Daftar Isi
Siapa yang nggak kenal dengan mimpi besar seorang atlet? Semuanya berawal dari harapan untuk jadi yang terbaik, kan? Tapi, apa yang terjadi ketika mimpi itu diputarbalikkan sama keputusan bodoh yang malah bikin hidup hancur lebur?
Inilah kisah tentang Raka, seorang pemuda yang punya potensi luar biasa, tapi malah terperangkap dalam dunia gelap yang nggak seharusnya dia pilih. Cerita ini bakal nunjukin gimana narkoba bisa jadi jalan pintas yang ternyata cuma bawa penyesalan di akhir.
Perjalanan Seorang Pemuda Atlet
Lintasan yang Membawa Luka
Lintasan itu seperti rumah bagi Raka. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar muncul, ia sudah berdiri di sana, merentangkan kaki, merasakan angin yang menerpa wajahnya. Lari adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa bebas.
Di sekolah, ia bukan siapa-siapa tanpa kecepatan kakinya. Bukan anak dari keluarga terpandang, bukan murid jenius yang selalu dapat nilai sempurna. Ia hanyalah Raka, anak lelaki dengan rumah yang lebih mirip kandang ayam daripada tempat tinggal. Ayahnya mabuk hampir setiap malam, ibunya sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan apa yang ia lakukan.
Tetapi di lintasan, ia diakui. Saat pelatih memanggil namanya, saat teman-temannya menepuk bahunya dengan kagum, ia merasa berharga.
“Raka, kamu ikut seleksi nasional tahun ini, kan?” tanya Reno, teman satu timnya, saat mereka beristirahat di pinggir lapangan.
“Harusnya gitu,” jawab Raka sembari menyeka keringatnya.
“Harusnya? Itu mimpi kamu dari dulu, kan? Gila, sih. Aku aja udah kepikiran dari sekarang.” Reno tertawa kecil, tetapi Raka hanya diam.
Mimpi, ya? Dulu mungkin begitu. Tapi akhir-akhir ini, entah kenapa, semua terasa berat. Latihan semakin menguras tenaga, sekolah menuntut banyak hal yang tak bisa ia penuhi, dan rumah… Rumah tak pernah jadi tempat yang nyaman untuknya.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” Reno bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
Raka mengangkat bahu. “Capek aja, mungkin.”
Reno menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Jangan maksain diri, Rak. Aku tahu kamu kuat, tapi kalau kamu butuh istirahat, ya udah, istirahat aja.”
Kata-kata itu terdengar masuk akal, tapi Raka tahu ia tidak bisa istirahat. Ia tidak punya pilihan. Kalau ia berhenti, semua akan sia-sia. Ia harus menang, harus dapat beasiswa, harus keluar dari hidup yang sekarang. Itu satu-satunya cara.
Saat pulang sekolah, ia berjalan sendirian di gang sempit menuju rumah. Hanya ada suara langkah kakinya sendiri, bercampur dengan riuh rendah dari warung kopi tempat ayahnya biasa nongkrong.
Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Gibran muncul.
“Raka, bentar,” suara berat itu menghentikannya.
Ia menoleh dan menemukan Gibran bersandar di tembok, rokok terselip di jemarinya. Gibran bukan orang asing. Dia senior di sekolah, mantan atlet juga, tetapi kabarnya sekarang lebih sibuk ‘ngurusin bisnis’.
“Ada apa?” tanya Raka, agak malas.
Gibran tersenyum kecil. “Denger-denger, kamu bakal ikut seleksi nasional.”
Raka mengangguk.
“Bagus. Kamu berbakat. Tapi, ada satu masalah.”
Alis Raka sedikit berkerut. “Masalah apa?”
Gibran berjalan mendekat, menepuk pundaknya dengan santai. “Kamu kelihatan capek, Rak. Lari butuh stamina, tenaga, fokus. Kalau badan kamu kecapekan terus, gimana mau menang?”
“Aku baik-baik aja.”
“Kamu yakin?” Gibran terkekeh pelan. “Aku dulu kayak kamu, tahu? Dulu gue lari lebih cepat dari bayangan sendiri. Tapi ada titik di mana tubuh nggak bisa diajak kerja sama. Capek, lemes, gampang jatuh. Gue butuh sesuatu buat dorong gue lebih jauh. Akhirnya, gue nemuin ini.”
Dari kantong jaketnya, Gibran mengeluarkan sesuatu—pil kecil berwarna putih.
Raka menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Ini apaan?”
“Vitamin buat tubuh kamu,” jawab Gibran ringan. “Bikin lebih fokus, lebih kuat, lebih tahan lama. Atlet pro juga banyak yang pakai.”
Raka melangkah mundur. “Nggak, gue nggak perlu ginian.”
“Serius?” Gibran menatapnya dengan tatapan tajam. “Kamu pikir kamu bakal menang seleksi nasional dengan kondisi kayak sekarang? Lihat diri kamu, Rak. Kamu udah nggak sekuat dulu.”
Gibran benar. Itu yang membuatnya diam. Raka memang merasa tubuhnya nggak seperti dulu.
“Mikir dulu aja,” kata Gibran, menepuk bahunya sekali lagi sebelum pergi.
Malam itu, Raka berbaring di kasurnya yang tipis, menatap langit-langit rumah yang penuh retakan. Kata-kata Gibran terus terngiang. Benarkah tubuhnya mulai melemah? Benarkah dia butuh sesuatu untuk tetap menang?
Esok paginya, ia kembali ke sekolah dengan kepala penuh pikiran. Dan di sudut parkiran, Gibran sudah menunggunya, menyelipkan sesuatu ke tangannya dengan cepat sebelum siapa pun melihat.
“Coba aja sekali, Rak. Biar tahu bedanya.”
Dan itulah awal dari segalanya.
Pil Kecil, Janji Besar
Raka menatap pil kecil di tangannya. Cahaya matahari yang menyelinap dari jendela kelas membuat benda itu berkilau samar. Sekecil ini? Masa sih bisa bikin bedanya sebesar itu?
Tangannya terkepal, lalu terbuka lagi. Bayangan lintasan, tubuhnya yang mulai melemah, dan suara pelatih yang mulai meragukannya terus terngiang di kepala. Ia ingin menang. Harus menang.
“Kenapa, Rak?” Reno yang duduk di sebelahnya melirik sekilas. “Mikirin seleksi?”
Raka tersentak sedikit, buru-buru menggenggam pil itu. “Nggak. Cuma mikirin latihan nanti.”
“Ya jangan dipikirin doang. Latihan, lah,” kata Reno santai.
Raka hanya tersenyum kecil. Latihan? Ia sudah latihan sekeras mungkin, tapi rasanya masih kurang. Masih ada sesuatu yang belum cukup.
Ketika bel sekolah berbunyi, ia bergegas ke toilet, menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya terlihat lelah, wajahnya sedikit pucat. Kalau begini terus, gimana bisa lolos seleksi?
Ia membuka genggaman tangannya, melihat pil itu sekali lagi. Satu kali, pikirnya. Cuma satu kali buat ngerasain efeknya.
Dengan cepat, ia menelan pil itu tanpa pikir panjang.
Awalnya, tidak ada yang berbeda. Tapi lima belas menit kemudian, dadanya terasa lebih ringan. Tubuhnya tidak selelah tadi. Ketika ia mulai berlari di lintasan setelah jam sekolah, langkahnya lebih cepat, lebih stabil. Napasnya teratur, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa… tak terkalahkan.
“Wow, gila! Hari ini lari kamu gila banget!” seru Reno, takjub.
Pelatih pun mengangguk puas. “Pertahankan ritme ini, Raka. Kamu mulai balik ke performa terbaik.”
Raka mengangguk. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang berbisik bahwa ini bukan usahanya sendiri. Ini efek dari pil itu.
Malamnya, ia hampir tidak bisa tidur. Tubuhnya masih terasa penuh energi. Bahkan ketika matahari belum sepenuhnya muncul keesokan harinya, ia sudah bangun, siap berlari lagi.
Dan saat sampai di sekolah, Gibran sudah menunggunya di gerbang.
“Gimana?” tanya Gibran, senyumannya penuh arti.
Raka menelan ludah. “Itu… manjur banget.”
“Tentu aja. Semua atlet top butuh dorongan ekstra, Rak.”
Raka terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, tapi ia tidak bisa mengelak kenyataan bahwa ia butuh pil itu. Ia butuh kemenangan.
“Kalau mau lebih, kasih tahu gue,” kata Gibran sambil menyelipkan sesuatu ke kantongnya sebelum pergi.
Raka menggenggam benda itu. Pil yang lebih banyak dari kemarin.
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak menolak.
Kecepatan yang Membutakan
Seleksi nasional tinggal dua minggu lagi, dan Raka seperti manusia baru.
Di lintasan, ia mendominasi. Pelatih makin sering memujinya, teman-temannya mulai melihatnya dengan kekaguman yang lebih besar. Bahkan Reno, yang biasanya percaya diri dengan kemampuannya sendiri, mulai kelihatan ragu.
“Kamu pakai metode latihan apa sih, Rak? Kok bisa sekonsisten ini?” tanya Reno suatu sore setelah latihan.
Raka hanya tertawa kecil, menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayapi pikirannya. “Latihan keras aja, bro. Jangan banyak tidur.”
Reno mendengus. “Sial, gue juga latihan keras, tapi tetap aja rasanya jauh banget dari kamu sekarang.”
Raka tidak menjawab. Kalau Reno tahu rahasianya, akankah dia tetap memandangnya dengan kagum?
Setiap pagi, Raka bangun dengan jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Setiap malam, tidurnya hanya tiga sampai empat jam, tapi tubuhnya tetap merasa siap. Tapi di balik semua itu, ada hal-hal yang mulai mengganggu. Tangannya kadang gemetar tanpa alasan. Matanya sering terasa perih, bahkan kepala terasa pening saat efek pil mulai hilang.
Tapi selama ia tetap yang tercepat, semua itu bukan masalah.
Suatu malam, saat ia pulang lebih larut dari biasanya, ia menemukan ayahnya sudah terkapar di lantai ruang tamu, botol miras berserakan di sekitar tubuhnya.
“Ibu mana?” tanyanya pada adiknya yang masih kecil, yang duduk meringkuk di sudut ruangan.
“Di rumah Tante Mira… Sejak siang,” jawab gadis kecil itu dengan suara lirih.
Raka menatap pemandangan di hadapannya dengan perasaan kosong. Seumur hidupnya, rumah ini selalu seperti ini. Berantakan, bau alkohol, penuh teriakan yang kadang muncul tiba-tiba. Tidak ada yang peduli pada prestasinya, tidak ada yang bertanya bagaimana harinya.
Dan mungkin, itu alasan kenapa ia tidak terlalu peduli saat mulai menelan lebih banyak pil setiap harinya.
Pagi itu, sebelum sekolah, Gibran menemui Raka di parkiran belakang.
“Udah masuk ke level itu, ya?” Gibran menyeringai saat melihat wajahnya yang mulai sedikit lebih tirus. “Gue tahu perasaan itu. Kaya lo bisa terus lari tanpa batas.”
Raka mengangguk pelan. “Tapi ada efek sampingnya.”
“Ada harga buat segalanya, Rak.” Gibran menepuk bahunya. “Tapi selama lo tetap di puncak, siapa yang peduli?”
Siapa yang peduli?
Raka tidak menjawab. Ia menggenggam beberapa pil lagi yang Gibran berikan sebelum pergi ke kelas.
Saat latihan hari itu, Raka memecahkan rekornya sendiri. Pelatih bersorak, teman-temannya bertepuk tangan, Reno bahkan menatapnya dengan ekspresi setengah kagum, setengah bingung.
Tetapi di saat yang sama, dunia di sekitar Raka mulai terasa aneh. Suara-suara terdengar bergema di kepalanya, cahaya matahari terasa terlalu terang, dan ketika ia berhenti berlari, jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
Ia tersenyum, menahan rasa mual yang perlahan muncul.
Ia sudah terlalu jauh untuk mundur.
Garis Akhir yang Terlambat
Hari seleksi nasional tiba.
Stadion penuh oleh peserta dari berbagai daerah. Sorak-sorai penonton bergema, sementara Raka berdiri di garis start, merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya dingin. Keringat dingin membasahi pelipisnya meski cuaca tidak terlalu panas.
Ia menelan pil terakhirnya pagi ini. Dua butir, lebih banyak dari biasanya.
“Semuanya siap!” suara wasit menggema di stadion.
Raka menatap lurus ke depan. Ini tujuannya. Ini yang ia perjuangkan. Ini saatnya membuktikan bahwa ia bukan anak yang akan diabaikan begitu saja.
Begitu pistol start ditembakkan, Raka melesat.
Langkahnya ringan, kecepatan kakinya luar biasa. Ia bahkan tidak melihat ke kanan atau kiri—hanya fokus ke garis finish.
Tapi tiba-tiba, dunia mulai berputar.
Darah di kepalanya terasa menekan, pandangannya mulai kabur. Kakinya terasa tidak nyata, seperti berlari di atas udara kosong. Jantungnya berdetak kencang, terlalu kencang. Napasnya mulai tersendat, dan kemudian—
Tubuhnya limbung.
Semua suara di stadion tiba-tiba memudar saat tubuhnya menghantam lintasan.
Sakit.
Tapi yang lebih sakit adalah suara jeritan dari kejauhan. Suara Reno. Suara pelatih. Suara yang berusaha membangunkannya.
Ia mencoba membuka mata, tetapi dunia terasa semakin jauh.
Raka terbangun di rumah sakit, dikelilingi oleh suara mesin yang berbunyi pelan. Kepalanya berat, tubuhnya terasa seperti batu.
Ketika ia menggerakkan sedikit tangannya, seseorang yang duduk di sampingnya terisak.
Ibunya.
“Raka…” suara ibunya bergetar, tangannya menggenggam erat jari-jarinya. “Maafin Ibu… Ibu nggak pernah lihat kamu benar-benar butuh perhatian. Kamu pasti kesepian banget, ya?”
Raka tidak menjawab. Tenggorokannya kering, dan rasa sakit di dadanya masih terasa menyiksa.
Lalu suara dokter terdengar dari dekat.
“Kami berhasil menstabilkan kondisinya, tapi ada efek samping yang harus dipertimbangkan…” Dokter menatap ibunya dengan serius. “Jantungnya mengalami kerusakan yang cukup signifikan akibat penggunaan zat stimulan yang berlebihan. Dalam kondisi ini, dia… tidak akan bisa kembali ke dunia atletik.”
Sunyi.
Raka merasakan dadanya mencelos. Tidak. Tidak mungkin.
“T-tapi saya masih bisa lari lagi, kan?” suaranya serak, penuh harap.
Dokter menggeleng pelan. “Kalau kamu memaksakan diri, itu bisa membahayakan nyawamu.”
Raka merasakan sesuatu dalam dirinya runtuh seketika.
Semua yang ia perjuangkan. Semua latihan. Semua rasa sakit. Semua impiannya.
Sia-sia.
Ibunya menangis, menggenggam tangannya lebih erat. Tapi air mata itu datang terlambat. Perhatiannya datang terlambat.
Penyesalan yang sesungguhnya bukan soal jatuh di lintasan—tapi soal menyadari bahwa tidak ada jalan kembali.
Dan di dalam ruangan rumah sakit yang sunyi, Raka menatap langit-langit, merasakan mimpi-mimpinya perlahan memudar.
Raka udah nggak bisa balik lagi ke dunia yang dulu dia impikan. Semua usaha kerasnya, semua latihan tanpa henti, semua pengorbanan, akhirnya kandas karena keputusan sesaat.
Kadang, hidup tuh nggak selalu adil dan keputusan yang kita buat bisa nge-efek ke seluruh hidup kita. Buat kamu yang masih mikirin mimpi, inget deh, kadang jalan pintas yang keliatannya paling gampang bisa ngebawa kita jauh banget dari tujuan. Jadi, jangan sampai ngerasain hal yang sama kayak Raka, ya.


