Daftar Isi
Liburan bareng keluarga itu, ya, selalu punya keseruan yang beda. Apalagi kalau suasananya santai, nggak terikat waktu, dan penuh tawa. Kalau kamu lagi butuh inspirasi buat liburan seru bareng keluarga, cerpen ini bisa jadi gambaran yang pas banget buat kamu. Siapa tahu, setelah baca, kamu jadi pengen segera packing dan jalan bareng orang-orang tercinta, kan?
Liburan Keluarga Seru
Drama Pagi dan Perjalanan Panjang
Pagi itu, rumah keluarga Ardimana lebih mirip pasar malam daripada hunian yang tenang. Kayra berlarian ke sana kemari hanya dengan satu sandal jepit di kakinya, sementara Liana sibuk berdebat dengan ibunya soal boneka yang ingin ia bawa. Di sudut lain, Kaysan duduk santai di sofa dengan earphone di telinganya, seolah kekacauan pagi itu bukan urusannya.
“Bu, aku bawa boneka ini aja, ya? Kan kecil doang!” rengek Liana, memeluk boneka kucing berwarna putih.
Bu Ardimana melirik ke koper anak perempuannya yang sudah penuh sesak. “Itu kecil apanya? Bonekanya aja hampir sebesar bantal hotel!”
Liana manyun, tetapi tetap memeluk bonekanya erat. Sementara itu, Kayra masih sibuk mencari sandal jepitnya yang entah ke mana.
“Kaysan! Kamu lihat sandal aku nggak?” teriaknya.
Kaysan, yang baru saja mencopot sebelah earphone, menoleh sekilas. “Mana aku tahu? Mungkin kamu simpen di kulkas.”
“Tuh kan, nggak mau bantuin!” Kayra mendengus kesal.
Pak Ardimana, yang sejak tadi sibuk memeriksa mobil, akhirnya masuk ke rumah dengan wajah tegas. “Cepat beresin barang! Kita harus berangkat lima belas menit lagi!”
Lima belas menit? Semua langsung panik. Liana masih berusaha menyelipkan bonekanya ke dalam koper tanpa ketahuan, Kayra akhirnya menyerah dan memakai sandal lain yang ukurannya kebesaran, sementara Bu Ardimana sibuk memastikan makanan ringan masuk ke cooler box.
Setelah berbagai drama kecil, akhirnya semua masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, masalah tempat duduk menjadi perdebatan tersendiri.
“Aku nggak mau di tengah! Itu tempat kutukan!” protes Kaysan.
“Kutukan apaan?” tanya Kayra dengan dahi berkerut.
“Kalau duduk di tengah, bakal kena AC langsung, terus pegal, nggak bisa tidur nyender ke jendela. Pokoknya nyebelin,” jelas Kaysan dengan nada sok tahu.
Liana menyilangkan tangan. “Terus aku yang harus di tengah? Enggak, ah!”
“Udah, diem dulu. Kalau ribut terus, bapak yang duduk di tengah,” ancam Pak Ardimana dari kursi kemudi.
Langsung sepi.
Setelah akhirnya Kaysan menyerah dan duduk di tengah, mobil pun melaju meninggalkan rumah. Di awal perjalanan, semua masih antusias. Kayra bernyanyi keras-keras, Liana sibuk memotret jalanan dari jendela, dan Kaysan pura-pura tidur sambil tetap mengenakan earphone.
Dua jam berlalu.
Suasana mulai berubah. Kayra mulai bosan dan mengeluh lapar, sementara Liana terus mengeluh soal sinyal ponselnya yang naik-turun.
“Aku lapar…” Kayra mulai merengek.
Bu Ardimana membuka tas dan mengeluarkan roti. “Makan ini dulu, nanti kita mampir beli makan siang.”
Kayra mengambilnya, lalu menoleh ke Kaysan. “Mau?”
Kaysan membuka sebelah mata dan melihat roti itu. “Apa?”
“Roti.”
“Nggak, makasih. Aku masih bisa hidup tanpanya.”
Kayra mengangkat bahu dan melanjutkan makan, sementara Liana mulai menggerutu soal sinyal.
“Kenapa di jalan begini sinyalnya kayak nyawa yang tinggal separuh?” keluhnya.
Pak Ardimana terkekeh sambil tetap fokus menyetir. “Kamu itu, kayak dunia bakal runtuh aja kalau sinyal jelek.”
“Ya gimana, aku mau update story perjalanan kita.”
“Perjalanan yang isinya kamu ngeluh soal sinyal?” timpal Kaysan dengan nada menggoda.
Liana mendelik tajam ke kakaknya. “Biarin!”
Perjalanan kembali hening untuk beberapa saat, sampai akhirnya mereka melewati jalanan menanjak yang penuh tikungan tajam.
Kayra, yang sejak tadi duduk manis, tiba-tiba berseru, “Aku mual…”
Semua langsung panik.
“Bertahan, Nak, sebentar lagi kita sampai rest area,” kata Bu Ardimana cepat.
“Enggak bisa… aku mau muntah sekarang…”
“Jangan di mobil!” seru Kaysan.
Pak Ardimana langsung menepikan mobil ke bahu jalan. Dengan langkah cepat, Kayra turun dan mulai menarik napas dalam. Liana ikut turun, memanfaatkan kesempatan untuk meregangkan kaki.
Sementara itu, Kaysan menyandarkan kepalanya ke jok. “Baru setengah perjalanan, dan udah kayak perjalanan hidup dan mati.”
Tak lama kemudian, setelah Kayra merasa lebih baik, mereka melanjutkan perjalanan. Vareza sudah semakin dekat, dan semangat mereka kembali naik. Di depan sana, petualangan yang lebih seru sudah menunggu.
Kejutan Pasir dan Petualangan Laut
Setelah perjalanan yang terasa seperti seabad, akhirnya keluarga Ardimana tiba di Vareza. Pantai yang terbentang luas di depan mereka menyambut dengan pasir putih yang lembut dan ombak yang bergulung tenang. Langit biru cerah, dan aroma laut langsung memenuhi udara begitu mereka keluar dari mobil.
“Waaah! Akhirnya sampai juga!” seru Kayra, langsung melompat ke pasir dengan semangat baru seolah tadi tidak hampir muntah di jalan.
Liana juga ikut turun sambil merentangkan tangan. “Aku bisa mencium aroma liburan yang sesungguhnya!”
Kaysan, yang masih agak malas bergerak, hanya menggeliat sambil memasang kacamata hitamnya. “Bagus, sekarang kita bisa cari tempat buat rebahan.”
Pak Ardimana membuka bagasi mobil dan mulai mengeluarkan perlengkapan mereka. “Kamu kalau liburan jangan cuma mau rebahan aja, San.”
Kaysan mengangkat bahu. “Liburan itu buat bersantai, Pak.”
Sementara itu, Bu Ardimana sudah sibuk mengatur barang-barang mereka di pondok kecil yang disewa untuk menginap. Tak butuh waktu lama sebelum semua berganti pakaian pantai dan bersiap menikmati laut.
Namun, belum sempat mereka benar-benar bersantai, insiden pertama terjadi.
“Aaaah!”
Semua menoleh. Kayra, yang tadinya berlari-lari kecil di pasir, tiba-tiba jatuh terduduk. Wajahnya panik, dan matanya membesar.
“Aku kena serangan sesuatu!” katanya dramatis.
Liana buru-buru mendekat. “Serangan apaan?”
Kayra menunjuk kakinya yang penuh dengan pasir. “Ada yang ngerayap barusan, aku yakin!”
Kaysan datang dengan santai. “Paling juga kepiting kecil. Nih, lihat.” Ia jongkok, menggali sedikit pasir di sekitar kaki Kayra, lalu mengangkat sesuatu dengan tangannya. Seekor kepiting kecil yang masih menggeliat.
“Waaaah! Jauhkan!” Kayra langsung mundur.
Kaysan malah tertawa dan mendekatkannya. “Lucu, kan?”
“Enggak sama sekali! Buang itu jauh-jauh!”
Liana ikut cekikikan. “Kamu tuh kayak yang kena serangan monster laut aja.”
Setelah drama kecil itu selesai, akhirnya mereka benar-benar mulai menikmati pantai. Kaysan memilih untuk bersantai di bawah pohon dengan kacamata hitamnya, sementara Liana sibuk mengambil foto dari berbagai sudut.
Kayra, yang semangatnya kembali, akhirnya memutuskan untuk bermain air bersama ayah dan ibunya. Ombak yang menggulung membuatnya tertawa riang saat berlari menghindari air, tetapi tak butuh waktu lama sebelum ia benar-benar basah kuyup karena tersambar ombak yang lebih besar.
“Aku kena serangan lagi!” teriaknya.
Bu Ardimana hanya tertawa. “Itu namanya main di laut, Kay.”
Liana, yang sudah selesai dengan sesi fotonya, datang menghampiri. “Aku juga mau nyebur!” katanya, sebelum langsung berlari ke air.
Tak lama kemudian, Pak Ardimana mengajak mereka mencoba naik perahu kecil untuk melihat terumbu karang. Awalnya, Kaysan malas ikut, tapi setelah dirayu oleh ibunya (dan sedikit ancaman kalau dia bakal ditinggal sendirian), akhirnya ia bergabung juga.
Perahu yang mereka naiki bergerak perlahan ke tengah, dan air laut yang jernih membuat mereka bisa melihat dasar laut dengan jelas.
“Wah, lihat! Ikan warna-warni!” seru Liana sambil menunjuk ke bawah.
Kayra menempelkan wajahnya ke kaca transparan di bagian bawah perahu. “Keren banget! Aku pengen nyelam!”
Kaysan, yang tadinya hanya diam, akhirnya ikut melirik. “Gila, ini keren juga, ya.”
Pak Ardimana tersenyum. “Makanya, jangan cuma rebahan.”
Setelah puas berkeliling, mereka kembali ke pantai. Matahari mulai condong ke barat, dan langit perlahan berubah warna menjadi jingga keemasan. Hari itu masih belum berakhir, karena malam nanti, mereka akan pergi ke pasar malam yang terkenal di Vareza.
Dan tentu saja, masih banyak keseruan yang menunggu.
Tawa, Ombak, dan Pasar Malam
Setelah seharian bermain di pantai dan menjelajahi laut, perut mereka mulai protes. Liana yang pertama kali mengeluh, memegangi perutnya sambil merajuk, “Aku udah kelaparan parah. Kalau kita enggak segera makan, aku bisa pingsan.”
Kaysan menanggapi dengan santai, “Pingsan aja dulu, siapa tahu kita dapat makan gratis gara-gara dikira korban kelelahan.”
“Tuh, kan, aku tahu kamu anaknya enggak niat liburan,” ejek Kayra sambil menjulurkan lidah.
Pak Ardimana hanya geleng-geleng kepala. “Udah, ayo berangkat ke pasar malam. Katanya di sana ada banyak makanan enak.”
Begitu langit benar-benar gelap, mereka menuju pusat kota Vareza, tempat pasar malam terkenal itu berada. Begitu sampai, suasana langsung berubah drastis. Lampu-lampu warna-warni menghiasi setiap sudut, suara musik dari berbagai stand mengisi udara, dan aroma makanan lezat menyeruak di antara keramaian.
“Waaah, seru banget!” seru Kayra, matanya berbinar.
Bu Ardimana tersenyum. “Ayo, kita cari makanan dulu sebelum jalan-jalan lebih jauh.”
Mereka mulai menyusuri jajaran stand makanan. Liana langsung tertarik pada sate seafood, sementara Kaysan memilih nasi goreng ala Vareza yang katanya punya rasa khas dari bumbu rahasia.
Kayra? Tentu saja dia langsung menuju stand es krim.
“Kamu tuh kalau makan selalu manis-manis dulu,” komentar Liana sambil mengunyah satenya.
“Biar hidupku tetap manis,” jawab Kayra enteng, sebelum menjilat es krimnya dengan puas.
Setelah puas makan, mereka berjalan-jalan menikmati suasana pasar malam. Ada banyak permainan seru, mulai dari lempar gelang, panahan, hingga bianglala besar yang berdiri megah di tengah lapangan.
“Aku mau naik itu!” seru Kayra, menunjuk bianglala.
Pak Ardimana mengangguk. “Siapa aja yang mau ikut?”
“Aku!” Liana mengangkat tangan.
“Aku juga!” Kayra langsung loncat kegirangan.
Bu Ardimana tersenyum. “Aku lebih suka menunggu di bawah. Lagipula, ada banyak makanan menarik yang belum kucoba.”
Pak Ardimana mengangguk. “Aku temani Mama.” Lalu, ia menoleh ke arah Kaysan. “Kamu gimana?”
Kaysan melirik bianglala setinggi hampir 30 meter itu, lalu menghela napas. “Yah, gapapa, deh. Sekalian lihat pemandangan dari atas.”
Mereka mengantri sebentar sebelum akhirnya naik ke dalam kabin bianglala. Saat roda raksasa itu mulai bergerak, Kayra yang tadinya semangat mendadak menggenggam pegangan kursi erat-erat.
“Kenapa kamu tiba-tiba diem?” tanya Liana curiga.
Kayra tersenyum canggung. “Ehehe… ternyata tinggi juga, ya.”
Kaysan tertawa. “Jangan-jangan kamu takut ketinggian?”
“Enggak!” sanggah Kayra cepat, tapi genggamannya semakin erat.
Liana hanya tersenyum jahil. “Kalau tiba-tiba mesin bianglala ini mati di atas, gimana, ya?”
Kayra langsung melotot. “Jangan ngomong gitu, bego!”
Kaysan dan Liana tertawa puas, sementara Kayra hanya bisa menghela napas panjang, mencoba mengabaikan mereka.
Saat bianglala mencapai puncak, pemandangan yang terbentang di depan mereka benar-benar luar biasa. Lautan luas berkilauan di kejauhan, diterangi oleh lampu-lampu kota yang terlihat seperti kunang-kunang raksasa.
“Gila… keren banget,” gumam Kaysan, akhirnya mengakui sesuatu tanpa sarkasme.
Liana tersenyum puas. “Makanya, ini tuh namanya menikmati liburan.”
Setelah turun dari bianglala, mereka kembali berkeliling pasar malam. Kayra mencoba permainan lempar gelang tapi gagal total, sementara Kaysan berhasil memenangkan boneka kecil setelah tiga kali percobaan di stand panahan.
“Ini buat kamu,” katanya, melempar boneka itu ke arah Kayra.
Kayra menangkapnya dengan ekspresi bingung. “Serius? Tumben baik.”
Kaysan hanya mengangkat bahu. “Aku enggak butuh boneka.”
Liana menyeringai. “Awww, so sweet.”
Kaysan mendelik. “Udah ah, kita cari jajanan lagi aja.”
Malam itu berakhir dengan tawa, makanan enak, dan pengalaman yang bakal jadi kenangan tak terlupakan. Namun, kejutan sesungguhnya masih menunggu mereka keesokan harinya.
Rahasia di Balik Ombak
Pagi itu, langit Vareza begitu cerah. Matahari bersinar hangat, angin laut berembus lembut, dan suara ombak berpadu dengan kicauan burung. Keluarga Ardimana sudah bersiap untuk hari terakhir liburan mereka. Setelah keseruan di pasar malam semalam, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan hal yang lebih santai sebelum kembali ke kota.
“Ayo kita ke tebing karang yang kemarin sempat kita lihat dari perahu!” usul Liana dengan semangat.
Pak Ardimana mengangguk setuju. “Iya, sekalian kita lihat ombak dari atas. Katanya kalau lagi beruntung, bisa lihat lumba-lumba juga.”
Kayra langsung bersemangat. “Ya ampun, itu pasti keren banget! Ayo, ayo berangkat!”
Mereka berjalan menyusuri jalur setapak menuju tebing. Perjalanan tidak terlalu jauh, tapi cukup menantang karena beberapa bagian jalan berbatu dan sedikit curam. Kayra yang awalnya penuh energi mulai mengeluh.
“Kenapa kita harus jalan kaki sejauh ini? Kenapa enggak naik mobil aja?”
“Karena mobil enggak bisa manjat tebing, dasar anak kota,” jawab Kaysan santai.
Kayra hanya mendecak kesal, tapi tetap melangkah mengikuti yang lain. Begitu mereka tiba di atas tebing, pemandangan yang terlihat benar-benar memukau. Laut terbentang luas, ombak menghantam karang dengan kuat, dan di kejauhan, sekelompok lumba-lumba tampak melompat-lompat di permukaan air.
“Ya ampun! Itu beneran lumba-lumba!” pekik Kayra, matanya berbinar-binar.
“Duh, aku lupa bawa kamera,” keluh Liana, menyesal karena tidak bisa mengabadikan momen itu.
Bu Ardimana tersenyum. “Enggak apa-apa. Yang penting kita bisa lihat dengan mata kepala sendiri.”
Pak Ardimana berdiri di tepi tebing dengan tangan di pinggang, menikmati hembusan angin laut. “Tempat ini indah sekali. Rasanya sayang kalau harus pulang nanti sore.”
Mereka semua mengangguk setuju, tapi juga sadar bahwa setiap perjalanan pasti ada akhirnya.
Setelah puas menikmati pemandangan, mereka duduk di atas batu besar, mengobrol santai sambil menikmati bekal sederhana yang mereka bawa.
Liana tiba-tiba menatap laut dengan ekspresi serius. “Kalian sadar enggak sih, selama perjalanan ini, kita lebih banyak ketawa dibanding di rumah?”
Suasana mendadak hening sejenak. Kata-kata Liana menyentuh sesuatu di dalam hati mereka.
Bu Ardimana tersenyum lembut. “Mungkin karena di sini kita enggak sibuk dengan hal lain. Enggak ada kerjaan, enggak ada tugas sekolah, enggak ada distraksi dari handphone.”
“Makanya, aku selalu bilang liburan bareng keluarga itu penting,” tambah Pak Ardimana. “Bukan cuma buat jalan-jalan, tapi buat menghabiskan waktu bersama. Kadang kita lupa kalau di rumah kita sering sibuk sendiri-sendiri.”
Kayra mengangguk pelan. “Iya juga, ya. Kalau di rumah, aku lebih sering main handphone daripada ngobrol sama kalian.”
“Setidaknya sekarang kita punya banyak cerita baru,” ujar Kaysan sambil melempar batu kecil ke laut. “Dan kalau nanti kita pulang, kita bisa ingat momen ini pas lagi sibuk atau stres.”
Liana tersenyum. “Setuju.”
Mereka menikmati momen itu dalam keheningan, membiarkan suara ombak menjadi latar belakang yang menenangkan. Setelah beberapa saat, Kayra tiba-tiba berdiri dengan semangat.
“Oke, sebelum kita pulang, kita harus foto keluarga di sini. Biar ada bukti kalau kita pernah ke tempat sekeren ini!”
Mereka semua tertawa dan akhirnya berkumpul untuk berfoto. Dengan kamera yang dipegang Pak Ardimana, mereka tersenyum lebar ke arah lensa, mengabadikan momen yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Dan di sanalah, di tebing tinggi yang menghadap lautan luas, keluarga Ardimana menyadari satu hal—bukan tempat yang membuat liburan menjadi spesial, tapi kebersamaan mereka.
Jadi, gimana? Udah kebayang kan serunya liburan bareng keluarga yang penuh tawa, makanan enak, dan pemandangan indah? Kadang yang kita butuhkan cuma momen kayak gini buat ngerasain kebahagiaan sesederhana itu. Yuk, jangan tunggu lagi! Liburan bareng keluarga tuh selalu jadi kenangan yang enggak akan pernah terlupakan!


