Mengunjungi Teman yang Berduka: Sebuah Cerita Tentang Persahabatan dan Penghiburan

Posted on

Jadi, ada kalanya hidup ini bener-bener bikin kita jatuh ke lubang hitam, ya. Nah, di sini ada cerita tentang dua sahabat yang berjuang bareng menghadapi duka. Baca yuk, siapa tahu kamu bisa nemuin makna dalam kesedihan mereka!

 

Mengunjungi Teman yang Berduka

Langit Kelabu di Rumah Arlano

Langit mendung menggantung rendah di atas rumah itu. Udara dingin seakan merambat hingga ke tulang, membuat suasana semakin berat. Di halaman depan, beberapa sandal dan sepatu berserakan, tanda bahwa rumah itu tak lagi sepi sejak kabar buruk datang.

Seorang pemuda melangkah mendekat, menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tak perlu menunggu lama, seorang perempuan paruh baya membukakan pintu. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab seperti habis menangis terlalu lama. Ia menatap pemuda itu sejenak, lalu mengangguk kecil dan mempersilakan masuk.

Di dalam rumah, keheningan lebih mendominasi daripada suara bisikan. Beberapa orang duduk di ruang tamu, berbicara pelan dengan kepala tertunduk. Wajah mereka muram, tak ada satu pun yang tersenyum.

Di sudut ruangan, seorang pemuda lain duduk sendirian di atas sofa. Rambutnya berantakan, matanya kosong menatap lantai. Seakan dunia di sekitarnya sudah tak lagi memiliki warna.

Pemuda yang baru datang itu berjalan mendekat. Ia menarik sebuah kursi kecil, lalu duduk di samping pemuda di sofa tanpa suara. Beberapa detik berlalu, tak ada yang berbicara.

“Kamu sudah makan?” tanyanya pelan.

Tak ada jawaban.

Ditatapnya wajah sahabatnya itu dengan seksama. Wajah yang biasanya penuh energi itu kini terlihat pucat dan lelah. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, seolah ia sudah berhari-hari tidak tidur.

“Aku nggak lapar,” jawab Arlano akhirnya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.

“Kamu harus makan, Lan.”

“Apa gunanya?”

Pemuda itu tak langsung menjawab. Ia mengerti maksud dari pertanyaan itu. Apa gunanya makan, apa gunanya tidur, apa gunanya melakukan apa pun saat satu bagian dari hidup seseorang tiba-tiba hilang begitu saja?

Dia menghela napas. “Karena kamu butuh tenaga buat bertahan.”

Arlano tak menanggapi. Ia masih menatap lantai, sesekali menarik napas panjang seakan paru-parunya terasa berat untuk bernapas.

Beberapa orang yang duduk di ruang tamu perlahan mulai berpamitan. Beberapa menepuk bahu Arlano dengan lirih sebelum pergi, meninggalkan suasana yang semakin sunyi.

Pemuda di sebelahnya tetap diam, tak beranjak.

“Aku nggak tahu harus bilang apa,” ujarnya akhirnya, jujur dari hati.

Arlano tersenyum kecil, bukan karena senang, tapi lebih seperti kelelahan. “Nggak usah bilang apa-apa.”

Lagi-lagi keheningan yang mengisi ruangan.

Di meja kecil di depan mereka, ada beberapa piring kosong dan gelas yang masih menyisakan sedikit teh. Tanda bahwa setidaknya, orang-orang yang datang tadi sempat makan sesuatu sebelum pulang. Tapi Arlano sendiri—tak tersentuh olehnya.

Melihat itu, pemuda di sampingnya bangkit. Ia berjalan ke dapur, menemukan teko teh yang masih hangat, lalu menuang segelas penuh sebelum kembali ke tempatnya semula.

“Minum, setidaknya.”

Arlano menatap gelas itu lama, lalu menggeleng.

Tanpa mengatakan apa-apa, pemuda itu mengambil roti yang tergeletak di piring, menggigitnya sedikit, lalu menatap sahabatnya. “Kalau aku makan, kamu juga harus makan.”

Arlano menoleh, menatapnya tanpa ekspresi. Lalu, tanpa berkata-kata, ia akhirnya mengulurkan tangan, mengambil sepotong kecil roti, dan mulai mengunyah.

“Pelan-pelan aja,” ujar pemuda itu.

Mereka makan dalam diam.

Setelah beberapa saat, Arlano tiba-tiba berbisik, nyaris seperti angin yang lemah, “Ini nggak adil.”

Pemuda itu menoleh.

“Kenapa harus dia?” lanjutnya, suaranya bergetar. “Kenapa bukan aku aja?”

Pemuda di sampingnya mengencangkan genggaman tangannya di atas lutut. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu yang bisa meringankan beban di hati sahabatnya, tapi tak ada kata-kata yang cukup untuk itu.

Jadi, ia hanya mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Arlano dengan lembut.

“Aku di sini,” katanya pelan.

Dan untuk pertama kalinya sejak hari itu, air mata yang selama ini tertahan akhirnya jatuh di pipi Arlano.

 

Kesedihan yang Tak Berbunyi

Arlano masih duduk di sofa yang sama. Hanya saja, kini tangannya mengepal di atas lutut, tubuhnya sedikit gemetar meski ia berusaha menahannya. Air mata yang tadi jatuh masih menyisakan jejak di pipinya, tapi ia tak menyeka.

Ruangan itu semakin sunyi. Orang-orang yang tadinya duduk di ruang tamu sudah pergi satu per satu. Kini hanya ada Arlano dan sahabatnya yang tetap bertahan di tempat.

Pemuda di sebelahnya tidak mengatakan apa-apa, tapi juga tidak pergi. Ia hanya duduk di sana, tidak mendesak, tidak bertanya.

Sesekali, Arlano menarik napas panjang, tapi bunyinya selalu bergetar di ujung. Ia menggigit bibir, seakan ingin menahan isakan yang hampir lolos. Tapi akhirnya, ia mengembuskan napas dan berbicara, suaranya serak.

“Aku nggak tahu gimana caranya berhenti nyalahin diri sendiri.”

Sahabatnya menoleh, tapi tetap diam.

“Aku yang nyuruh dia pulang lebih dulu,” lanjut Arlano, menatap kosong ke depan. “Aku yang bilang nggak usah nunggu aku selesai. Kalau aja aku nggak ngomong kayak gitu…”

Ia tidak melanjutkan kalimatnya, tapi maknanya sudah jelas.

Pemuda di sampingnya menghela napas perlahan, kemudian bersandar ke sofa. “Kamu nggak bisa terus-terusan mikirin ‘kalau aja’ kayak gitu, Lan.”

Arlano tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi lebih seperti orang yang terlalu lelah untuk merasa apa pun. “Gimana bisa? Itu salah aku.”

“Kamu pikir kalau kamu ada di sana, semuanya bakal beda?” sahabatnya bertanya tanpa nada menghakimi.

Arlano mengangguk, tanpa ragu.

Pemuda itu terdiam beberapa detik, lalu berkata, “Nggak ada yang tahu, Lan. Bisa aja kalau kamu ada di sana, kamu ikut…”

Ia tak menyelesaikan kata-katanya, tapi Arlano sudah paham.

Arlano meremas jari-jarinya sendiri, berusaha menenangkan debar di dadanya. “Aku nggak bisa tidur,” gumamnya. “Setiap kali merem, aku cuma bisa ngelihat dia di sana. Sendiri. Dingin. Aku nggak ada buat dia.”

Pemuda itu menatapnya lama.

Arlano menunduk lebih dalam, jemarinya mencengkeram kepalanya sendiri. “Aku nggak bisa, aku beneran nggak bisa. Aku ngerasa kayak—”

“Lan.”

Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan.

Arlano terdiam.

“Kamu nggak sendiri,” ujar pemuda itu. “Aku di sini. Aku nggak akan pergi.”

Arlano tak membalas. Bahunya masih bergetar halus, tapi isakannya tetap terpendam di tenggorokan.

Di luar, hujan mulai turun. Rintiknya mengetuk jendela dengan ritme pelan, seakan menangis bersama mereka.

 

Aku Ada di Sini

Hujan semakin deras. Udara di dalam rumah menjadi lebih dingin, seolah mencerminkan hati yang sedang beku dalam duka. Lampu ruang tamu yang temaram hanya mempertegas bayangan-bayangan panjang di dinding, menambah kesan muram yang menggantung sejak tadi.

Arlano masih di tempatnya. Bahunya tidak lagi bergetar, tapi matanya tetap merah, menatap kosong ke arah jendela yang dipenuhi titik-titik air.

Pemuda di sampingnya akhirnya berdiri. Ia meregangkan tubuhnya sebentar, lalu berjalan menuju dapur tanpa banyak suara. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan dua cangkir teh hangat, uapnya masih mengepul. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan salah satunya di depan Arlano.

Arlano melirik sekilas.

“Kamu nggak harus minum kalau nggak mau,” ujar sahabatnya, duduk kembali. “Tapi setidaknya, pegang ini. Biar tangan kamu nggak dingin.”

Arlano ragu sesaat, tapi akhirnya mengulurkan tangannya. Ia membungkus cangkir itu dengan kedua telapak tangannya, membiarkan hangatnya merambat ke kulit yang terasa beku.

Pemuda di sebelahnya ikut mengangkat cangkirnya sendiri dan meniup pelan sebelum menyeruputnya. Mereka kembali diam.

Beberapa saat kemudian, Arlano berbisik, “Aku nggak tahu gimana caranya lanjut hidup.”

Sahabatnya menatapnya sekilas, lalu meletakkan cangkirnya di meja. “Nggak ada yang tahu,” katanya jujur. “Nggak ada buku panduan buat ini. Kamu cuma bisa jalanin satu hari ke hari berikutnya.”

Arlano menunduk lebih dalam. “Tapi kenapa rasanya kayak semuanya nggak ada artinya lagi?”

Pemuda itu tak langsung menjawab. Ia menatap sahabatnya lama, lalu akhirnya berkata, “Karena kamu lagi ngerasa kehilangan sesuatu yang berarti. Itu wajar, Lan.”

Arlano menghembuskan napas panjang, tapi ada sedikit getaran di sana. Jemarinya mengetuk ringan bagian atas cangkir, pikirannya mengembara entah ke mana.

Pemuda di sampingnya mengubah posisi duduknya, kini sedikit lebih menghadap ke Arlano. “Kamu ingat waktu kita kecil, kamu pernah jatuh dari pohon jambu di rumahku?”

Arlano mengerutkan kening, sedikit bingung dengan perubahan arah pembicaraan. “Iya.”

“Kamu nangis hampir dua jam nonstop,” lanjutnya, sedikit tersenyum. “Padahal cuma lecet dikit.”

Arlano menatapnya tajam. “Itu bukan lecet dikit. Kaki aku bengkak tiga hari.”

Sahabatnya tertawa kecil. “Iya, iya. Tapi kamu ingat nggak apa yang aku bilang waktu itu?”

Arlano terdiam, mencoba mengingat.

“Aku bilang, ‘Tenang aja, Lan. Nanti sembuh.’ Dan waktu itu kamu nggak percaya, tapi lihat? Sekarang udah nggak ada bekasnya sama sekali.”

Arlano menghela napas. “Ini beda.”

“Tentu aja beda.” Pemuda itu mengangguk pelan. “Luka kayak gini nggak sembuh dalam tiga hari. Tapi bukan berarti nggak akan sembuh sama sekali.”

Arlano menatapnya lama, tapi tidak membantah.

Hujan di luar mulai mereda. Udara masih dingin, tapi cangkir di tangannya memberikan sedikit kehangatan yang entah bagaimana terasa lebih berarti.

“Kamu bakal ada di sini, kan?” suara Arlano nyaris seperti bisikan.

Pemuda itu menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, “Selama yang kamu butuhin.”

Arlano tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ada sedikit beban yang terasa berkurang dari dadanya.

 

Langit yang Kembali Biru

Pagi datang dengan pelan. Hujan semalam telah berhenti, meninggalkan sisa embun di jendela dan hawa dingin yang masih terasa menusuk. Aroma tanah basah bercampur dengan harumnya teh yang belum habis di meja.

Arlano masih duduk di tempatnya, tapi matanya kini tidak lagi kosong. Ada sisa kantuk yang terselip di sana, tapi juga sedikit kelegaan yang sebelumnya tak ada.

Sahabatnya masih di sampingnya, kali ini dengan posisi lebih santai. Ia melipat tangannya di dada, matanya terpejam, seperti seseorang yang tidak benar-benar tidur tapi juga tidak sepenuhnya terjaga.

Beberapa saat, tidak ada yang bersuara. Hanya suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding, mengisi keheningan dengan ritme konstan.

Arlano menggerakkan jarinya di atas cangkir yang sudah dingin, lalu akhirnya berkata, “Aku masih takut.”

Sahabatnya membuka matanya sedikit. “Takut apa?”

“Takut kalau aku nggak akan pernah bisa biasa lagi,” jawab Arlano pelan. “Takut kalau aku bakal terus ngerasa kehilangan ini selamanya.”

Pemuda itu menatapnya, lalu menghela napas. “Kamu bakal terus ngerasa kehilangan, Lan.”

Arlano mengangkat wajahnya, sedikit terkejut dengan jawaban yang begitu jujur.

“Tapi bukan berarti kamu nggak bisa biasa lagi,” lanjut sahabatnya. “Luka itu tetap ada, tapi suatu hari nanti, rasanya nggak bakal sesakit sekarang.”

Arlano diam.

“Kamu masih punya banyak hari di depan,” pemuda itu menambahkan. “Hari-hari yang bakal tetap jalan meskipun kamu belum siap. Jadi, kamu bisa memilih—tetap diam di sini selamanya, atau mulai belajar jalan lagi, pelan-pelan.”

Arlano menatap jendela. Matahari mulai muncul di balik sisa mendung, sinarnya samar tapi cukup untuk menerangi jalanan basah di luar.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” gumamnya.

Sahabatnya tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Arlano sekali. “Mulai dari nyelesain teh kamu dulu.”

Arlano melirik cangkirnya, lalu menghela napas dengan suara yang terdengar hampir seperti tawa.

Untuk pertama kalinya, pagi itu tidak terasa terlalu berat. Luka itu masih ada, kehilangan itu masih nyata, tapi langit yang sebelumnya kelabu kini mulai menunjukkan sedikit warna birunya.

Dan Arlano tahu, meski butuh waktu, meski jalannya panjang—ia tidak akan sendirian.

 

Yah, hidup emang nggak selalu cerah, tapi punya sahabat yang siap nungguin kita di sisi bisa jadi cahaya di tengah gelap. Cerita ini buktiin kalau persahabatan sejati bisa bantu kita bangkit lagi, meski dunia terasa runtuh. Semoga cerita ini bikin kamu lebih menghargai orang-orang di sekitarmu! Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Leave a Reply