Daftar Isi
Kadang, hidup tuh kayak naik kereta. Ada stasiun yang harus kita lewati, ada yang bikin kita pengen turun, dan ada yang bikin kita nggak mau balik. Tapi di ujung perjalanan, kita selalu sadar… rumah bukan cuma soal tempat, tapi juga tentang orang-orang yang tetap tinggal di hati kita, meskipun jarak memisahkan.
Cerita ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang seseorang yang akhirnya nemuin jawaban dari pertanyaan yang selama ini bikin kepalanya penuh. Ini cerita tentang Evan, Raka, dan Mira—tiga sahabat yang belajar bahwa waktu dan jarak nggak pernah bisa ngilangin sesuatu yang benar-benar berharga. Yuk, baca sampai habis. Siapa tahu, kamu juga nemuin sesuatu di sini.
Perjalanan Pulang
Langkah di Simpang Jalan
Matahari sore mulai merunduk di balik gedung sekolah, meninggalkan semburat jingga yang menyapu halaman depan Sekolah Cahaya Bangsa. Suara siswa yang berhamburan keluar gerbang memenuhi udara, beberapa sibuk bercanda, sementara yang lain berjalan santai dengan tas tersampir di bahu. Di salah satu sudut taman sekolah, di bawah pohon beringin yang sudah bertahun-tahun menjadi saksi bisu cerita mereka, tiga sahabat duduk di bangku panjang yang mulai lapuk.
Evan menghela napas pelan, menatap langit yang mulai berubah warna. Raka, yang duduk di sampingnya, sibuk memainkan batu kecil di tangannya, sementara Mira menatap kedua sahabatnya dengan senyum kecil yang seolah menyimpan banyak pertanyaan.
“Aku tuh kadang kepikiran,” Evan membuka suara, suaranya terdengar samar di antara keramaian sekolah. “Kita ini sekarang di persimpangan jalan, kan? Udah kelas tiga, sebentar lagi lulus. Tapi, kadang aku mikir… jalan yang kita pilih bener nggak sih?”
Raka mendengus pendek, lalu menjentikkan batu di tangannya. “Mulai lagi, Van? Hidup tuh bukan teka-teki yang harus kamu pecahin sekarang. Selama kita masih jalan, ya nikmatin aja.”
Mira menyandarkan punggungnya ke bangku, ikut menatap langit yang mulai meredup. “Tapi aku ngerti maksudnya Evan. Kadang aku juga kepikiran. Bener nggak sih jalan yang kita ambil?”
“Nah, kan?” Evan menoleh ke arah Mira dengan ekspresi seolah mendapat dukungan. “Liat deh kita. Raka udah pasti bakal ngejar musiknya, Mira bakal jadi dokter. Aku?” Ia tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Aku bahkan belum tahu mau jadi apa.”
Raka menatapnya, kali ini lebih serius. “Ya nggak harus sekarang juga, Van. Hidup nggak minta kita buru-buru.”
Evan tertawa kecil. “Mungkin kamu bener. Tapi tetep aja, Ra. Rasanya kayak aku lagi jalan di gang sempit, terus pas belok, tiba-tiba ada banyak jalan bercabang dan aku nggak tau harus ke mana.”
Mira mengangguk pelan. “Tapi kita nggak akan jalan sendirian, kan? Kita masih bisa jalan bareng.”
Namun sebelum Evan sempat menjawab, seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda berlari ke arah mereka. Nafasnya memburu, dan wajahnya sedikit panik.
“Evan!”
Liana, salah satu anggota OSIS, berdiri di depan mereka dengan ekspresi cemas.
“Ada apa, Li?” Evan bertanya, bingung dengan raut wajah gadis itu.
“Kamu harus ke ruang guru sekarang. Katanya ada yang penting!”
Mata Evan menyipit. “Serius?”
“Banget!”
Evan menatap Mira dan Raka dengan ragu. Raka hanya mengangkat bahu, sementara Mira mengangguk seolah menyuruhnya pergi. Tanpa banyak bertanya lagi, Evan bangkit dan berjalan cepat menuju ruang guru.
Di ruang guru, Pak Budi, wali kelas mereka, duduk di balik meja kayu yang sudah mulai usang. Mata pria paruh baya itu menatap Evan dengan sorot serius, seperti seseorang yang hendak mengungkapkan sesuatu yang besar.
“Duduk, Evan,” katanya.
Evan menurut, masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Pak Budi menghela napas sebelum berkata, “Aku ingin kamu mewakili sekolah dalam lomba menulis tingkat nasional.”
Evan terdiam. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna kata-kata itu.
“Saya?” Evan akhirnya bersuara, suaranya sedikit meninggi karena kaget. “Tapi, Pak… saya bahkan nggak yakin sama tulisan saya sendiri.”
Pak Budi tersenyum tipis. “Justru karena itu. Aku membaca tulisan-tulisanmu, Evan. Ada sesuatu di dalamnya. Bukan sekadar kata-kata biasa. Ada jiwa.”
Evan menunduk, tangannya saling menggenggam. Ia memang suka menulis, tapi selama ini ia hanya menganggapnya sebagai hobi. Bukan sesuatu yang bisa menjadi masa depan.
“Aku tahu ini berat,” lanjut Pak Budi. “Tapi ini kesempatan besar. Bukan cuma untuk sekolah, tapi juga untuk kamu sendiri.”
Evan masih diam. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar.
Pak Budi menatapnya tajam. “Jangan biarkan keraguan membunuh potensimu, Evan.”
Malam itu, Evan duduk di atap rumahnya. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah yang baru saja tersiram gerimis. Pikirannya masih sibuk dengan percakapan tadi siang.
Sebuah lomba nasional. Pelatihan selama beberapa bulan. Jauh dari sekolah, dari rumah, dari… sahabat-sahabatnya.
Pikirannya beralih ke Raka dan Mira.
Bagaimana kalau Raka menganggapnya egois? Bagaimana kalau Mira kecewa?
Bagaimana kalau… mereka berubah setelah ini?
Evan menatap langit malam. Ia tahu, hidup selalu menawarkan persimpangan. Tapi kali ini, ia merasa takut untuk memilih.
Dan itu adalah ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dilema Sebuah Kesempatan
Langit pagi masih berwarna keemasan saat Evan berdiri di depan gerbang sekolah, menatap keramaian yang biasanya terasa biasa saja. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berat di dadanya. Ia sudah memikirkan ini semalaman—tentang tawaran lomba, tentang Raka dan Mira, tentang apa yang akan berubah setelah ini.
Sebuah tangan menepuk bahunya pelan.
“Kenapa muka kamu kayak orang abis nelen batu?” suara Raka terdengar di sampingnya.
Evan menoleh. Mira juga sudah berdiri di sana, menatapnya dengan alis bertaut.
“Kalian udah denger?” tanya Evan pelan.
“Lomba menulis tingkat nasional?” Mira mengangguk. “Aku denger dari Liana tadi pagi.”
Raka menyandarkan dirinya ke tiang gerbang. “Harusnya aku kaget. Tapi nggak juga sih. Aku tahu cepat atau lambat, kamu bakal dapet kesempatan besar kayak gini.”
“Masalahnya…” Evan menelan ludah. “Aku belum yakin.”
Mira menatapnya tajam. “Kenapa?”
Evan mengusap wajahnya, mencari kata-kata yang tepat. “Kalau aku ikut lomba ini, aku harus latihan intensif. Aku bakal jauh dari kalian berbulan-bulan. Entah kenapa, aku takut semuanya bakal berubah.”
Raka tertawa kecil. “Kamu pikir kita bakal amnesia atau gimana? Santai aja, Van.”
Evan menggeleng. “Bukan gitu, Ra. Kadang… jarak bikin orang berubah.”
Mira terdiam sejenak sebelum berkata pelan, “Aku ngerti maksud kamu.”
Untuk sesaat, mereka bertiga hanya berdiri di sana. Tak ada yang bicara, tapi masing-masing dari mereka tahu ini bukan sekadar soal lomba. Ini soal bagaimana waktu dan jarak bisa mengubah sesuatu yang selama ini mereka anggap tak tergoyahkan.
Tapi sebelum suasana semakin berat, Raka menepuk kepala Evan dengan buku yang dipegangnya.
“Dengerin ya, anak sastra.” katanya dengan nada setengah bercanda. “Kalau kamu nggak mau pergi cuma gara-gara takut kehilangan kita, itu alasan paling konyol yang pernah aku denger.”
Evan mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
Raka melipat tangan di dada. “Kalau kamu bener-bener sahabat kita, harusnya kamu percaya kalau kita nggak akan berubah cuma gara-gara kamu pergi beberapa bulan. Dan kalau kamu nolak kesempatan ini, aku bakal lebih kecewa daripada kalau kamu pergi.”
Evan menatap Mira, mencari tanda-tanda kalau gadis itu keberatan. Tapi Mira malah tersenyum.
“Jalan kamu udah ada di depan mata, Van. Jangan biarin ketakutan yang nggak perlu bikin kamu berhenti.”
Evan menarik napas panjang. Rasanya seperti ada beban yang sedikit terangkat dari dadanya.
Mungkin, mereka benar.
Mungkin, ini saatnya melangkah.
Dua minggu kemudian, Evan berdiri di depan stasiun kereta dengan koper kecil di sampingnya.
Mira dan Raka ada di sana, mengantar kepergiannya.
“Jangan lupa kabarin tiap hari.” kata Mira sambil melipat tangannya di dada.
“Jangan lebay.” Raka terkekeh. “Tapi serius, kalau ada apa-apa, jangan ragu buat hubungin kita.”
Evan mengangguk. Kereta tujuannya sudah datang. Ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang baru.
Sebelum naik ke kereta, ia menoleh sekali lagi ke arah kedua sahabatnya.
“Aku bakal balik.” katanya.
Raka menyeringai. “Kami tahu.”
Evan menghela napas, lalu melangkah masuk.
Dan di saat pintu kereta tertutup, ia tahu—hidupnya baru saja berubah.
Ombak di Kota Baru
Evan menatap pemandangan kota dari jendela kamar apartemen kecil yang disewakan untuk peserta pelatihan lomba. Dari lantai lima belas, ia bisa melihat lautan kendaraan yang tak ada habisnya, gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti raksasa diam, dan pantulan lampu-lampu jalanan yang berpendar di atas aspal basah.
Sudah dua minggu sejak ia tiba di kota ini. Setiap hari diisi dengan kelas menulis, diskusi sastra, dan sesi mentor dengan para penulis ternama. Semua terasa cepat, padat, dan melelahkan. Tapi anehnya, ada bagian dari dirinya yang menikmati ini semua.
Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang terasa kosong.
“Kamu baik-baik aja, Van?”
Evan menoleh. Di belakangnya, seorang pemuda berkacamata berdiri di ambang pintu. Namanya Damar, salah satu peserta lomba yang berasal dari Jogja. Orangnya ramah, cerdas, dan sedikit terlalu jujur.
Evan mengangkat bahu. “Cuma capek aja.”
Damar masuk dan duduk di tepi meja, menatapnya seperti sedang menilai sesuatu. “Capek atau kangen?”
Evan tertawa kecil. “Mungkin dua-duanya.”
Damar tersenyum. “Biasa itu. Semua orang yang baru pertama kali ninggalin rumah pasti bakal ngerasa kayak gitu.”
Evan menghela napas. “Aku nggak cuma kangen rumah. Aku juga takut… kalau saat aku balik nanti, semuanya udah berubah.”
Damar diam sejenak sebelum berkata, “Kamu nggak bisa ngontrol perubahan, Van. Tapi kamu bisa milih gimana kamu menghadapinya.”
Evan menatapnya lama, mencerna kata-kata itu.
Damar berdiri dan menepuk bahunya. “Udah, jangan kebanyakan mikir. Kita makan di luar, yuk. Gue tahu tempat yang jual mie ayam paling enak se-kota.”
Evan mengangguk dan mengambil jaketnya. Mungkin, sedikit udara segar memang yang ia butuhkan sekarang.
Malam itu, Evan duduk di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Mie ayam di hadapannya mengepul harum, dan suara kendaraan yang berlalu-lalang terdengar samar di kejauhan.
Damar sibuk bercerita tentang pengalamannya ikut lomba tahun lalu—bagaimana ia nyaris menyerah, bagaimana ia sempat gagal, dan bagaimana ia akhirnya belajar menerima bahwa perjalanan adalah bagian dari proses.
Evan mendengarkan dengan saksama.
“Jadi, kamu nggak pernah takut kehilangan apa yang udah kamu punya?” tanya Evan setelah beberapa saat.
Damar tersenyum. “Pasti takut. Tapi kalau kita terlalu sibuk takut kehilangan, kita nggak bakal bisa nikmatin apa yang ada di depan kita sekarang.”
Kata-kata itu kembali terngiang di kepala Evan saat ia kembali ke apartemen malam itu.
Mungkin, selama ini ia terlalu fokus pada apa yang akan berubah, sampai lupa menikmati apa yang sedang terjadi sekarang.
Ia membuka ponselnya, melihat chat dari Mira dan Raka yang belum sempat ia balas.
Dengan senyum kecil, ia mulai mengetik.
Pulang yang Berbeda
Kereta yang ditumpangi Evan bergerak pelan memasuki stasiun. Hatinya berdebar. Kota ini terasa sama seperti saat ia tinggalkan beberapa bulan lalu, tapi ia tahu ada sesuatu yang berbeda—bukan pada tempatnya, tapi pada dirinya.
Ia menurunkan kopernya dan berjalan keluar. Udara sore yang sejuk menyambutnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok yang sudah sangat dikenalnya berdiri di depan gerbang stasiun.
“Lama banget!” Raka melambaikan tangan dengan ekspresi malas. “Kamu naik kereta atau jalan kaki sih?”
Evan tertawa kecil. “Sori, macet.”
Mira menggeleng sambil tersenyum. “Udah berubah dikit nih anak. Dulu pas telat pasti panik, sekarang santai aja.”
Evan terkekeh. “Bukan berubah, aku cuma lebih menikmati hidup.”
Mereka bertiga berjalan keluar dari stasiun, seperti tidak pernah terpisah lama.
“Gimana lombanya?” tanya Mira.
Evan menatap langit senja sebentar sebelum menjawab, “Aku nggak menang.”
Raka dan Mira menoleh hampir bersamaan.
“Tapi nggak apa-apa.” lanjut Evan sebelum mereka sempat merespons. “Aku dapet sesuatu yang lebih dari sekadar juara.”
Mira menaikkan alis. “Maksud kamu?”
Evan tersenyum. “Dulu aku pikir, kalau aku pergi, aku bakal kehilangan kalian. Tapi ternyata, persahabatan nggak sesederhana itu. Kita nggak bakal hilang cuma karena jarak. Dan satu hal lagi…”
Ia berhenti berjalan dan menatap mereka dengan penuh keyakinan.
“Aku sadar bahwa aku benar-benar ingin menulis. Bukan buat menang, bukan buat orang lain, tapi buat aku sendiri. Ini yang aku mau, dan aku akan terus melakukannya.”
Raka menyeringai. “Akhirnya, bocah ini sadar juga.”
Mira menepuk bahu Evan. “Kami bangga sama kamu, Van.”
Evan mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ringan. Ia mungkin tidak memenangkan lomba, tapi ia memenangkan sesuatu yang lebih berharga—pemahaman tentang dirinya sendiri, dan kepastian bahwa tidak ada yang benar-benar hilang selama ia tetap berusaha menjaga yang penting.
Senja semakin meredup, dan mereka bertiga melanjutkan perjalanan pulang. Kota ini, yang dulu terasa begitu kecil dan membosankan, kini terasa seperti rumah yang selalu siap menyambutnya kembali.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Evan tahu bahwa ia sudah pulang—bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam hatinya.
Jadi, kadang kita terlalu sibuk ngejar sesuatu, sampai lupa nikmatin perjalanan. Tapi percaya deh, yang paling berharga itu bukan sekadar garis finish, tapi gimana kita bisa nemuin diri sendiri di sepanjang jalan.
Evan mungkin nggak menang lomba, tapi dia pulang dengan sesuatu yang lebih besar: kepastian bahwa mimpinya layak diperjuangkan, dan persahabatan sejati nggak akan luntur cuma karena jarak. Sekarang, giliran kamu. Apa yang sebenarnya kamu cari dalam perjalanan hidupmu?


