Guruku Inspirasiku: Kisah Seorang Murid yang Berubah Karena Satu Kata

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa sekolah itu ngebosenin, gurunya gitu-gitu aja, pelajaran numpuk, dan kamu cuma pengen cepet-cepet lulus? Nah, ini bukan cerita tentang sekolah yang seru ala drama, tapi tentang seorang murid yang hidupnya berubah cuma karena satu orang—gurunya sendiri. Bukan guru biasa, tapi sosok yang bikin kamu sadar kalau satu kata bisa ngubah hidup seseorang. Penasaran? Yuk, lanjut baca!

 

Guruku Inspirasiku

Kertas Kosong Dimeja Belakang

Suasana kelas XII-B selalu sama setiap pagi—bising, berantakan, dan penuh dengan obrolan yang lebih menarik dari pelajaran. Beberapa anak tertawa sambil meniru gaya bicara guru Matematika yang terkenal kaku, sementara yang lain asyik menggambar di belakang buku catatan mereka. Namun, di pojok belakang kelas, seorang pemuda dengan jaket hitam dan raut malas hanya duduk diam, kepala disandarkan ke tembok, menunggu bel berbunyi tanpa sedikit pun niat membuka buku.

Namanya Damar. Anak yang dikenal paling sering bolos, tidak peduli pada pelajaran, dan lebih suka menghabiskan waktu di atap sekolah dibanding di kelas.

Ketika bel tanda masuk berbunyi, suara gaduh langsung berkurang. Pak Rendra, guru Bahasa Indonesia, masuk dengan langkah santai, membawa setumpuk kertas di tangannya. Seperti biasa, dia tidak terburu-buru berbicara. Pandangannya menyapu seluruh kelas sebelum akhirnya meletakkan tumpukan kertas di meja guru.

“Baik, sebelum kita mulai pelajaran, aku punya tugas buat kalian,” katanya sambil membagikan kertas kosong ke tiap meja. “Kalian tidak perlu menulis esai panjang atau menjawab soal. Cukup tuliskan satu hal yang ingin kalian sampaikan pada seseorang yang pernah kalian kecewakan.”

Beberapa murid saling pandang, beberapa langsung mencoret-coret kertas, sementara yang lain mengerutkan kening, berpikir keras.

Damar menatap kertas di mejanya dengan ekspresi datar. Tanpa pikir panjang, dia melipatnya menjadi dua dan menyelipkannya ke dalam buku tanpa menulis apa pun.

Pak Rendra, yang berjalan mengitari kelas, memperhatikan gerak-gerik Damar. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya berhenti sejenak di samping bangku belakang itu sebelum berdeham pelan.

“Kalau kamu nggak mau nulis, setidaknya baca yang lain,” katanya tanpa menoleh langsung.

Damar menghela napas, mengabaikan saran itu. Namun, saat matanya melirik selembar kertas yang sudah ditulis oleh teman di depannya, rasa ingin tahunya perlahan muncul. Ia mengambil kertas itu tanpa sepengetahuan pemiliknya dan mulai membaca.

Ayah, aku tahu aku bukan anak yang baik. Aku sering buat kamu kecewa. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tetap menyayangimu, meskipun kamu tidak pernah pulang.

Sesuatu dalam dada Damar terasa menegang. Ia menelan ludah, tiba-tiba merasa jengah. Kata-kata itu seperti pukulan yang telak ke dirinya sendiri.

Pak Rendra kembali ke depan kelas, lalu mulai berbicara lagi. “Kalian tahu, kata-kata itu punya kekuatan. Bisa menyembuhkan, bisa melukai, dan bisa juga mengubah seseorang.”

Damar pura-pura tidak peduli, tapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.

Ketika bel tanda istirahat berbunyi, semua murid langsung berhamburan keluar kelas. Damar meraih tasnya dan berjalan keluar dengan langkah malas, tapi sebelum sampai di pintu, sebuah suara menghentikannya.

“Damar.”

Dia menoleh, mendapati Pak Rendra berdiri tidak jauh darinya. “Kamu udah selesai baca yang tadi?”

Damar mengangkat bahu. “Aku cuma lihat dikit.”

Pak Rendra tersenyum tipis. “Kata-kata yang ditulis seseorang, kalau kamu bacanya pakai hati, bisa lebih berbobot daripada seribu buku teks.”

Damar tidak menjawab. Ia hanya menatap Pak Rendra beberapa detik sebelum akhirnya melangkah keluar.

Tapi di tangannya, kertas kosong yang tadi ia abaikan masih tergenggam erat. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, ia mulai berpikir: Mungkin aku harus menulis sesuatu.

 

Kata-kata Yang Mendebarkan Dada

Malam itu, kamar Damar lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, ia akan menyalakan musik keras-keras atau sekadar menonton video di ponselnya sampai tertidur. Tapi kali ini, pikirannya sibuk memutar ulang kata-kata Pak Rendra di kelas tadi.

Di atas meja kayu yang sudah penuh coretan lama, ada selembar kertas kosong yang ia bawa dari kelas tadi siang. Ujungnya sudah agak kusut karena terlalu sering diremas dan dilepaskan lagi.

Tangannya mengambil pulpen, tapi ujungnya hanya mengetuk-ngetuk meja tanpa ada satu pun kata yang tertulis.

“Apa sih yang harus aku tulis?” gumamnya pelan.

Beberapa menit berlalu, tapi kertas itu masih kosong. Damar mendesah, melempar pulpennya ke atas meja, lalu bangkit menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat atap sekolah yang biasanya jadi tempat pelariannya. Tempat di mana ia bisa duduk sendirian tanpa perlu berpikir tentang siapa pun atau apa pun.

Tapi entah kenapa, kali ini ia merasa ada sesuatu yang kosong.

Keesokan harinya, kelas terasa lebih lambat dari biasanya. Damar masih duduk di barisan belakang, tapi ada yang berbeda dari dirinya. Ia tidak menyandarkan kepala ke tembok seperti biasa.

Pak Rendra masuk seperti biasa, tapi hari ini ia membawa sesuatu—sebuah kotak kayu kecil yang diletakkan di atas mejanya.

“Baik,” katanya setelah menutup pintu kelas, “sebelum kita mulai pelajaran, aku mau kalian memasukkan kertas yang kemarin kalian tulis ke dalam kotak ini. Kalian nggak perlu menulis nama. Aku cuma ingin kalian menuangkan sesuatu yang selama ini tertahan di hati kalian.”

Satu per satu, murid mulai maju ke depan kelas, memasukkan kertas mereka ke dalam kotak. Beberapa tampak malu-malu, beberapa lainnya terlihat santai.

Damar menatap kertasnya sendiri yang kini sudah sedikit lecek di tangannya. Selama semalaman, ia mencoba menulis sesuatu, tapi akhirnya hanya ada beberapa kata yang tertulis di sana.

“Aku nggak tahu harus ngomong apa. Tapi mungkin, selama ini aku cuma takut.”

Tangannya menggenggam kertas itu lebih erat. Ia tidak yakin ingin memasukkannya atau tidak.

Tepat ketika Pak Rendra hendak menutup kotak, Damar akhirnya berdiri, berjalan ke depan tanpa suara, lalu memasukkan kertasnya ke dalam kotak itu sebelum cepat-cepat kembali ke bangkunya.

Pak Rendra tersenyum kecil sebelum membawa kotak itu kembali ke mejanya.

“Terkadang, kita nggak perlu menulis sesuatu yang sempurna,” katanya sambil menatap seluruh kelas. “Yang penting, kita jujur dengan diri sendiri.”

Damar menunduk, menatap tangannya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang sedikit lebih ringan di dadanya.

Sepulang sekolah, Damar kembali ke atap sekolah. Kali ini, bukan untuk melarikan diri dari pelajaran, tapi karena pikirannya terlalu penuh.

Langit sore berwarna jingga, angin berembus pelan. Ia duduk di tepi atap, menatap lapangan kosong di bawahnya.

Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Ia menoleh, sedikit terkejut melihat Pak Rendra berdiri di dekat pintu keluar ke atap.

“Pikiranku lagi penuh,” kata Damar sebelum gurunya sempat bertanya.

Pak Rendra berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya dengan santai. “Bagus. Artinya, kamu mulai berpikir.”

Damar mendengus pelan. “Kamu suka aja sih ngomong begitu.”

Pak Rendra hanya tersenyum. “Jadi, kamu nulis sesuatu di kertas itu?”

Damar mengangguk pelan. “Tapi nggak banyak.”

“Itu udah cukup.”

Beberapa detik berlalu dalam keheningan.

Lalu, dengan suara pelan, Damar akhirnya bertanya, “Menurut kamu… kalau seseorang udah lama ngerasa kecewa sama banyak hal, mereka masih bisa berubah nggak?”

Pak Rendra tidak langsung menjawab. Ia menatap langit sebentar, lalu berkata, “Setiap orang bisa berubah. Asalkan mereka mau.”

Damar mengangguk pelan. Tapi jauh di dalam hatinya, ia masih bertanya-tanya—apakah dirinya termasuk orang yang bisa berubah?

 

Pelajaran Yang Tak Pernah Kuduga

Setelah pertemuan di atap sekolah sore itu, ada sesuatu yang berubah dalam diri Damar. Ia tidak tahu apa itu—apakah sekadar perasaan sesaat atau sesuatu yang lebih dalam? Yang jelas, kata-kata Pak Rendra masih terngiang di kepalanya.

Keesokan harinya, kelas berjalan seperti biasa. Damar masih duduk di bangku belakang, tapi kali ini matanya tidak kosong. Ia melihat. Ia mendengar.

Pak Rendra berdiri di depan kelas dengan senyum khasnya. “Hari ini, kita akan coba sesuatu yang beda,” katanya sambil menaruh beberapa lembar kertas di meja.

Murid-murid mulai saling bertukar pandang. Biasanya, kalau Pak Rendra bilang “beda”, itu berarti akan ada sesuatu yang tidak biasa.

“Setiap orang di sini akan mendapat satu kertas,” lanjutnya. “Di dalamnya ada tulisan dari salah satu dari kalian. Aku sudah mengacaknya. Aku ingin kalian membaca tulisan itu, lalu coba membayangkan diri kalian berada di posisi orang yang menulisnya.”

Damar menelan ludah. Dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Satu per satu, kertas mulai dibagikan. Ketika Damar menerima bagiannya, tangannya sedikit gemetar. Ia membuka lipatan kertas itu perlahan.

“Aku nggak tahu harus ngomong apa. Tapi mungkin, selama ini aku cuma takut.”

Damar langsung tahu itu tulisannya sendiri.

Tapi itu berarti…

Seseorang di kelas ini membaca apa yang ia tulis.

Ia mengangkat wajah, mencoba melihat siapa yang mendapat tulisannya. Dan di barisan depan, ada seorang gadis yang sedang menatap kertasnya dengan ekspresi serius—Alya.

Alya adalah salah satu murid paling cerdas di kelas. Ia bukan tipe yang banyak bicara, tapi kalau sudah berbicara, kata-katanya selalu tajam dan tepat sasaran.

Damar menelan ludah. Kenapa harus Alya?

Pak Rendra memberi waktu sepuluh menit bagi murid-murid untuk membaca dan memahami tulisan di kertas mereka. Setelah itu, ia mulai berbicara lagi.

“Baik,” katanya, “sekarang aku ingin kalian mencoba menulis tanggapan untuk tulisan yang kalian baca. Kalian boleh menulis apa pun—pendapat kalian, saran, atau bahkan sekadar kata-kata semangat. Tapi ingat, kalian sedang berbicara kepada seseorang yang mungkin sedang membutuhkan jawaban.”

Damar kembali menatap kertasnya. Ia tahu ini tulisannya sendiri, tapi sekarang ia harus menunggu tanggapan dari orang lain.

Ia melirik ke depan. Alya sudah mulai menulis. Tangannya bergerak cepat di atas kertas.

Beberapa menit kemudian, Pak Rendra mengumpulkan semua kertas lagi dan membagikannya kepada pemilik aslinya.

Damar menerima kertasnya kembali. Sekarang ada tambahan tulisan di bawahnya.

“Aku nggak tahu siapa kamu, tapi aku tahu satu hal: ketakutan itu manusiawi. Semua orang pasti pernah takut. Tapi kalau kamu sadar bahwa kamu takut, itu artinya kamu sudah lebih kuat dari yang kamu kira.”

Damar terdiam.

Kata-kata itu…

Ia tidak pernah menyangka seseorang akan menanggapinya dengan cara seperti ini.

Ia mengangkat wajahnya, mencari Alya. Gadis itu tidak melihat ke arahnya. Ia hanya duduk diam, seolah tak terjadi apa-apa.

Tapi bagi Damar, sesuatu baru saja berubah.

Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada seseorang yang bisa mengerti.

 

Lebih Dari Sekedar Kata-kata

Beberapa hari berlalu sejak Damar membaca tanggapan dari Alya. Kata-kata itu masih melekat di kepalanya, seperti sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Ada perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya—sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu, meskipun ia belum tahu pasti apa itu.

Pak Rendra tetap mengajar seperti biasa, dengan caranya yang khas. Tapi bagi Damar, kini setiap perkataan gurunya terasa lebih dalam dari sebelumnya. Ia mulai memperhatikan, mulai mendengar, dan—yang paling penting—mulai mencoba memahami.

Hari ini, bel sekolah berbunyi lebih lambat dari biasanya. Atau mungkin hanya perasaan Damar saja. Saat murid lain mulai berkemas dan keluar dari kelas, ia masih duduk di tempatnya.

Pak Rendra yang hendak pergi, menghentikan langkahnya ketika melihat Damar masih di sana.

“Kamu nggak pulang?” tanyanya.

Damar menggeleng. “Aku cuma… kepikiran sesuatu.”

Pak Rendra tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di sebelahnya. “Mau cerita?”

Damar menarik napas dalam.

“Aku baca tanggapan dari seseorang,” katanya pelan. “Dan aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya… aku pengen melakukan sesuatu. Aku cuma nggak tahu apa.”

Pak Rendra menatapnya dengan sabar. “Kamu ingin berubah?”

Damar mengangguk ragu. “Mungkin.”

Pak Rendra mengangguk kecil. “Kalau begitu, mulailah dari hal kecil.”

Damar menatap gurunya, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Perubahan itu nggak selalu harus besar. Kadang, cukup dengan hal sederhana—seperti mulai mendengarkan orang lain, atau mulai berbicara ketika kamu merasa perlu berbicara.”

Damar diam. Kata-kata itu masuk ke dalam dirinya lebih dalam dari yang ia duga.

Pak Rendra bangkit, menepuk bahunya. “Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi aku yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”

Damar menatap punggung gurunya saat ia berjalan keluar kelas.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa seperti melihat jalan yang lebih jelas di depannya.

Keesokan harinya, Damar melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Ia menunggu di luar kelas sebelum bel masuk berbunyi.

Saat Alya datang, ia menegakkan bahu, menelan ludah, dan untuk pertama kalinya, ia berbicara lebih dulu.

“Alya.”

Gadis itu menghentikan langkahnya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Ya?”

Damar menarik napas. “Terima kasih.”

Alya tampak bingung. “Buat apa?”

Damar menatap matanya. “Untuk tanggapanmu di kertas waktu itu.”

Alya terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Aku cuma nulis apa yang kupikirkan.”

Damar mengangguk. “Dan itu lebih berarti dari yang kamu kira.”

Alya tidak menjawab. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Damar yakin—untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendirian.

Dan saat bel berbunyi, ia masuk ke kelas dengan langkah yang lebih ringan dari sebelumnya.

Di ujung ruangan, Pak Rendra memperhatikan dari meja guru. Senyum kecil muncul di wajahnya.

Ia tahu, tugasnya belum selesai. Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang tidak selalu bisa ia lihat dalam seorang murid.

Sebuah langkah kecil, tapi pasti.

Dan bagi seorang guru, itu lebih dari cukup.

 

Kadang kita nggak sadar kalau orang yang paling kita anggap biasa justru punya pengaruh paling besar di hidup kita. Kayak Pak Rendra buat Damar. Cuma dengan satu kalimat sederhana, semuanya berubah. So, kamu pernah nggak ketemu orang yang bikin kamu mikir ulang tentang hidup? Atau jangan-jangan, kamu sendiri bakal jadi orang itu buat seseorang suatu hari nanti?

Leave a Reply