Daftar Isi
Kamu pernah dengar nggak sih, ada tarian yang bisa nyembuhin orang? Bukan sembarang tarian, bro. Ini bukan soal nari ala TikTok atau flash mob di mal. Ini lebih dalam, lebih tua, dan lebih… mistis. Di sebuah desa terpencil yang jarang banget disentuh peradaban, ada satu ritual rahasia.
Satu-satunya cara buat ngusir kegelapan yang mengikat jiwa seseorang. Ini bukan legenda, ini nyata. Dan kalau kamu penasaran gimana tarian bisa jadi senjata terakhir buat ngelawan sesuatu yang nggak bisa dijelaskan akal sehat, kamu harus baca cerita ini sampai habis.
Tarian Mistis Penyembuh
Jejak Langkah Sang Penari
Di Desa Lumbang, suara gemerisik dedaunan selalu membawa cerita. Angin yang berhembus bukan sekadar angin, tetapi bisikan leluhur yang terus menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Jauh di sudut desa, sebuah rumah kayu tua berdiri kokoh, di dalamnya tinggal seorang gadis yang mewarisi ilmu langka—ilmu tarian penyembuh.
Nama gadis itu Kirana Wening. Sejak kecil, ia diajari bahwa tarian bukan hanya soal keindahan, tetapi juga kekuatan. Setiap gerakan yang ia lakukan memiliki makna. Ayunan tangan bisa menenangkan hati yang gelisah. Hentakan kaki bisa mengusir roh-roh jahat. Gerakan berputar bisa menyelaraskan energi alam dengan tubuh manusia. Itu bukan sekadar cerita turun-temurun, tetapi kenyataan yang telah dibuktikan berkali-kali oleh para leluhurnya.
Di desa ini, tak banyak yang tahu rahasia itu. Hanya para tetua dan segelintir orang kepercayaan. Masyarakat hanya mengenal Kirana sebagai gadis pendiam yang sesekali menari di tepi hutan saat matahari tenggelam. Namun, bagi mereka yang paham, setiap tarian Kirana bukan hanya sekadar gerakan, tetapi doa yang mengalir di udara.
Suatu sore, saat langit mulai berubah jingga, Kirana sedang duduk di atas batu besar dekat sungai. Ia menggulung kain selendangnya, matanya menerawang jauh.
“Kirana!” suara seorang lelaki terdengar dari kejauhan.
Seorang pemuda melangkah cepat ke arahnya. Satria, sahabat kecilnya. Napas pemuda itu sedikit terengah, wajahnya cemas.
“Kamu kenapa lari-lari?” tanya Kirana tanpa menoleh.
“Kamu harus ke rumahnya Raka. Cepat.”
Kirana menoleh dengan dahi berkerut. “Raka? Kenapa dia?”
Satria mengusap tengkuknya, jelas ada sesuatu yang tidak beres. “Dia sakit. Tapi… aneh, Kirana. Badannya dingin kayak es, tapi dia masih bernapas. Matanya nutup terus, enggak bisa bangun. Semua orang di rumahnya panik.”
Kirana diam sejenak. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena hatinya sudah merasa bahwa ini bukan sekadar sakit biasa.
“Kamu yakin bukan karena kelelahan?” tanyanya lagi.
Satria menggeleng. “Kalau cuma kelelahan, harusnya dia masih bisa buka mata atau ngomong, kan? Ini beda, Kirana. Aku juga enggak ngerti, tapi ibunya Raka tadi nangis terus. Tolong, kamu harus datang.”
Kirana menghela napas. Ia berdiri, mengencangkan selendangnya. “Ayo.”
Di rumah Raka, suasana sudah kacau. Ibunya terduduk di lantai, matanya sembab, sementara beberapa tetangga berbisik-bisik di sudut ruangan.
Di atas kasur bambu, Raka terbaring kaku. Napasnya lambat, hampir tak terdengar. Wajahnya pucat, seolah darah di tubuhnya berhenti mengalir.
Begitu Kirana masuk, semua mata tertuju padanya.
“Dia… dia tiba-tiba jatuh, Kirana,” suara ibunya bergetar. “Siang tadi dia masih sehat, masih bicara sama aku. Tapi pas pulang dari hutan… dia begini.”
Kirana melangkah mendekat. Ia tidak menyentuh tubuh Raka, hanya berdiri di sampingnya, mengamati. Tangannya terangkat sedikit, merasakan udara di sekeliling tubuh pemuda itu. Ada sesuatu yang janggal.
“Ada yang berubah dari Raka sebelum dia sakit?” tanyanya.
Seorang lelaki tua, Pak Darsa, mengelus janggutnya. Ia salah satu tetua desa. “Dia pulang dari hutan sore tadi, kan? Hutan sebelah mana?”
Ibunya Raka berpikir keras. “Katanya… ke arah pohon tua yang dekat sungai.”
Suasana mendadak hening. Beberapa orang saling pandang dengan wajah tegang.
Pohon tua di dekat sungai. Itu bukan sembarang tempat.
“Kirana,” Pak Darsa menatap gadis itu dalam-dalam. “Kamu tahu yang harus dilakukan, kan?”
Kirana mengangguk. Ia sudah mengira dari awal. Ini bukan sekadar sakit biasa. Raka telah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya ia sentuh.
Ia menarik napas panjang, lalu menoleh ke ibunya Raka. “Aku harus mulai nanti malam. Ini bukan sesuatu yang bisa diobati dengan ramuan.”
Ibu Raka menatapnya dengan penuh harapan, sementara orang-orang desa mulai berbisik, beberapa tampak takut.
Satria menatap Kirana dengan ragu. “Kamu yakin bisa?”
Kirana menoleh padanya. “Aku harus yakin.”
Malam itu, di bawah langit yang mulai gelap, Kirana tahu bahwa ini bukan sekadar tarian biasa. Ia harus menari untuk menyembuhkan. Tapi yang lebih penting, ia harus menari untuk melawan sesuatu yang belum pernah ia hadapi sebelumnya.
Dan kali ini, tarian itu harus sempurna.
Bayang-Bayang di Bawah Purnama
Malam turun perlahan, membawa hawa dingin yang menyelinap di antara celah-celah rumah kayu di Desa Lumbang. Bulan purnama menggantung penuh di langit, cahayanya jatuh tepat di halaman rumah Raka, seolah menyoroti sesuatu yang tak kasat mata.
Di tengah halaman, Kirana berdiri tegak. Selendang merah kecokelatan melilit tubuhnya, ujungnya berkibar tertiup angin. Di sekelilingnya, beberapa orang berkumpul, sebagian berbisik cemas, sebagian lagi memilih diam dalam ketakutan.
Satria berdiri tak jauh dari sana, tangannya mengepal. “Apa ini benar-benar perlu?”
Pak Darsa, yang duduk di tikar anyaman di tepi halaman, mengangguk pelan. “Kalau ini memang seperti yang kita duga, maka tidak ada cara lain.”
Kirana menutup matanya. Napasnya ditarik dalam, lalu perlahan dilepaskan. Ia harus fokus. Di dalam rumah, Raka masih terbaring diam. Tubuhnya dingin, tetapi entah bagaimana, jantungnya tetap berdetak.
Tarian ini bukan tarian biasa. Ini adalah Ranggasari, tarian yang hanya dilakukan ketika seseorang terjebak di antara dunia manusia dan dunia lain. Tarian ini adalah panggilan, sebuah jembatan yang menghubungkan dua dunia—dan juga peringatan bagi roh yang berani mengusik keseimbangan.
Kirana mulai melangkah. Ujung kakinya menyentuh tanah, lalu berputar perlahan.
Selendangnya melayang di udara, berputar seiring dengan gerak tubuhnya. Jemarinya menari, seperti sedang merangkai sesuatu yang tak terlihat. Kakinya menghentak, menciptakan getaran halus di tanah.
Lalu, udara di sekelilingnya berubah.
Angin yang tadinya lembut kini berhembus lebih kencang, menerbangkan dedaunan kering ke segala arah. Lampu minyak yang tergantung di beranda rumah berkedip, nyalanya bergoyang-goyang seperti akan padam.
Beberapa orang yang menonton mulai mundur ketakutan. Satria menatap sekeliling, merasakan sesuatu yang ganjil. Udara menjadi lebih berat, seolah ada sesuatu yang tidak kasat mata sedang mengintai.
Dan kemudian, terdengar suara.
Suara lirih, samar, seperti seseorang berbisik di antara desir angin.
“Kirana…”
Tubuh Kirana menegang sejenak, tetapi tarian tidak berhenti. Matanya tetap terpejam, tangannya tetap bergerak.
“Kirana…”
Suara itu semakin jelas, bergema di antara pepohonan. Pak Darsa memejamkan mata, bibirnya bergerak pelan membaca doa.
Tiba-tiba, angin berputar lebih kencang. Bayangan-bayangan aneh mulai terlihat di sudut mata, sekelebat seperti sosok manusia berdiri di antara pepohonan.
Kirana mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu menurunkannya perlahan. Gerakan itu menutup bagian pertama dari tarian, sebuah undangan bagi makhluk yang memegang jiwa Raka untuk menampakkan diri.
Dan saat itulah, pintu rumah Raka tiba-tiba terbuka dengan keras.
BRAK!
Ibunya Raka menjerit tertahan.
Raka, yang tadi terbaring kaku, kini duduk tegak di kasurnya. Matanya terbuka lebar, tapi tatapannya kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya duduk dengan wajah pucat di ambang pintu, menatap lurus ke arah Kirana.
Semua orang membeku.
Satria menelan ludah. “Raka…?”
Tidak ada jawaban.
Lalu, perlahan, bibir Raka bergerak. Tapi suara yang keluar bukan suara miliknya.
“Kenapa kau memanggilku?”
Suara itu rendah, berat, bergema seperti berasal dari dasar sumur yang dalam.
Beberapa orang mundur dengan wajah ngeri. Pak Darsa tetap tenang, tapi matanya waspada. Kirana, tanpa menghentikan tariannya, membuka matanya perlahan.
Dan di sana, di dalam mata Raka yang kosong, ia melihatnya.
Bayangan hitam.
Sesuatu yang bukan manusia.
Sesuatu yang telah mengikutinya sejak lama.
Dan kini, mereka saling berhadapan.
Tarian belum selesai.
Pertarungan baru saja dimulai.
Tarian di Ambang Kematian
Hening.
Hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin malam, serta nafas-nafas tertahan yang bergema di antara kerumunan. Di ambang pintu, Raka masih duduk dengan tubuh kaku, matanya kosong, bibirnya sedikit terbuka. Namun, yang berbicara bukan dia.
“Kenapa kau memanggilku?”
Suara itu—berat, dalam, dan bukan milik Raka—bergema seperti datang dari dasar jurang. Kirana tetap melangkah, tetap menari, meskipun lututnya mulai melemah. Ini bukan pertama kalinya ia menghadapi sesuatu seperti ini, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda.
Makhluk itu kuat. Terlalu kuat.
Satria berdiri di samping Pak Darsa, otot-ototnya menegang. Tangannya sudah menggenggam sebatang kayu, meskipun ia tahu itu tidak akan berguna.
Pak Darsa menghela napas. “Siapkan tali pengikat,” bisiknya pada seorang pemuda di belakangnya.
Pemuda itu mengangguk cepat, lalu berlari ke dalam rumah.
Sementara itu, Kirana terus menari. Gerakannya melambat, berubah menjadi gerakan yang lebih lembut—membujuk, menenangkan.
“Aku tidak memanggilmu,” jawab Kirana akhirnya, suaranya tenang. “Aku hanya ingin mengambil kembali yang menjadi miliknya.”
Raka—atau makhluk di dalamnya—miringkan kepala, seperti mempertimbangkan kata-kata Kirana.
“Dia memanggilku duluan,” katanya. “Dan kini, dia milikku.”
Kirana berhenti sejenak, lalu melangkah ke samping, gerakannya membentuk setengah lingkaran. Ia menarik napas, lalu mulai bagian kedua dari tarian Ranggasari.
Tarian ini bukan lagi panggilan.
Ini adalah perintah.
Kaki Kirana menghentak tanah, lebih kuat dari sebelumnya. Debu-debu halus berhamburan, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Selendangnya berputar cepat, membentuk pola di udara, seperti melilit sesuatu yang tak terlihat.
Lalu, Raka—atau lebih tepatnya, makhluk di dalam tubuhnya—menjerit.
Bukan jeritan manusia.
Suara itu tinggi, melengking, memekakkan telinga. Beberapa orang menutup telinga mereka, wajah mereka dipenuhi ketakutan.
Satria mundur selangkah. “Astaga…”
Raka tiba-tiba bergerak. Bukan berjalan, bukan berlari—tetapi seperti ditarik ke depan oleh sesuatu yang tidak kasat mata.
Tangannya terangkat, jari-jarinya melengkung seperti cakar.
Ia menyerang Kirana.
Semuanya terjadi begitu cepat.
Satria sudah bersiap melindungi Kirana, tapi gadis itu lebih cepat. Dengan satu gerakan anggun, ia menghindar, berputar, dan mengayunkan selendangnya ke tubuh Raka.
Sekelebat cahaya samar muncul di udara.
Makhluk itu menjerit lagi, tubuh Raka tersentak mundur. Ia meronta, seperti ada sesuatu yang mencengkeramnya.
Pak Darsa buru-buru mengambil segenggam beras putih dari kantongnya dan melemparkannya ke tanah, membentuk lingkaran di sekitar Raka.
Tubuh Raka membeku.
Satria segera bertindak. Dengan sigap, ia meraih tali yang baru saja dibawa pemuda tadi, lalu melilitkannya ke pergelangan tangan Raka. Tali itu bukan sembarang tali—ada mantra yang diikatkan di dalamnya, ditulis dengan tinta dari akar kayu yang hanya bisa ditemukan di hutan sebelah timur.
Begitu tali itu terpasang, tubuh Raka mulai bergetar hebat. Makhluk di dalamnya memberontak, tapi kekuatannya mulai melemah.
Kirana kembali menari. Kali ini gerakannya lebih pelan, seperti sedang membimbing sesuatu ke tempat asalnya.
Angin di sekeliling mereka berputar semakin lambat. Cahaya lampu minyak yang tadi redup mulai stabil kembali.
Dan akhirnya, Raka terjatuh.
Tubuhnya terkulai di tanah, napasnya memburu.
Untuk pertama kalinya dalam semalam, hening kembali menguasai desa.
Semua orang menahan napas.
Kirana berjalan mendekat, menunduk dan menatap wajah Raka. “Raka?” bisiknya.
Tidak ada jawaban.
Lalu, perlahan-lahan, Raka membuka matanya.
Dan ketika ia berbicara, suaranya adalah suaranya sendiri.
“Apa… yang terjadi?”
Satria menghela napas panjang. “Kau hampir mati, bodoh.”
Raka menatapnya bingung, lalu matanya beralih pada Kirana.
Dan di sana, dalam sorot matanya, ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang membuat Kirana merinding.
Sesuatu yang belum sepenuhnya hilang.
Pertarungan ini belum selesai.
Tarian Terakhir
Raka masih terbaring di tanah, napasnya tersengal-sengal. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya, tapi setidaknya dia sudah sadar.
Namun, Kirana tidak bisa mengabaikan tatapan matanya. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang seharusnya sudah pergi… tapi masih bertahan.
Satria juga melihatnya. “Kirana… kau yakin ini sudah berakhir?” tanyanya pelan.
Kirana menggigit bibir, menatap Raka tanpa berkedip.
“Aku tidak tahu,” bisiknya jujur.
Pak Darsa menghampiri mereka, keningnya berkerut dalam. “Kita harus memastikan. Tidak boleh ada sisa dari makhluk itu di dalam dirinya. Jika masih ada, itu berarti dia belum benar-benar terbebas.”
Raka perlahan berusaha duduk. Satria reflek mengulurkan tangan untuk membantunya, tapi Raka menepisnya.
“Aku baik-baik saja,” gumamnya lemah.
“Tidak, kamu tidak baik-baik saja,” balas Satria ketus.
Raka mengusap wajahnya, seolah mencoba menyusun kembali kepingan-kepingan kesadarannya. “Aku… aku ingat segalanya,” katanya pelan. “Aku ingat saat dia masuk ke dalam tubuhku. Aku ingat bagaimana dia berbicara di kepalaku. Dia… dia belum pergi.”
Jantung Kirana berdetak lebih cepat.
Satria mengumpat. “Persetan!”
Pak Darsa menatap Kirana tajam. “Masih ada waktu untuk menyelesaikannya. Kamu harus menari lagi, Nak.”
Kirana mengepalkan tangan. Tubuhnya sudah terlalu lelah, otot-ototnya mulai berdenyut nyeri. Tapi ini bukan saatnya mengeluh.
Jika masih ada jejak makhluk itu dalam tubuh Raka, maka tarian ini harus diselesaikan. Sampai benar-benar bersih.
Angin malam berhembus pelan ketika Kirana kembali berdiri di tengah lingkaran tanah.
Tarian terakhir pun dimulai.
Tidak ada hentakan keras seperti sebelumnya. Kali ini, tarian Kirana lebih tenang, lebih dalam. Selendangnya bergerak dengan lembut, melingkari tubuhnya seperti air yang mengalir di sungai.
Mantra mulai bekerja.
Raka tiba-tiba menggigil. Tubuhnya membungkuk, kedua tangannya mencengkeram tanah. “Aku…” Napasnya tersengal. “Aku bisa merasakannya. Dia tidak mau keluar.”
Kirana mempercepat gerakannya.
Debu berputar di sekitar mereka, menari bersama ritme tubuh Kirana. Selendang merah yang membalut lengannya berkilau samar di bawah cahaya obor.
Dan akhirnya, Raka berteriak.
Tidak seperti sebelumnya—ini lebih seperti teriakan seseorang yang sedang kehilangan sesuatu yang selama ini bersemayam dalam dirinya.
Satria langsung bergerak, meraih tubuh Raka sebelum dia jatuh ke tanah lagi.
Sekelebat bayangan hitam melesat keluar dari tubuh Raka, lalu menghilang di udara dengan suara geraman yang memekakkan telinga.
Dan kemudian, semuanya berhenti.
Angin kembali tenang.
Raka limbung dalam pelukan Satria, tubuhnya benar-benar lemah. Tapi saat matanya terbuka… kali ini, tidak ada lagi sesuatu yang lain di dalamnya.
Hanya Raka.
Kirana akhirnya menurunkan tangannya. Selendangnya jatuh ke tanah, dan tubuhnya langsung melemas.
Satria buru-buru menangkapnya sebelum dia terjatuh. “Kirana!”
Gadis itu mengangkat wajah, tersenyum tipis. “Sudah selesai,” bisiknya.
Pak Darsa menutup mata, lalu menghela napas lega. “Sudah selesai,” ulangnya pelan.
Malam itu, mereka akhirnya bisa beristirahat.
Tapi satu hal yang Kirana tahu—tarian ini bukan yang terakhir.
Di desa ini, di tanah ini, di dunia ini… selalu ada sesuatu yang bersembunyi dalam kegelapan.
Dan selama itu masih ada, tarian penyembuhannya akan selalu dibutuhkan.
Jadi, kamu masih mikir tarian itu cuma hiburan? Di tempat lain mungkin iya. Tapi di desa ini, tarian adalah penyelamat. Bukan cuma buat nyembuhin tubuh, tapi juga buat ngusir sesuatu yang bahkan nggak bisa kamu lihat. Sesuatu yang lebih tua dari usia desa ini sendiri.
Dan satu hal yang pasti—tarian ini nggak bakal jadi yang terakhir. Selama masih ada kegelapan yang berkeliaran, selama masih ada bisikan yang nggak bisa dijelaskan, akan selalu ada yang menari. Sampai kapan? Nggak ada yang tahu. Tapi satu yang jelas… lo nggak akan pernah lihat tarian dengan cara yang sama lagi.


