu bukan sesuatu yang mahal. Kadang, cukup dengan secangkir teh hangat dan obrolan ringan di pagi hari. Kadang, cukup dengan pastel isi lebih banyak. Kadang, cukup dengan membelikan es krim untuk bocah yang menangis.
Angin bertiup pelan, membawa serta harumnya kue-kue yang baru matang dan kehangatan pagi yang tak tergantikan. Dan di sana, di sudut kota kecil itu, ada seorang pemuda yang percaya bahwa dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik—satu kebaikan kecil dalam satu waktu.
Hari masih panjang, dan di luar sana, masih banyak senyuman yang bisa ia ciptakan.
Buku yang Menghidupkan Kembali
Siang menjelang, dan pasar mulai kehilangan riuhnya. Para pedagang membereskan dagangan mereka, sementara beberapa orang masih berlalu-lalang mencari sesuatu yang mereka butuhkan. Sinar matahari mulai hangat, memantulkan cahaya ke atap-atap kios yang sudah mulai kosong.
Arsenio menyandarkan tubuhnya ke bangku kayu di dekat kios nenek Pilar, menyeruput sisa tehnya yang mulai dingin. Ia sedang menikmati momen tenang itu ketika seorang pria berusia sekitar akhir tiga puluhan duduk di sebelahnya.
Pria itu tampak lelah. Rambutnya sedikit berantakan, kemeja yang ia kenakan kusut, dan ada kantung hitam di bawah matanya seolah kurang tidur berhari-hari. Di pangkuannya ada sebuah buku lusuh, sampulnya sudah mulai pudar, dengan beberapa halaman yang terlihat lecek.
Arsenio melirik sekilas, lalu tersenyum. “Baca buku apa?” tanyanya, berusaha membuka pembicaraan.
Pria itu mengangkat wajah, tampak terkejut karena ada seseorang yang menyapanya. Ia menatap buku di tangannya, lalu menghela napas pelan.
“Ini buku lama… aku suka baca ini dulu waktu masih muda,” jawabnya pelan.
Arsenio mengangguk. “Berarti buku itu penting buat kamu?”
Pria itu tersenyum tipis, tapi ada kesedihan yang mengendap di matanya. “Dulu, iya. Tapi sekarang rasanya nggak ada gunanya lagi.”
Arsenio menatapnya, tertarik. “Kenapa gitu?”
Pria itu menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Aku kehilangan banyak hal dalam hidup ini. Pekerjaan, keluarga, bahkan kepercayaan pada diri sendiri. Rasanya nggak ada yang tersisa buatku.”
Arsenio terdiam sejenak. Ia bisa merasakan kepedihan dalam suara pria itu, sesuatu yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata biasa.
“Bukumu itu… mungkin bukan cuma sekadar buku,” ujar Arsenio akhirnya. “Mungkin ada sesuatu di dalamnya yang bisa bantu kamu nemuin bagian dari dirimu yang hilang.”
Pria itu tertawa kecil, tapi nadanya pahit. “Kedengarannya terlalu sederhana.”
“Tapi kadang, jawaban hidup emang sesederhana itu,” balas Arsenio.
Ia melirik buku lusuh itu lagi. “Dulu, buku ini pernah berarti buat kamu, kan? Mungkin kamu harus mulai dari sana—mengingat kenapa dulu kamu menyukainya.”
Pria itu menatap Arsenio lama, seolah kata-katanya sedang mengendap perlahan di dalam pikirannya. Lalu, dengan ragu, ia membuka buku itu dan membaca halaman pertama.
Tak ada yang langsung berubah dalam sekejap. Tapi dari caranya menelusuri kata demi kata, dari bagaimana matanya mulai memantulkan sedikit cahaya, Arsenio tahu bahwa pria itu sedang menemukan kembali sesuatu yang pernah ia tinggalkan.
Angin sore berhembus pelan, membawa harapan kecil yang baru mulai bersemi. Arsenio tersenyum. Hari ini, ia tak hanya menyenangkan orang lain—ia membantu seseorang menemukan kembali dirinya sendiri.
Dan itu lebih dari cukup.
Warna-Warna di Jalanan
Langit mulai berwarna jingga saat matahari perlahan tenggelam di balik deretan bangunan tua di kota kecil itu. Udara sore terasa lebih sejuk, membawa serta aroma aspal yang mulai mendingin setelah seharian dipanggang matahari. Arsenio berjalan pelan menyusuri trotoar, membiarkan pikirannya melayang-layang tanpa tujuan pasti.
Tiba-tiba, suara gaduh dari seberang jalan menarik perhatiannya. Seorang gadis dengan rambut dikuncir tinggi tampak sibuk mengatur cat warna-warni di trotoar, sementara beberapa anak kecil berdiri di sekelilingnya dengan mata berbinar-binar.
“Lihat nih! Kalau kita campur warna biru sama kuning, hasilnya apa?” suara gadis itu terdengar riang.
“Hijau!” seru seorang anak laki-laki dengan gigi depan yang ompong.
“Benar banget!” Gadis itu menepuk tangan anak kecil itu, lalu mulai mencampur cat di paletnya dan menorehkan kuas ke kanvas besar yang sudah diletakkan di lantai trotoar.
Arsenio menyipitkan mata, mencoba mengingat apakah ia pernah melihat gadis itu sebelumnya. Rasanya tidak. Tapi cara gadis itu tertawa dan mengajak anak-anak bermain warna membuatnya ingin mendekat.
“Apa ini semacam pertunjukan seni jalanan?” tanyanya saat sudah cukup dekat.
Gadis itu menoleh, lalu tersenyum lebar. “Bukan. Aku cuma suka ngajarin anak-anak tentang warna. Lagian, mereka juga butuh sesuatu yang seru buat dilakukan, kan?”
Arsenio menatap kanvas besar yang mulai dipenuhi warna-warna cerah. Ada gambar matahari tersenyum, pohon rimbun, dan beberapa karakter lucu yang digambar secara spontan oleh tangan-tangan kecil yang antusias.
“Kamu sering kayak gini?” tanya Arsenio.
Gadis itu mengangguk. “Setiap kali aku punya waktu luang. Aku pikir, kalau jalanan bisa sedikit lebih berwarna, mungkin dunia juga bakal terasa lebih baik.”
Arsenio tersenyum tipis. Ada sesuatu yang familiar dari cara gadis itu berpikir—sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri.
“Aku Arsenio,” katanya akhirnya.
“Aku Reina,” balas gadis itu, mengulurkan tangannya yang sudah berlumuran cat.
Arsenio ragu sejenak, tapi akhirnya menjabat tangan itu juga. “Wah, sekarang tanganku ikut jadi kanvas juga.”
Reina tertawa. “Nggak apa-apa. Seni yang bagus selalu meninggalkan jejak.”
Arsenio memandangi tangannya yang sekarang ada bercak warna-warni. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia mencelupkan jarinya ke dalam cat dan menggambar garis kecil di sudut kanvas.
“Kalau gitu, aku juga mau ninggalin jejak.”
Reina mengangkat alis, lalu tersenyum lebih lebar. “Bagus. Selamat bergabung di klub kecil kami!”
Saat itu, Arsenio merasa sesuatu yang hangat merayapi hatinya. Ia selalu percaya bahwa menyenangkan orang lain bisa datang dalam berbagai bentuk—kadang dalam secangkir teh hangat, kadang dalam selembar halaman buku yang terlupakan, dan kali ini, dalam warna-warna cerah yang memenuhi jalanan kota.
Sore itu, di bawah langit yang mulai berpendar ungu, Arsenio menyadari bahwa ia baru saja menemukan satu cara lagi untuk membuat dunia sedikit lebih baik.
Jejak yang Tertinggal
Malam mulai turun, lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menerangi trotoar tempat Reina dan anak-anak masih sibuk dengan kuas mereka. Cat di kanvas besar sudah mengering, meninggalkan gambar penuh warna yang terasa hidup—seolah kanvas itu menyimpan tawa dan semangat dari setiap tangan yang menyentuhnya.
Reina berdiri, menepuk kedua tangannya yang masih belepotan cat. “Selesai!” serunya penuh kepuasan. Anak-anak di sekelilingnya bersorak, beberapa dari mereka bahkan mulai berlarian sambil menunjuk-nunjuk gambar yang mereka buat.
Arsenio menatap hasil karya mereka dalam diam. Ada sesuatu yang berbeda di sana—sesuatu yang lebih dari sekadar sapuan warna. Itu adalah jejak kecil yang ditinggalkan di dunia, sesuatu yang mungkin tidak akan bertahan selamanya, tapi cukup untuk menghangatkan hati mereka yang melihatnya.
“Apa kamu bakal sering datang ke sini?” tanya Arsenio, menoleh ke Reina.
Reina menyeringai. “Jelas! Aku nggak bisa ninggalin tempat ini begitu aja. Aku harus terus bikin jalanan lebih berwarna!”
Arsenio terkekeh. “Kamu tahu nggak, kamu sama kayak matahari di lukisan itu. Cerah, hangat, dan bikin orang lain tersenyum.”
Reina terdiam sesaat, lalu mendengus kecil. “Halah, jangan sok puitis. Aku cuma seseorang yang nggak bisa diem.”
“Tapi kamu menyenangkan banyak orang,” balas Arsenio.
Reina menatapnya, kali ini tanpa senyum main-main seperti sebelumnya. “Kamu juga, Arsenio. Kamu mungkin nggak sadar, tapi kamu punya cara sendiri buat bikin dunia jadi tempat yang lebih baik.”
Arsenio terkejut, tapi ia tidak menolaknya. Mungkin itu benar. Mungkin hal-hal kecil yang ia lakukan—mengajak seseorang berbicara, memberi kesempatan pada orang lain untuk menemukan kembali apa yang mereka lupakan, atau bahkan sekadar menggambar garis kecil di kanvas—memiliki arti lebih besar daripada yang ia kira.
Malam itu, setelah semua anak pulang dan Reina membereskan peralatannya, Arsenio menatap kanvas yang masih berdiri di trotoar.
“Apa kamu bakal ngebawa ini pulang?” tanyanya.
Reina menggeleng. “Nggak. Aku bakal ninggalin ini di sini.”
Arsenio menatapnya bingung. “Kenapa?”
Reina tersenyum kecil. “Karena seni yang bagus selalu meninggalkan jejak. Dan aku mau orang-orang yang lewat sini melihatnya, tersenyum, dan mungkin… jadi pengen bikin dunia ini lebih berwarna juga.”
Arsenio menatap kanvas itu sekali lagi. Warna-warna yang semula acak kini terasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang berharga.
Saat ia melangkah pergi malam itu, Arsenio menyadari bahwa hidup bukan tentang hal besar yang mengubah dunia dalam sekejap. Kadang, itu tentang warna kecil yang kau tinggalkan di sepanjang jalan—warna yang mungkin akan menyenangkan seseorang, membuat mereka tersenyum, atau bahkan mengubah cara mereka melihat dunia.
Dan di sanalah keajaiban sebenarnya terjadi.
Jadi, intinya? Nyenengin orang lain nggak harus ribet. Kadang, cukup dengan jadi diri sendiri dan ninggalin jejak kecil yang bikin dunia lebih berwarna.
Bisa dari obrolan sederhana, dari lukisan di trotoar, atau bahkan dari senyuman yang kamu kasih ke orang asing. Karena siapa tau, warna kecil yang kamu tinggalkan hari ini bisa jadi sesuatu yang gede buat orang lain besok. Gimana, siap bikin dunia jadi lebih seru?


