Mawar di Tiang Gantungan: Kisah Pahit dan Manis Cinta yang Terluka

Posted on

Kamu pernah nggak sih ngerasa, ada kenangan yang tiba-tiba datang lagi, kayak nyengat di hati, bikin kita mikir: Kenapa ya bisa sesakit ini?

Nah, cerpen ini tuh tentang perjalanan perasaan yang nggak gampang, antara cinta, luka, dan kenangan yang nggak bisa dilupakan. Mawar yang dulu indah, yang akhirnya layu di tiang gantungan, jadi simbol dari segala yang udah lewat. Penasaran? Yuk, baca lanjutannya!

 

Mawar di Tiang Gantungan

Musim Semi Yang Mencuri

Musim semi datang dengan harum tanah basah dan bunga-bunga yang bermekaran di sudut-sudut desa. Pohon apel di kebun belakang rumah Mireille mulai berbuah, merah merekah di antara dedaunan hijau. Di pagi yang cerah itu, angin bertiup pelan, membawa aroma segar dari bunga-bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalan berbatu.

Namun, ada satu hal yang tak seharusnya ada di kebun itu.

Seorang pemuda berdiri di bawah pohon apel, tangannya cekatan meraih salah satu buah terbesar yang menggantung rendah. Matanya berbinar, bibirnya menyunggingkan senyum kecil saat jemarinya dengan mudah memetik apel itu. Tapi sebelum sempat menggigitnya, sebuah suara terdengar dari belakang.

“Kau tahu itu milikku, kan?”

Pemuda itu menoleh, masih dengan apel di tangannya. Seorang gadis berdiri tak jauh darinya, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Wajahnya teduh, tetapi matanya menyipit penuh selidik.

“Kalau begitu, ambillah kembali.” Pemuda itu mengulurkan apel yang sebagian sudah dia gigit, bibirnya terangkat sedikit.

Mireille mendengus. “Jijik.”

“Kalau begitu, aku akan memakannya sendiri.” Tanpa ragu, dia menggigit lagi, kali ini lebih besar.

Mireille menghela napas. Ini bukan pertama kalinya dia melihat pemuda itu mondar-mandir di sekitar kebun rumahnya. Orlan. Dia bukan orang asing di desa ini, tapi juga bukan seseorang yang akrab dengan banyak orang. Ada sesuatu dalam caranya berjalan, caranya berbicara, yang membuatnya berbeda. Seperti seseorang yang tidak benar-benar berada di sini—atau mungkin tidak ingin berada di sini.

“Apa kau tidak punya makanan di rumah?” Mireille akhirnya bertanya.

Orlan mengangkat bahu. “Ada.”

“Lalu kenapa mencuri apelku?”

“Karena lebih manis.”

Jawaban itu terdengar begitu ringan, seolah dia memang tidak memedulikan konsekuensi dari apa yang dia lakukan. Tetapi bagi Mireille, ada sesuatu yang aneh dalam cara pemuda itu berkata-kata. Seakan ada lebih banyak hal yang disembunyikannya di balik sikapnya yang sembrono.

Mireille menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Dia berjalan ke arah pohon, memetik satu apel, lalu melemparkannya ke Orlan.

“Jangan mencuri. Kalau kau mau, tinggal minta saja.”

Orlan menangkap apel itu dengan satu tangan, sedikit terkejut. “Jadi, aku boleh datang kapan saja untuk meminta apel?”

“Bukan begitu maksudku!” Mireille berdecak, tapi pemuda itu hanya tertawa kecil.

Sejak saat itu, Orlan benar-benar sering muncul di sekitar kebun. Kadang-kadang dia hanya duduk di bawah pohon, menggigit apel sambil menatap langit. Kadang-kadang dia membawa buku lusuh yang tak jelas isinya dan membacanya dengan suara pelan. Kadang-kadang dia berbicara—tentang hal-hal yang tidak pernah benar-benar dipikirkan Mireille sebelumnya.

“Kau tahu, ada orang-orang di luar sana yang tidak bisa makan apel semudah ini,” katanya suatu hari. “Mereka bekerja dari pagi sampai malam hanya untuk sepotong roti. Mereka tak punya rumah, tak punya tanah, tak punya apa-apa.”

Mireille memandangnya dengan alis berkerut. “Kenapa kau bicara seperti itu?”

Orlan menghela napas. “Karena aku melihatnya.”

Dia tidak menjelaskan lebih lanjut, tapi sejak hari itu, Mireille mulai memperhatikan sesuatu yang berbeda darinya. Mata Orlan selalu penuh dengan sesuatu—sesuatu yang tajam, sesuatu yang bergolak. Dia tidak hanya melihat dunia, tapi juga mempertanyakan setiap bagian darinya.

Dan semakin sering mereka bertemu, semakin Mireille menyadari bahwa pemuda itu bukan hanya seseorang yang suka mencuri apel dari kebunnya. Dia lebih dari itu.

Dia adalah seseorang yang membawa badai di dalam dirinya.

Dan dia tidak pernah takut menghadapi angin.

Musim semi terus berjalan, berganti dengan musim panas yang terik. Pohon apel mulai kehilangan sebagian daunnya, dan buah-buah yang tersisa semakin matang di dahan. Orlan masih sering datang, meskipun tidak selalu membawa canda seperti sebelumnya. Ada hari-hari di mana dia terlihat lebih serius, lebih gelisah.

“Ada apa?” Mireille akhirnya bertanya suatu sore, ketika Orlan duduk di pagar kayu rumahnya, menggoyangkan kakinya di udara.

Pemuda itu menatapnya sekilas, lalu menatap jauh ke arah jalan berbatu yang menuju desa. “Aku mungkin akan pergi sebentar.”

Mireille menatapnya tajam. “Pergi ke mana?”

Orlan tersenyum kecil. “Mungkin ke tempat di mana orang-orang tidak bisa makan apel dengan mudah.”

Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat dada Mireille terasa sesak. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dia pahami tentang pemuda itu.

Tapi dia tidak bertanya lebih jauh.

Dia hanya berdiri di sana, membiarkan angin musim panas mengisi keheningan di antara mereka.

Dan tanpa mereka sadari, hari-hari sederhana itu perlahan-lahan menjadi kenangan yang akan selalu terukir dalam ingatan.

Kenangan tentang musim semi, tentang apel yang manis, dan tentang seorang pemuda yang membawa badai dalam dirinya.

Namun, tidak ada yang tahu bahwa badai itu akan segera datang.

Dan tak ada yang bisa menghentikannya.

 

Nyala Dalam Gelap

Mireille tidak melihat Orlan selama berminggu-minggu setelah sore itu.

Sejak kepergiannya, kebun apel terasa lebih sepi. Tidak ada lagi suara langkah ringan yang tiba-tiba muncul di antara dedaunan, tidak ada lagi tangan iseng yang mencuri apel tanpa izin, tidak ada lagi suara rendah yang membaca buku lusuh dengan penuh kesabaran.

Yang tersisa hanya keheningan.

Dan diam-diam, Mireille membenci keheningan itu.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Desa tetap berjalan seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berubah—sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup memperhatikan.

Bisikan-bisikan mulai beredar di pasar. Tentang sekelompok pemuda yang meninggalkan desa, tentang gerakan rahasia yang tumbuh di dalam bayang-bayang kekuasaan. Tentang pemberontakan, tentang orang-orang yang berani menentang mereka yang berdiri di atas segalanya.

Mireille mendengar semua itu. Dan dia tahu.

Orlan ada di sana.

Suatu malam, angin bertiup lebih dingin dari biasanya. Langit mendung, seolah menahan sesuatu yang ingin dilepaskannya ke dunia.

Mireille sedang menutup jendela ketika suara ketukan terdengar di pintu belakang rumahnya.

Seketika, jantungnya berdegup lebih cepat.

Tidak ada orang yang seharusnya datang pada jam segini.

Dengan hati-hati, dia berjalan ke pintu, menekan napasnya agar tetap stabil sebelum membuka sedikit celah.

Dan di sana, berdiri dalam bayangan malam, Orlan menatapnya.

Mireille hampir tidak mengenalinya.

Wajahnya lebih kurus, matanya lebih tajam. Ada luka samar di pipinya, dan bajunya kotor seolah dia telah berjalan jauh tanpa istirahat. Tapi yang paling membuat Mireille terpaku adalah caranya berdiri—tegak, tetapi lelah. Seperti seseorang yang telah melihat terlalu banyak hal yang seharusnya tidak perlu dilihat.

“Masuk,” bisik Mireille, sebelum dia sendiri sempat memikirkan apa yang dia lakukan.

Orlan tidak banyak bicara. Dia masuk ke dapur, membiarkan Mireille menutup pintu di belakangnya. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya, menyoroti kelelahan yang tersembunyi di balik keteguhan matanya.

“Kau menghilang begitu saja,” kata Mireille, mencoba menahan nada emosional dalam suaranya. “Dan sekarang kau muncul seperti ini.”

Orlan menghela napas, lalu duduk di kursi kayu di sudut dapur. “Aku tidak bisa kembali begitu saja. Ada hal-hal yang harus kulakukan.”

“Hal-hal seperti apa?”

Pemuda itu menatap meja di depannya, seolah pertanyaannya terlalu berat untuk dijawab.

Mireille menunggu, tetapi Orlan hanya mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, “Dunia ini tidak adil, Mireille. Aku harus melakukan sesuatu.”

Mireille menggigit bibir. “Apa kau… salah satu dari mereka?”

Orlan tidak menjawab. Tapi diamnya sudah cukup sebagai jawaban.

Mireille ingin marah. Dia ingin menegaskan bahwa dunia selalu seperti ini—tidak adil, kejam, penuh dengan orang-orang yang hanya peduli pada diri sendiri. Tapi dia juga tahu, Orlan bukan orang yang bisa diam saja melihat ketidakadilan.

Dia selalu menjadi badai.

Dan badai tidak bisa dihentikan.

“Kau akan pergi lagi?” tanya Mireille, suaranya sedikit bergetar.

Orlan menatapnya. “Ya.”

Hening.

Mireille bisa merasakan sesuatu dalam dirinya remuk perlahan. Dia ingin bertanya apakah Orlan akan baik-baik saja. Apakah dia akan kembali. Apakah dia sadar bahwa setiap kali dia pergi, dia meninggalkan lebih banyak kenangan yang hanya akan menyakitinya nanti.

Tapi yang keluar dari bibirnya justru sesuatu yang berbeda.

“Kau lapar?”

Orlan terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Sedikit.”

Mireille berdiri, mengambil roti dan keju dari lemari, meletakkannya di depan Orlan. Pemuda itu menatapnya, lalu tersenyum kecil.

“Kau masih seperti dulu.”

Mireille hanya mendengus. “Dan kau masih menyebalkan.”

Mereka makan dalam diam. Dan untuk sesaat, hanya untuk sesaat, rasanya seperti waktu tidak pernah bergerak. Seperti Orlan tidak pernah pergi, seperti mereka masih dua orang yang bertemu di kebun apel, berbicara tentang hal-hal sederhana.

Tetapi waktu selalu berjalan. Dan saat Orlan akhirnya berdiri, Mireille tahu bahwa dia tidak akan bisa menghentikannya.

Namun sebelum pemuda itu pergi, dia menyelipkan sesuatu di tangan Mireille.

Mireille menatap benda itu dalam cahaya redup. Sebuah mawar kecil, kelopaknya merah tua, seolah menyimpan rahasia yang terlalu dalam untuk diungkapkan.

“Aku akan kembali,” kata Orlan pelan.

Mireille menggenggam mawar itu erat, seolah bisa menahan waktu jika dia cukup kuat.

Tapi Orlan sudah pergi, menghilang ke dalam kegelapan malam.

Dan Mireille hanya bisa berdiri di sana, dengan mawar di tangannya, mencoba mengabaikan perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan segera datang.

 

Luka Dihati Yang Tak Terlihat

Seminggu berlalu sejak Orlan meninggalkan rumah Mireille. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Hanya hening yang menutup rapat semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya.

Mireille mencoba untuk melanjutkan rutinitasnya. Kebun apel yang dulu ramai dengan canda dan suara langkah kaki, kini terasa kosong. Setiap kali ia menatap pohon-pohon itu, setiap kali ia berjalan di antara daun-daun yang berguguran, ada kekosongan yang semakin besar. Bahkan angin pun seakan enggan untuk menyentuh wajahnya seperti dulu.

Namun, di tengah kesibukannya membantu ibu di rumah, Mireille tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Setiap malam, dia terbangun, dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Perasaan kosong yang datang setelah kehilangan.

Hari itu, kebun apel sudah mulai menunjukkan tanda-tanda musim gugur. Daun-daun yang dulu hijau dan segar kini mulai berubah warna, merona oranye dan kuning, menyambut pergantian waktu. Mireille berdiri di tengah-tengah kebun, menatap sebatang ranting yang bergoyang pelan.

Malam itu, suara langkah kaki terdengar lagi.

Langkahnya berbeda dari sebelumnya. Lebih berat, lebih teratur. Tidak seperti langkah Orlan yang dulu selalu cepat, tidak sabar, seolah mengejar sesuatu yang tak pernah bisa diraihnya. Langkah itu mendekat, dan hati Mireille mulai berdebar.

Dia tahu siapa itu.

Orlan.

Ketika pemuda itu muncul di ujung jalan setapak, Mireille bisa melihat sosoknya yang semakin berbeda. Wajahnya lebih keras, lebih tertutup. Ada bekas luka di dahinya, dan matanya yang dulu penuh dengan gairah kini tampak suram, seperti seseorang yang telah melupakan tujuannya.

Mireille tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, diam, menunggu.

Orlan berhenti beberapa langkah darinya. Ada beberapa detik kesunyian, lalu dia berkata dengan suara serak, “Aku kembali.”

Mireille hanya mengangguk pelan, mencoba mengatasi perasaan yang mulai mendorongnya untuk melangkah ke arahnya. Namun, dia tetap berdiri tegak, menjaga jarak. “Kenapa baru sekarang?”

Orlan tidak langsung menjawab. Dia menatap ke bawah, seolah mencari kata-kata yang tidak pernah ditemukan. “Karena aku tak bisa terus melarikan diri,” katanya akhirnya.

“Melarikan diri dari apa?” Mireille bertanya, suaranya semakin keras, berusaha menahan gejolak yang mulai muncul.

Orlan mengangkat wajahnya, dan matanya yang dulunya cerah kini tampak kosong. “Dari diriku sendiri.”

Ada sesuatu yang berat dalam kalimat itu. Sesuatu yang membuat Mireille merasa hancur dalam sekejap. Dia ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa yang telah terjadi padanya. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, Orlan melangkah mendekat, menggenggam kedua tangannya dengan kuat.

“Aku tidak ingin kembali ke sana,” katanya dengan nada yang penuh penderitaan.

Mireille menatapnya, bingung dan terluka. “Ke mana?”

“Ke tempat di mana aku dulu berada.”

Sekali lagi, keheningan menyelimuti mereka. Hanya angin yang berdesir pelan, membawa aroma tanah dan daun yang jatuh. Mireille merasa seolah ada sesuatu yang sangat besar yang menghalangi mereka. Bukan hanya jarak fisik yang memisahkan mereka, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak terucapkan, namun tetap terasa.

“Aku… aku tak tahu harus bagaimana,” kata Orlan, suaranya hampir berbisik. “Ada begitu banyak hal yang harus kulakukan, Mireille. Begitu banyak hal yang salah.”

“Lalu kenapa kau kembali?” Mireille bertanya lagi, sedikit lebih tajam. “Kenapa sekarang? Kenapa tidak dulu, saat kita masih bisa—”

“Aku tidak tahu,” jawab Orlan dengan putus asa. “Aku hanya tahu bahwa aku tidak bisa melanjutkan hidupku seperti ini lagi. Aku… aku butuh bantuanmu.”

Mireille menarik tangannya perlahan, menggenggam erat mawar yang diberikan Orlan beberapa waktu lalu. Mawar yang kini sudah mulai mengering, kelopaknya mulai patah sedikit demi sedikit. Seperti kisah mereka yang semakin menjauh.

“Bantuan apa yang kau inginkan?” Mireille bertanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

“Aku tidak tahu,” jawab Orlan. “Aku hanya… hanya ingin tahu apakah aku masih punya tempat di dunia ini.”

Mireille menatapnya, mata mereka bertemu dalam kesunyian yang lebih dalam daripada kata-kata yang bisa mereka ucapkan. Dunia mereka berubah, waktu mereka berubah, dan perasaan mereka pun berubah.

“Jika kau butuh tempat,” kata Mireille akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad, “kau selalu bisa kembali ke sini.”

Orlan menatapnya dengan tatapan kosong, tetapi ada sedikit sinar yang mulai muncul di mata itu. Sebuah harapan yang hampir padam, kini mulai menyala kembali.

“Aku tak tahu apakah aku pantas kembali,” katanya pelan. “Tapi terima kasih.”

Mireille hanya mengangguk. Mereka berdiri di sana, saling memandang tanpa kata-kata. Seperti dua orang yang mencoba menemukan bagian dari diri mereka yang hilang di tengah kegelapan.

Dan saat itu, Mireille menyadari sesuatu yang tak terkatakan: mereka berdua, meskipun terpisah oleh waktu dan takdir, masih terhubung oleh kenangan yang tak akan pernah bisa dilupakan.

Namun, kenangan bukanlah sesuatu yang bisa membawa mereka kembali seperti semula. Kenangan itu, seperti mawar yang telah layu, tetap akan mengingatkan mereka pada sesuatu yang tak bisa diperbaiki lagi.

Dan dalam keheningan malam itu, Mireille tahu satu hal pasti: segalanya telah berubah, dan tidak ada jalan kembali.

 

Mawar Terakhir Di Gantungan

Malam semakin larut, dan udara yang semakin dingin terasa semakin membekukan setiap kenangan yang berputar di kepala Mireille. Langit yang gelap semakin menambah keheningan, seakan alam ikut merasakan kesedihannya. Ada sesuatu yang terpendam di hatinya, sesuatu yang lebih berat dari semua yang pernah ia alami.

Di hadapannya, Orlan berdiri dengan tubuh yang mulai lelah, seperti seorang pejuang yang baru saja kalah. Hati Mireille mencelos. Dia ingin menyentuhnya, menghiburnya, namun entah kenapa, ada tembok yang semakin tebal di antara mereka.

“Aku tak tahu harus bagaimana lagi,” Orlan akhirnya berkata, suaranya dipenuhi ketidakpastian. “Aku sudah terlalu jauh terluka, Mireille.”

Mireille menatapnya dalam diam, menimbang-nimbang kata-kata yang tepat. Selama ini, ia selalu tahu bahwa Orlan adalah orang yang penuh kebingungan, namun malam ini ia terlihat lebih rapuh dari sebelumnya. Apakah ia bisa membantunya? Ataukah malah semakin terperosok dalam kebingungannya?

“Aku juga terluka, Orlan,” jawab Mireille pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Aku hanya… hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan lagi.”

Di antara mereka, hanya ada kesunyian yang terasa semakin menggigit. Angin malam meniupkan daun-daun kering di sekitar mereka.

Orlan menundukkan wajahnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai menguasainya. “Aku… aku tidak ingin kau menjadi bagian dari luka ini,” katanya, hampir berbisik. “Aku tak ingin kau ikut terluka karena diriku.”

Mireille terdiam. Dalam hatinya, dia tahu bahwa kata-kata Orlan itu bukan hanya untuk dirinya. Tapi juga untuk dirinya sendiri. Kata-kata itu berasal dari seseorang yang merasa dirinya tak pantas dicintai, tak pantas untuk dibantu.

Tapi ia juga tahu, tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Orlan adalah bagian dari hidupnya. Tak ada yang bisa menghapus kenangan-kenangan manis yang pernah mereka bagi. Dan tak ada yang bisa menghilangkan kenyataan bahwa mereka berdua pernah begitu dekat, begitu saling membutuhkan.

“Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja,” jawab Mireille akhirnya, meskipun hatinya teriris. “Aku tidak bisa melihatmu hancur seperti ini.”

Orlan menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku… aku takut, Mireille,” katanya pelan. “Aku takut aku akan kembali menyakiti dirimu. Aku takut aku tidak akan pernah bisa menjadi apa yang kau harapkan.”

Mireille merasa sesak di dadanya. Semua rasa sakit yang selama ini ia pendam, kini mulai muncul ke permukaan. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mengetahui bahwa seseorang yang sangat berarti dalam hidupmu merasa dirinya tak layak untuk bahagia.

“Orlan…” Mireille menghela napas berat. “Tidak ada yang sempurna. Kita hanya manusia. Kita punya kelemahan, kita punya luka. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Kamu tidak harus jadi seseorang yang sempurna untuk bisa merasa diterima.”

Namun, kata-kata itu terasa hampa di udara malam yang dingin. Orlan hanya menundukkan kepalanya, seolah tidak mampu menerima kenyataan yang ada.

Mireille melihat ke arah tiang gantungan yang berada beberapa langkah dari mereka. Di sana, sebuah mawar merah muda yang dulu indah tergantung dengan rapuh. Setiap kelopak yang ada seakan memudar, seperti kenangan yang kini perlahan memudar dari hidup mereka.

Mireille mendekat, menggenggam batang mawar yang telah layu itu dengan lembut.

“Mawar ini…” ia berkata pelan. “Mawar ini seperti hubungan kita, Orlan. Indah di awal, tapi sekarang sudah hampir hilang.”

Orlan mengangkat wajahnya, matanya kosong. “Jadi ini akhir?”

Mireille menatap mawar yang kini tinggal sedikit kelopak itu. “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memaksakan apa yang sudah tidak ada lagi.”

Keduanya berdiri dalam diam, memandang mawar yang hampir mati itu.

“Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan?” Orlan bertanya, suara penuh penyesalan.

“Ada satu hal yang bisa kita lakukan,” jawab Mireille dengan hati yang hancur. “Berhenti menyakiti satu sama lain. Berhenti berharap pada sesuatu yang sudah tidak ada lagi.”

Orlan menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Mireille bisa melihat ada sedikit cahaya yang menyinari matanya. Mungkin itu bukan harapan, tetapi mungkin lebih seperti penerimaan.

Dia meletakkan mawar yang layu itu di tiang gantungan dengan perlahan. Seperti sebuah simbol bahwa mereka berdua harus melepaskan masa lalu mereka, melepaskan kenangan yang tidak lagi memberi mereka kebahagiaan.

“Kamu benar,” kata Orlan dengan suara yang mulai terdengar lebih tenang. “Kita harus berhenti berharap pada sesuatu yang sudah tidak ada lagi.”

Mireille hanya mengangguk. Ada banyak rasa yang tertinggal, tetapi juga ada banyak hal yang harus mereka lepaskan. Mereka berdua berdiam diri, memandang ke arah tiang gantungan yang kini kosong. Hanya angin malam yang berhembus, membawa aroma tanah dan daun kering.

Tidak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Tidak ada lagi mawar yang dapat mereka bawa. Hanya kenangan yang terpendam, yang pada akhirnya, mereka harus biarkan pergi.

Malam itu, meskipun tidak ada perpisahan yang dramatis, Mireille merasa bahwa sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kenangan tentang Orlan, mawar, dan tiang gantungan, akan tetap menjadi bagian dari hidupnya—tetapi seperti mawar yang layu, semuanya harus dihentikan di sini.

Dan begitu mereka berdua berjalan menjauh, hati Mireille terasa lebih ringan. Tak ada lagi yang harus dipertahankan, tak ada lagi yang perlu ditunggu. Semua sudah selesai.

 

Ya gitu deh, kadang kita cuma bisa ngelihat segala yang pernah kita cintai itu hilang begitu aja. Mawar yang dulu indah, sekarang tinggal kenangan. Tapi mungkin, itu yang namanya hidup.

Nggak semuanya bisa bertahan selamanya, dan terkadang, melepaskan itu adalah cara terbaik. Kalau kamu ngerasa cerita ini nyentuh banget, mungkin emang ada sedikit dari kamu di dalamnya. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, yang pasti bakal nggak kalah bikin mikir!

Leave a Reply