Daftar Isi
Pernah nggak sih kepikiran, kalau satu kebaikan kecil yang kamu lakuin hari ini bisa ngeubah hidup seseorang di masa depan? Kadang, hal sesimpel ngasih uang receh ke pengemis atau nolong orang di jalanan bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar.
Ini bukan cerita soal jadi pahlawan atau orang suci, tapi tentang gimana satu tindakan kecil bisa bikin lingkaran kebaikan terus muter. Dan ya… hidup memang sering kasih kejutan di tempat yang nggak kita duga.
Kebaikan yang Berputar
Langkah yang Ragu
Langit sore itu muram. Awan kelabu menggantung berat di atas kota, seolah menahan hujan yang siap jatuh kapan saja. Trotoar yang basah oleh gerimis sebelumnya masih dipenuhi langkah-langkah tergesa orang-orang yang ingin cepat sampai tujuan. Sebagian besar berlindung di balik payung atau mantel tebal, tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka.
Di salah satu sudut trotoar, di depan sebuah toko yang sudah tutup, seorang lelaki tua duduk bersandar di dinding yang mulai lembap. Bajunya kumal dan berlapis-lapis, seakan mencoba melawan dinginnya udara. Tangannya yang keriput menggenggam sebuah mangkuk plastik yang sudah buram warnanya, bekas dari tempat makanan instan. Sesekali, ia mengangkat wajahnya dengan harapan seseorang akan berhenti dan menjatuhkan sekeping kebaikan ke dalam mangkuk itu. Tapi kebanyakan hanya melirik sekilas sebelum berlalu pergi.
Di seberang jalan, seorang pemuda berdiri menunggu lampu merah berubah hijau. Payung hitamnya terbuka, melindunginya dari gerimis kecil yang turun pelan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi sesekali pandangannya melayang ke arah lelaki tua di seberang. Ada sesuatu yang membuatnya terus memperhatikan pria itu—bukan rasa kasihan yang berlebihan, tetapi lebih kepada perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan.
Saat lampu berubah hijau, langkah pemuda itu terasa sedikit lebih lambat dari biasanya. Entah kenapa, ia tak langsung berjalan lurus menuju halte seperti yang ia rencanakan sebelumnya. Justru, tanpa sadar, kakinya membawanya mendekati lelaki tua itu.
Sesampainya di depan lelaki tua tersebut, pemuda itu mengeluarkan dompet dari saku jaketnya. Ia mengintip isinya sekilas. Ada beberapa lembar uang kertas dan beberapa keping receh. Tangannya terhenti sejenak.
“Berapa yang cukup?” pikirnya.
Ia menarik selembar uang bernilai kecil, tapi entah kenapa, tangannya terasa berat. Pandangannya kembali jatuh ke lelaki tua di hadapannya.
Lelaki tua itu menatap pemuda itu dengan mata yang sayu, tapi tak meminta. Ia hanya diam, menunggu.
Pemuda itu menghela napas pelan, lalu mengganti uang kecil itu dengan nominal yang lebih besar sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam mangkuk plastik.
Lelaki tua itu terkejut. Tangannya bergerak ragu saat meraih uang itu, seperti memastikan bahwa matanya tidak salah lihat.
“Nak… ini terlalu banyak,” suaranya serak, hampir tenggelam oleh suara kendaraan yang melintas.
Pemuda itu mengangkat bahu kecil. “Nggak apa-apa, Pak. Aku masih bisa makan besok.”
Lelaki tua itu menatapnya, seolah ingin menghafalkan wajah pemuda itu dengan baik.
“Tuhan berkahi kamu, Nak,” gumamnya.
Pemuda itu hanya mengangguk, lalu menutup payungnya dan menyelipkannya ke lengan. Hujan mulai turun lebih deras, membasahi trotoar dan jalan yang sudah penuh dengan genangan kecil. Namun, ia tidak segera pergi.
“Aku bisa beliin makanan kalau Bapak mau,” ujarnya pelan.
Lelaki tua itu tersenyum samar. “Aku nggak mau nyusahin kamu, Nak.”
“Ini bukan nyusahin,” pemuda itu menoleh ke arah warung kecil di ujung jalan. “Aku juga lapar.”
Lelaki tua itu tertawa kecil, suara seraknya hampir tenggelam oleh deru kendaraan yang lewat. “Kalau begitu, aku nggak bakal nolak.”
Pemuda itu tersenyum tipis. Ia tahu, hari ini akan sedikit lebih lama sebelum ia sampai di rumah. Namun, entah kenapa, langkahnya terasa lebih ringan.
Hujan turun semakin deras, membasahi jalanan dan manusia-manusia yang berlalu-lalang. Tapi di bawah lampu jalan yang mulai menyala, di antara deretan toko yang mulai tutup, ada dua sosok yang berjalan pelan ke arah warung kecil, berbagi sedikit kehangatan di sore yang dingin.
Selembar Kebaikan
Warung kecil di ujung jalan masih buka, meski hampir semua bangku kayunya kosong. Hanya ada seorang pria setengah baya di balik etalase kaca, sibuk merapikan bahan makanan yang tersisa. Lampu warung yang temaram memantulkan bayangan dua orang yang baru saja tiba—seorang pemuda dengan payung hitam yang kini terlipat di tangannya, dan seorang lelaki tua dengan langkah pelan yang sedikit tertatih.
“Aku pesan apa, Pak?” tanya pemuda itu sambil duduk di salah satu bangku.
Lelaki tua itu melirik ke arah etalase. “Apa aja yang bisa bikin perut ini lupa kalau tadi belum makan.”
Pemuda itu terkekeh kecil sebelum menoleh ke pemilik warung. “Dua porsi nasi goreng, Bang. Pedes nggak, Pak?”
Lelaki tua itu menggeleng. “Udah tua, perut ini nggak sekuat dulu.”
Pemuda itu mengangguk. “Satu pedes, satu nggak, ya, Bang.”
Si pemilik warung mengangguk tanpa banyak bicara, lalu mulai memasak. Wangi bawang putih yang ditumis langsung memenuhi udara, bercampur dengan aroma kecap manis yang mulai mengaramel di atas wajan panas.
Lelaki tua itu bersandar di kursi kayu, matanya menatap pemuda di depannya. “Namamu siapa, Nak?”
“Raka.”
Lelaki tua itu mengangguk pelan. “Aku Warto.”
Raka tersenyum tipis. “Bapak udah lama di sini?”
Warto mengangkat bahu. “Lama sekali. Dulu, aku juga bukan pengemis.”
Raka diam sejenak, menunggu. Warto tampak menerawang, seolah mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan yang lama terkubur.
“Aku dulu kerja di pabrik tekstil. Hidup cukup. Nggak mewah, tapi cukup buat makan dan kasih sekolah anakku.” Suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan. “Tapi pabrik bangkrut, gaji terakhir nggak dibayar, dan aku—aku nggak punya pilihan lain.”
Raka menunduk sedikit. “Keluarga Bapak?”
Hening sejenak.
“Anakku pergi jauh, nggak tahu di mana sekarang. Aku nggak mau nyusahin dia.”
Raka menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi melihat cara Warto menunduk dalam-dalam, ia memilih untuk diam.
Pemilik warung akhirnya datang dengan dua piring nasi goreng yang mengepul. “Minumnya?”
Raka menoleh ke Warto. “Mau teh manis, Pak?”
Warto mengangguk. “Kalau nggak mahal.”
Raka menoleh ke pemilik warung. “Dua teh manis anget, Bang.”
Saat Warto mulai makan, Raka memperhatikannya dalam diam. Lelaki tua itu makan dengan perlahan, tapi dari caranya menyendok nasi ke mulut, terlihat jelas bahwa ia benar-benar lapar.
“Ini enak,” gumam Warto setelah beberapa suapan.
Raka tersenyum kecil. “Iya, lumayan.”
Mereka makan dalam diam. Di luar, hujan masih turun, menghantam atap warung dengan ritme yang monoton.
Tiba-tiba, Warto berhenti makan. Tangannya menggenggam sendok, tapi matanya tertuju pada sesuatu di luar warung. Raka mengikuti arah pandangnya.
Di seberang jalan, seorang pria kurus dengan pakaian yang tak kalah lusuh dari Warto berdiri di bawah lampu jalan, menggigil kedinginan sambil merapatkan jaket tipisnya. Matanya terpaku ke arah warung, ke arah piring Warto yang masih penuh setengahnya.
Warto menghela napas. Tanpa bicara, ia membelah nasinya ke dalam dua bagian, lalu mengambil piring kosong dan menuangkan setengah bagian makanannya ke sana.
Raka melihatnya dalam diam.
“Bentar ya, Nak,” kata Warto sebelum berdiri dan berjalan ke luar warung.
Hujan masih turun, tapi Warto seakan tidak peduli. Ia melangkah pelan ke arah pria kurus itu, lalu menyerahkan piring di tangannya.
Pria itu tampak kaget. Ia menatap Warto dengan bingung, seolah tak percaya ada orang yang masih mau berbagi di tengah dinginnya malam. Tapi beberapa detik kemudian, ia menerima piring itu dengan kedua tangan yang gemetar.
“Terima kasih…” suaranya hampir tak terdengar.
Warto hanya tersenyum tipis sebelum berbalik dan kembali ke warung.
Raka menatapnya dengan ekspresi sulit dijelaskan. “Bapak nggak makan?”
Warto hanya mengangkat bahu. “Aku udah cukup.”
Raka terdiam. Satu jam lalu, lelaki tua ini duduk di pinggir jalan dengan mangkuk kosong, mengharapkan uluran tangan orang lain. Tapi begitu ia mendapat sedikit, ia langsung membaginya lagi.
Hujan masih turun, tapi entah kenapa, malam ini terasa lebih hangat.
Doa di Tengah Hujan
Raka menyesap teh manisnya yang sudah mulai dingin. Di seberangnya, Warto hanya menatap gelasnya tanpa benar-benar menyentuhnya. Sesekali, lelaki tua itu menghela napas panjang, seakan ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya.
Di luar, pria kurus yang tadi diberi makanan kini duduk bersandar di tiang lampu, memeluk piring kosong di pangkuannya. Tatapan kosongnya menembus hujan, seperti seseorang yang tengah menimbang beban dunia di pundaknya.
“Pak,” panggil Raka pelan.
Warto menoleh, alisnya sedikit terangkat.
“Kamu selalu kayak gini?”
Warto menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kayak gimana?”
Raka memutar sendok dalam gelasnya. “Maksudku… kamu sendiri susah, tapi masih mikirin orang lain.”
Lelaki tua itu terkekeh kecil, meski suaranya terdengar lebih seperti helaan napas. “Nak, orang susah itu nggak selalu harus jadi orang yang kejam.”
Raka diam.
Warto menatap hujan yang turun deras, matanya seakan menelusuri sesuatu yang tak kasatmata. “Aku dulu nggak seperti ini. Aku pernah jadi orang yang marah sama dunia, marah sama keadaan. Aku pernah mikir, kenapa harus aku yang kehilangan segalanya?” Ia tersenyum tipis, tapi bukan senyum bahagia. “Tapi lama-lama aku sadar, semua orang punya bebannya sendiri. Bukan cuma aku yang susah.”
Raka menelan ludah.
Warto melanjutkan, “Pernah suatu malam, aku lagi duduk di emperan toko, nahan lapar. Udah dua hari aku nggak makan. Waktu itu, ada anak kecil—mungkin umurnya nggak lebih dari tujuh tahun—jalan sambil nenteng sebungkus nasi. Aku pikir itu buat dia sendiri.”
Warto menghela napas. “Tapi pas dia lihat aku, dia berhenti. Dia diem sebentar, terus tanpa ngomong apa-apa, dia buka bungkus nasinya, ambil setengahnya, dan nyodorin ke aku.”
Raka menatapnya dengan mata sedikit membesar.
“Aku nggak tahu dia siapa, dari mana, atau gimana nasibnya sekarang,” lanjut Warto. “Tapi malam itu, aku belajar sesuatu. Kalau anak sekecil itu bisa berbagi, kenapa aku yang udah tua nggak bisa?”
Keheningan menyelimuti mereka. Hujan masih turun deras, menciptakan alunan ritmis yang menggema di sekitar warung kecil itu.
“Apa itu cukup?” tanya Raka akhirnya.
Warto menoleh. “Apa?”
“Membantu orang lain. Apa itu cukup buat bikin hidup Bapak jadi lebih baik?”
Lelaki tua itu tersenyum samar. “Nggak ada yang langsung bikin hidup lebih baik, Nak. Tapi setidaknya, itu bikin aku nggak lupa kalau aku masih manusia.”
Raka menunduk, mencerna kata-kata itu. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya—sesuatu yang selama ini mungkin tidak pernah benar-benar ia pikirkan.
Ia menoleh ke arah pria kurus yang masih terduduk di seberang jalan. Hujan semakin deras, dan pria itu menggigil hebat.
Tanpa berpikir panjang, Raka berdiri. Ia melepas jaket yang dipakainya, berjalan keluar dari warung, dan menyampirkan jaket itu ke bahu pria kurus itu.
Pria itu mendongak dengan mata lelah yang penuh keterkejutan. “Aku…”
“Nggak usah bilang apa-apa,” potong Raka. “Cuma pakai ini biar kamu nggak kedinginan.”
Pria itu menggenggam jaket itu dengan kedua tangannya yang gemetar. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih… Tuhan memberkatimu.”
Raka tersenyum kecil sebelum kembali ke warung. Saat ia duduk, Warto menatapnya lama.
“Kamu anak baik,” gumam lelaki tua itu.
Raka terkekeh. “Aku nggak tahu soal itu.”
Warto hanya tersenyum tipis. “Tapi kamu tahu, Nak? Kebaikan itu kayak lingkaran. Kamu nggak pernah tahu kapan sesuatu yang kamu lakukan bakal balik lagi ke kamu.”
Raka menatapnya dalam diam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada sesuatu di dadanya yang terasa lebih ringan.
Di luar, hujan mulai mereda. Langit yang tadinya gelap kini mulai menunjukkan sedikit celah, membiarkan cahaya lampu jalan menerangi trotoar yang basah.
Dan entah kenapa, malam itu terasa lebih hangat daripada sebelumnya.
Lingkaran yang Berputar
Pagi datang perlahan, menggantikan sisa-sisa hujan semalam dengan embun yang menempel di kaca-kaca jendela. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang sibuk membuka kios dan menyapu sisa dedaunan yang jatuh di trotoar.
Di depan warung kecil itu, Raka duduk sambil memegang segelas kopi hitam yang masih mengepul. Matanya menatap kosong ke arah jalan, pikirannya entah berkelana ke mana.
Sejak semalam, kata-kata Warto masih terngiang di kepalanya. Tentang kebaikan yang berputar. Tentang berbagi, meski tak punya banyak.
Raka mengembuskan napas panjang.
“Aku nggak nyangka kamu masih di sini.”
Suara berat Warto membuyarkan lamunannya. Lelaki tua itu berjalan pelan, membawa plastik berisi dua bungkus nasi. Ia meletakkan satu di depan Raka sebelum duduk di kursi seberangnya.
“Harusnya aku pulang,” gumam Raka, mengaduk kopinya tanpa niat untuk meminumnya. “Tapi… aku nggak tahu kenapa aku masih di sini.”
Warto terkekeh kecil. “Mungkin karena kamu masih nyari sesuatu.”
Raka mengangkat alis. “Nyari apa?”
Lelaki tua itu mengangkat bahu. “Jawaban? Atau mungkin… makna?”
Raka diam. Ia sendiri tidak tahu. Yang jelas, ada sesuatu yang membuatnya enggan melangkah pergi.
Saat itu, langkah kecil terdengar dari ujung jalan. Pria kurus yang semalam diberi jaket Raka muncul dari balik gang. Langkahnya pelan, tubuhnya masih tampak lelah, tapi ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya.
Ia mendekat, lalu dengan gerakan ragu-ragu, ia mengulurkan jaket yang semalam diberikan Raka.
“Aku…” suaranya terdengar serak. “Aku nggak bisa ambil ini.”
Raka menatapnya bingung. “Kenapa?”
Pria itu menunduk, menggenggam erat jaket itu. “Aku udah dapet kerjaan pagi ini. Nggak banyak, cuma bantu-bantu di warung. Tapi cukup buat beli makan sendiri.”
Senyum kecil muncul di wajahnya. “Kamu udah nolong aku semalam. Sekarang giliran aku nyoba berdiri sendiri.”
Raka menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Ia mendorong kembali jaket itu ke tangan pria itu.
“Simpan aja,” katanya pelan. “Buat jaga-jaga kalau hujan turun lagi.”
Pria itu menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih… aku nggak akan lupa kebaikan ini.”
Setelah pria itu pergi, Warto terkekeh pelan. “Lihat kan?” katanya sambil menyendok nasinya. “Lingkaran itu mulai berputar.”
Raka mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda di dadanya. Sebuah kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Pagi itu, di antara aroma kopi dan sisa hujan semalam, Raka akhirnya mengerti sesuatu.
Bahwa kebaikan tidak selalu datang dalam bentuk besar dan megah. Terkadang, ia hanya sekecil sepotong nasi, satu jaket di tengah hujan, atau secangkir teh hangat di pagi hari.
Dan seperti lingkaran, ia akan selalu berputar, kembali kepada siapa saja yang bersedia memberikannya.
Hidup tuh kayak roda, selalu muter. Kadang kita di atas, kadang di bawah. Tapi satu hal yang pasti, kebaikan yang kita kasih nggak bakal hilang gitu aja. Bisa jadi hari ini kita yang nolong orang, tapi besok, siapa tahu kita yang bakal ditolong. Jadi, nggak ada ruginya berbagi, kan? Siapa tahu, tanpa sadar, kita lagi muterin lingkaran kebaikan buat diri sendiri di masa depan.


