Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu denger cerita tentang rumah kosong yang nggak pernah sepi meskipun terlihat begitu? Nah, cerita ini tentang sekelompok remaja yang terjebak dalam petualangan misterius yang nggak mereka rencanakan.
Di rumah tua itu, bukan cuma sekadar kucing hitam atau suara piano aneh, tapi juga rahasia yang tersembunyi dalam bayang-bayang waktu. Penasaran kan? Ayo, simak terus kisah seru dan mencekam ini!
Rahasia Rumah Kosong
Misi Rahasia di Malam Jumat
Lintara, kota kecil yang tenang di siang hari, bisa berubah menjadi penuh misteri saat malam tiba. Terutama bagi Geng Kepo—empat remaja dengan rasa ingin tahu berlebihan yang selalu mencari masalah… eh, maksudnya, mencari petualangan. Kali ini, target mereka adalah rumah tua di ujung kota, yang katanya berhantu.
Di sebuah warung dekat sekolah, mereka duduk melingkar, merancang rencana seolah-olah sedang mengatur strategi penyelamatan dunia.
“Aku udah dengar dari anak kelas sebelah,” kata Ziva sambil menyuap gorengan. “Rumah itu katanya dihuni hantu nenek-nenek yang suka main piano.”
Kenzo langsung mendelik. “Hantu? Yang bener aja! Jangan-jangan yang kamu denger itu cuma hoaks murahan.”
Aksa, si pemimpin geng, menyilangkan tangan. “Kalau cuma hoaks, berarti gak ada yang perlu ditakutin. Kita bisa buktikan sendiri.”
Rinjani, yang biasanya paling logis, ikut angkat bicara. “Kalau ada suara piano, bisa jadi itu suara angin atau hewan, bukan hantu.”
“Atau pencuri,” tambah Kenzo dengan ekspresi sok serius. “Kita bisa jadi saksi mata kalau ada kasus perampokan.”
Ziva melotot. “Kenzo, tujuan kita bukan cari kriminal, tapi misteri!”
Kenzo mengangkat bahu. “Bagiku, sama aja. Dua-duanya nyeremin.”
Aksa mengetuk meja dengan telunjuk. “Jadi gini, kita masuk ke rumah itu jam sepuluh malam. Bawa senter, dan yang penting jangan panik.”
“Jangan panik, katamu?” Kenzo memiringkan kepala. “Coba aku ulang. KITA MAU MASUK KE RUMAH YANG KATANYA BERHANTU DI MALAM JUMAT. Menurut kamu, aku bisa tetap tenang?”
“Kamu harus,” balas Aksa.
Ziva menyenggol bahu Kenzo sambil tertawa. “Tenang aja, kalau ada hantu, kamu tinggal sembunyi di belakang Aksa.”
Aksa meneguk minumannya, lalu tersenyum penuh percaya diri. “Atau kita dorong Kenzo duluan buat uji nyali.”
Kenzo langsung menghamburkan remah gorengannya. “Eh! Jangan gitu dong!”
Rinjani tertawa kecil, lalu menatap mereka serius. “Aku tetap gak percaya ini ulah hantu. Tapi, aku penasaran juga. Jadi, aku setuju ikut.”
Aksa mengangguk. “Oke. Rencana sudah matang. Kita kumpul di depan rumah tua itu jam sepuluh malam. Jangan ada yang telat!”
Malam itu, keempat remaja itu berdiri di depan rumah tua yang menjulang gelap di bawah langit mendung. Cahaya lampu jalanan hampir tak bisa menembus pekatnya malam. Pintu kayu besar terlihat usang, dengan jendela-jendelanya yang sudah berdebu dan berkerak.
“Aku punya firasat buruk,” bisik Kenzo, menggigil meski cuaca tidak dingin.
“Kamu selalu punya firasat buruk,” kata Ziva, menarik Kenzo mendekat ke rumah. “Tapi nyatanya, gak ada yang pernah kejadian.”
Aksa menyinari pintu dengan senter. “Oke, ayo masuk. Jangan ribut.”
Mereka mendekat, dan ketika Aksa hendak mendorong pintu…
Kreeeekkk!
Pintu itu terbuka sendiri.
Kenzo hampir loncat ke pangkuan Ziva. “T-tunggu! Itu tadi pintunya…”
“Ada angin mungkin,” bisik Rinjani, meskipun suaranya terdengar ragu.
Mereka melangkah masuk. Lantai kayu berderit di bawah kaki mereka. Debu menari di udara setiap kali mereka bergerak. Ruangan itu penuh dengan perabotan tua, dengan rak-rak buku besar yang sudah lapuk.
“Ini seperti rumah di film horor,” kata Ziva, matanya berbinar-binar bukannya takut.
Kenzo menghela napas panjang. “Kita bener-bener gila udah masuk ke sini.”
Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari rak buku. BRUK!
Mereka semua menahan napas.
“A-aku gak mau tahu lagi. Aku mau keluar!” bisik Kenzo.
“Jangan bodoh,” balas Aksa pelan. “Kita belum lihat lantai atas.”
Ziva menyalakan senternya ke tangga. “Ayo, kita lihat apa ada piano di atas.”
Dengan hati-hati, mereka menaiki tangga satu per satu. Suasana semakin mencekam. Ketika mereka sampai di lantai atas, ruangan itu lebih gelap dibanding lantai bawah. Hanya ada satu benda besar yang terlihat jelas—sebuah piano tua.
Mereka mendekat. Tak ada siapa-siapa.
“Aku gak suka ini,” gumam Kenzo.
“Aku juga,” balas Rinjani.
Tiba-tiba, piano itu berbunyi sendiri.
TING TING TING!
Napak tilas kaki mereka langsung terdengar di lantai kayu. Empat remaja itu menahan napas, mata mereka membulat dalam horor.
“Aku mau pulang,” bisik Kenzo.
Namun, sebelum ada yang bisa bergerak, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi. Piano itu kembali berbunyi—TING!—tapi kali ini, terdengar seperti… sesuatu yang melompat ke atas tutsnya?
Mereka saling tatap. Apakah ini benar-benar hantu?
Tanpa mereka sadari, petualangan mereka baru saja dimulai.
Suara Piano di Kegelapan
Piano itu berbunyi lagi.
Ting!
Keempat remaja itu berdiri terpaku di tempat, nyaris tidak berani bernapas. Senter di tangan Ziva sedikit bergetar, membuat bayangan mereka di dinding tampak bergerak-gerak.
“Ada… ada yang mainin piano itu,” bisik Kenzo dengan suara tercekat.
“Ya, aku juga dengar, terima kasih atas penjelasan tidak perlu itu,” sahut Aksa sambil menelan ludah.
Ziva perlahan mengarahkan senternya ke tuts piano. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tangan, tidak ada bayangan, tidak ada apa pun.
Namun, saat mereka berpikir suara itu sudah berhenti…
Ting!
Kenzo langsung bersembunyi di belakang Ziva, tangannya mencengkeram bahunya erat-erat. “Oke, aku menyerah. Aku gak peduli lagi sama harga diriku. Aku takut.”
Aksa menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Rinjani, yang biasanya paling logis, juga tampak ragu. “Aku… aku setuju sama Aksa. Kalau ini memang sesuatu yang logis, kita harus temukan penjelasannya.”
Aksa melangkah maju, mendekati piano dengan hati-hati. Tangannya terulur, nyaris menyentuh tutsnya…
Kemudian, sesuatu melompat dari atas piano.
BUK!
Sebuah bayangan hitam melompat ke lantai dan berlari ke sudut ruangan.
Kenzo langsung berteriak. “AAARGH!!!”
Namun, teriakan itu berubah menjadi keheningan canggung ketika mereka melihat dengan jelas makhluk yang melompat tadi.
Seekor kucing hitam.
Ziva menatapnya dengan ekspresi bingung. “Serius? Kucing?”
Kenzo menepuk dahinya sendiri. “Astaga, aku hampir jantungan gara-gara kucing.”
Kucing itu menatap mereka balik dengan mata hijau menyala dalam gelap. Kemudian, dengan anggun, ia melompat ke atas piano lagi dan…
Ting!
Rinjani menepuk pundak Aksa. “Sepertinya aku tahu penyebab suara piano tadi.”
Aksa mendesah lega. “Jadi ini bukan hantu nenek-nenek, cuma kucing.”
Kenzo masih menempel di belakang Ziva. “Bentar, bentar. Tapi kenapa dia sendirian di sini? Emang ada yang pelihara kucing di rumah kosong?”
Kucing itu mengeong pelan, seolah mengomentari obrolan mereka.
Ziva berjongkok, mengulurkan tangannya. “Hei, manis, kamu tinggal di sini sendirian?”
Namun, sebelum tangannya menyentuh bulu kucing itu, sesuatu yang lebih aneh terjadi.
Dari lantai bawah, terdengar suara.
Kreeeek…
Suara langkah kaki.
Semua langsung membeku.
“Kucing gak bisa jalan pakai sepatu, kan?” bisik Kenzo, wajahnya langsung pucat.
Aksa mengangkat jarinya ke bibir, memberi isyarat agar mereka diam. Mereka semua menahan napas, mendengarkan dengan saksama. Langkah kaki itu terdengar pelan, tapi jelas… seperti seseorang sedang berjalan di lantai bawah rumah tua itu.
Rinjani menggigit bibirnya. “Mungkin… mungkin ada orang lain di sini.”
“Atau sesuatu,” bisik Kenzo, semakin bersembunyi di belakang Ziva.
Aksa memberi isyarat kepada mereka untuk mundur perlahan ke belakang lemari tua yang ada di sudut ruangan. Mereka berdesakan di sana, menahan napas.
Langkah kaki itu semakin mendekat.
Duk… duk… duk…
Mereka bisa melihat bayangan bergerak di bawah celah pintu. Bayangan itu bergerak perlahan, lalu berhenti tepat di depan pintu kamar mereka.
Kenzo menutup mulutnya sendiri dengan tangan, matanya melebar ketakutan.
Pintu berderit sedikit, seperti seseorang hendak membukanya.
Mereka semua saling tatap. Harus lari? Bersembunyi? Atau tetap diam?
Aksa merapatkan tubuhnya ke lemari, berusaha mencari ide cepat. Namun, sebelum ia sempat mengambil keputusan…
BRAK!
Pintu terbuka.
Dan seseorang berdiri di sana.
Misteri yang Mengeong
Pintu terbuka lebar, menciptakan suara BRAK! yang menggema di seluruh ruangan. Keempat remaja itu membeku di tempat, menatap sosok yang berdiri di ambang pintu.
Seorang pria tua.
Janggutnya panjang dan putih, matanya tajam seperti elang. Ia mengenakan mantel panjang berwarna gelap, dan di tangannya tergenggam lentera yang berkelap-kelip redup. Ia menyipitkan mata, menatap ke arah mereka dengan ekspresi tajam.
“Apa yang kalian lakukan di rumah ini?” suaranya berat dan serak, penuh otoritas.
Tidak ada yang menjawab.
Kenzo masih bersembunyi di belakang Ziva, Aksa dan Rinjani terpaku di tempat, sementara Ziva sendiri hanya bisa menatap pria itu dengan mulut sedikit terbuka.
Pria tua itu menghela napas panjang, lalu melangkah masuk.
“Keluar dari tempat persembunyian kalian.”
Tidak ada yang berani membantah. Satu per satu mereka muncul dari belakang lemari, berdiri dalam barisan seperti anak sekolah yang ketahuan bolos.
Aksa, yang biasanya paling berani, akhirnya buka suara. “Kami… kami cuma penasaran, Pak.”
“Penasaran?” Pria tua itu mengangkat alis. “Penasaran sampai masuk tanpa izin ke rumah orang?”
“Loh, ini rumah kosong, kan?” Kenzo akhirnya berani bicara, meski suaranya masih sedikit gemetar.
Pria itu memandang mereka satu per satu, lalu mendengus. “Siapa yang bilang rumah ini kosong?”
Empat pasang mata saling bertatapan.
Ziva menelan ludah. “Jadi… ini rumah Bapak?”
Pria tua itu menatapnya tanpa ekspresi. “Kau bisa bilang begitu.”
Saat itu juga, kucing hitam yang tadi ada di atas piano melompat ke pundak pria tua itu dengan lincah. Ia mengeong pelan, seolah memberi salam. Pria itu mengusap kepalanya dengan lembut.
“Jadi ini kucing Bapak?” tanya Rinjani.
Pria tua itu mengangguk. “Namanya Nyx.”
Kenzo mengerutkan kening. “Nyx? Kayak nama dewa Yunani?”
Pria tua itu menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Bukan dewa. Dewi.”
Kenzo langsung tutup mulut.
Aksa masih mencoba berpikir jernih. “Jadi… Bapak tinggal di sini? Tapi kenapa rumah ini kelihatan seperti rumah kosong?”
Pria tua itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke arah jendela, menatap keluar ke halaman yang diterangi cahaya bulan.
“Ada beberapa hal yang lebih baik tetap terlihat kosong.”
Keempat remaja itu saling pandang lagi.
Ziva akhirnya memberanikan diri bertanya, “Bapak ini… siapa?”
Pria tua itu menoleh, dan kali ini tatapannya lebih lembut.
“Namaku Rahmat.”
Mereka terdiam, menunggu ia melanjutkan.
Rahmat menghela napas, lalu duduk di kursi tua yang ada di sudut ruangan. “Dulu, rumah ini penuh dengan kehidupan. Tapi waktu berubah. Orang-orang pergi. Rumah ini ditinggalkan.”
“Tapi Bapak tetap di sini?” Aksa bertanya pelan.
Rahmat mengangguk. “Seseorang harus menjaga tempat ini.”
Kenzo mengangkat tangan, seperti anak SD yang mau bertanya di kelas. “Menjaga dari apa?”
Rahmat tidak langsung menjawab. Ia mengusap kepala Nyx, lalu menatap mereka dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Dari hal-hal yang ingin tetap tinggal.”
Seketika bulu kuduk mereka berdiri.
Ziva melirik ke arah piano tua yang tadi berbunyi sendiri. Kenzo menelan ludah, lalu berbisik ke Aksa, “Tunggu… maksudnya… hal-hal kayak—”
TING!
Nada piano itu terdengar lagi.
Tapi kali ini, tidak ada yang menyentuhnya.
Rinjani langsung mundur selangkah. “Oke, aku gak suka ini.”
Rahmat tidak tampak terkejut. Ia hanya menatap ke arah piano dengan tenang, lalu berkata pelan, “Sudah waktunya kalian pergi.”
Keempatnya tidak butuh disuruh dua kali.
Mereka segera berjalan ke pintu, tapi sebelum melangkah keluar, Ziva menoleh lagi. “Bapak yakin baik-baik saja di sini?”
Rahmat tersenyum tipis. “Aku sudah di sini lebih lama dari yang kalian bayangkan.”
Mereka tidak tahu harus berkata apa.
Begitu mereka keluar dan menutup pintu di belakang mereka, angin malam langsung menerpa wajah mereka.
“Aku gak tahu apa yang baru saja terjadi,” gumam Kenzo.
Aksa menatap rumah tua itu. “Tapi aku rasa… kita baru saja bicara dengan seseorang yang sudah lama seharusnya tidak ada.”
Rahasia di Balik Jendela Tertutup
Malam semakin larut, dan keempat remaja itu berjalan cepat, tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Angin malam menyapu wajah mereka, tetapi tidak ada yang merasa nyaman. Suasana terasa lebih mencekam daripada sebelumnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu?” tanya Rinjani akhirnya, memecah keheningan.
Aksa menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu, Rin. Tapi ada sesuatu yang… aneh.”
“Lebih dari aneh, sih,” tambah Kenzo dengan nada parau. “Kucing, piano sendiri, dan si pria tua itu… Serius, kayaknya kita baru ketemu sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar rumah kosong.”
Ziva menatap rumah itu dari kejauhan. Meski sudah meninggalkannya, rumah tua itu masih tampak seperti sebuah beban berat di dadanya. “Tapi kenapa dia bilang… menjaga dari hal-hal yang ingin tetap tinggal?”
Pertanyaan itu bergema di pikiran mereka, terus berputar tanpa jawaban.
Saat mereka mendekati jalan raya, mereka melihat sesuatu yang tidak biasa—sebuah mobil tua terparkir di pinggir jalan, lampunya menyala redup.
“Kenapa ada mobil di sini? Apa kita masih belum keluar dari area rumah itu?” Kenzo bertanya, matanya mengerut curiga.
Aksa mengangkat bahu. “Mungkin ada orang lain yang penasaran. Kita nggak sendirian, kan?”
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari belakang mereka.
“Ziva.”
Ziva berhenti dan menoleh, alisnya terangkat. Itu adalah suara yang sama, suara pria tua yang mereka temui di rumah tadi. Rahmat.
Dia berdiri di pintu gerbang, hanya terlihat samar oleh cahaya bulan. Matanya tetap tajam, dan sosoknya tampak lebih memudar, seperti bayangan.
“Ada apa lagi, Pak Rahmat?” tanya Ziva, suaranya sedikit gemetar.
Rahmat berjalan pelan mendekat, langkah kakinya tenang. “Kalian… sebaiknya tidak pergi begitu saja.”
“Kenapa? Apa ada yang salah?” tanya Aksa dengan nada curiga.
Rahmat menggeleng pelan. “Tidak ada yang salah. Tapi kalian harus tahu sesuatu.”
Keempat remaja itu saling pandang, merasakan ketegangan yang semakin kuat di udara. Ziva mengangkat tangannya, seakan memberi izin untuk Rahmat melanjutkan.
“Rumah itu bukan hanya sebuah rumah kosong,” Rahmat mulai. “Ini adalah tempat terlarang, tempat di mana kenangan dan masa lalu saling bertabrakan. Orang-orang yang datang ke sini… mereka tidak selalu pergi dengan cara yang sama.”
Rinjani memiringkan kepalanya, bingung. “Maksudnya?”
Rahmat menatap mereka, ada kedalaman yang tak terlukiskan dalam tatapannya. “Orang-orang yang tinggal di sini tidak selalu terlihat. Kadang, mereka tidak bisa pergi karena ada hal yang tidak selesai… dan mereka meninggalkan sesuatu yang tertinggal.”
Ziva merasa ada sesuatu yang menekan di dadanya. “Sesuatu yang tertinggal?”
Rahmat mengangguk. “Ya. Seperti bagian dari diri mereka yang terjebak di sini, tidak bisa keluar. Itu yang menjaga rumah ini tetap berdiri, meski kosong. Dan kadang, mereka yang datang dengan niat baik, seperti kalian, bisa terganggu oleh apa yang tertinggal itu.”
Tiba-tiba, ada suara keras dari dalam mobil yang parkir tadi.
KRING!
Lampu mobil itu menyala lebih terang. Kenzo hampir melompat ke belakang, sementara Aksa langsung melangkah ke depan, memeriksa keadaan mobil itu.
Tapi Rahmat menghalangi mereka dengan tangan terangkat. “Tidak perlu ke sana. Itu adalah peringatan.”
Ziva menatap Rahmat, matanya lebar. “Peringatan apa?”
Rahmat tersenyum samar. “Ada yang ingin kalian lihat, tapi belum saatnya. Ingatlah, kalian tidak akan mengerti semuanya dalam sekali jalan. Tapi, pada waktunya, kalian akan tahu.”
Dengan itu, Rahmat mulai mundur perlahan ke dalam bayang-bayang rumah tua, hilang di balik jendela yang tertutup.
Keempat remaja itu terdiam, saling menatap.
“Apa yang baru saja kita alami?” tanya Ziva.
Aksa menggelengkan kepala. “Entahlah, Ziva. Rasanya seperti kita baru saja keluar dari labirin waktu, dan kini semua terasa kabur.”
Kenzo menarik napas panjang. “Jadi, kita harus kembali ke rumah itu? Untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Rinjani menatap rumah yang mulai menghilang dalam kabut malam. “Aku nggak tahu. Aku hanya merasa… kita masih belum selesai.”
Aksa mengangguk pelan. “Ada sesuatu yang belum kita temukan di sana.”
Mereka berbalik dan mulai berjalan menjauh dari rumah itu, tapi entah kenapa, mereka merasa rumah itu—dengan segala misterinya—masih menunggu mereka kembali, menyimpan lebih banyak rahasia yang belum terungkap.
Untuk sementara, mereka memilih untuk pergi, tetapi satu hal yang mereka semua tahu pasti: malam itu belum berakhir.
Gimana? Seru banget kan petualangan mereka? Terkadang, kita nggak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya, dan dunia ini penuh dengan kejutan yang nggak bisa kita prediksi.
Tapi yang pasti, kadang kita harus berani menatap sesuatu yang nggak kita pahami, karena siapa tahu, itu justru yang bakal mengubah kita. Jadi, siap-siap aja kalau suatu hari kamu nggak sengaja menemukan rumah tua yang punya cerita lebih dari sekadar sekedar dinding dan jendela. Sampai ketemu di petualangan selanjutnya!


