Daftar Isi
Pernah nggak sih kepikiran kalau kucing bisa ngomong? Bukan cuma meong-meong biasa, tapi beneran ngobrol kayak manusia?! Nah, ini beneran kejadian di sekolah Gugun!
Awalnya cuma hari biasa, sampai tiba-tiba tasku gerak-gerak sendiri, terus muncul seekor kucing oranye yang bisa ngomong. Dan sejak itu… HIDUPKU RESMI KACAU!! Mau tahu gimana rasanya punya kucing ajaib di sekolah? Siap-siap ketawa sampe perut kram, karena cerita ini BENERAN absurd tapi seru abis!
Momo
Rahasia di Malam Bulan Purnama
Malam itu, bulan menggantung penuh di langit, menyinari kamar Gugun yang berantakan. Buku-buku pelajaran berserakan di lantai, kaus kaki sebelah entah ke mana, dan di tengah kekacauan itu, seekor kucing oranye berbulu tebal tidur meringkuk di atas bantal.
Momo, si kucing kesayangan Gugun, tampak sangat nyaman. Ekornya bergerak-gerak pelan, sesekali mengejang seperti sedang bermimpi berburu ikan goreng. Sementara itu, Gugun masih terjaga, menatap langit-langit dengan mata setengah mengantuk.
“Momo, kalau kamu bisa ngomong, pasti hidupku bakal lebih seru,” gumamnya pelan.
Ia tertawa kecil sendiri, menganggap itu hanya lamunan konyol sebelum tidur. Tapi tepat saat ia hendak menarik selimut, sesuatu yang aneh terjadi.
“Hei, aku bisa ngomong kok. Dan jujur aja, hidup kamu tuh nggak seseru yang kamu pikir.”
Gugun langsung terduduk dengan mata melebar. Ia menoleh ke kanan, ke kiri, ke bawah tempat tidur, bahkan ke lemari. Tidak ada siapa-siapa.
“M-momo?” suaranya bergetar.
Kucing oranye itu masih berbaring di atas bantal, matanya masih terpejam, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Gugun mengusap wajahnya, berpikir mungkin ini efek kurang tidur.
Tapi lalu—
“Ya ampun, kamu lambat banget sih! Iya, aku Momo, dan aku yang tadi ngomong!”
Gugun menjerit dan hampir jatuh dari tempat tidur.
Momo menguap malas, lalu bangkit dan duduk dengan tenang, ekornya melingkar di depan kaki. Matanya menatap Gugun dengan pandangan seperti guru yang sedang menghadapi murid paling bodoh di kelas.
“Tunggu, tunggu! Kamu bisa ngomong?!” suara Gugun naik satu oktaf.
“Astaga, kamu telat banget nyadarnya. Dari dulu aku bisa ngomong, tapi kamu tuh nggak pernah nyimak.”
Gugun masih tercengang. Otaknya berusaha keras memproses informasi ini.
“Ini mimpi, ya? Aku pasti lagi tidur, iya kan?” Gugun mencubit pipinya sendiri.
Momo mendecak. “Mau aku gigit biar kamu sadar?”
Gugun buru-buru menggeleng. “Jadi… selama ini kamu bisa ngomong? Kenapa nggak dari dulu?!”
“Aku kan nggak mau ngobrol sama kamu kalau nggak penting-penting amat.”
Gugun hampir pingsan. Selama ini ia selalu curhat ke Momo, membagikan rahasia, bahkan kadang-kadang ngambek kalau Momo nggak mau dipeluk. Tapi ternyata si kucing bisa ngomong?!
“Terus, kenapa sekarang?” Gugun masih belum percaya.
Momo berkedip malas. “Karena aku laper. Sekarang ambilin ikan atau aku bakal nyanyi dangdut sampai pagi.”
Gugun menatap kucing itu dengan horor. “Apa?!”
“Ya, pilihan di tangan kamu. Ambilin ikan sekarang atau aku mulai konser.” Momo lalu clearing throat dengan gaya ala penyanyi profesional.
Gugun panik dan langsung meloncat turun dari tempat tidur. Dengan langkah tergesa, ia berlari ke dapur, membuka kulkas, dan mengambil sepotong ikan goreng sisa makan malam.
Begitu kembali ke kamar, ia langsung menyerahkan ikan itu ke Momo.
“Hmm, lumayan lah,” komentar Momo sambil mulai mengunyah. “Tapi besok masakin rendang, ya?”
Gugun menepuk dahinya. “Kucing makan rendang?!”
Momo mengangkat bahunya. “Belum pernah nyoba, tapi kayaknya enak.”
Gugun mendesah panjang. Ia duduk di kasur, menatap Momo yang masih asyik makan. Otaknya masih sulit menerima kenyataan bahwa kucing ini benar-benar bisa bicara.
“Aku harus cerita ke orang-orang,” gumamnya.
Momo langsung melotot. “Jangan coba-coba! Kalau orang lain tahu aku bisa ngomong, aku bakal jadi bahan eksperimen! Aku nggak mau masuk lab!”
Gugun mengerutkan dahi. “Emangnya siapa yang mau eksperimenin kamu?”
“Percaya deh, dunia ini kejam buat kucing berbakat kayak aku.”
Gugun tertawa kecil. Entah kenapa, meskipun awalnya panik, sekarang ia mulai menikmati percakapan ini.
Tapi satu pertanyaan masih mengganggunya.
“Kalau kamu bisa ngomong… Berarti selama ini kamu ngerti semua yang aku omongin?”
Momo menatapnya tanpa ekspresi. “Iya.”
“Dan aku selama ini curhat soal teman-teman, sekolah, bahkan rahasia-rahasia kecilku ke kamu?”
“Iya.”
Gugun menelan ludah. “Jadi, kamu tahu aku suka nyanyi dangdut di kamar mandi?”
Momo tersenyum lebar. “Banget.”
Gugun menjerit dan menutup wajahnya dengan bantal.
Momo tertawa geli. “Tenang aja, aku nggak bakal nyebarin… asal kamu nurut sama aku.”
Gugun mengintip dari balik bantal. “Maksudnya?”
Momo menjilat cakarnya santai. “Pokoknya mulai sekarang, aku punya beberapa permintaan. Kamu tinggal ikutin aja. Simple, kan?”
Gugun langsung merasa ini bukan pertanda baik. Ia baru saja mengetahui bahwa kucingnya bisa bicara, tapi sekarang… sepertinya kucing itu juga mulai mengambil alih hidupnya!
Dan ia punya firasat, kehidupannya tidak akan pernah tenang lagi.
Ancaman Nyanyi Dangdut dari Kucing Oranye
Keesokan paginya, Gugun bangun dengan perasaan aneh. Bukan karena mimpi buruk, bukan juga karena lupa mengerjakan PR, tapi karena satu hal: kucingnya bisa bicara. Dan lebih parahnya, kucing itu sekarang punya permintaan-permintaan aneh.
Di ujung kasur, Momo sudah duduk santai sambil menjilati bulunya. Begitu melihat Gugun terbangun, ia langsung berseru, “Akhirnya! Aku udah nunggu dari tadi!”
Gugun mengerang dan menutupi wajahnya dengan bantal. “Kenapa sih? Baru pagi aja udah berisik.”
Momo melompat ke atas perut Gugun dan menatapnya dengan serius. “Kamu janji mau nurut sama aku, kan?”
Gugun menatap balik. “Janji kapan?”
Momo mendesah panjang, lalu meregangkan tubuhnya seperti orang yang sedang siap-siap memberi kuliah. “Oke, aku ulangin sekali lagi, ya. Mulai sekarang, aku punya beberapa permintaan dan kamu tinggal ikutin aja. Kalau enggak, aku…”
Momo tiba-tiba clearing throat dan mulai bersenandung. “Kembalikanlah diaaa… kembalikanlah diaaa…”
Gugun langsung duduk tegak. “Berhenti!”
Momo menyeringai. “Nah, gitu dong. Sekarang, sebagai permintaan pertamaku hari ini, aku mau sarapan spesial.”
Gugun memijat pelipisnya. “Ya ampun, Momo. Biasanya kamu makan ikan aja udah cukup, kan?”
“Biasanya. Tapi sekarang aku punya standar lebih tinggi. Aku mau nasi uduk, pakai telur dadar, dan kerupuk.”
Gugun melongo. “MOMO, KAMU ITU KUCING!”
Momo mengangkat bahunya. “Terus kenapa? Aku kan pengen nyobain. Ayolah, Gun, masa kamu tega? Aku bakal sedih kalau nggak dikasih.”
Gugun menatap Momo dengan kesal. Ia tahu kucing ini punya agenda tersembunyi. “Kamu nggak bakal nyanyi dangdut lagi kalau aku beliin?”
Momo mengangguk penuh semangat. “Iya, aku janji.”
Dengan berat hati, Gugun akhirnya menyerah. Ia turun dari tempat tidur, mengambil uang dari dompet, lalu keluar rumah buat beli nasi uduk di warung depan.
Begitu kembali, ia meletakkan bungkusan di lantai. “Nah, ini nasi uduknya. Tapi aku nggak yakin kucing bisa makan beginian.”
Momo menatap bungkusan itu dengan penuh semangat, lalu mencium baunya. “Hmm… aromanya menjanjikan.”
Ia mencuil sedikit telur dadar dengan cakarnya dan memasukkannya ke mulut. Mata kucing itu langsung melebar.
“Gun… INI ENAK BANGET!!!”
Gugun terkekeh. “Tuh, kan. Tapi jangan banyak-banyak. Perut kamu bukan perut manusia.”
Momo tidak mendengar. Ia sibuk menikmati sarapan paginya dengan ekspresi penuh kebahagiaan. Gugun hanya bisa menghela napas panjang.
Tapi kedamaian itu tidak berlangsung lama.
“Gun.”
“Apaan lagi?” Gugun menatap Momo curiga.
“Aku ada permintaan kedua.”
Gugun mengerang. “Udah mulai deh.”
Momo melompat naik ke atas meja belajar Gugun dan duduk dengan anggun. “Aku mau ikut kamu ke sekolah.”
Mata Gugun hampir copot. “HAH?! Nggak, nggak, nggak! Itu ide buruk!”
Momo berkedip polos. “Kenapa buruk? Aku kan kucing pintar. Aku bisa diem kok.”
Gugun tertawa sarkas. “Oh ya? Bisa diem? Kayak tadi malem waktu kamu maksa minta ikan sambil nyanyi dangdut?”
Momo berpura-pura tidak mendengar. “Pokoknya aku mau ikut. Kalau nggak, aku bakal nyanyi di depan rumah sampai tetangga keluar.”
Gugun menatap Momo dengan horor. “Kamu nggak bakal—”
Momo langsung buka mulut. “Ciiintaaa ini… kadang-kadang… tak ada logikaaa…!”
Gugun panik dan langsung membungkam mulut Momo dengan tangannya. “Ssst! Oke, oke! Kamu menang! Tapi serius, Momo, kamu bisa diem di dalam tas?”
Momo menyeringai. “Tenang aja. Aku bakal jadi kucing paling kalem sedunia.”
Gugun menatap Momo dengan penuh kecurigaan. Ia punya firasat buruk. Sangat buruk.
Tapi ia tidak punya pilihan.
Beberapa menit kemudian, Momo sudah meringkuk di dalam tas Gugun dengan hanya sedikit ruang terbuka untuk bernapas.
Dan perjalanan ke sekolah pun dimulai.
Gugun berharap hari ini tidak berakhir dengan kekacauan…
Momo Si Siswa Baru
Gugun berjalan ke sekolah dengan hati dag-dig-dug. Bukan karena ujian matematika, bukan juga karena lupa bawa PR, tapi karena ada seekor kucing oranye ajaib di dalam tasnya yang bisa bicara dan suka mengancam dengan nyanyi dangdut.
Sesampainya di gerbang sekolah, ia menatap sekitar dengan waspada. Murid-murid lain asyik ngobrol, main tepok-tepokan, atau sibuk menghafal pelajaran. Tidak ada yang curiga kalau dalam tasnya ada makhluk berbulu yang bisa bikin heboh satu sekolah kalau tiba-tiba buka suara.
Gugun membisikkan peringatan ke dalam tasnya. “Momo, inget. Jangan bersuara, jangan bergerak, dan yang paling penting, JANGAN sampe ketahuan.”
Dari dalam tas, suara Momo terdengar santai. “Iya, iya, aku ngerti, Gun. Aku ini kucing berkelas. Tenang aja.”
Gugun menarik napas lega. Setidaknya, sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana.
Sampai akhirnya, Raka muncul.
“WOY GUGUN! NGAPAIN LO BERDIRI DI SITU KAYAK PATUNG?”
Gugun hampir loncat saking kagetnya. Ia buru-buru membalikkan badan dan memasang ekspresi biasa. “Enggak, nggak ngapa-ngapain.”
Raka menatapnya curiga. “Kok lo keliatan aneh? Biasanya kalo nggak telat, lo langsung lari ke kelas.”
Sebelum Gugun sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara kecil dari dalam tasnya. “Siapa tuh? Temen kamu ya, Gun?”
Gugun membeku.
Raka menyipitkan mata. “Barusan lo ngomong apa?”
Gugun langsung tertawa kering. “Hahaha, nggak, nggak! Itu… itu suara perutku! Aku laper banget! Pagi tadi cuma makan setengah roti!”
Raka masih curiga, tapi akhirnya cuma mengangkat bahu. “Oh, yaudah. Sana, buruan masuk sebelum Bu Rita dateng.”
Gugun buru-buru masuk ke kelas. Begitu duduk di bangku, ia membuka sedikit tasnya dan berbisik penuh emosi. “MOMO! KAMU MAU BIKIN AKU KETAHUAN?!”
Momo nyengir. “Hehe, sori, reflek.”
Gugun memijit pelipisnya. Ini baru awal hari, tapi rasanya ia sudah kehilangan setengah umur karena stres.
Kekacauan Dimulai
Pelajaran pertama adalah Matematika. Semua murid duduk diam, mencatat rumus yang ditulis Bu Rita di papan tulis. Gugun mencoba fokus, tapi sulit karena ia harus memastikan tasnya tidak bergerak.
Tapi ketenangan itu cuma bertahan sepuluh menit.
Tiba-tiba…
GROOOWL.
Sebuah suara lirih terdengar dari dalam tas Gugun. Suara yang jelas bukan suara manusia.
Gugun langsung panik. Ia tahu betul apa yang terjadi.
Momo LAPAR.
Ia berusaha batuk-batuk untuk menutupi suara itu. Tapi sayangnya, Bu Rita memperhatikannya. “Gugun, kamu kenapa?”
Gugun buru-buru menggeleng. “E-enggak, Bu! Saya sehat!”
Bu Rita masih menatapnya curiga sebelum kembali ke papan tulis. Gugun mengintip ke dalam tas dan berbisik. “Momo, tahan bentar! Pelajaran masih lama.”
Tapi Momo punya rencana lain.
Dengan gerakan super cepat, kucing oranye itu meluncur keluar dari tas dan menyelinap ke bawah meja.
Gugun membeku. Oh tidak. Oh tidak. OH TIDAK.
Momo merayap di bawah bangku, bergerak dari satu sisi ke sisi lain. Sampai akhirnya, ia tiba di meja Raka yang duduk tepat di sebelah Gugun.
Dan saat itu juga, KEKACAUAN TERJADI.
“MEOWWW!!”
Raka langsung terlonjak kaget. “ASTAGA! KUCING?!!”
Semua murid menoleh ke arahnya.
Gugun langsung panik. Ia berusaha menangkap Momo diam-diam, tapi kucing itu sudah lebih dulu melompat ke meja Raka, menatapnya dengan mata penuh semangat.
Raka masih syok. “DARI MANA NIH KUCING?!”
Momo, dengan ekspresi cool, cuma berkedip dan berkata, “Dari masa depan.”
Seluruh kelas hening.
Lalu…
Kegaduhan meledak.
“AAAA!! KUCINGNYA BISA NGOMONG!!”
“KITA KENA SIHIR!!”
“Aku nggak salah denger, kan?!”
Raka, yang masih shock, hanya bisa melongo sambil menunjuk Momo. “GU-GUN! KUCING LO BISA NGOMONG?!”
Gugun, yang nyaris pingsan karena stres, hanya bisa pasrah. “Aku juga nggak ngerti kenapa hidupku jadi kayak gini…”
Bu Rita, yang tadinya bingung, kini sudah berdiri dengan wajah merah padam. “SIAPA YANG BAWA KUCING KE DALAM KELAS?!”
Semua murid langsung menatap Gugun.
Gugun, yang sudah tahu kalau ini adalah akhir riwayat sekolahnya, hanya bisa menutup muka dengan tangan.
Sementara itu, Momo duduk santai di atas meja Raka dan menyeringai. “Jangan khawatir, teman-teman. Aku cuma ingin memperkenalkan diri. Namaku Momo, dan mulai sekarang, aku siswa baru di kelas ini.”
Gugun ingin menangis.
Momo Di Kantor Kepala Sekolah?!
Suasana kelas berubah jadi kekacauan total. Anak-anak teriak, beberapa lari ke pojokan, dan Raka masih duduk dengan wajah syok seakan baru melihat hantu. Sementara itu, Momo berdiri di atas meja Raka dengan gaya ala bos besar.
Bu Rita yang biasanya sabar, kini tampak seperti naga yang siap menyemburkan api. “GUGUN! KAMU BAWA KUCING KE SEKOLAH?!”
Gugun mengangkat tangan dengan wajah memelas. “B-bukan salahku, Bu! Dia masuk sendiri ke tasku!”
Momo langsung memotong. “Eh, jangan bohong, Gun. Kita kan sahabat!”
Gugun ingin pingsan saat itu juga.
Bu Rita mengambil napas panjang, lalu menunjuk pintu. “Ikut saya ke kantor kepala sekolah. SEKARANG.”
Gugun berjalan lesu dengan Momo di pelukannya, sementara tatapan teman-teman sekelasnya mengiringi langkahnya. Sebagian masih shock, sebagian lagi menahan tawa. Raka bahkan diam-diam mengacungkan jempol ke arahnya, seakan ingin berkata, “Keren sih, Gun, tapi nasib lo udah tamat.”
Begitu sampai di kantor kepala sekolah, Bu Rita langsung membuka pintu. “Pak Suro! Saya bawa kasus darurat!”
Di dalam ruangan, Pak Suro—kepala sekolah mereka—sedang asyik menyeruput kopi. Ia mengangkat alis dan menatap mereka dengan bingung. “Kasus darurat? Gugun, kamu nyontek ujian, ya?”
Bu Rita menggeleng keras. “LEBIH PARAH, PAK! DIA BAWA KUCING AJAIB KE SEKOLAH!!”
Pak Suro tampak makin bingung. “Kucing ajaib?”
Momo, yang duduk manis di meja Gugun, melambaikan satu kaki depannya dan berkata dengan riang, “Halo, Bapak Kepala Sekolah! Nama saya Momo. Siswa baru di sini.”
Pak Suro hampir menyemburkan kopinya.
“APA?!”
Gugun ingin menghilang ke dalam tanah.
Bu Rita masih berusaha menenangkan diri, lalu berkata dengan suara bergetar. “Saya tidak gila, kan, Pak? Kucing ini barusan… BARUSAN NGOMONG?!”
Pak Suro menatap Momo dengan wajah penuh analisis. “Hmm… coba ngomong lagi.”
Momo berkedip. “Mau ngomong apa? Saya bisa nyanyi dangdut juga kalau mau.”
Pak Suro langsung bangkit dari kursinya. “INI LUAR BIASA!!”
Gugun ternganga. Ia sudah siap menerima hukuman, tapi sekarang… kepala sekolahnya malah bersemangat?!
Pak Suro mendekat dan menatap Momo penuh antusias. “Kamu ini spesies baru? Atau hasil eksperimen ilmiah? Dari mana asalmu?”
Momo berpikir sejenak, lalu berkata, “Dari semesta lain. Tapi tenang aja, saya datang dengan damai. Saya cuma ingin hidup nyaman, makan enak, dan punya teman baik.”
Pak Suro terdiam. Lalu, tiba-tiba, ia tertawa keras. “HUAHAHA! INI LUAR BIASA! SEKOLAH KITA PUNYA KUCING BERBICARA! KITA BISA MASUK KORAN! KITA AKAN TERKENAL!”
Bu Rita menatap Pak Suro seakan kepala sekolahnya sudah gila. “Pak! Ini bukan masalah terkenal atau enggak! Ini melanggar aturan! Murid dilarang bawa hewan ke sekolah!”
Pak Suro mengangguk. “Benar, benar… peraturan harus diikuti…”
Gugun sedikit berharap… mungkin Momo akhirnya akan diusir? Mungkin semua akan kembali normal?
Tapi harapan itu hancur saat Pak Suro tiba-tiba berseru, “TAPI UNTUK KUCING SEPERTI INI, KITA HARUS MEMBUAT PENGECUALIAN!”
Gugun hampir jatuh dari kursinya. “APA?!”
Pak Suro tersenyum lebar. “Mulai hari ini, Momo adalah MASKOT SEKOLAH! Dia akan tinggal di sini dan membantu menciptakan suasana yang lebih menyenangkan!”
Gugun menatap Momo, yang kini duduk santai di kursi kepala sekolah dengan ekspresi penuh kemenangan.
“Tenang, Gun. Sekarang aku bukan cuma kucing kamu, aku juga kucing sekolah ini. Misi sukses!”
Gugun ingin pingsan.
Sementara itu, di luar ruangan, anak-anak yang diam-diam menguping langsung bersorak. “HIDUP MOMO! HIDUP MOMO!”
Dan begitulah, sekolah Gugun akhirnya menjadi satu-satunya sekolah di dunia yang memiliki maskot seekor kucing ajaib yang bisa berbicara.
Gugun masih tidak tahu apakah hidupnya sekarang lebih baik atau lebih kacau. Tapi satu hal yang pasti…
Hari-harinya tidak akan pernah membosankan lagi.
Dan begitulah… sekolah yang tadinya biasa aja, tiba-tiba jadi terkenal gara-gara maskot barunya: seekor kucing ajaib yang bisa ngomong!
Gugun yang awalnya cuma mau sekolah tenang, malah harus menghadapi Momo si kucing bocil sakti yang bikin hidupnya jungkir balik. Tapi jujur aja… siapa sih yang bisa nolak punya sahabat kucing yang bisa ngobrol?


