Menatap Matahari Pun Aku Tak Mampu: Cerita Tentang Penyesalan dan Kepergian

Posted on

Kadang, hidup itu kejam banget. Bukan cuma soal kehilangan, tapi soal rasa bersalah yang nggak bisa hilang meskipun waktu terus jalan.

Ada hal-hal yang nggak bisa diperbaiki, ada kata-kata yang telanjur nggak terucap, dan ada orang-orang yang akhirnya cuma bisa dikenang. Cerita ini bukan tentang seseorang yang berusaha kuat—ini tentang seseorang yang udah jatuh terlalu dalam sampai lupa caranya berdiri lagi.

 

Menatap Matahari Pun Aku Tak Mampu

Cahaya yang Terlalu Menyilaukan

Langit sore membentang luas dengan semburat jingga yang perlahan-lahan meredup. Cahaya matahari yang menggantung di ufuk barat seakan berusaha menggenggam sisa-sisa hari, sebelum akhirnya menyerah pada gelap yang datang merayap. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa hujan pagi tadi, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli dengan semua itu. Setidaknya, tidak bagi seorang pemuda yang berdiri kaku di tepi danau dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya.

Ranum berdiri di sana, diam membisu. Matanya menatap permukaan air yang tenang, seakan mencari sesuatu di kedalamannya. Tetapi tidak ada yang bisa ditemukan, sama seperti perasaannya saat ini—kosong, hampa, dan dingin.

“Kamu yakin mau diam di sini terus?”

Suara itu datang dari belakangnya, lembut tetapi sarat dengan kecemasan. Seorang gadis berdiri di bawah pohon besar, sedikit ragu untuk melangkah lebih dekat. Matanya yang biasanya berbinar penuh semangat, kini meredup, tersapu oleh kesedihan yang berusaha ia sembunyikan.

Ranum tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, tetapi dadanya terasa sesak, seakan udara pun enggan masuk ke dalam paru-parunya.

Gadis itu melangkah mendekat, berdiri di sampingnya, mencoba membaca ekspresi yang sejak tadi tertutup bayangan. “Kamu nggak harus sendirian.”

Butuh waktu beberapa detik sebelum Ranum akhirnya menjawab, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku nggak bisa.”

Gadis itu mengernyit. “Nggak bisa apa?”

Mata Ranum tetap terpaku ke danau, tatapannya kosong. “Nggak bisa balik ke sana. Nggak bisa pura-pura nggak terjadi apa-apa.”

Seketika, keheningan menyelimuti mereka. Angin sore berhembus lebih dingin, seakan turut merayakan keterasingan yang dirasakan Ranum.

“Kamu tahu itu bukan salah kamu, kan?” Gadis itu akhirnya bersuara lagi, mencoba menenangkan.

Namun, Ranum menggeleng pelan. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana—hanya getir yang terasa menusuk. “Kalau aku nggak pergi hari itu… kalau aku dengar permintaan terakhirnya…”

Gadis itu menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa.

“Dia percaya sama aku. Tapi aku ninggalin dia.” Suara Ranum bergetar, seolah menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa bersalah.

“Kamu nggak ninggalin dia. Itu cuma keadaan, Ranum. Kamu nggak bisa nyalahin diri kamu sendiri terus.”

“Tapi dia nggak ada sekarang!” suara Ranum meninggi, matanya yang semula kosong kini berkilat dengan emosi yang sulit dijelaskan. “Dan aku ada! Aku ada di sini, berdiri, bernapas, sementara dia…”

Kata-katanya terhenti di sana.

Gadis itu terdiam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi ia tahu, tak ada satu pun kata-kata yang bisa menghapus luka yang sudah terlanjur menganga di dalam diri Ranum.

Senja makin menua. Langit yang tadinya berwarna jingga perlahan berubah menjadi ungu kebiruan, lalu gelap.

Matahari telah pergi.

Dan Ranum tetap berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali.

 

Bayangan yang Tak Pernah Pergi

Angin malam mulai merayap pelan, menggantikan sisa-sisa kehangatan sore yang telah berlalu. Ranum masih berdiri di tempat yang sama, sementara gadis di sampingnya mulai merasa dingin. Namun, bukan udara yang membuat tubuhnya gemetar, melainkan suasana di antara mereka yang semakin pekat dengan rasa bersalah dan kesedihan yang tak terucapkan.

“Kamu udah makan?” pertanyaan itu terdengar begitu sederhana, tapi di antara keheningan yang mencekik, suara gadis itu seakan menjadi satu-satunya penghubung yang tersisa.

Ranum tidak menjawab, hanya menghembuskan napas pelan, seperti terlalu lelah untuk sekadar berkata ‘tidak’.

“Kamu nggak bisa terus kayak gini,” lanjutnya, sedikit lebih lembut. “Kamu butuh istirahat, butuh makan, butuh… hidup, Ranum.”

Mendengar itu, Ranum akhirnya menoleh, menatapnya dengan mata yang sembab dan penuh bayangan kelam. “Aku nggak pantas.”

Gadis itu mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

“Aku nggak pantas buat tenang. Nggak pantas buat makan enak, tidur nyenyak, atau pura-pura semuanya baik-baik aja.” Suara Ranum terdengar serak, seperti seseorang yang sudah terlalu lama berbicara dengan kesedihan sebagai satu-satunya lawan bicara.

“Kamu tahu nggak?” lanjutnya, menatap ke arah danau yang gelap. “Setiap aku merem, aku lihat dia. Setiap aku jalan, aku ngerasa dia ada di belakangku. Setiap aku dengar suara orang tertawa, aku kebayang kalau dia seharusnya ada di sini, ikut ketawa, ikut hidup.”

Gadis itu mengepalkan tangannya. “Ranum…”

“Aku nggak bisa ngelepasin ini. Aku nggak bisa.”

Seketika, bayangan masa lalu kembali menyerang tanpa ampun. Kilasan senyum yang dulu begitu nyata, suara tawa yang dulu mengisi hari-hari mereka, lalu… detik terakhir yang menghancurkan semuanya.

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. Tidak deras, tidak histeris, tapi cukup untuk membuat Ranum menyadari bahwa di balik setiap helaan napasnya, ada beban yang semakin berat menekan dadanya.

Gadis itu menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Kalau dia bisa lihat kamu sekarang, apa dia bakal senang?”

Ranum terdiam.

“Kamu tahu jawabannya, kan?” lanjutnya. “Dia nggak akan mau lihat kamu kayak gini. Dia pasti pengen kamu tetap hidup, tetap berjalan. Aku nggak bilang kamu harus langsung baik-baik aja, aku tahu itu nggak mungkin. Tapi, Ranum… setidaknya, coba buat jalan pelan-pelan?”

Hening.

Gadis itu melangkah lebih dekat, lalu mengulurkan tangannya. “Ayo pulang.”

Ranum menatap tangan itu, ragu-ragu. Lalu, dengan gerakan yang sangat lambat, jemarinya terangkat, hampir menyentuh—

Namun, sebelum ia bisa benar-benar menggenggam harapan itu, sesuatu yang dingin kembali mencengkeram hatinya.

Tangannya jatuh ke sisi tubuhnya.

“Aku belum siap.”

Gadis itu mengepalkan tangannya yang masih menggantung di udara, lalu menariknya kembali. Rasa kecewa tampak jelas di matanya, tapi ia tidak berkata apa-apa.

Angin kembali berhembus, membawa kesunyian yang semakin menusuk.

Dan di balik bayangan malam, seseorang masih terus menunggu.

 

Aku yang Terjebak di Masa Lalu

Hujan turun tanpa aba-aba, menghantam aspal yang sudah retak oleh waktu. Aroma tanah basah kembali menyeruak, bercampur dengan dinginnya udara malam yang menyesakkan. Lampu jalan berkedip samar, memberikan sedikit penerangan bagi Ranum yang masih berdiri di tepi trotoar, membiarkan air hujan merembes masuk ke dalam serat-serat pakaiannya.

Tidak ada lagi suara dari gadis itu. Ia sudah pergi sejak beberapa waktu lalu, meninggalkan Ranum dengan pikirannya sendiri. Mungkin ia lelah, mungkin ia kecewa, atau mungkin… ia akhirnya sadar bahwa Ranum memang tak bisa diselamatkan.

Ranum menghembuskan napas panjang, membiarkan udara malam yang dingin menusuk paru-parunya. Sejujurnya, ia ingin berlari, ingin mengejar gadis itu, ingin mengatakan bahwa ia memang ingin pulang. Tetapi, kaki-kakinya terasa tertanam di tempatnya berdiri, seakan ada sesuatu yang menahannya.

Atau lebih tepatnya, seseorang.

Bayangan itu masih di sana. Di sudut pikirannya, di kelopak matanya yang semakin berat, di udara yang ia hirup, di hujan yang jatuh di kulitnya.

“Kamu nyesel?”

Suara itu menghantam telinganya, terlalu nyata untuk sekadar ilusi. Ranum mengangkat wajahnya, menatap sekeliling, tetapi jalanan kosong.

“Kamu nyesel, tapi kamu nggak bisa ngapa-ngapain, kan?”

Dadanya mendadak sesak. Ia tahu suara itu tidak nyata, tahu bahwa itu hanya cerminan dari hatinya sendiri, tetapi kenapa terdengar begitu jelas?

“Tahu nggak, Ranum?” suara itu kembali, kali ini lebih dekat, lebih tajam. “Kalau aku yang ada di posisimu, aku pasti bakal nolong kamu.”

Sesuatu di dalam dirinya terasa remuk.

Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata bercampur dengan derasnya hujan yang membasahi wajahnya.

“Aku juga pengen nolong kamu…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. “Tapi aku telat.”

Hening.

Hanya suara hujan yang kini terdengar, membentur genting, membasahi jalan, menyelimuti tubuhnya yang menggigil.

Ranum menarik napas panjang, lalu menengadah, mencoba menatap langit. Tapi yang ia lihat bukanlah bintang-bintang, bukan pula rembulan. Hanya kegelapan pekat yang menyelimuti segalanya.

Lalu, dalam satu tarikan napas, sebuah pertanyaan menghantam dadanya.

Jika dia masih di sini, jika dia tidak pergi… apakah aku akan tetap seperti ini?

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ranum menyadari sesuatu yang lebih menyakitkan dari kehilangan:

Ketakutan untuk melangkah tanpa seseorang yang seharusnya ada di sampingnya.

Angin berhembus kencang, mengguncang ranting-ranting pohon di sekitar. Ranum mengangkat tangannya, menutupi wajahnya yang semakin basah. Ia merasa lelah. Lelah karena terus bertahan di tempat yang sama, lelah karena bayangan itu tak pernah pergi, dan yang paling menyakitkan—lelah karena sadar bahwa ia masih belum siap untuk benar-benar melepaskan.

Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, ia tetap memilih diam. Terjebak di masa lalu yang terus menghisapnya semakin dalam.

 

Langkah yang Terlambat

Fajar menjelang, menyingkap langit yang sebelumnya pekat oleh malam. Cahaya jingga merambat pelan di cakrawala, tetapi Ranum masih berdiri di tempat yang sama. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena pakaian yang basah kuyup, tetapi juga karena sesuatu yang jauh lebih dalam—sesuatu yang sudah lama bersarang di hatinya.

Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja. Tangannya gemetar saat ia mencoba memasukkan kunci ke lubang pintu apartemennya, tetapi gagal beberapa kali sebelum akhirnya berhasil. Pintu berderit pelan saat terbuka, menyisakan kesunyian yang menyambutnya begitu ia melangkah masuk.

Hening.

Ranum menghela napas, melepaskan jaketnya yang sudah berat oleh air hujan, lalu berjalan ke arah cermin di sudut ruangan. Tatapannya kosong saat melihat bayangannya sendiri. Mata sembab, kulit pucat, rambut berantakan. Ia terlihat seperti seseorang yang sudah lama lupa bagaimana rasanya menjadi hidup.

Tapi bukan itu yang membuatnya diam terpaku.

Di cermin itu, ia melihat sesuatu yang lain.

Bayangan itu.

Masih ada di sana. Masih berdiri di belakangnya. Masih menatapnya.

Ranum memejamkan mata, menggigit bibirnya sampai hampir berdarah.

“Apa kamu nggak capek?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. “Apa kamu nggak lelah terus menghantuiku?”

Tapi bayangan itu tidak menjawab. Tidak pernah menjawab.

Tangannya mengepal. Sesuatu di dalam dirinya mulai retak, seperti bendungan yang hampir jebol. Dadanya terasa sesak, begitu penuh dengan sesuatu yang selama ini ia tekan, ia pendam, ia simpan rapat-rapat agar tidak meledak.

Namun, pagi itu… semuanya runtuh.

“Aku minta maaf!” suaranya pecah, bergema di dalam ruangan yang kosong. “Aku tahu aku bodoh! Aku tahu aku harusnya bisa nolong kamu! Aku tahu semua ini salahku! Tapi aku nggak bisa balik ke masa lalu buat benerin semuanya!”

Ia terjatuh, lututnya menghantam lantai, napasnya terengah-engah.

“Aku capek…” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku capek hidup kayak gini…”

Air matanya jatuh, membasahi lantai kayu yang dingin.

Namun, di antara kesunyian itu, sesuatu terasa berbeda.

Ruangan itu terasa lebih ringan, lebih… kosong.

Ranum perlahan mengangkat kepalanya.

Cermin di hadapannya kini hanya memantulkan satu bayangan.

Hanya dirinya sendiri.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, bayangan itu benar-benar hilang.

Ranum mengerjap, masih belum percaya. Tidak ada lagi siluet yang selalu membuntutinya, tidak ada lagi tatapan yang menahannya, tidak ada lagi bisikan yang menghantuinya.

Kosong.

Sunyi.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa… sendiri.

Bukan dalam arti kesepian, bukan pula dalam arti kehilangan. Tapi dalam arti bahwa beban yang selama ini menghancurkannya perlahan mulai pudar.

Lalu, dengan tangan yang masih gemetar, ia berusaha berdiri.

Langkahnya goyah, tapi ia tetap melangkah.

Perlahan.

Penuh keraguan.

Tapi ia tetap berjalan.

Dan meski menatap matahari pun ia tak mampu, pagi itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama—Ranum akhirnya menatap ke depan.

 

Hidup emang nggak selalu ngasih kesempatan kedua, dan nggak semua luka bisa sembuh. Tapi pada akhirnya, satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah terus melangkah, meskipun kaki gemetar dan dada masih sesak.

Karena kalau terus berhenti di tempat yang sama, bayangan masa lalu nggak akan pernah pergi. Dan meskipun menatap matahari pun nggak mampu, setidaknya, langkah kecil tetap lebih baik daripada diam selamanya.

Leave a Reply