Menggunakan Waktu Sebaik Mungkin: Pelajaran Hidup yang Mengubah Segalanya

Posted on

Pernah nggak sih kamu merasa waktu berlalu begitu cepat, tapi nggak ada yang berkesan? Nah, cerpen ini bakal ngingetin kita semua soal betapa berharganya waktu.

Cerita ini nggak cuma buat kamu yang pengen tau gimana cara memanfaatin waktu dengan bijak, tapi juga buat kamu yang mungkin udah mulai merasa waktu tuh kayaknya selalu habis begitu aja. Yuk, simak dan lihat gimana setiap detik bisa jadi kesempatan berharga!

 

Menggunakan Waktu Sebaik Mungkin

Sisa Waktu yang Tersisa

Senja itu, langit seperti memanjakan mata, menggantungkan warna oranye keemasan di atas kota kecil yang mulai sepi. Jalan-jalan di sekitar rumah Abel, yang dulu dipenuhi orang-orang beraktivitas, kini lebih sunyi. Ia berjalan menyusuri trotoar yang sudah mulai dipenuhi daun-daun kering, pikirannya jauh. Sejak beberapa bulan terakhir, perasaan itu datang berulang-ulang. Entah apa yang ia cari, ia tidak tahu. Yang pasti, ada kekosongan yang terasa semakin menyakitkan.

Taman kota berada tidak jauh dari rumahnya. Abel sering datang ke sana untuk sekadar duduk dan merenung, mencari ketenangan dalam kesunyian. Ia tidak pernah berbicara banyak, hanya sesekali bertegur sapa dengan orang yang ditemui. Mungkin itu salah satu cara agar pikirannya tidak terlalu terjebak dalam kebingungan.

Hari itu, saat ia duduk di bangku kayu yang biasa ia duduki, ada sesuatu yang berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita tua duduk dengan tenang. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, dan meskipun usianya tampak sudah lanjut, matanya tetap tajam, penuh dengan kebijaksanaan. Abel tidak tahu mengapa, tetapi seolah ada kekuatan yang menariknya untuk duduk di samping wanita itu.

Wanita tua itu menoleh ke arah Abel dengan senyum kecil, seakan sudah menunggu kedatangannya. “Waktu itu tidak pernah bisa kita kembali, nak,” kata wanita itu, suaranya lembut namun penuh arti. “Jangan sia-siakan sisa waktu yang kamu miliki.”

Abel terkejut mendengar kata-kata itu. Ia jarang berbicara dengan orang asing, dan kali ini, entah mengapa, ia merasa kalimat itu langsung menusuk hatinya. “Maksudmu?” tanyanya, masih bingung.

Wanita itu mengangguk pelan, menatap langit yang mulai gelap. “Waktu itu selalu berlalu, dan kita tidak bisa menghentikannya. Tapi kita bisa memilih bagaimana menggunakannya. Banyak orang yang tidak sadar, mereka terlalu sibuk dengan urusan yang tak ada habisnya, padahal waktu yang berharga itu terus berjalan.”

Abel terdiam, mencerna kata-kata itu. Ia pernah mendengar nasihat serupa, tapi selalu saja terlupakan, atau ia sengaja mengabaikannya. “Tapi… bagaimana caranya memanfaatkan waktu dengan benar? Kadang aku merasa sudah terlambat untuk berubah.”

Wanita itu tertawa pelan, seperti tahu apa yang ada di dalam pikiran Abel. “Tidak ada kata terlambat, nak. Kamu selalu punya kesempatan kedua, selama kamu menyadarinya. Setiap detik yang berlalu, itu adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk berubah, dan untuk memulai hal baru.”

Abel menatap wanita itu, mencoba mencari tahu apa yang tersembunyi di balik kata-katanya. Wanita itu terlihat sangat tenang, seolah memiliki pemahaman yang dalam tentang hidup. Abel merasa seolah ada sesuatu yang terlewatkan dalam hidupnya—sesuatu yang lebih penting dari sekadar rutinitas harian yang ia jalani.

“Jadi, aku harus mulai dari mana?” tanya Abel, matanya penuh harap. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada perasaan kuat yang mendorongnya untuk bertanya lebih banyak.

“Mulailah dengan dirimu sendiri,” jawab wanita itu dengan lembut. “Lihatlah ke dalam, dan temukan apa yang benar-benar penting. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa arti. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk sesuatu yang benar-benar kamu cintai, atau untuk orang-orang yang ada di sekitarmu.”

Abel mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia tahu, selama ini ia telah menyia-nyiakan waktu. Ia terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tidak pernah memberinya kepuasan sejati. Sekarang, untuk pertama kalinya, ia merasa seolah ada harapan baru yang bisa ia kejar.

Wanita itu berdiri dan menepuk pelan bahu Abel. “Ingatlah, nak, bahwa hidup ini tidak pernah berjalan mundur. Kamu hanya bisa bergerak maju. Jadi, manfaatkanlah waktu yang masih ada dengan bijak.”

Abel menatap wanita itu, berusaha menangkap makna dari setiap kata yang baru saja diucapkan. Tapi sebelum ia sempat bertanya lagi, wanita itu sudah menghilang, seperti angin yang membawa kabar. Abel hanya duduk di sana, tertegun, merasa seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya.

Ketika ia kembali berjalan pulang, langkahnya terasa lebih ringan. Waktu yang selalu ia anggap sebagai musuh kini terasa seperti teman. Abel menyadari, mungkin sudah waktunya untuk berhenti menunda-nunda, untuk berhenti menyesali masa lalu, dan untuk mulai menggunakan waktu sebaik mungkin.

Di malam hari, saat ia duduk di meja kerjanya, Abel menatap jam dinding yang berdetak pelan. Waktu terus berlalu, tapi kali ini, ia tidak merasa takut atau cemas. Ia tahu bahwa ia masih punya waktu untuk berubah, untuk memperbaiki diri, dan untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih berarti.

Dengan tekad yang baru, Abel menulis di kertas di depannya, sebuah resolusi untuk dirinya sendiri: “Aku akan menggunakan waktu sebaik mungkin. Tidak akan ada lagi penyesalan atau penundaan. Saatnya bertindak.”

Malam itu, meskipun tidak ada yang berubah secara fisik, Abel merasa seolah dunia di sekelilingnya berubah. Waktu yang pernah ia anggap sebagai beban kini menjadi kesempatan yang penuh harapan. Ia tahu, meskipun perjalanan ini panjang, langkah pertama telah diambil.

Namun, perasaan itu masih mengganggunya. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita tua itu? Dan mengapa pertemuan mereka begitu terasa seperti takdir?

 

Jejak Langkah yang Tertinggal

Pagi itu, Abel bangun dengan semangat yang berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelora di dadanya, seperti ada kekuatan baru yang mendorongnya untuk memulai hari dengan lebih baik. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa benar-benar hidup. Seakan setiap detik yang ia jalani memiliki tujuan, dan itu membuatnya bersemangat untuk menjalani segala sesuatu dengan penuh kesadaran.

Di kantor, Abel merasa sesuatu yang tidak biasa. Biasanya, rutinitas pekerjaan yang monoton membuatnya terjebak dalam kebosanan yang tak terhindarkan. Tapi hari itu, ia memutuskan untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Setiap email yang masuk, setiap rapat yang diadakan, ia hadapi dengan tekad baru. Ia mulai berpikir, bukan hanya tentang tugas yang harus diselesaikan, tetapi juga tentang dampak yang bisa ia buat dari setiap tindakan kecilnya.

Namun, meskipun semangat itu tumbuh, ada satu hal yang tetap menghantuinya—wanita tua itu. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan senyumannya yang penuh makna dan kata-katanya yang terdengar begitu sederhana, namun begitu mendalam. “Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan kedua.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benaknya. Apa yang dimaksudnya dengan “kesempatan kedua”? Apakah itu berarti ada hal-hal yang harus ia perbaiki? Apakah ada kesempatan yang terlewatkan selama ini?

Malam itu, setelah pulang kerja, Abel memutuskan untuk berjalan-jalan di taman lagi. Ia merasa, seperti ada sesuatu yang belum selesai. Taman itu selalu memberinya rasa tenang, dan entah mengapa ia merasa kalau di situlah jawabannya bisa ditemukan.

Langit malam mulai gelap, namun ada sedikit cahaya bulan yang menerangi jalan setapak. Abel melangkah perlahan, memikirkan semua yang terjadi sejak pertemuannya dengan wanita tua itu. Tidak ada yang khusus tentang malam itu—hanya sebuah malam biasa dengan udara yang dingin dan sepi. Namun, saat ia melewati salah satu bangku taman, matanya tertumbuk pada sebuah buku yang tergeletak di atas bangku.

Buku itu tampak usang, dengan sampul yang sedikit lusuh. Abel merasa aneh, seakan buku itu menunggu untuk ditemukan. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dan membuka halaman pertama. Tertulis di sana dengan tulisan tangan yang halus, sebuah kutipan yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat: “Waktu adalah hal yang paling berharga yang kita miliki. Jangan menunggu untuk berubah, sebab saat kamu menunggu, waktu akan terus berlalu.”

Abel terdiam membaca kalimat itu berulang-ulang. Apakah ini kebetulan? Ataukah ini adalah sebuah petunjuk yang harus ia ikuti? Ia merasakan ada hubungan antara buku itu dan wanita tua yang ditemuinya beberapa hari lalu. Bisa jadi, ini adalah cara alam semesta untuk memberinya petunjuk lebih lanjut tentang bagaimana memanfaatkan waktunya dengan bijak.

Setelah membalik beberapa halaman, Abel menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. Di halaman yang agak pudar, tertulis nama wanita tua itu—Martha Lindberg. Tanpa sadar, ia bertanya-tanya, siapa wanita ini sebenarnya? Mengapa dia menulis buku ini? Dan bagaimana buku itu bisa berada di taman, di tempat yang sangat tepat saat ia membutuhkannya?

Abel pulang malam itu dengan banyak pertanyaan, tetapi satu hal yang pasti—ia harus mencari tahu lebih banyak tentang wanita itu. Ia tidak bisa hanya diam dan menerima begitu saja perasaan aneh yang terus menghantui dirinya. Buku itu, seperti petunjuk yang tak terucapkan, membuatnya merasa bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya.

Keesokan harinya, ia memutuskan untuk mencari tahu tentang Martha Lindberg. Abel menghabiskan waktu berjam-jam di internet, mencari informasi tentang wanita itu. Tidak lama kemudian, ia menemukan artikel tentang seorang wanita bijak yang dikenal karena ajaran-ajarannya mengenai kehidupan dan waktu. Martha Lindberg bukanlah orang biasa. Dia adalah seorang filsuf yang dikenal di kalangan akademisi, meski sangat jarang berbicara di depan umum. Artikel itu menyebutkan bahwa Martha sudah lama meninggalkan dunia publik, memilih hidup sederhana dan jauh dari keramaian.

Tiba-tiba, ada perasaan yang menghampiri Abel, seperti ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia merasa, entah mengapa, kehidupan yang selama ini ia jalani tidak lagi cocok dengan dirinya. Apakah mungkin itu adalah alasan mengapa ia merasa ada yang hilang?

Sejak saat itu, Abel mulai mencari lebih dalam tentang konsep waktu yang diajarkan oleh Martha. Ia mempelajari buku-bukunya, mendalami setiap pemikiran yang tertulis. Ternyata, dalam ajaran Martha, ada satu hal yang selalu ditekankan: “Waktu adalah cermin dari pilihan-pilihan kita. Setiap langkah yang kita ambil akan membentuk masa depan kita. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa arti, karena kita tidak pernah tahu kapan kesempatan yang sebenarnya datang.”

Bukan hanya di buku yang ia temui, Abel juga mulai menyadari bahwa banyak orang di sekitarnya yang tidak memanfaatkan waktu mereka dengan baik. Banyak yang terjebak dalam rutinitas, dalam kebiasaan yang tidak membawa mereka ke mana-mana. Dan di situlah Abel merasa panggilan untuk melakukan sesuatu—sesuatu yang bisa memberi dampak lebih besar, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di pikirannya. Mungkin, ini adalah kesempatan kedua yang selama ini ia cari. Waktu tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain. Apa yang bisa ia lakukan untuk membantu mereka menggunakan waktu mereka dengan lebih bijaksana? Apa yang bisa ia kontribusikan agar setiap detik yang berlalu tidak terasa sia-sia?

Saat malam kembali tiba, Abel merasa hatinya lebih tenang. Meski banyak pertanyaan yang belum terjawab, ia tahu satu hal pasti—waktu itu berharga, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya. Kini, langkahnya bukan hanya untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang bagaimana ia bisa memberi dampak baik bagi dunia sekitarnya.

Dan mungkin, justru inilah yang dimaksud oleh Martha: kesempatan untuk berubah, kesempatan untuk bertindak, kesempatan untuk tidak membiarkan waktu berlalu begitu saja.

 

Menyusun Potongan-Potongan Waktu

Abel merasa seolah dunia yang selama ini begitu familiar kini tampak berbeda. Ada semacam keheningan yang menyelimuti pikirannya, seiring dengan kesadaran baru yang semakin tumbuh. Setiap detik yang ia lewati bukan hanya sekadar waktu yang berlalu, tetapi sebuah kesempatan untuk tumbuh, berubah, dan memberikan dampak. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa waktunya bukan lagi hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain.

Hari-hari setelah pertemuannya dengan buku itu, Abel semakin terfokus pada satu hal: membantu orang-orang yang terjebak dalam rutinitas mereka untuk lebih memanfaatkan waktu mereka. Namun, saat ia mencoba untuk mencari cara konkret untuk melakukannya, ia mendapati dirinya terjebak dalam keraguan. Bagaimana ia bisa mengubah dunia yang tampaknya begitu besar dan kompleks dengan hanya sedikit waktu yang ia miliki? Bagaimana ia bisa memberi dampak pada orang yang bahkan tidak tahu bahwa mereka telah menyia-nyiakan waktu mereka?

Di tengah kebingungannya, ia kembali teringat akan ajaran Martha. Setiap langkah, meski kecil, bisa membentuk sesuatu yang lebih besar. Maka dari itu, ia mulai berpikir tentang langkah pertama yang bisa ia ambil. Mungkin ia tidak bisa mengubah dunia dengan sekali gerakan besar, tetapi ia bisa mulai dengan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang mungkin lebih dekat dengan dirinya, yang mungkin lebih mudah dijangkau.

Hari itu, ia mengundang beberapa teman dekat untuk berkumpul di rumahnya. Mereka semua adalah orang-orang yang sudah lama ia kenal, namun tidak pernah terlalu dekat. Abel merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya sekadar berkumpul untuk minum kopi atau berbincang-bincang tentang hal-hal biasa, tetapi untuk berbicara tentang waktu, tentang peluang yang selama ini mereka abaikan, dan tentang bagaimana mereka bisa memanfaatkannya lebih baik.

Saat semua sudah berkumpul, Abel mulai membuka percakapan. “Kalian tahu, aku baru saja memikirkan sesuatu yang cukup mengganggu,” katanya sambil menatap wajah teman-temannya yang mulai penasaran. “Waktu itu begitu berharga, tapi kita sering sekali membuangnya tanpa sadar. Aku mulai merasa kalau kita harus mulai menggunakan waktu kita dengan lebih bijaksana.”

Teman-temannya saling bertukar pandang. Beberapa dari mereka terlihat sedikit bingung, beberapa lagi tampak tertarik. Salah satu temannya, Nadia, yang dikenal dengan sifatnya yang ceria dan penuh energi, menyahut dengan tertawa, “Kamu nggak ada kerjaan lain, Abel? Kita cuma lagi santai di sini, kok ngomongin waktu segala. Emangnya, kenapa sih?”

Abel tersenyum tipis, tidak merasa tersinggung. “Justru itu, Nadia. Kita kadang terlalu santai sampai lupa kalau waktu itu terus berjalan, tanpa peduli apakah kita memanfaatkannya atau tidak. Aku rasa kita bisa mulai dari hal kecil. Mungkin, mulai dengan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, atau memberi waktu untuk diri sendiri—dan orang lain—untuk melakukan hal-hal yang lebih berarti.”

Sebuah keheningan tiba-tiba menghampiri ruangan itu. Nadia terdiam, kemudian memiringkan kepala, berpikir. Teman lainnya, Ryan, yang lebih sering diam, menatap Abel dengan serius. “Aku sih setuju,” kata Ryan pelan. “Kadang kita terlalu sibuk dengan pekerjaan atau urusan pribadi sampai lupa untuk hidup sepenuhnya, untuk melakukan hal-hal yang lebih penting.”

“Ya,” tambah Nadia dengan suara yang lebih rendah, “tapi gimana caranya kita bisa mulai, kalau kita nggak tahu harus dari mana?”

Abel terdiam sejenak. Ia merasa ada sebuah pertanyaan yang cukup dalam, tetapi ia juga merasa bahwa ini adalah bagian dari proses untuk memahami waktu. “Aku pikir kita bisa mulai dengan memberi waktu untuk hal-hal yang kita anggap benar-benar penting. Mulai dari diri kita sendiri. Cobalah untuk merenung setiap hari, meluangkan waktu untuk hal-hal kecil yang membawa kebahagiaan, dan memberi waktu untuk orang-orang yang kita sayangi.”

Percakapan itu berlanjut hingga malam semakin larut, tetapi Abel merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia tidak tahu apakah teman-temannya akan benar-benar berubah, tetapi ia merasa bahwa langkah pertama telah diambil. Ia tidak hanya berbicara tentang waktu, ia juga mulai mengajak mereka untuk berpikir tentang bagaimana mereka menggunakan waktu mereka.

Esoknya, Abel merasa lebih ringan, meskipun tidak semuanya langsung berubah begitu saja. Namun, dalam dirinya ada perasaan bahwa ia sudah mulai menyusun potongan-potongan waktu yang sempat terlewatkan, dan ia akan terus melangkah, satu per satu. Ia tahu bahwa perubahan besar tidak datang dengan cepat, tetapi setiap keputusan kecil akan membentuk masa depan yang lebih baik.

Dan begitu langkah pertama ini dimulai, Abel merasa bahwa ia telah memberikan dirinya kesempatan kedua—kesempatan untuk tidak menyia-nyiakan waktu, kesempatan untuk membuat hidup lebih berarti. Tapi ia juga menyadari bahwa kesempatan kedua ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang-orang di sekitarnya.

Saat malam kembali tiba, Abel duduk di beranda rumahnya, menikmati hembusan angin malam. Pikirannya kembali kepada wanita tua itu, Martha Lindberg. Jika saja dia tahu di mana wanita itu berada, mungkin ia ingin berterima kasih atas kata-katanya yang telah membangunkan dirinya dari tidur panjangnya.

Namun, ia menyadari satu hal: untuk pertama kalinya, ia merasa siap menjalani hidupnya dengan lebih bijak, untuk tidak membuang waktu. Karena kini, baginya, setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk berubah, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya.

 

Menyusuri Jalur yang Terbentang

Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan itu. Abel merasa seperti ada perubahan yang menyelubungi dirinya. Waktu yang dulu terasa begitu cepat berlalu, kini seolah memberinya ruang lebih untuk bernafas, untuk berpikir, dan untuk benar-benar hidup. Setiap hari, ia merasa semakin sadar bahwa perjalanan hidupnya bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi tentang apa yang bisa ia bagi dengan orang lain. Bukan hanya sekadar berlarian mengejar kesuksesan atau mencari kebahagiaan sendiri, melainkan berusaha membuat setiap detik yang dilewati memiliki makna.

Pagi itu, Abel duduk di sebuah kafe kecil yang selalu ia kunjungi, dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Ia merenung, melihat jam dinding yang berdetak perlahan. Waktu, yang sebelumnya terasa begitu mewah dan tak terjangkau, kini lebih terasa seperti teman yang harus dijaga. Ia memikirkan semua kesempatan yang telah datang kepadanya, beberapa di antaranya ia genggam erat, sementara yang lainnya terlepas begitu saja.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah pesan singkat masuk dari Ryan. “Abel, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Kapan kita bisa ketemu?”

Abel terkejut, namun di saat yang sama merasa bahwa pesan itu adalah bagian dari perjalanan yang sudah dimulai beberapa waktu lalu. Dengan cepat, ia membalas pesan itu, mengatur waktu untuk bertemu. Ia tahu, ini adalah salah satu kesempatan lain yang datang kepadanya. Kesempatan untuk berbicara lebih dalam, untuk berbagi pandangan, dan mungkin untuk mengubah perspektif orang lain.

Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di sebuah taman yang cukup sepi. Ryan duduk di bangku panjang, menunggu dengan ekspresi serius di wajahnya. Abel merasa ada sesuatu yang berbeda. Tidak seperti biasanya, Ryan tampak lebih tenang, lebih matang.

“Abel,” kata Ryan setelah mereka saling menyapa, “aku ingin minta maaf. Aku tahu aku sering kali membuang-buang waktu, cuma mengikuti rutinitas dan tidak pernah benar-benar mikirin apa yang aku lakukan dengan hidup ini. Tapi setelah ngobrol sama kamu beberapa bulan lalu, aku mulai ngerasa ada yang hilang. Aku nggak bisa terus kayak gini, nunggu waktu lewat begitu saja tanpa arti.”

Abel terkejut, tetapi juga merasa lega mendengar kata-kata itu. Ia tersenyum tipis, merasa bahwa usaha dan perubahan yang ia lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi mulai berpengaruh pada orang-orang yang ada di sekitarnya. “Ryan, nggak ada yang harus kamu minta maafkan. Semua orang punya cara mereka sendiri buat belajar. Yang penting sekarang adalah kamu sadar, kamu nggak tinggal diam. Itu yang paling penting.”

Ryan menatap Abel dengan mata yang penuh tekad. “Aku tahu aku harus berubah. Aku nggak mau terus-terusan merasa menyesal karena nggak memanfaatkan waktu yang ada. Aku mau lebih menghargai hidupku, menghargai orang-orang di sekitarku.”

Percakapan itu berlangsung hingga sore menjelang malam. Tidak ada kata-kata besar atau keputusan yang dramatis, hanya percakapan sederhana yang penuh makna. Namun, bagi Abel, itu adalah momen yang penting. Ia melihat bagaimana Ryan, yang dulu sering meremehkan waktu, kini berusaha untuk mengubah arah hidupnya.

Malam itu, saat ia pulang ke rumah, Abel merasa puas. Ia tahu bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil selama ini telah mulai membentuk kehidupan yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Waktu yang dulu ia anggap begitu cepat berlalu, kini terasa lebih penuh, lebih berarti.

Dan saat ia duduk di meja kerjanya, menatap jam dinding yang kini tidak lagi hanya sebagai alat penunjuk waktu, Abel menyadari bahwa waktunya telah tiba. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk dunia di sekitarnya. Waktu yang digunakan dengan bijaksana bukan hanya tentang mengisi hari dengan tugas dan kegiatan, melainkan tentang memberi ruang bagi diri sendiri dan orang lain untuk berkembang, untuk belajar, dan untuk bertumbuh.

Abel menatap kalender di dinding, hari-hari yang terlewati begitu cepat, namun kini ia tahu bahwa setiap detik yang dilewatinya adalah kesempatan berharga yang takkan ia sia-siakan lagi. Ia menutup mata sejenak, merasakan kedamaian dalam hatinya, karena untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia benar-benar memanfaatkan waktunya dengan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk mengejar sesuatu, tetapi untuk menemukan makna dalam setiap momen, dan menjadikannya lebih dari sekadar waktu yang berlalu.

Dan dengan itu, Abel tahu bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai.

 

Gimana, seru kan? Ternyata, waktu tuh nggak cuma soal angka-angka di jam, tapi tentang apa yang kita lakukan dengan detik-detik itu. Kalau kamu masih merasa waktu terus berlari, cobalah untuk lebih menghargai setiap momennya. Ingat, kesempatan kedua itu selalu ada, dan yang paling penting, jangan sia-siakan waktu kamu!

Leave a Reply