Daftar Isi
Hai, kamu pernah nggak sih ngerasain sakit yang bikin hidup terasa kayak di dalam film horor? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu menyelami kisah seru tentang persahabatan yang bisa bikin kamu tertawa meski dalam situasi sulit. Siapa sangka, tawa bisa jadi obat paling manjur saat teman-teman datang dengan kejutan!
Tawa di Balik Luka
Kunjungan Penuh Derita (Versi Vano)
Rumah sakit selalu punya aroma khas—perpaduan antiseptik, obat-obatan, dan entah apa lagi yang bikin suasana terasa makin tidak nyaman. Tapi bukan itu yang mengganggu. Masalah sebenarnya adalah suara erangan memilukan dari dalam kamar 307.
“Ah… hidupku…”
Raga yang berjalan paling depan langsung berhenti di ambang pintu, menoleh ke belakang dengan ekspresi geli. “Dengar nggak? Kayaknya kita udah telat seremoni pemakamannya.”
Nanda tertawa pelan. “Serius, kalau kita datang sedikit lebih lama, bisa-bisa dia udah bikin wasiat.”
Mereka pun membuka pintu dan menemukan pemandangan yang sesuai dengan suara yang terdengar barusan—Vano, terbaring di ranjang dengan wajah menderita, tangan mencengkeram selimut seolah hidupnya benar-benar di ujung tanduk. Padahal, yang diperban cuma kakinya.
Begitu melihat teman-temannya, Vano mengerang lebih keras. “Akhirnya… kalian datang juga…”
Raga menjatuhkan tas plastik berisi ‘buah-buahan’ di meja samping ranjang. “Udah, lebaynya cukup. Lu cuma operasi kecil.”
“Cuma operasi kecil?” Mata Vano melebar, seperti mendengar penghinaan terbesar dalam hidupnya. “Kamu nggak tau rasanya, Ra. Aku hampir mati di meja operasi!”
Reno yang sejak tadi diam, hanya menatapnya datar. “Dibius total?”
“Lokal.”
Semua terdiam sejenak sebelum akhirnya meledak dalam tawa.
“Vano, kalau kamu dibius lokal, berarti kamu masih sadar, kan?” tanya Nanda sambil menahan tawa.
“Iya.”
“Terus kamu tau sendiri kalau kamu nggak hampir mati, kan?”
Vano memutar bola matanya. “Ya ampun, Nda. Kamu nggak ngerti psikologis pasien. Kadang, rasa sakit lebih dalam daripada yang bisa dijelaskan oleh medis.”
Raga mendengus. “Ini kaki keseleo atau patah hati?”
Vano mengabaikan komentar itu. “Aku sudah pasrah. Kalau nanti aku harus hidup dengan tongkat, aku harap kalian tetap mau jalan bareng aku tanpa malu.”
“Astaga, Vano.” Reno menepuk bahunya pelan. “Keseleo doang, bukan amputasi.”
Tawa kembali pecah. Vano mendesah panjang, seolah menyerah dengan kelakuan teman-temannya yang kurang empati (menurut versinya). Tapi di sudut bibirnya, ada senyum kecil yang hampir tidak terlihat.
Mereka pun mulai mengeluarkan ‘buah-buahan’ dari tas plastik. Reno mengambil apel dan menggigitnya tanpa basa-basi, sementara Nanda mengeluarkan sekotak permen.
“Mana buahnya?” Vano memandangi isi tas dengan bingung.
Raga mengangkat satu bungkus keripik. “Ada. Nih, dari sari kentang.”
“Ini namanya snack.”
“Eh, daripada nggak ada, kan?”
Vano hanya bisa menatap teman-temannya dengan ekspresi putus asa. “Sahabat macam apa yang datang menjenguk orang sakit dan bukannya bawa vitamin, malah bawa cemilan?”
Nanda menepuk bahu Vano pelan. “Yang nggak punya niat jahat buat ngasih kamu jus wortel pahit.”
“Tolong pulang aja kalau gitu.”
Raga justru menarik kursi dan duduk santai. “Nggak bisa. Kami ke sini bukan cuma buat liat kamu menderita, tapi juga buat menghibur.”
“Ah, iya.” Nanda mengeluarkan sekotak kartu UNO dari tasnya. “Biar seru, kita main kartu aja.”
Mata Vano berbinar. “Boleh juga, biar aku lupa sebentar sama penderitaan ini.”
Baru satu menit yang lalu dia mengeluh mau pulangin teman-temannya, sekarang malah semangat.
Reno tersenyum miring. “Oke, tapi jangan curang.”
Vano langsung pasang ekspresi tak terima. “Aku? Curang? Kamu pikir aku siapa?”
“Vano.”
Tertawa kecil terdengar dari semuanya.
Mereka pun menggeser kursi, membentuk lingkaran kecil di sekitar ranjang rumah sakit. Permainan pun dimulai, dan entah kenapa, setiap kali giliran Vano, dia selalu mengeluh kakinya nyeri—seolah itu bisa mempengaruhi kartu yang dia dapatkan.
Ketika dia kena kartu +4 bertubi-tubi dari Nanda dan Raga, dia merintih lebih kencang. “Gini nih, aku udah jatuh, tertimpa tangga, terus ditiban beton.”
Raga hanya menaikkan bahu. “Hukum alam.”
Nanda terkekeh. “Udah, Van. Anggap ini latihan mental.”
Vano menatap mereka dengan tatapan pilu. “Mental aku tuh udah kena pas aku masuk rumah sakit. Jangan ditambah beban hidup aku.”
Reno menyandarkan punggung ke kursinya, menatap Vano dengan ekspresi berpikir. “Kalau gitu, kita kasih keringanan.”
Vano langsung bersemangat. “Beneran?”
“Iya. Mulai sekarang, kamu dapat dispensasi—”
Vano tersenyum senang.
“—untuk tetap menerima kartu +4 tanpa ngeluh.”
Ekspresi Vano langsung berubah. “Aku sumpahin kalian semua keseleo juga.”
Tawa pecah lagi. Ruangan yang tadinya penuh keluhan kini berubah menjadi tempat penuh canda.
Meski dirundung ‘penderitaan’, Vano akhirnya bisa tertawa juga.
Dan ini baru permulaan.
Drama Kaki dan Luka Tak Terlihat
Setelah hampir setengah jam bermain UNO dengan ketidakadilan sistematis—alias Vano selalu jadi sasaran kartu +4—akhirnya permainan dihentikan demi menjaga kesehatan mental pasien. Bukan karena kasihan, tapi karena Vano mulai mengancam akan mencabut infusnya sendiri.
“Aku ini pasien, harusnya dikasih semangat, bukan dihancurkan mentalnya,” gerutunya sambil menyandarkan kepala ke bantal.
Nanda mengambil segelas air dan menyerahkannya ke Vano. “Udah minum dulu, biar emosinya adem.”
Vano menerimanya dengan tatapan penuh curiga. “Kamu masukin garam, ya?”
“Ya ampun, aku segitu jahatnya di mata kamu?”
“Sejak aku kena +4 tiga kali berturut-turut, iya.”
Raga menyandarkan punggung ke kursinya sambil mendengus geli. “Udah, Van. Kamu juga nggak bakal selamanya di sini. Lusa juga udah boleh pulang.”
Vano langsung terbelalak. “Lusa?!”
Nanda mengerutkan kening. “Kenapa? Mau lebih lama?”
“Bukan gitu, tapi aku belum siap menghadapi kenyataan.”
“Kenapa emangnya?” Reno menatapnya curiga. “Kamu utang di kantin rumah sakit?”
Vano mendesah panjang, menatap langit-langit seperti seorang tokoh dalam drama yang hidupnya penuh tragedi. “Di rumah, aku nggak bakal bisa leha-leha kayak di sini. Paling baru sampai rumah, disuruh buang sampah, cuci piring, atau beli gas. Hidupku tuh keras.”
Tiga temannya langsung memandangnya tanpa ekspresi.
Raga menghela napas. “Kamu tuh ke rumah sakit buat sembuh, bukan buat pelarian dari kerjaan rumah.”
“Aku nggak bilang begitu. Aku cuma… butuh masa transisi.”
Nanda menepuk bahunya. “Tenang aja, aku bakal bantu kasih surat keterangan medis biar kamu nggak disuruh angkat galon dulu.”
Vano mendadak tersentuh. “Serius?”
“Nggak.”
“Keparat.”
Tawa meledak lagi.
Di tengah keributan itu, pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk membawa nampan berisi makanan. Menu standar rumah sakit—sup bening, sayur rebus, dan sepotong ayam tanpa rasa.
Vano menatapnya dengan ngeri. “Aku abis operasi kaki, bukan kehilangan selera makan.”
Perawat hanya tersenyum ramah. “Tetap harus dimakan, Mas. Biar cepat sembuh.”
“Cepat sembuh buat apa?” Vano menghela napas. “Biar pulang lebih cepat dan menghadapi realita?”
Perawat masih tersenyum. “Iya.”
Vano terdiam.
Setelah perawat keluar, Reno mengambil sumpit dan mengaduk isi sup Vano. “Kalau kamu nggak mau, aku bisa bantu habisin.”
Vano langsung menarik nampannya menjauh. “Tangan kamu masih najis sama dosa-dosa UNO tadi.”
“Pelit.” Reno mengedikkan bahu.
Raga menatap makanan Vano dengan ekspresi prihatin. “Aku nggak pernah percaya teori konspirasi, tapi kayaknya ada sesuatu di dunia ini yang bikin makanan rumah sakit selalu nggak enak.”
Nanda mengangguk setuju. “Kayaknya mereka sengaja. Kalau makanannya enak, orang-orang jadi betah sakit.”
Vano memandangi makanannya dengan ekspresi skeptis. “Kalau gitu, aku minta tambahan garam.”
“Jangan,” cegah Raga. “Nanti tekanan darahmu naik, terus kamu disuruh opname lagi.”
“Kalau opname lagi, aku bisa bebas dari kerjaan rumah lebih lama.”
Reno menatapnya tajam. “Kamu butuh pertolongan.”
Vano menghela napas, akhirnya menyendok supnya dengan pasrah. “Aku cuma realistis.”
Raga berdiri dan meregangkan tubuhnya. “Oke, udah cukup hiburan buat hari ini. Kita pulang dulu.”
Vano mendadak panik. “Eh, kok buru-buru?”
Nanda tertawa kecil. “Santai aja, besok kita ke sini lagi. Jangan rindu.”
“Yaelah, kamu pikir aku Dilan?”
Reno menepuk pundaknya sebelum berjalan keluar. “Jangan bikin drama. Istirahatlah dengan damai.”
Vano mendesah panjang, menatap pintu kamar yang kini kembali tertutup. Sekarang ruangan itu terasa lebih sepi. Tapi, untuk pertama kalinya sejak masuk rumah sakit, dia merasa sedikit lebih baik.
Tawa mereka masih terngiang di telinganya.
Siasat Pasien dan Rencana Pelarian
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Raga, Reno, dan Nanda kembali ke rumah sakit. Namun, begitu mereka masuk ke kamar pasien, mereka menemukan Vano sedang berdiri dengan satu kaki, mencoba meraih sesuatu di atas lemari kecil di samping tempat tidurnya.
“Astaga, Van! Mau mati beneran?!” seru Nanda, langsung menahan bahu Vano agar tidak jatuh.
Vano, yang nyaris kehilangan keseimbangan, cepat-cepat duduk kembali di ranjang. “Bukan gitu, aku cuma ambil handphone yang jatuh ke atas lemari.”
Raga menatapnya heran. “Jatuh ke atas?”
Vano terdiam beberapa detik. “Oke, jatuhnya bukan ke atas. Aku taruh di atas tadi terus nggak bisa ambil. Sama aja, kan?”
Reno menghela napas dan menjatuhkan diri ke kursi di dekat ranjang. “Van, kita nggak ada niat datang ke rumah sakit buat ngelihat kamu wafat.”
Vano mendecak kesal. “Santai aja, aku baik-baik aja.”
Nanda melipat tangan di dada. “Kemarin baru panik bakal disuruh kerja di rumah, sekarang malah maksa-maksa berdiri. Ini motivasi mendadak dari mana?”
Vano memutar bola matanya. “Gini lho, aku udah cukup lama di rumah sakit ini. Aku muak. Aku rindu kasurku sendiri, makanan ibuku, dan… yah, kebebasan.”
Raga mengerutkan kening. “Tapi kemarin kamu masih nyari alasan biar opname lebih lama.”
“Itu kemarin,” jawab Vano cepat. “Sekarang aku udah cukup menderita. Aku udah lihat cukup banyak drama rumah sakit di lorong-lorong. Aku nggak sanggup lagi.”
Reno mengangkat alis. “Jadi, kamu ngapain tadi? Mau kabur?”
Vano tersenyum kecil. “Aku nggak bakal kabur.”
Nanda menatapnya curiga. “Serius?”
“Ya… lebih ke… mencoba mempercepat proses kepulangan.”
“Dengan cara?”
Vano menyeringai. “Membuat dokter percaya kalau aku sudah sembuh total.”
Tiga temannya langsung menatapnya dengan tatapan penuh duka.
“Van,” kata Raga dengan nada prihatin. “Kamu tahu nggak kalau dokter itu sekolah bertahun-tahun buat baca kebohongan pasien kayak kamu?”
Vano mengangkat bahu. “Tapi dokter juga manusia. Mereka bisa tertipu.”
Reno menghela napas. “Ini bukan interview kerja yang bisa kamu tipu pakai jawaban diplomatis.”
Nanda menatap Vano tajam. “Kamu udah nyusun strategi?”
Vano langsung mengeluarkan selembar kertas dari bawah bantalnya. “Sudah.”
Mereka mencondongkan tubuh, membaca tulisan di kertas itu.
MISI PULANG LEBIH CEPAT
- Menunjukkan bahwa aku sudah bisa jalan sendiri.
- Memastikan dokter tidak melihat aku masih agak pincang.
- Berpura-pura sangat sehat dan berenergi.
- Menjawab semua pertanyaan dokter dengan mantap.
- Kalau ditanya sakit, jawab ‘nggak sama sekali’.
- Senyum dan meyakinkan dokter kalau aku udah siap pulang.
Raga mengelus wajahnya sendiri. “Van, ini rencana pelarian atau strategi wawancara?”
Vano mengangkat bahu. “Lebih ke strategi bertahan hidup.”
Nanda tertawa. “Aku salut sama niat kamu. Tapi kamu sadar nggak, kalau dokter yang nentuin kamu boleh pulang atau nggak itu udah pengalaman bertahun-tahun?”
Reno menambahkan, “Dan mereka juga pasti tahu pasien yang akting?”
Vano tetap tersenyum percaya diri. “Makanya aku latihan.”
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, dan dokter jaga masuk bersama seorang perawat.
Vano langsung berubah. Duduk tegak, tersenyum lebar, dan memasang wajah penuh energi. “Dok, saya udah sehat banget. Bisa pulang, kan?”
Dokter menatapnya datar, lalu membuka berkas. “Bagaimana kondisi kakinya? Masih sakit?”
“Enggak sama sekali, dok! Bahkan kalau disuruh lari juga bisa.”
Dokter melirik Reno, Raga, dan Nanda, yang langsung mengalihkan pandangan.
“Apa benar?” tanya dokter, kali ini pada mereka.
Nanda, Reno, dan Raga saling bertukar pandang.
Vano menatap mereka tajam. Seolah-olah dia sedang mengirimkan pesan telepati yang berbunyi: Kalau kalian buka mulut, persahabatan kita tamat.
Nanda tersenyum canggung. “Eh… ya, dia kelihatan… sehat, sih.”
Reno mengangguk cepat. “Iya, iya! Bahkan dia tadi hampir loncat-loncat.”
Raga menambahkan, “Bener, dok! Saya pikir malah dia nggak butuh infus lagi.”
Dokter mengangkat alis. “Oh, begitu?”
Perawat di belakangnya menahan tawa.
Dokter menutup berkas, lalu menatap Vano dengan ekspresi tenang. “Baiklah. Kalau begitu, saya mau lihat kamu berdiri dan jalan tanpa masalah.”
Vano langsung membeku.
Nanda, Reno, dan Raga diam-diam menahan napas.
Dengan sangat perlahan, Vano mencoba bangkit dari tempat tidur. Ia menjejakkan kakinya ke lantai dengan ekspresi penuh kepasrahan.
Satu langkah pertama berjalan baik. Langkah kedua… sedikit pincang. Langkah ketiga—
“Aduh!”
Vano nyaris jatuh, untungnya Reno langsung menangkapnya.
Dokter menyilangkan tangan di dada. “Jadi, ini yang kamu sebut ‘sembuh total’?”
Vano tertawa kaku. “Ehehe… mungkin ada sedikit mis-kalkulasi.”
Dokter menghela napas. “Kamu masih butuh waktu untuk pemulihan. Jadi, tahan dirimu beberapa hari lagi.”
Vano langsung terkulai di tempat tidur, menatap langit-langit dengan penuh keputusasaan. “Hidup ini keras.”
Nanda menepuk pundaknya sambil tertawa. “Udah, sabar. Besok kita ke sini lagi buat nemenin kamu.”
Vano hanya bisa menghela napas panjang. Rencana pelariannya gagal total. Tapi setidaknya, dia masih punya teman-teman yang setia mendukung—atau, lebih tepatnya, ikut menertawakan kegagalannya.
Kebangkitan Kawan
Hari-hari di rumah sakit itu terasa lebih panjang bagi Vano. Meskipun dia dikelilingi teman-temannya, suasana di sana membuatnya merasa terasing. Dia merindukan kebebasan dan segala yang biasa dilakukan. Namun, kedatangan Raga, Reno, dan Nanda selalu berhasil mengangkat suasana hatinya.
Suatu siang, saat cuaca cerah dan matahari bersinar hangat, teman-temannya datang membawa kejutan. Raga masuk sambil mengangkat sebuah kotak besar. “Aku bawa makanan!” serunya dengan penuh semangat.
Vano mengerutkan dahi. “Makanan? Di rumah sakit?”
Nanda mengangguk, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kita order dari tempat makan favorit kamu. Aku janji, ini lebih enak daripada menu rumah sakit.”
Vano langsung merasakan antisipasi. “Serius? Apa yang kalian bawa?”
Reno membuka kotak itu, dan aroma makanan lezat menyebar ke seluruh ruangan. “Coba lihat, ini burger, kentang goreng, dan milkshake cokelat!”
Wajah Vano langsung bersinar. “Wow! Ini adalah surga!”
Mereka semua duduk di sekitar ranjang Vano, dan mereka mulai menyantap makanan dengan lahap. Tawa dan cerita mengalir deras, membuat suasana semakin ceria. Di tengah makanan, Vano sesekali terbatuk, tetapi itu tidak menghentikannya untuk menikmati kebersamaan dengan sahabat-sahabatnya.
Setelah makan, Nanda melirik Vano dengan serius. “Van, kita perlu bicara soal rencanamu buat pulang.”
“Apalagi? Ini rumah sakit terbaik!” Vano berusaha menyembunyikan rasa frustrasinya.
Raga memukul bahu Vano. “Kita paham kamu merasa terkurung, tapi ini penting buat kesembuhanmu.”
“Aku tahu,” Vano mengeluh, “tapi semakin lama aku di sini, semakin aku merindukan hidupku yang normal. Aku bahkan kangen sama kasurku.”
Reno mengangguk. “Aku mengerti. Tapi ingat, kita semua ada di sini buat mendukungmu. Nggak ada yang lebih berharga daripada kesehatanmu.”
“Dan makanan,” tambah Nanda sambil menyodorkan sepotong burger ke arah Vano.
Vano tertawa. “Jadi, kalian mau bikin rencana baru?”
“Bagaimana kalau kita buat agenda harian?” saran Raga. “Setiap hari kita bisa bikin kegiatan seru biar kamu merasa tidak terasing.”
Nanda mengangguk semangat. “Kita bisa main game, nonton film, atau bahkan bikin pertunjukan seni.”
“Pertunjukan seni? Kenapa tidak?” Vano ikut bergairah. “Apa kalian ingin aku melukis? Aku jamin, hasilnya bakal bikin kalian menangis!”
Mereka semua tertawa, suasana hati Vano semakin membaik. “Bukan lukisan, tapi lebih ke… pertunjukan dengan tema. Misalnya, drama rumah sakit!”
Reno berdecak, “Jangan bilang kamu mau jadi pasien yang kabur?”
“Bisa jadi!” Vano tersenyum lebar, semangatnya pulih. “Tapi kali ini dengan twist—aku harus melawan dokter!”
Mereka semua terbahak-bahak, dan Vano merasakan betapa pentingnya kehadiran teman-temannya. Mereka membantu mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit dan keterasingan, menghadirkan tawa di balik luka yang dirasakannya.
Selama beberapa hari berikutnya, mereka menjalani aktivitas seru. Vano merasakan kehadiran sahabatnya menjadi obat mujarab. Mereka memainkan berbagai permainan, menonton film, dan bahkan menggelar pertunjukan kecil-kecilan di kamar rumah sakit, lengkap dengan aksesoris yang diambil dari barang-barang di sekitar.
Momen-momen kecil itu menjadikan Vano lebih bersemangat untuk sembuh. Dia menyadari bahwa dukungan dan cinta teman-temannya adalah kekuatan yang lebih besar daripada rasa sakit fisik yang dirasakannya.
Hari terakhir sebelum dia diperbolehkan pulang, dokter mengunjungi Vano. “Kondisi kamu sudah cukup baik, dan saya rasa kamu bisa pulang besok. Tapi ingat, pemulihan harus terus berlanjut di rumah.”
Vano langsung melompat kegirangan. “Benarkah? Aku akan pulang?”
“Ya, dengan catatan kamu mengikuti semua instruksi pengobatan dan istirahat yang cukup.”
Raga, Nanda, dan Reno langsung bersorak, merayakan berita baik itu. Vano merasa ringan, seperti beban besar terangkat dari bahunya.
Malam harinya, mereka berkumpul di kamar Vano, menyiapkan perayaan kecil. Mereka menyalakan lilin dan menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” versi konyol, sambil memutar lilin-lilin dari sisa-sisa makanan yang mereka bawa.
Vano menatap teman-temannya, merasa beruntung memiliki mereka. “Terima kasih, semuanya. Kalian benar-benar teman terbaik. Nggak hanya menghibur aku di saat-saat sulit, tapi juga membuat semuanya terasa lebih ringan.”
Mereka saling tersenyum, dan meskipun ada rasa sakit yang tersisa, keceriaan dan kebahagiaan merayakan momen itu membuat segalanya terasa lebih bermakna. Vano menyadari bahwa hidupnya tidak hanya tentang dirinya, tapi juga tentang orang-orang yang mencintainya.
Dan di tengah tawa, sakit, dan harapan, Vano menemukan kembali kekuatan untuk bangkit, siap menghadapi hidup dengan semangat baru. Sebuah perjalanan yang dimulai dari sebuah rumah sakit kini menjadi babak baru dalam hidupnya—dengan sahabat-sahabat yang selalu ada untuk mendukung, menggandeng tangan, dan menemaninya di setiap langkah.
Jadi, gitu deh! Kadang, di balik semua kesedihan dan rasa sakit, ada tawa yang bisa bikin segalanya terasa lebih ringan. Semoga cerita ini bisa bikin kamu mikir betapa pentingnya punya teman yang selalu siap bantu dan bikin hidup lebih berwarna. Jangan lupa, guys, tawa itu gratis, jadi manfaatin sebaik mungkin, ya!


