Cerpen Mengharukan: Janji Kakak, Selamanya Ada

Posted on

Kadang, adik kakak itu kayak Tom & Jerry—tiap hari berantem, tapi kalau satu sakit, yang lain panik. Begitu juga Elara dan Rava. Hidup mereka biasa aja, sampai satu pertanyaan dari Rava bikin semuanya berubah. Ada sesuatu yang selama ini dikunci rapat, dan saat rahasia itu kebuka… rasanya kayak dihantam badai di dada. Siap-siap tisu, ya.

 

Janji Kakak, Selamanya Ada

Ayunan di Bawah Senja

Senja melukiskan warna keemasan di langit, membentangkan semburat oranye yang perlahan memudar ke biru tua. Udara sore terasa sejuk, membawa aroma tanah yang masih menyimpan jejak hujan pagi tadi. Di halaman belakang rumah bercat putih dengan pagar kayu rendah, dua sosok kecil berlarian di antara ilalang yang bergoyang tertiup angin.

“Rava, jangan lari kenceng-kenceng!” suara Elara terdengar setengah cemas, setengah kesal.

“Aku duluan! Aku yang naik ayunan dulu!” sahut Rava sambil tertawa, tangannya terentang seperti hendak menangkap angin. Langkah kecilnya hampir melayang saat ia melesat menuju ayunan tua yang tergantung di bawah pohon rindang di sudut halaman.

Elara berhenti, menatap adiknya yang sudah duduk di ayunan, mengayun perlahan dengan kaki kecilnya yang berayun-ayun di udara.

“Kamu curang. Aku belum siap!” protesnya sambil mengembungkan pipi.

Rava hanya menyeringai. “Siapa cepat dia dapat, Kak.”

Elara mendekat dengan langkah sengaja dibuat lambat, lalu berdiri di depan Rava dengan tangan bersedekap. Mata hitamnya menatap adiknya yang masih tersenyum penuh kemenangan.

“Turun, gantian,” katanya tegas.

Rava menggeleng pelan. “Nggak mau.”

Elara menghela napas panjang, lalu melirik ayunan di sebelahnya yang kosong. Dengan ekspresi malas, ia menjatuhkan diri di atas ayunan itu dan mulai berayun pelan.

“Kalau nggak mau gantian, ya sudah,” gumamnya, pura-pura acuh.

Mata Rava berbinar sesaat sebelum beralih menatap kakaknya. “Kak, kamu bisa ayunan lebih tinggi dari aku nggak?”

Elara menoleh, lalu tersenyum tipis. “Bisa banget.”

Tanpa menunggu lebih lama, ia mulai mengayunkan tubuhnya lebih kuat, kaki kecilnya menekan tanah, lalu melayang ke depan dan ke belakang dengan ritme yang makin cepat. Angin meniup rambutnya yang diikat dua, membuatnya tampak seperti anak kecil dari cerita dongeng.

Rava melongo. “Kakak tinggi banget! Aku juga mau!”

“Tinggal ayun lebih kuat,” Elara menjawab santai.

Rava mencoba. Ia menggoyangkan tubuhnya ke depan dan belakang, berusaha mengikuti ritme kakaknya. Sayangnya, karena ayunannya lebih rendah, ia justru kehilangan keseimbangan dan hampir terpental.

“Kakak! Tolong!” serunya panik.

Elara segera menghentikan ayunannya dan melompat turun. Dalam satu gerakan cepat, ia memegang tali ayunan Rava sebelum adiknya benar-benar jatuh.

“Hati-hati! Kamu nggak boleh maksa kalau belum bisa,” tegur Elara, ekspresinya berubah serius.

Rava mendengus, menunduk kecewa. “Aku cuma pengen kayak kakak…”

Melihat wajah adiknya yang murung, Elara menghela napas dan mengusap rambut Rava lembut. “Dengar ya, kalau mau tinggi, kamu harus pelan-pelan. Jangan buru-buru.”

“Beneran bisa?”

“Tentu. Aku ajarin, mau?”

Rava langsung mengangguk penuh semangat.

Elara tersenyum kecil, lalu berdiri di belakang adiknya. Tangannya memegang kedua tali ayunan, memastikan keseimbangannya sebelum mulai mendorongnya perlahan.

“Siap?”

“Siap!”

Elara mulai mendorong. Pelan pada awalnya, lalu sedikit lebih kuat. Rava tertawa senang saat merasakan tubuhnya melayang ke udara. Kali ini, ia tak lagi takut.

“Kakak, aku terbang!” serunya girang.

Elara tertawa. “Pelan-pelan, kamu masih belajar.”

Angin sore terus berhembus, membawa suara tawa mereka ke langit yang semakin gelap. Mereka tak peduli waktu, tak peduli malam yang mulai datang. Yang mereka tahu, saat ini hanya ada mereka berdua—dua saudara yang selalu bersama, berbagi tawa di bawah senja yang perlahan tenggelam.

 

Tawa di Bawah Hujan

Malam berlalu, digantikan pagi yang cerah dengan angin sepoi-sepoi menyelinap di antara tirai jendela. Aroma tanah basah masih tersisa, jejak hujan semalam yang membasahi halaman belakang rumah. Di bawah langit yang kini berwarna biru jernih, Elara dan Rava sudah duduk di teras, masing-masing dengan buku di pangkuan mereka.

“Kak, aku nggak ngerti ini,” gumam Rava sambil menunjuk soal matematika di bukunya.

Elara melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. “Coba baca ulang, deh. Pahami soalnya pelan-pelan.”

Rava mendengus pelan, tapi tetap menurut. Ia membaca kembali soal itu dengan mata menyipit, seolah dengan begitu jawabannya akan muncul sendiri. Sementara itu, Elara asyik menggambar di buku catatannya. Garis-garis tipis mulai membentuk dua sosok kecil yang tengah bermain di ayunan.

“Kak, aku tetep nggak ngerti,” Rava mengeluh lagi.

Elara menutup bukunya dan mencondongkan tubuhnya ke arah adiknya. “Sini, aku ajarin.”

Dengan sabar, Elara menjelaskan satu per satu langkahnya. Sesekali ia mencoret angka di halaman, membuat ilustrasi sederhana agar lebih mudah dipahami. Rava mengangguk-angguk, meski sesekali alisnya mengerut.

“Jadi gitu?” tanyanya ragu.

Elara tersenyum. “Coba kerjain sendiri.”

Rava menghela napas, lalu mulai menuliskan jawaban. Setelah beberapa menit bergelut dengan angkanya sendiri, ia mengangkat kepala dengan mata berbinar. “Kak! Aku bisa!”

“Nah, kan. Aku bilang juga apa.”

Tawa kecil mereka berbaur dengan angin pagi. Tapi kebersamaan mereka tak berlangsung lama karena tiba-tiba langit yang semula cerah berubah mendung. Angin yang tadinya lembut kini mulai kencang, mengibarkan rambut Elara dan menerbangkan beberapa lembar kertas dari buku catatannya.

“Eh, hujan mau turun lagi,” gumamnya sambil meraih buku dan menggenggamnya erat.

Rava menengadah, menatap awan kelabu yang menggantung di langit. “Kalau hujan, kita nggak bisa main di ayunan, dong…”

Seakan menjawab keluhan Rava, gerimis mulai turun. Butiran air jatuh di atas genting, membentuk nada ritmis yang lembut. Awalnya hanya gerimis halus, tapi lama-lama semakin deras.

Elara bangkit, menarik tangan Rava. “Ayo masuk sebelum basah.”

Tapi Rava justru menggeleng. “Aku mau main hujan.”

Elara menatap adiknya dengan dahi berkerut. “Nanti sakit.”

“Cuma sebentar, Kak! Aku belum pernah main hujan.”

Elara menghela napas panjang. Ia menatap butiran air yang mulai menari di udara, menyapu dedaunan dan tanah dengan aroma segar. Sesaat, ia teringat masa kecilnya—saat ia juga pernah meminta hal yang sama pada ibunya.

“…Oke. Tapi cuma sebentar.”

Mata Rava berbinar, secepat kilat ia melepas sandalnya dan berlari ke halaman. Hujan membasahi rambut dan bajunya, tapi ia tak peduli. Ia mengangkat tangan ke langit, tertawa kecil saat merasakan tetesan air mengenai telapak tangannya.

Elara hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu akhirnya ikut melangkah ke halaman, membiarkan hujan menyapu kulitnya.

“Kak, coba lihat ini!” Rava menengadah, lalu membuka mulutnya lebar-lebar.

Elara tertawa. “Kamu ngapain?”

“Minum hujan!” jawabnya polos.

Elara menggeleng, lalu mengusap wajahnya yang mulai basah. “Dasar aneh.”

Tapi, tanpa sadar, ia pun ikut membuka mulutnya, mencoba menangkap beberapa tetes hujan. Mereka tertawa bersama, berlarian di tengah halaman, melompat-lompat di atas genangan kecil, membiarkan kaki mereka berlumpur. Hujan turun semakin deras, tapi tak ada yang bisa menghentikan keceriaan mereka.

Di balik jendela, ibu mereka mengintip dengan senyum tipis. Ia tak berkata apa-apa, hanya menghela napas sambil mengambil handuk yang nanti pasti dibutuhkan dua anaknya yang kini asyik berlarian di bawah hujan.

Hari itu, Elara dan Rava belajar satu hal: hujan bukan hanya tentang air yang jatuh dari langit. Hujan adalah tawa, kenangan, dan kebahagiaan yang akan selalu mereka ingat.

 

Senja yang Berbeda

Hujan akhirnya reda, meninggalkan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya matahari sore. Langit yang tadinya kelabu kini mulai bergradasi oranye keemasan, seolah ikut tersenyum melihat dua anak yang masih tertawa di halaman rumah.

Elara dan Rava berdiri di teras, masih basah kuyup dengan rambut yang menempel di wajah mereka. Ibu datang sambil membawa handuk, wajahnya setengah pasrah, setengah geli melihat tingkah mereka.

“Ayo masuk. Sebelum kalian berdua berubah jadi kodok.”

Rava terkikik, sementara Elara hanya mengangkat bahu. “Kalau kita berubah jadi kodok, Kakak pasti jadi kodok yang lebih gede,” celetuk Rava.

Elara mencubit lengannya pelan. “Kurang ajar, kamu.”

Ibu hanya menggeleng sambil mengusap rambut mereka satu per satu dengan handuk. “Sudah, cepat mandi dan ganti baju. Kakak, awasi Rava, ya.”

“Iya, Bu.”

Setelah mandi dan berganti pakaian bersih, Elara turun ke dapur, mendapati Rava sudah duduk di kursi dengan semangkuk mie rebus di depannya. Asapnya mengepul, menghangatkan udara yang masih sedikit dingin.

“Kak, sini! Aku buatin mie buat kamu juga.”

Elara mendekat, menatap mie di mangkuk Rava dengan curiga. “Kamu yang bikin?”

“Iya!”

“Serius?”

“Serius.”

Elara mengangkat alis, lalu menoleh ke arah ibu yang sedang sibuk di dekat kompor. “Bu?”

Ibu tertawa kecil. “Dia cuma nuangin mie ke mangkuk, Kakak. Yang masak tetap Ibu.”

Rava mendengus kesal. “Yah, tetep aja aku yang buatin!”

Elara duduk dan meniup mie di sendoknya sebelum memasukkan ke mulut. Rasanya gurih, menghangatkan perut yang mulai lapar setelah bermain hujan tadi. Rava menyeringai puas.

Sambil menikmati makanannya, Elara menatap keluar jendela. Langit mulai berubah warna, lebih gelap. Senja perlahan tergantikan malam, dan rasa nyaman mulai merayapi dadanya.

Tapi tiba-tiba, Rava bersuara, nada suaranya lebih pelan dari biasanya. “Kak…”

Elara menoleh. “Hmm?”

“Aku boleh tanya sesuatu?”

Melihat ekspresi Rava yang mendadak serius, Elara ikut merapikan duduknya. “Tanya apa?”

Rava menggigit bibirnya sebentar, lalu berbisik, “Kenapa Ayah nggak pernah pulang?”

Suara yang tadinya riuh di dapur tiba-tiba menghilang. Ibu, yang tengah membereskan piring, mendadak terdiam.

Elara ikut terdiam.

Sudah lama pertanyaan itu tidak diungkit. Sudah bertahun-tahun mereka tidak pernah mendengar kabar dari Ayah, dan selama itu pula mereka seakan membiarkan waktu berlalu tanpa mencoba mencari tahu.

Ibu akhirnya bersuara, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Rava… nanti kalau sudah waktunya, Ibu akan cerita.”

“Tapi, Bu—”

“Sudah, ayo makan.” Ibu tersenyum tipis, tapi sorot matanya melembut, seolah berusaha menenangkan anak bungsunya.

Rava mengembungkan pipinya, tapi akhirnya menurut. Ia kembali menyuap mie-nya, meski gerakannya lebih pelan dari sebelumnya.

Elara diam-diam meraih tangan Rava di bawah meja, menggenggamnya erat. “Aku di sini, oke?”

Rava mengangkat kepalanya, menatap kakaknya, lalu mengangguk pelan.

Malam itu, setelah semuanya selesai makan dan beranjak tidur, Elara masih terjaga di kamar. Ia memandangi langit malam dari jendela, memikirkan kata-kata Rava tadi.

Kenapa Ayah nggak pernah pulang?

Itu juga pertanyaan yang ada di benaknya sejak lama.

Tapi berbeda dengan Rava, ia memilih untuk tidak bertanya. Karena jauh di dalam hatinya, ia takut dengan jawabannya.

 

Jawaban yang Tak Terucap

Malam semakin larut. Suara jangkrik terdengar dari luar, menyatu dengan desir angin yang sesekali menyentuh jendela kamar. Elara masih terjaga, memeluk lutut di atas tempat tidur sambil memandangi langit malam.

Di tempat tidurnya, Rava sudah tertidur pulas. Napasnya teratur, wajahnya tampak damai, seakan pertanyaan yang ia lontarkan tadi sore tak pernah ada.

Tapi tidak dengan Elara.

Pikirannya penuh dengan bayangan masa lalu. Tentang Ayah. Tentang kepergiannya yang tanpa penjelasan. Tentang bagaimana Ibu selalu menghindari pembicaraan tentang beliau.

Dan tentang bagaimana selama ini ia berpura-pura baik-baik saja di depan Rava, padahal ia juga sama-sama bertanya-tanya.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.

“Elara?”

Suara Ibu.

Elara buru-buru menghapus sudut matanya yang sedikit basah sebelum menjawab, “Iya, Bu?”

Ibu masuk, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan Rava. Beliau duduk di sisi tempat tidur Elara, menghela napas sebelum berkata, “Kamu masih kepikiran pertanyaan Rava tadi, ya?”

Elara menggigit bibirnya. “Aku juga mau tahu, Bu. Aku udah cukup besar untuk dengar jawabannya, kan?”

Ibu terdiam. Ada ragu di matanya, seolah ada sesuatu yang selama ini ingin disimpan rapat-rapat.

Beberapa saat, hanya keheningan yang ada di antara mereka.

Lalu, akhirnya Ibu berbicara.

“Ayah… pergi bukan karena dia ingin, Elara.”

Elara menahan napas.

“Dia sakit.”

Jantungnya mencelos. “Sakit?”

Ibu mengangguk, suaranya bergetar. “Penyakit yang nggak bisa disembuhkan. Dia nggak mau kita melihatnya melemah… Dia nggak mau kamu dan Rava melihatnya menderita. Jadi, dia memilih pergi.”

Elara menggigit bibirnya lebih keras.

Kenapa harus pergi? Kenapa harus meninggalkan mereka tanpa penjelasan?

Seolah bisa membaca isi hatinya, Ibu melanjutkan, “Dia sayang sama kalian, Elara. Dia selalu kirim kabar ke Ibu, meski Ibu nggak pernah kasih tahu kalian. Aku juga bingung harus gimana…”

Elara menunduk, merasakan hatinya mencelos. Selama ini ia marah, kecewa, merasa Ayah meninggalkan mereka tanpa alasan. Tapi sekarang, ia hanya merasa sedih.

“Dia… masih ada di luar sana?” Suaranya nyaris seperti bisikan.

Ibu tersenyum tipis, tapi sedih. “Sudah tidak ada, Nak.”

Dunia Elara seperti berhenti sejenak.

Ayah sudah tiada.

Semua harapan, semua pertanyaan yang ia simpan selama ini… tak akan pernah mendapatkan jawaban secara langsung dari Ayah.

Tapi setidaknya, kini ia tahu alasannya.

Tangannya mengepal di atas selimut, berusaha menahan emosi yang mendesak dadanya. Ibu meraih tangannya, menggenggamnya erat seperti ia menggenggam tangan Rava tadi.

“Elara…”

“Iya, Bu?”

“Jangan kasih tahu Rava dulu.”

Elara terdiam. Ia ingin protes, ingin mengatakan bahwa Rava berhak tahu, tapi saat ia melirik adiknya yang tidur dengan begitu damai, hatinya melembut.

Rava masih kecil. Mungkin belum saatnya.

Akhirnya, Elara mengangguk. “Oke, Bu.”

Ibu mengusap kepalanya penuh kasih, lalu beranjak pergi.

Saat pintu menutup pelan, Elara menatap langit malam sekali lagi. Ada sesuatu di dadanya yang masih terasa berat, tapi kini ia mengerti.

Ia berbaring di samping Rava, menarik selimutnya, dan tanpa sadar menggenggam tangan adiknya.

Ia tidak bisa mengubah masa lalu, tidak bisa bertemu Ayah untuk terakhir kalinya. Tapi ia masih punya Rava. Masih punya Ibu.

Dan itu cukup.

 

Hidup nggak selalu kasih jawaban yang kita mau. Kadang, kita cuma bisa terima dan jalan terus. Tapi satu hal yang pasti: adik kakak tuh kayak benang yang nggak bakal putus.

Meski dunia jungkir balik, selama masih ada mereka, kita nggak pernah benar-benar sendirian. Jadi, kalau kamu punya adik atau kakak, jangan lupa bilang makasih atau sayang meski cuma sekali. Trust me, mereka butuh dengar itu.

Leave a Reply