Daftar Isi
Pernah nggak sih merasa hidup nggak selalu punya jawaban pasti? Kadang, kita cuma butuh waktu untuk duduk sejenak dan meresapi semuanya. Begitu juga yang terjadi dalam cerita ini. Aira, seorang perempuan yang lagi mencari tempat dalam hidupnya, bertemu Dito, seseorang yang mengajarkan dia tentang berhenti sejenak dan merasakan.
Nggak ada drama berlebihan, cuma langkah kecil yang akhirnya membawa mereka pada kedamaian. Yuk, ikutin cerita mereka dan siapa tahu kamu bisa nemuin sesuatu yang sama juga!
Kisah Aira dan Dito
Kesendirian yang Menyembuhkan
Pagi itu, Aira bangun lebih awal dari biasanya. Udara dingin dari jendela yang terbuka sedikit, masuk ke dalam kamar dan menyentuh kulitnya yang terbalut selimut tebal. Meski rasanya nyaman, Aira tidak lama terbuai. Ia tahu, hari ini adalah hari yang sempurna untuk melangkah keluar dan menikmati waktu sendiri. Seperti biasa, kesendirian adalah hal yang paling dia butuhkan, dan terkadang, itu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan hati yang lelah.
Dengan langkah ringan, Aira menuruni tangga dan menuju ke dapur. Di sana, aroma kopi baru diseduh memenuhi ruangan. Tanpa menunggu lama, ia meraih cangkir favoritnya dan duduk di meja makan, menatap luar jendela. Dunia di luar sana sudah mulai bergerak, orang-orang berlarian, namun Aira hanya ingin menikmati momen tenang ini. Hanya dia dan pikirannya yang bebas.
“Kenapa ya, aku selalu merasa lebih tenang sendirian?” Aira berbisik pada dirinya sendiri, meski tak ada yang bisa menjawab. Terkadang, ia bertanya-tanya apakah dia terlahir dengan kecenderungan untuk menikmati kesendirian, atau apakah ini dampak dari berbagai pengalaman yang telah dilalui.
Dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap panas, Aira memutuskan untuk berjalan menuju taman terdekat. Ada sesuatu yang menenangkan tentang taman yang sepi, terutama di pagi hari. Tanpa ragu, ia mengganti pakaiannya dan keluar rumah, merasakan hembusan angin yang segar di wajahnya.
Setibanya di taman, Aira menemukan sebuah bangku kayu tua yang biasanya hanya ditempati oleh mereka yang benar-benar ingin menyendiri. Tanpa ragu, ia duduk di sana, menarik napas dalam-dalam, menikmati kedamaian yang membungkusnya.
“Tadi pagi aku cuma ngobrol sama diri sendiri lagi,” Aira terkekeh pelan, melihat burung-burung yang terbang melintas di atas kepala. Tidak ada yang aneh dengan itu. Dia sudah terbiasa dengan kebiasaannya yang berbicara pada diri sendiri, seolah-olah menjadi teman sejati.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aira menoleh sekilas, dan di sana ada seorang pria dengan wajah yang tidak asing, meski mereka tak pernah benar-benar saling kenal. Pria itu, Dito, seorang pemuda yang sering ia lihat di taman ini. Mereka berdua memang bukan teman, tetapi Aira merasa sudah cukup mengenalnya lewat sekilas pandang setiap kali bertemu.
Dito berhenti beberapa langkah dari bangku tempat Aira duduk. Dia tersenyum tipis, mengangguk sekilas, dan kemudian duduk di bangku sebelah, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk saling berbagi udara yang sama.
“Aira, kan?” Dito menyapa dengan suara rendah dan tenang, tidak terburu-buru.
Aira tersenyum dan mengangguk, meski perasaan itu campur aduk. Ia tak pernah terlalu terbuka pada orang yang baru dikenalnya. Tapi, entah kenapa, hari itu, suasana di taman itu terasa begitu nyaman.
“Iya, aku. Kamu Dito, kan?” Aira menjawab dengan suara yang sama tenangnya.
Dito mengangguk lagi, lalu diam sejenak. Ia menatap ke arah langit yang biru, dan seolah-olah ikut meresapi kedamaian yang ada di sana. Aira tidak merasa canggung, meski mereka baru saja saling menyapa. Keheningan itu terasa seperti sesuatu yang akrab.
“Aku suka datang ke sini pagi-pagi,” kata Dito, memecah keheningan. “Lebih sepi, lebih… tenang.”
Aira mengangguk. “Aku juga. Kadang, tempat seperti ini yang aku butuhkan. Bisa berpikir lebih jernih.”
Dito melirik ke arah Aira, seolah penasaran dengan maksud kata-katanya. Aira merasa sedikit aneh, merasa seperti ada yang ingin dia sampaikan, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
“Jadi, kamu suka kesendirian?” Dito bertanya, kali ini dengan sedikit lebih banyak rasa ingin tahu. “Atau cuma butuh waktu buat diri sendiri?”
Aira terdiam sejenak. Tidak banyak orang yang bertanya hal semacam itu padanya. Biasanya, orang menganggap kesendirian sebagai hal yang negatif. Tapi bagi Aira, itu adalah cara untuk mereset segala sesuatu dalam dirinya, untuk menemukan kembali apa yang hilang, dan untuk belajar menerima siapa dirinya.
“Kadang, kesendirian itu bukan berarti kesepian, kan?” jawab Aira, mencoba memberi penjelasan yang lebih dalam.
Dito mengangguk pelan, seolah mengerti. “Aku setuju. Aku juga suka saat-saat di mana aku cuma bisa duduk sendiri, tanpa gangguan, dan cuma mendengarkan angin.”
Aira tersenyum. Rasanya, percakapan ini sangat ringan, tetapi begitu penuh makna. Seperti dua orang yang menemukan kesamaan dalam kebisuan.
Mereka duduk beberapa lama, berbicara ringan tentang banyak hal yang sederhana. Tentang hal-hal yang mungkin tidak berarti banyak bagi orang lain, tetapi cukup untuk membuat mereka merasa lebih hidup. Tentang betapa indahnya merasakan angin yang sepoi-sepoi, betapa menenangkan melihat daun-daun yang bergoyang di pohon.
Namun, di dalam hati Aira, ada perasaan yang lebih dalam. Percakapan ini mungkin hanya sebuah momen kecil dalam hidup mereka, tetapi itu memberikan sesuatu yang lebih—sesuatu yang jarang ia rasakan, terutama dengan orang lain.
Aira menatap ke sekeliling taman, merasa sedikit terikat dengan Dito dalam keheningan ini. Mungkin, kesendirian bukan tentang menjauh dari orang lain. Mungkin, itu hanya soal menemukan tempat di mana kita bisa merasa nyaman dengan diri sendiri, bahkan saat ada orang lain di sekitar kita.
“Kadang, aku merasa seperti dunia ini hanya milikku, tapi aku juga sadar kalau aku nggak bisa hidup sendirian selamanya,” kata Aira pelan, tanpa benar-benar mengharapkan jawaban.
Dito tersenyum tipis. “Aku rasa, kita nggak harus hidup sendirian selamanya. Cuma butuh waktu buat benar-benar ngerti siapa diri kita.”
Aira mengangguk, meresapi setiap kata yang diucapkan. Hari itu, dengan Dito, dengan angin yang berhembus lembut, dan dengan taman yang tenang, Aira merasa sedikit lebih utuh. Mungkin tidak banyak yang berubah, tapi ia mulai menyadari bahwa terkadang, pertemuan sederhana bisa membawa kedamaian.
Bab 2: Langkah Kecil Menuju Kedamaian
Hari-hari berlalu, dan Aira kembali ke rutinitas harian yang penuh dengan kesendirian yang penuh makna. Setiap pagi, ia menghabiskan waktu sendiri di taman itu, di bangku yang sama, di bawah pohon yang sama. Dito pun tidak jarang ikut duduk di sana, meski tidak setiap hari. Tapi bagi Aira, itu bukan masalah. Kehadiran Dito seperti angin yang datang dan pergi, tidak pernah mengganggu, hanya menambah sedikit warna pada kesendirian yang telah dia peluk dengan sangat erat.
Suatu pagi, Aira datang lebih awal dari biasanya. Langit pagi itu tampak berbeda, dengan awan putih yang bergerak perlahan, memberikan kesan tenang dan damai. Ia duduk seperti biasa, menyesap kopi hitam yang dibawanya dari rumah. Tapi hari itu ada perasaan yang sedikit berbeda. Ada semacam kedamaian yang lebih dalam, yang entah berasal dari mana.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat, dan Aira menoleh. Kali ini, Dito duduk di bangku yang agak jauh darinya. Aira tersenyum kecil, mengangguk, dan Dito balas tersenyum.
“Pagi,” kata Dito dengan suara yang santai, meskipun ada kesan bahwa ia juga sedang menikmati kedamaian pagi itu.
“Pagi,” jawab Aira, menikmati momen sejenak. Tanpa banyak kata, mereka berdua duduk dalam diam. Keheningan itu nyaman, tidak memerlukan banyak percakapan. Ada rasa yang menghubungkan mereka tanpa kata-kata, dan itu cukup untuk membuat keduanya merasa utuh.
“Aku pikir, pagi ini berbeda,” kata Dito akhirnya, menatap langit yang semakin cerah. “Entah kenapa, aku merasa lebih tenang dari biasanya.”
Aira mengangguk pelan, seraya menatap ke arah bunga-bunga yang mulai bermekaran di sekitar taman. “Aku juga merasa begitu. Mungkin hanya karena aku benar-benar ada di sini, di momen ini.”
Dito tertawa pelan, seolah menyadari bahwa kata-kata Aira penuh makna. “Maksudmu, kita ciptakan kedamaian ini untuk diri kita sendiri?”
Aira hanya tersenyum, tidak langsung menjawab. Kadang, kata-kata memang tidak perlu diucapkan. Perasaan itu sudah cukup untuk dipahami, seakan-akan mereka berbicara dalam bahasa yang tidak terlihat. Dito mengerti bahwa Aira bukan tipe orang yang suka mengumbar kata, dan itu membuat Aira merasa lebih nyaman. Ada sesuatu yang berbeda tentang Dito yang membuatnya merasa dihargai tanpa harus berbicara banyak.
Setelah beberapa saat, Dito berdiri dan mengangkat tasnya. “Aku harus pergi, tapi aku senang bisa duduk bersama kamu pagi ini.”
Aira tersenyum dan mengangguk, meski sedikit berat untuk melihat Dito pergi. Namun, ia tahu, inilah yang disebut dengan momen yang tepat. Tidak perlu ada kata pamit yang panjang. Kadang, berpisah dalam diam adalah cara terbaik untuk menghargai satu sama lain.
Beberapa hari setelah itu, Aira mulai merasakan sebuah perubahan dalam dirinya. Meskipun kesendirian tetap menjadi teman setianya, ia mulai menemukan kenyamanan dalam kebersamaan yang sederhana, seperti saat ia duduk bersama Dito. Hanya dalam beberapa pertemuan singkat, Aira merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Seperti sebuah benang merah yang menghubungkan mereka, meski hanya dalam bentuk percakapan ringan.
Hari itu, Aira memutuskan untuk berjalan lebih jauh dari biasanya. Ia memilih rute yang jarang dilalui, menuju sebuah jalan kecil yang dipenuhi dengan pohon-pohon rindang. Tidak ada orang yang tampak di sepanjang jalan, hanya suara alam yang menemani langkahnya.
Aira berhenti di sebuah jembatan kecil yang melintasi sungai yang tenang. Ia duduk di tepi jembatan, menatap air yang mengalir pelan. Tiba-tiba, suara langkah kaki kembali mengganggu keheningannya. Aira menoleh, dan kali ini, bukan Dito yang terlihat, tetapi seorang wanita yang lebih tua, dengan wajah yang ramah.
“Cantik sekali hari ini, ya?” kata wanita itu, tersenyum dan duduk di samping Aira. “Taman ini memang selalu menyuguhkan kedamaian.”
Aira terkejut sejenak, namun kemudian tersenyum. “Iya, benar. Kadang kita lupa untuk menikmati momen seperti ini.”
Wanita itu tertawa kecil. “Betul. Aku juga sering begitu. Terkadang, hidup hanya butuh sedikit ruang untuk bernafas, tanpa semua hiruk-pikuk.”
Aira mengangguk, merasa ada kedekatan yang aneh dengan wanita itu meskipun baru pertama kali bertemu. “Aku sering datang ke sini untuk menenangkan pikiran.”
Wanita itu menatap Aira dengan pandangan yang lembut. “Jangan pernah merasa bersalah untuk memilih waktu untuk diri sendiri, Nak. Dunia ini bisa sangat bising, dan kita kadang lupa untuk mendengarkan diri kita sendiri.”
Aira tersenyum tipis, merasa ada kebenaran dalam kata-kata wanita itu. Ia merasa seperti mendapatkan nasihat yang sederhana, tapi begitu berarti. Seolah-olah, wanita itu sudah lama mengenalnya, meskipun baru saja bertemu.
“Terima kasih,” kata Aira, merasa sedikit lebih ringan setelah percakapan singkat itu.
Wanita itu mengangguk dengan senyuman penuh makna, lalu berdiri dan melangkah pergi. Aira hanya memandangi langkahnya, merasakan kedamaian yang lebih dalam. Ada rasa syukur yang mengalir dalam dirinya, karena pertemuan singkat itu membuka pemahaman baru.
Aira kembali menatap sungai yang mengalir di bawahnya, meresapi keheningan itu. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan selalu mudah. Masih banyak langkah yang harus diambil. Namun, hari ini, dia merasa sedikit lebih kuat. Seperti sungai yang terus mengalir, ia pun belajar untuk terus maju, meski dalam kesendirian, dan menemukan kedamaian dalam langkah-langkah kecil yang penuh makna.
Bayangan di Setiap Langkah
Hari itu terasa berbeda. Aira berjalan menelusuri jalan setapak yang sudah mulai dikenalnya, namun ada perasaan yang asing menyelubungi langkahnya. Sesuatu yang tidak biasa, yang tidak terucap namun tetap ada di sana. Ia mendekati taman, tempat ia biasa menemukan sedikit ketenangan, tapi ada sesuatu yang menghalangi pikirannya untuk benar-benar merasa tenang.
Selama beberapa hari terakhir, Aira semakin sering berjumpa dengan Dito, meskipun hanya sebentar-sebentar, percakapan mereka tidak pernah panjang. Entah mengapa, setiap kali mereka bertemu, Aira merasa ada suatu perasaan yang terus berkembang, tapi ia tak mampu mendeskripsikannya dengan kata-kata. Kadang, rasa itu terlalu pelik untuk disampaikan.
Aira memutuskan untuk duduk di bangku yang sering menjadi tempat mereka berdua berbincang, berharap sedikit kedamaian bisa menyusup kembali ke dalam dirinya. Tidak lama setelah duduk, suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Aira menoleh, dan seperti yang ia duga, Dito muncul dari balik pepohonan, berjalan pelan dengan wajah yang terlihat lebih serius dari biasanya.
Dito duduk di sampingnya tanpa sepatah kata pun, seolah membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Aira tidak merasa canggung. Sebaliknya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam kehadiran Dito kali ini. Sesuatu yang lebih berat, seakan-akan ada beban yang tak terungkapkan dalam tatapan matanya.
“Dito,” akhirnya Aira memecah keheningan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Apa yang kamu pikirkan?”
Dito menatap ke depan, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tidak dia duga. Tapi, dengan perlahan, ia memalingkan wajahnya ke arah Aira. “Aku hanya berpikir… mungkin aku terlalu lama berjalan tanpa tujuan jelas.”
Aira mengernyitkan dahi, menatapnya penuh perhatian. “Apa maksudmu?”
Dito menarik napas panjang. “Aku sudah lama merasa… seolah ada banyak hal yang ingin kulakukan, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semua terasa mengambang. Seperti ada bagian dari diriku yang tidak bisa aku temukan.”
Aira terdiam, menyerap kata-kata Dito. Ada kejujuran yang begitu dalam dalam pengakuannya. Seperti sebuah keretakan kecil yang perlahan terbuka, mengungkapkan sisi dirinya yang selama ini terpendam. Aira merasa sangat mengerti perasaan itu. Bahkan ia sendiri merasakannya, meskipun tidak selalu diungkapkan dengan jelas.
“Aku tahu apa yang kamu maksud,” jawab Aira setelah hening sejenak. “Kadang kita merasa hidup ini hanya berjalan begitu saja, tanpa arah yang pasti. Tapi, mungkin… kita harus berhenti sejenak dan membiarkan diri kita merasakan apa yang sudah ada, tanpa terlalu khawatir tentang ke mana semuanya akan pergi.”
Dito menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Aira merasa ada sebuah pemahaman yang benar-benar tersampaikan tanpa kata-kata yang berlebihan. “Mungkin aku terlalu fokus pada apa yang tidak kumiliki. Aku lupa untuk menghargai apa yang ada sekarang.”
“Aku rasa itu tidak mudah,” Aira berkata sambil tersenyum kecil. “Tapi kadang, justru hal-hal yang sederhana bisa membawa kedamaian yang lebih dalam. Tak perlu mencari jauh-jauh, karena yang kita butuhkan mungkin sudah ada di sini, di sekitar kita.”
Dito memandang Aira dengan pandangan yang lembut. “Aku suka cara kamu melihat dunia. Seperti semuanya punya makna, meskipun hanya dalam diam.”
Aira hanya mengangguk, merasa sedikit terkejut dengan kata-kata Dito. Ada kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti perbincangan mereka, meskipun mereka tidak banyak bicara. Sesuatu yang selalu sulit untuk dijelaskan, tapi sangat terasa.
Keheningan kembali menyeliputi mereka, namun kali ini bukan keheningan yang menekan. Ada kedamaian yang mengalir, seperti sungai yang mengalir tanpa gangguan, membawa semua keraguan dan kecemasan ke tempat yang lebih jauh. Aira merasa sesuatu dalam dirinya mulai berubah, perlahan-lahan.
Setelah beberapa saat, Dito bangkit dan meraih tasnya. “Aku harus pergi,” katanya dengan suara pelan. “Tapi, terima kasih untuk percakapan ini.”
Aira tersenyum, meskipun ada sedikit rasa berat di hatinya. “Tidak masalah, Dito. Aku senang bisa bicara seperti ini.”
Dito berjalan perlahan meninggalkan taman, dan Aira hanya duduk, merenung. Ada rasa kesendirian yang datang setelah pertemuan singkat itu, namun kali ini, kesendirian itu tidak terasa mengintimidasi. Sebaliknya, ia merasa seperti telah menemukan bagian dirinya yang hilang. Tidak perlu mencari lebih jauh, kadang kedamaian datang tanpa diduga.
Aira memandang matahari yang mulai merendah di ufuk barat, menerangi dunia dengan warna oranye yang lembut. Langkah-langkah kecil yang ia ambil selama ini, meskipun terkadang terasa ragu, kini mulai terasa lebih pasti. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang apa yang akan datang. Semua itu hanya bagian dari perjalanan, dan setiap langkah, sekecil apapun, tetap membawa Aira lebih dekat kepada kedamaian.
Ia menyadari bahwa meskipun hidup kadang memberikan banyak keraguan, selalu ada tempat untuk kembali. Tempat yang bisa membuatnya merasa utuh, meskipun hanya dalam sepi.
Langkah Kecil yang Menyatu dengan Dunia
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhir Aira dan Dito di taman. Kehidupan Aira terus berjalan, meskipun kini ada rasa yang lebih tenang dalam dirinya. Setiap langkah terasa lebih pasti, dan hatinya lebih lapang. Namun, meski semua terasa lebih baik, ada satu hal yang masih membuatnya berpikir. Dito.
Aira tahu bahwa pertemuan mereka hanya sebatas itu, namun ada semacam ikatan yang tidak bisa dijelaskan, yang tetap ada meskipun mereka tidak bertemu setiap hari. Ada kalanya Aira berpikir tentang apa yang mereka bicarakan, tentang ketulusan yang mereka bagi, tentang dunia yang seolah saling terhubung meski tak ada janji untuk bertemu lagi.
Suatu sore yang cerah, Aira memutuskan untuk berjalan sendiri ke tempat yang biasa ia kunjungi untuk mencari ketenangan. Hari itu, langit begitu biru, dan angin berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman sekitar. Aira menghirupnya dalam-dalam, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ia merasa hidup tidak lagi menakutkan seperti dulu.
Setibanya di taman, Aira duduk di bangku yang sama, tempat ia sering memikirkan banyak hal. Tangan Aira menggenggam tas kecil yang ia bawa, dan matanya menatap jauh ke depan, pada dunia yang tampak begitu luas. Ia tidak tahu apa yang akan datang ke depannya, namun saat ini, ia merasa cukup dengan apa yang ada.
Tiba-tiba, ada langkah kaki yang familiar di dekatnya. Aira menoleh, dan seperti yang ia harapkan, Dito muncul dengan senyuman tipis di wajahnya. Wajahnya tidak lagi terlihat begitu penuh beban, seperti yang Aira rasakan terakhir kali mereka bertemu. Kini, Dito terlihat lebih ringan, seolah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggunya.
Dito duduk di samping Aira, tetap dengan senyuman itu. “Aku pikir aku harus datang ke sini lagi,” katanya dengan suara rendah, namun tidak terburu-buru. “Ada hal-hal yang ingin kutanyakan, tapi aku merasa… mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya.”
Aira menoleh kepadanya, matanya menyiratkan rasa penasaran. “Apa yang ingin kamu tanyakan?”
Dito terdiam sejenak, matanya menatap langit senja yang semakin meredup. “Aku rasa, aku sudah menemukan jawaban untuk sebagian besar pertanyaanku. Tapi, ada satu hal yang aku tahu pasti… Kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak dan menghargai semua yang ada di sekitar kita.”
Aira tersenyum mendengar itu. Ada perasaan yang sulit dijelaskan dalam dirinya, sebuah rasa damai yang menyelubungi mereka berdua. Tanpa banyak kata, keduanya hanya duduk bersama, menikmati keheningan yang terasa begitu nyaman. Seperti dunia berhenti sejenak, memberi mereka ruang untuk meresapi momen itu.
Saat matahari hampir tenggelam, Aira merasa sebuah keheningan yang sangat menyeluruh. Semua pertanyaan tentang dirinya, tentang dunia, tentang arah hidup, perlahan menghilang. Aira sadar bahwa tidak ada yang harus dipaksakan. Hidup tidak selalu harus memiliki tujuan yang jelas di setiap langkahnya. Kadang, justru dalam ketidakpastian, ada kebebasan yang lebih besar untuk merasakan kedamaian yang sejati.
Dito menatapnya, dan tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Aira dengan lembut. Tangan itu bukan sekadar sentuhan biasa. Itu adalah ungkapan rasa terima kasih, sebuah pengakuan tanpa kata-kata, bahwa meskipun perjalanan ini penuh ketidakpastian, mereka tidak benar-benar sendirian.
“Aku tidak tahu apa yang akan datang,” kata Aira pelan, “tapi aku rasa aku siap untuk apa pun yang terjadi. Dan mungkin, kita memang tidak harus tahu semuanya sekarang.”
Dito mengangguk, matanya tetap lembut. “Aku rasa kita sudah menemukan bagian dari diri kita yang hilang. Kita tidak perlu lagi mencari.”
Matahari tenggelam sepenuhnya, menggantikan kehangatan dengan sejuknya malam. Aira dan Dito berdiri dari bangku, langkah mereka mulai berjalan bersama, mengikuti alunan waktu tanpa harus terburu-buru. Tanpa ucapan lebih lanjut, mereka tahu bahwa perjalanan ini, meski sederhana, telah mengajarkan mereka banyak hal tentang diri mereka sendiri.
Aira menatap langit yang kini dihiasi dengan bintang-bintang, merasakan betapa luasnya dunia yang ada di depan. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya. Semua rasa itu kini berbaur dalam satu kesadaran: kadang, yang paling berharga dalam hidup bukanlah jawaban atas segala pertanyaan, tapi perjalanan yang kita jalani.
Dan dalam perjalanan itu, Aira tahu, ia sudah menemukan rumahnya.
Dan gitu deh, kadang jawaban atas semua keresahan kita itu cuma datang dengan cara yang nggak disangka-sangka. Gak perlu buru-buru ke sana kemari nyari jawaban, karena yang penting itu menikmati setiap langkah yang diambil.
Kadang, kita cuma butuh berhenti, menatap dunia, dan tahu kalau semua itu udah cukup. Nah, semoga cerita Aira dan Dito ini bisa bikin kamu mikir, kalau dalam kesederhanaan, kedamaian itu ada. Jadi, gimana menurut kamu? Punya cerita yang sama?


