Air Mata Seorang Ayah: Perjuangan Tanpa Kata

Posted on

Pernah nggak sih kepikiran seberapa jauh perjuangan orang tua buat kita? Kadang, kita sibuk ngejar mimpi sampai lupa ada seseorang di rumah yang selalu nungguin, selalu berdoa, dan nggak pernah ngeluh meskipun hidupnya berat. Ini cerita tentang seorang ayah, peluhnya, dan anak yang baru sadar kalau rumah bukan cuma tempat buat pulang—tapi juga tempat buat ngerti makna kasih sayang yang sebenarnya.

 

Perjuangan Tanpa Kata

Kayuhan di Bawah Lampu Jalan

Jatmiko mengayuh becaknya pelan di antara riuhnya jalanan kota. Lampu jalan berpendar oranye, menciptakan bayangan panjang di aspal basah. Udara masih menyisakan dingin selepas hujan, tapi Jatmiko tak peduli. Peluhnya bercampur dengan angin malam, membasahi punggungnya yang sudah mulai bungkuk karena bertahun-tahun menarik becak.

Di bangku belakang, seorang wanita paruh baya memegang erat kantong plastik berisi sayur-mayur. Matanya sibuk mengawasi jalanan yang becek, sementara Jatmiko tetap diam, fokus pada kayuhannya.

“Pak Jatmiko, belok kanan di depan ya,” ujar wanita itu.

Jatmiko hanya mengangguk. Kakinya mengayuh lebih dalam, mencoba menghindari lubang kecil di jalan. Becak bergoyang sebentar, tapi stabil kembali. Setelah beberapa menit, mereka sampai di gang sempit.

“Berapa, Pak?” tanya wanita itu sambil mengeluarkan dompet kecilnya.

Jatmiko mengusap peluh di dahinya, lalu menyebutkan harga dengan suara parau. Wanita itu menyerahkan beberapa lembar uang lusuh, lalu tersenyum. “Sehat-sehat ya, Pak.”

Jatmiko mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecil. “Iya, Bu. Hati-hati.”

Wanita itu masuk ke rumahnya, meninggalkan Jatmiko yang kini duduk termenung di bangku becak. Tangannya bergetar saat menghitung uang, tapi bukan karena dingin—lebih karena kelelahan yang semakin hari semakin sulit ia lawan.

Hatinya berbisik, ‘Masih cukup buat makan dan bayar listrik. Tapi buat biaya kuliah Dirga…?’

Jatmiko menarik napas panjang. Ia tak boleh menyerah.

Di rumah kontrakan kecilnya, Dirga sedang menunggu. Pemuda itu duduk di depan meja kecil, menatap buku-buku yang terbuka tapi pikirannya entah ke mana. Hanya ada satu hal yang terus berputar di kepalanya: ayahnya.

Bunyi derit pintu membuatnya menoleh. Jatmiko masuk dengan langkah perlahan, lalu meletakkan topinya di meja.

“Kamu belum tidur?” tanyanya.

Dirga tersenyum tipis. “Nunggu Bapak.”

Jatmiko duduk di kursi kayu usang, menghela napas. “Ngapain nunggu? Besok kan sekolah.”

“Cuma mau ngobrol,” jawab Dirga sambil menuangkan teh dari termos kecil ke dalam cangkir. “Bapak udah makan?”

Jatmiko menggeleng. “Nggak lapar.”

Dirga mendesah pelan. Jawaban itu terlalu sering ia dengar, dan ia tahu maksudnya: uang makan lebih baik disisihkan untuk hal lain.

Ia menyodorkan cangkir teh ke ayahnya. “Minum dulu, Pak.”

Jatmiko meraih cangkir itu, meniup permukaannya yang masih hangat. Tangannya yang kasar menggenggam erat keramik tipis itu, seolah takut kalau ia terlalu lemah, cangkir itu akan jatuh dan pecah.

“Aku dapet beasiswa, Pak,” kata Dirga tiba-tiba.

Jatmiko menatap anaknya. “Beasiswa?”

Dirga mengangguk. “Buat kuliah.”

Jatmiko meletakkan cangkirnya pelan. “Bagus, Nak. Terus kenapa wajahmu kayak orang kepikiran?”

Dirga menggigit bibirnya. “Beasiswanya di luar kota, Pak.”

Hening.

Jatmiko menatap meja, seakan mencari jawaban di antara serat-serat kayu yang sudah tua. “Terus, kamu mau pergi?”

“Aku…” Dirga menelan ludah. “Aku bisa cari kerja di sini sambil kuliah. Aku nggak harus pergi.”

Jatmiko tersenyum kecil, tapi matanya sedikit meredup. “Jangan bodoh, Dirga. Kalau ada kesempatan lebih baik, ambil.”

“Tapi—”

“Nggak ada tapi,” potong Jatmiko, suaranya lembut tapi tegas. “Bapak narik becak bukan buat kamu tetap di sini. Bapak kerja supaya kamu bisa dapet hidup yang lebih baik.”

Dirga mengepalkan tangannya di bawah meja. Hatinya berperang antara ingin memenuhi harapan ayahnya atau tetap di sampingnya.

Jatmiko menepuk bahu anaknya pelan. “Tidur, Nak. Jangan pikirin yang aneh-aneh.”

Dirga mengangguk pelan. Malam itu, ia tahu satu hal—keputusan sudah diambil, hanya saja hatinya belum siap menerimanya.

Di luar, hujan mulai turun lagi. Jatmiko menatap langit dari jendela kecil di dapurnya. Hujan seperti ini mengingatkannya pada banyak hal—tentang istrinya yang pergi terlalu cepat, tentang malam-malam ketika Dirga masih kecil dan ia harus mendongeng dengan suara lelah, tentang dirinya yang dulu masih kuat mengayuh becak tanpa harus berhenti setiap lima menit untuk menarik napas.

Ia tersenyum samar.

Masih ada hari esok. Masih ada tenaga yang bisa ia kumpulkan. Selama Dirga belum berangkat, ia masih bisa bekerja lebih keras lagi.

Peluhnya akan terus menetes. Tapi itu bukan masalah. Karena bagi seorang ayah, lelah tak pernah jadi alasan untuk berhenti berjuang.

 

Impian di Persimpangan Jalan

Pagi itu, embun masih melekat di dedaunan ketika Jatmiko sudah bersiap di depan rumah. Ia mengenakan kemeja lusuh dan celana yang warnanya mulai pudar, sementara becaknya terparkir di samping, siap menemaninya menyusuri jalanan kota seperti biasa.

Dirga berdiri di ambang pintu, menatap ayahnya dengan ragu. Hatinya masih berat. Semalam ia hampir tak bisa tidur, memikirkan satu hal yang kini semakin mendekat: kepergiannya dari rumah.

Jatmiko melirik anaknya sekilas. “Kenapa? Mukamu kusut begitu.”

Dirga tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Pak.”

Jatmiko menghela napas, lalu meraih topinya. “Kalau mau ngomong sesuatu, ngomong aja.”

Dirga terdiam sejenak. “Pak…”

Jatmiko menghentikan gerakannya, menunggu.

“Kalo aku pergi, Bapak sendirian di rumah. Nanti siapa yang masakin Bapak? Siapa yang nyiapin teh?”

Jatmiko tertawa kecil. “Dari dulu juga Bapak biasa sendiri sebelum kamu bisa masak.”

“Tapi…”

Jatmiko menepuk bahu anaknya. “Dengar, Nak. Kamu pikir Bapak kerja keras selama ini buat apa? Bukan cuma buat makan hari ini, tapi buat masa depan kamu juga.”

“Tapi kalau aku di sini, aku bisa bantu kerja.”

“Narikin becak?” Jatmiko tertawa kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Nggak usah sok jadi pahlawan, Nak. Kamu bukan cuma buat hidup di hari ini, kamu harus punya masa depan.”

Dirga mengalihkan pandangan. “Aku takut, Pak.”

Jatmiko menatapnya dalam. “Takut apa?”

“Takut ninggalin Bapak.”

Keheningan menyelimuti mereka. Angin pagi berembus pelan, membawa suara langkah-langkah orang di jalan kecil itu.

Jatmiko tersenyum, menahan getar di hatinya. “Dirga, Bapak nggak pernah takut sendirian. Yang Bapak takutkan cuma satu—kalo kamu nyesel karena nggak ambil kesempatan yang ada.”

Siang itu, Dirga pergi ke sekolah untuk mengurus dokumen beasiswanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seperti ada beban yang terus menekan dadanya.

Di gerbang sekolah, ia bertemu dengan Adnan, sahabatnya sejak kecil.

“Muka lo kok kayak abis digebukin?” tanya Adnan, menaikkan alis.

Dirga mendesah. “Gue dapet beasiswa ke luar kota.”

Adnan terdiam sebentar. “Terus lo mikir apa lagi? Pergi aja, lah.”

Dirga menendang kerikil kecil di tanah. “Bokap gue sendirian di rumah.”

Adnan menepuk pundaknya. “Lo pikir bokap lo mau lo tetap di sini cuma buat nemenin dia? Nggak, Ga. Dia pasti lebih pengen lo sukses.”

Dirga tahu, kata-kata itu benar. Tapi mengerti sesuatu bukan berarti bisa langsung menerima.

Mereka berjalan menuju ruang administrasi, melewati lorong yang penuh dengan suara murid-murid yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Di meja pendaftaran, Dirga menyerahkan dokumen yang sudah ia lengkapi.

Salah satu petugas memeriksanya, lalu tersenyum. “Selamat, ya. Kalau tidak ada kendala, awal bulan depan kamu sudah bisa mulai kuliah.”

Awal bulan depan.

Itu artinya ia punya waktu kurang dari satu bulan untuk bersiap.

Ia menelan ludah. Rasanya terlalu cepat.

Sementara itu, Jatmiko masih mengayuh becaknya di bawah terik matahari. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tapi ia memaksakan diri. Setiap tarikan napasnya adalah pengingat bahwa ia masih punya tugas untuk diselesaikan—mengantarkan Dirga ke masa depan yang lebih baik.

Sore itu, ia berhenti di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan. Ia menuangkan teh dari termos kecil yang dibawanya, lalu menyesapnya perlahan.

Di sampingnya, seorang pria seusianya duduk dengan rokok di tangan. “Pak Jatmiko, saya denger Dirga dapet beasiswa?”

Jatmiko tersenyum bangga. “Iya, Mas.”

“Wah, hebat! Tapi kalau dia pergi, situ sendirian dong di rumah?”

Jatmiko terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Iya.”

“Terus gimana? Nggak berat?”

Jatmiko tersenyum kecil. “Yang berat itu kalau dia nggak punya masa depan.”

Pria itu mengangguk pelan, lalu menepuk bahu Jatmiko. “Salut saya sama situ. Semoga Dirga sukses, Pak.”

Jatmiko hanya mengangguk. Di dalam hatinya, ia tahu—perpisahan itu akan datang cepat atau lambat. Yang bisa ia lakukan hanyalah memastikan bahwa saat itu tiba, ia sudah memberikan yang terbaik.

Malamnya, di rumah kecil itu, Dirga duduk bersama ayahnya di beranda. Mereka hanya diam, menikmati keheningan sambil menatap langit yang bertabur bintang.

“Pak,” panggil Dirga pelan.

“Hm?”

“Aku akan pergi.”

Jatmiko menoleh dan tersenyum tipis. “Bapak tahu.”

“Aku janji bakal pulang.”

Jatmiko mengangguk. “Bapak selalu nunggu.”

Angin malam berembus pelan, membawa harapan yang tumbuh di antara mereka.

 

Peluh yang Tak Pernah Mengering

Hari keberangkatan semakin dekat. Setiap detik yang berlalu terasa seperti pasir yang perlahan jatuh dari genggaman. Dirga mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa ia akan pergi, tapi tetap saja ada sesuatu yang mengganjal di dadanya setiap kali melihat ayahnya bekerja keras dari pagi hingga malam.

Pagi itu, Dirga bangun lebih awal dari biasanya. Ia berjalan ke dapur dan melihat ayahnya sedang duduk di meja kayu tua, menikmati segelas teh panas.

“Pak, aku ikut narik becak hari ini.”

Jatmiko mengangkat alis. “Becak itu berat. Kamu yakin kuat?”

Dirga tertawa kecil. “Bapak udah umur segini aja kuat, masa aku yang masih muda nggak bisa?”

Jatmiko mendengus. “Jangan nantangin Bapak. Kamu tahu nggak, becak ini udah nemenin Bapak lebih lama daripada umur kamu sekarang?”

Dirga menghela napas. “Justru itu, Pak. Aku mau coba, biar ngerti rasanya.”

Jatmiko menatap anaknya dalam-dalam, lalu akhirnya mengangguk. “Yaudah, kita coba.”

Di jalanan kota yang mulai ramai, Dirga duduk di atas sadel becak sementara Jatmiko berdiri di sampingnya, mengawasi dengan tangan bersedekap.

“Ayok, coba genjot.”

Dirga mengambil napas dalam, lalu mulai mengayuh. Awalnya, roda becak bergerak lambat, terasa berat seperti ada beban yang mengikat kakinya.

“Berat banget, Pak!” keluhnya.

Jatmiko tertawa. “Makanya, Bapak bilang becak ini bukan buat gaya-gayaan. Ini alat buat cari makan, dan nggak semua orang bisa.”

Dirga terus mengayuh, otot-otot di kakinya mulai terasa pegal hanya dalam beberapa menit. Keringat mengalir di pelipisnya meskipun matahari belum terlalu terik.

Jatmiko berjalan santai di sampingnya. “Kamu baru beberapa menit aja udah ngos-ngosan. Bapak udah berapa puluh tahun begini.”

Dirga mengernyit, menarik napas panjang. “Tapi kenapa Bapak nggak pernah ngeluh?”

Jatmiko tersenyum samar. “Karena kalau Bapak ngeluh, siapa yang bakal dengerin?”

Dirga terdiam.

Jatmiko melanjutkan, “Kita hidup bukan buat dikasihani orang lain, Nak. Kita hidup buat jalanin apa yang harus dijalanin. Ngeluh nggak bakal bikin hidup lebih ringan, malah bikin tambah berat.”

Dirga menatap ayahnya yang tampak begitu tenang. Di usianya yang tak lagi muda, Jatmiko tetap kokoh berdiri, tetap kuat mengayuh meski tubuhnya tak sekuat dulu.

Peluh yang jatuh di dahinya bukan sekadar keringat biasa. Itu adalah bukti dari perjuangan panjang, dari malam-malam tanpa keluhan, dari hari-hari berat yang ia jalani demi anaknya.

Dirga mengeratkan genggamannya di setang becak. Ia tahu, sebentar lagi ia akan pergi meninggalkan ayahnya. Tapi satu hal yang pasti—ia tak akan pernah melupakan ini.

Malam itu, setelah makan malam sederhana, Dirga kembali berbicara dengan ayahnya di beranda.

“Pak, kalau aku sukses nanti, aku janji bakal balik bawa sesuatu buat Bapak.”

Jatmiko tersenyum. “Bapak nggak butuh apa-apa.”

“Tapi aku mau kasih sesuatu.”

Jatmiko menatap langit, lalu berkata pelan, “Kalau mau kasih sesuatu buat Bapak, jadilah orang yang baik. Itu aja cukup.”

Dirga menelan ludah. Kata-kata itu terasa berat, jauh lebih berat daripada becak yang tadi siang ia kayuh.

Jatmiko menepuk bahunya, lalu berdiri. “Udah malam. Tidur sana. Besok kamu harus siap-siap buat pergi.”

Dirga memandang punggung ayahnya yang berjalan masuk ke dalam rumah. Ada sesuatu yang aneh di dadanya—sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Ia sadar, ia akan segera meninggalkan rumah ini.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa takut akan hari esok.

 

Langkah yang Membawa Pulang

Hari keberangkatan tiba lebih cepat dari yang Dirga kira. Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja. Dirga berdiri di depan rumah dengan ransel besar di punggungnya.

Jatmiko berdiri di samping becaknya, mengenakan kemeja lusuh yang biasa ia pakai bekerja. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang anaknya dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Pak… aku berangkat,” ujar Dirga, suaranya terdengar lebih serak dari biasanya.

Jatmiko mengangguk pelan. “Jaga diri di sana.”

Dirga ingin mengatakan banyak hal—ingin berjanji, ingin memastikan bahwa ia akan sukses, ingin berterima kasih untuk semua yang telah ayahnya lakukan. Tapi lidahnya kelu.

Jatmiko tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangannya. Dirga menatap tangan itu lama sebelum akhirnya menggenggamnya erat. Tangan yang kasar, penuh dengan kapalan, tapi juga tangan yang telah membangun masa depannya dengan keringat dan air mata.

Tanpa banyak kata, Dirga melangkah menuju terminal. Setiap langkah terasa berat. Ia tahu, ini bukan sekadar kepergian sementara—ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah hidupnya.

Waktu berlalu.

Bertahun-tahun setelah hari itu, Dirga kembali. Kini ia bukan lagi pemuda dengan tas ransel dan mimpi yang masih samar. Ia telah berdiri di tempat yang lebih tinggi, mencapai apa yang dulu ia impikan.

Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah—rumah itu, tempat yang selalu ia rindukan.

Dirga turun dari mobil, matanya menelusuri pekarangan rumah yang sudah tampak lebih tua. Becak ayahnya masih ada di sudut halaman, meski kini terlihat lebih usang.

Ia berjalan masuk, dan di sanalah ia melihatnya—Jatmiko, yang kini tubuhnya lebih kurus dari yang ia ingat, duduk di kursi tua dengan tatapan menerawang ke kejauhan.

“Pak…”

Jatmiko menoleh, mata tuanya melebar seketika saat melihat sosok yang sudah lama pergi itu berdiri di hadapannya.

Dirga berlutut di hadapan ayahnya, menggenggam tangan yang dulu ia tinggalkan. “Aku pulang, Pak.”

Jatmiko menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.

“Kamu pulang… akhirnya.”

Di saat itu, Dirga sadar bahwa tidak peduli seberapa jauh ia melangkah, seberapa tinggi ia mencapai dunia—pulang adalah satu-satunya tempat yang selalu ia cari.

Dan di hadapan ayahnya, ia bukan lagi seseorang yang ingin memberikan sesuatu untuk membalas semua perjuangan itu.

Ia hanya seorang anak yang ingin pulang.

 

Hidup itu kejam, tapi orang tua nggak pernah nyerah buat kita. Mereka nggak pernah minta balasan, nggak pernah minta lebih. Mereka cuma pengen lihat kita bahagia.

Jadi, sebelum semuanya terlambat, coba deh tengok sebentar ke belakang. Jangan sampai kita terlalu sibuk ngejar dunia, sampai lupa sama satu-satunya orang yang selalu ada buat kita dari awal—tanpa pamrih, tanpa syarat, tanpa kata-kata.

Leave a Reply