Matahari Tak Terbit Lagi: Kisah Perpisahan yang Menyayat Hati

Posted on

Pernah nggak, kamu ngebayangin gimana rasanya tahu kalau besok kamu nggak bakal lihat matahari lagi? Bukan karena mendung, bukan karena malam yang terlalu lama… tapi karena hidupmu udah di ujung jalan. Ini bukan cerita biasa.

Ini tentang seseorang yang sadar kalau waktunya tinggal sebentar lagi, tapi tetap berusaha tersenyum. Tentang seseorang yang nggak siap kehilangan, tapi harus merelakan. Dan tentang pagi yang nggak lagi sama, karena matahari terakhirnya telah pergi… Siap-siap, karena ini bukan sekadar cerita sedih. Ini luka yang bakal kamu rasain sampai ke hati.

Matahari Tak Terbit Lagi

Langit Kelabu di Ujung Waktu

Langit tampak abu-abu sejak pagi. Awan kelam menggantung berat, menutupi sinar matahari yang seharusnya muncul dari balik cakrawala. Kota masih terlelap dalam dinginnya udara dini hari, sementara embusan angin tipis berdesir melewati jendela kamar yang terbuka sedikit.

Di dalam ruangan beraroma antiseptik itu, seorang pemuda terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat semakin ringkih, dan suara napasnya terdengar berat setiap kali ia menarik oksigen ke dalam paru-parunya yang sudah lelah bekerja. Namanya Avner, dan pagi ini adalah awal dari hari terakhirnya.

Jam dinding di kamarnya berdetak pelan, tapi suaranya terasa begitu menusuk di kesunyian. Tiap detik yang berlalu adalah pengingat bahwa waktu semakin menipis.

“Sudah pagi, tapi matahari nggak terbit…” suara Avner terdengar serak. Ia menoleh ke jendela, matanya menerawang, mencari secercah sinar yang tak kunjung muncul.

Tak lama, pintu kamar terbuka pelan. Seorang wanita masuk, langkahnya ragu-ragu, seolah takut melihat kenyataan yang harus dihadapinya hari ini. Elyra.

Ia berdiri di ambang pintu, menggigit bibirnya yang bergetar. Matanya sembab, jelas ia tak tidur semalaman.

“Kamu belum tidur, kan?” Avner meliriknya dari balik selimut.

Elyra menunduk, tidak menjawab.

Avner menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Kamu harus berhenti begadang. Aku nggak suka lihat kamu kayak gini.”

“Terus aku harus gimana?” suara Elyra parau. “Kamu tahu nggak betapa sakitnya nunggu pagi sambil berharap ada keajaiban? Sambil mikir, mungkin dokter salah, mungkin masih ada waktu, mungkin—”

“Lyra…”

Elyra menunduk lebih dalam. Bahunya bergetar, seakan menahan sesuatu yang ingin meledak sejak lama.

Avner menatapnya lama. Sejenak, kamar itu terasa begitu sunyi. Hanya ada suara detak jam dan napas mereka berdua yang sama-sama berat—satu karena beban di hati, satu lagi karena tubuh yang mulai menyerah.

“Duduk sini.” Avner menepuk ranjangnya pelan.

Elyra melangkah mendekat, duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Tangannya mencengkeram sprei erat-erat.

“Aku nggak siap,” katanya lirih. “Aku beneran nggak siap…”

Avner tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Elyra yang terasa lebih dingin dari biasanya. “Aku juga nggak.”

Elyra mendongak, menatapnya dengan mata yang basah. “Kalau kamu juga takut, kenapa masih bisa setenang ini?”

Avner tidak langsung menjawab. Ia mengeratkan genggamannya, seolah ingin menyalurkan sedikit kehangatan yang tersisa dalam tubuhnya ke tangan Elyra.

“Kamu tahu? Dulu aku sering mikir, kalau aku mati nanti, apa aku bakal merasa tenang? Apa aku bakal teriak? Nangis? Atau mungkin aku bakal berdoa minta waktu lebih?” Avner terkekeh kecil. “Ternyata pas udah di titik ini… rasanya beda.”

Elyra menggigit bibirnya, menunggu kelanjutannya.

“Aku nggak bisa minta waktu lebih, karena aku tahu nggak bakal ada.” Avner menatap jendela lagi. “Aku juga nggak bisa nangis atau marah. Aku cuma… ngerasa hampa.”

Elyra menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. “Kamu egois.”

Avner tertawa kecil. “Iya. Aku egois banget. Aku ninggalin kamu di dunia ini sendirian.”

“Jangan ngomong kayak gitu.”

“Tapi itu kenyataan.”

Keheningan menggantung di antara mereka lagi. Hanya suara angin yang berembus dari celah jendela, membelai rambut Elyra yang tergerai.

“Lyra…” suara Avner melembut.

Elyra menoleh pelan.

“Aku pengen lihat matahari hari ini.”

Elyra terdiam. Ia menoleh ke luar jendela, ke langit yang tetap kelabu, seakan menolak memberikan cahaya untuk pemuda yang sedang bersiap mengucapkan selamat tinggal.

“Kenapa harus hari ini mendung?” Avner tertawa kecil, tapi ada kekecewaan di matanya. “Padahal aku pengen banget ngerasain hangatnya sekali lagi…”

Elyra mengepalkan tangannya. Matanya nanar menatap langit yang tak bersahabat.

“Lyra…” Avner menoleh padanya.

“Aku bakal cari caranya,” gumam Elyra pelan.

Avner mengerutkan kening. “Hah?”

Elyra berdiri. Matanya yang berkaca-kaca kini dipenuhi tekad. “Aku bakal cari caranya. Aku nggak peduli. Aku bakal kasih kamu cahaya yang kamu mau.”

Avner ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum sempat membuka mulutnya, Elyra sudah berlari keluar kamar.

Pemuda itu hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu, lalu mendesah pelan.

“Kamu selalu aneh, Lyra…” bisiknya, lalu kembali menatap langit kelabu.

Di luar sana, matahari masih tak kunjung terbit.

 

Bab 2: Sebuah Janji di Detik Terakhir

Elyra berlari menembus koridor rumah sakit, napasnya memburu seiring langkahnya yang semakin cepat. Di dadanya, ada sesuatu yang mendesak keluar—entah itu kepanikan, ketakutan, atau harapan yang tersisa.

Matahari tak terbit hari ini. Langit abu-abu seolah bersekongkol dengan takdir, menolak memberikan satu kehangatan terakhir untuk Avner. Tapi Elyra tidak mau menyerah.

Tangannya mencengkeram ponsel, mengetikkan sesuatu dengan cepat. “Dimana tempat yang masih bisa melihat cahaya matahari meski mendung?”

Jawaban yang muncul tidak membantu. Semua yang ia baca hanya menjelaskan bagaimana awan bisa menghalangi sinar matahari.

Sial.

Ia meremas rambutnya, frustasi. Opsi lain? Mungkin…

“Elyra?”

Suara itu menghentikannya. Dokter Gilang berdiri di depan ruang administrasi, wajahnya menyiratkan kelelahan. “Kamu baik-baik aja?”

Elyra menegakkan tubuhnya, berusaha menyembunyikan kekacauan dalam kepalanya. “Aku butuh bantuan.”

Dokter Gilang menaikkan alis. “Bantuan apa?”

“Aku mau Avner lihat matahari hari ini.”

Dokter itu terdiam sejenak. Matanya menatap Elyra seolah gadis itu baru saja meminta sesuatu yang mustahil. “Elyra, kamu tahu cuaca hari ini. Lagipula, kondisi Avner…”

“Aku tahu!” Elyra menyela, suaranya sedikit bergetar. “Aku tahu dia nggak bisa ke mana-mana. Aku tahu dia… nggak punya banyak waktu lagi.”

Suaranya melemah pada kalimat terakhir. Dadanya terasa sesak, tapi ia meneguhkan dirinya.

“Aku cuma pengen dia lihat cahaya sekali lagi,” lanjutnya, kali ini lebih pelan. “Aku nggak peduli gimana caranya. Tolong, ada cara nggak?”

Dokter Gilang terdiam cukup lama sebelum akhirnya menghela napas. “Mungkin ada satu cara…”


Sepuluh menit kemudian, Elyra kembali ke kamar Avner dengan langkah terburu-buru. Di tangannya, ia membawa sesuatu—sebuah lampu terapi dengan cahaya kuning keemasan yang hangat.

Avner menoleh begitu pintu terbuka, matanya menyipit sedikit melihat cahaya yang masuk bersamaan dengan Elyra.

“Kamu kemana aja?” suaranya terdengar lebih lemah dibanding tadi.

Elyra tidak menjawab. Ia hanya menyalakan lampu itu dan meletakkannya di meja di samping ranjang. Cahaya keemasan menyebar lembut ke seluruh ruangan, menyerupai sinar matahari yang seharusnya bersinar di luar sana.

Avner menatap lampu itu, lalu menatap Elyra. “Ini apa?”

“Matahari,” jawab Elyra, tersenyum kecil. “Bukan yang asli, tapi aku harap cukup.”

Avner terdiam lama. Matanya menatap cahaya itu, ekspresinya sulit ditebak. Lalu, tanpa peringatan, tawa kecil keluar dari bibirnya.

“Kamu… beneran aneh,” katanya sambil tertawa kecil, meski ada batuk yang menyusul setelahnya.

Elyra ikut tertawa, meski matanya masih berkaca-kaca. “Setidaknya sekarang kamu bisa lihat ‘matahari’.”

Avner tidak menjawab. Ia hanya menatap cahaya itu, lalu memejamkan matanya sejenak, menikmati hangatnya cahaya buatan yang menyentuh kulitnya.

“Terima kasih, Lyra.”

Elyra mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Jangan bilang makasih kayak gitu. Aku nggak suka.”

Avner tersenyum tipis. “Kenapa?”

“Soalnya… kesannya kayak perpisahan.”

Kamar itu kembali sunyi. Hanya ada suara detak jam yang terus berjalan, menghitung waktu yang tersisa.

Di luar, langit tetap kelabu. Tapi di dalam kamar itu, cahaya kecil tetap bersinar.

 

Cahaya yang Tak Pernah Padam

Sejak malam turun, Elyra tidak bergerak dari sisi Avner. Lampu terapi yang ia bawa masih menyala, memancarkan cahaya keemasan yang lembut, memberikan sedikit kehangatan di antara dinginnya ruangan rumah sakit. Avner sudah tertidur sejak beberapa jam lalu, napasnya naik turun dengan ritme yang semakin pelan.

Elyra menatap wajahnya. Tulang pipinya tampak lebih menonjol dari sebelumnya, kulitnya semakin pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Namun, di balik itu semua, ada ketenangan yang hampir menyesakkan.

Sementara itu, di luar, hujan mulai turun. Butirannya mengetuk pelan jendela kamar, menciptakan irama samar yang menemani keheningan mereka. Elyra menarik napas dalam-dalam, berusaha menekan sesuatu yang menyesak di dadanya.

“Lyra…”

Suara lirih Avner membuatnya tersentak. Ia segera mendekat, menatap mata redup yang perlahan terbuka.

“Kamu nggak tidur?” tanya Elyra pelan.

Avner menggeleng lemah. “Aku nggak mau tidur.”

“Kamu harus istirahat.”

“Aku takut.”

Kata-kata itu begitu lirih, nyaris tertelan suara hujan di luar. Elyra menelan ludah, tangannya menggenggam jemari Avner yang terasa semakin dingin.

“Takut kenapa?” tanyanya hati-hati.

Avner terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Kalau aku tidur… aku takut nggak bisa bangun lagi.”

Elyra merasakan sesuatu menghantam dadanya dengan keras. Rasa takut, sedih, dan perasaan tak berdaya bercampur menjadi satu. Tapi ia menahan dirinya, tidak boleh menangis. Tidak sekarang.

“Kamu bakal bangun,” ucapnya, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia kira. “Kamu bakal tetap di sini. Aku bakal pastiin itu.”

Avner tersenyum kecil, meski tampak lelah. “Kamu selalu ngomong kayak gitu…”

Elyra menunduk, menekan jemari Avner lebih erat. “Karena aku mau kamu percaya.”

Avner tidak menjawab. Ia hanya menatap Elyra dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang menahan Elyra untuk tidak berpaling.

“Kalau aku nggak ada nanti…” Avner berhenti sejenak, menarik napas dengan susah payah. “Kamu bakal baik-baik aja, kan?”

Elyra menutup matanya erat, menahan air mata yang hampir jatuh. “Jangan ngomong kayak gitu.”

“Tapi aku harus.”

Elyra membuka matanya, menatap Avner dengan kemarahan yang bercampur kesedihan. “Kamu nggak harus.”

Avner tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya perlahan, menyentuh pipi Elyra dengan jemari yang lemah. Sentuhan itu nyaris tak terasa, tapi cukup untuk membuat Elyra kehilangan kendali.

Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh.

“Kamu nggak boleh pergi, Ver…” suara Elyra pecah, hampir seperti bisikan. “Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu.”

Avner menghela napas, tatapannya tetap hangat meski tubuhnya semakin lemah. “Kamu bisa.”

Elyra menggeleng keras. “Nggak bisa.”

“Tapi kamu harus.”

Elyra menggigit bibirnya, menahan isakan yang ingin keluar. Ia ingin berteriak, ingin memaksa Avner untuk tetap tinggal. Tapi ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan.

Mereka hanya manusia. Dan manusia tidak bisa melawan waktu.

“Kalau aku nggak ada nanti…” Avner mengulang, kali ini suaranya semakin pelan. “Jangan lupain aku, ya?”

Elyra menunduk, air matanya jatuh satu per satu di punggung tangan Avner.

“Kamu bodoh,” bisiknya. “Aku mana mungkin bisa lupa.”

Avner tersenyum, lalu menutup matanya perlahan.

Elyra menggenggam tangannya erat, berharap waktu bisa berhenti di sini. Tapi jam di dinding terus berdetak, hujan di luar tetap turun, dan kenyataan terus berjalan tanpa belas kasihan.

Matahari tak terbit hari ini.

Dan mungkin, esok pun tidak akan terbit lagi.

 

Matahari Terakhir

Pagi datang tanpa cahaya. Langit masih kelabu, matahari enggan menampakkan diri, seolah ikut berduka.

Elyra duduk di kursi yang sama, di sisi ranjang Avner, dengan tangan yang masih menggenggam jemari lemah itu. Ia tidak tahu kapan terakhir kali ia berkedip atau menarik napas panjang. Semuanya terasa hampa.

Avner masih di sana, masih bernapas, tapi napasnya semakin pelan. Seolah setiap helaannya adalah perjuangan. Matanya sesekali terbuka, tapi lebih sering tertutup.

“Kamu masih di sini, ‘kan?” suara Avner begitu lirih, nyaris tenggelam dalam kebisuan kamar itu.

Elyra tersenyum kecil, meski matanya sembab. “Aku nggak kemana-mana.”

Avner mengangguk lemah. Jemarinya bergerak pelan, berusaha menggenggam balik tangan Elyra, tapi tenaganya sudah habis. Elyra merasakan jemari itu semakin dingin.

“Lyra…” panggil Avner pelan.

“Hm?”

“Kamu ingat nggak, waktu kita kecil dulu, kita sering baringan di lapangan belakang rumahku? Lihat langit, tebak-tebak bentuk awan…”

Elyra mengangguk, menahan getaran di suaranya. “Aku ingat.”

Avner menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. “Aku selalu suka langit pagi.”

Langit pagi. Elyra menoleh ke jendela. Langit hari ini tidak biru, tidak ada matahari yang menyinari dunia dengan kehangatannya. Hanya mendung, gelap, seolah alam pun tahu bahwa ini bukan hari yang biasa.

Avner tiba-tiba berusaha menggerakkan tangannya, meski lemah. Elyra buru-buru membantu, membiarkan tangan Avner menyentuh wajahnya. Jemari itu dingin, nyaris tak bernyawa.

“Kamu tahu nggak… kenapa aku selalu suka langit pagi?” tanya Avner pelan.

Elyra menggeleng, meski ia tahu Avner mungkin tidak akan bisa melihatnya dengan jelas.

“Karena… pagi selalu kasih kesempatan baru. Sekalipun hari kemarin buruk… pagi selalu datang.” Avner tersenyum kecil, meski suaranya semakin pelan. “Pagi itu… harapan.”

Elyra menggigit bibirnya, menahan isakan yang ingin pecah. “Tapi pagi ini mataharinya nggak ada, Ver…”

Avner terdiam, seolah mencerna kata-kata itu. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, ia berkata, “Nggak apa-apa.”

Elyra menatapnya, matanya berkabut oleh air mata.

“Kalau aku nggak bisa lihat matahari lagi…” Avner berhenti sejenak, matanya menatap Elyra dengan penuh ketenangan. “…setidaknya aku masih bisa lihat kamu.”

Air mata Elyra jatuh. Ia ingin bicara, ingin menjawab, tapi tenggorokannya terasa seperti tercekik.

Avner tersenyum sekali lagi. Senyum yang begitu damai.

Dan saat itulah, napasnya berhenti.

Tangannya, yang semula menggenggam wajah Elyra, perlahan jatuh ke sisi ranjang.

Jantung Elyra seakan ikut berhenti.

“Avner?” suaranya bergetar. “Ver?”

Tidak ada jawaban.

Bunyi mesin di sebelah ranjang Avner mulai memanjang, garis hijau yang semula naik turun kini lurus sempurna.

Elyra terdiam. Dunia seakan berhenti berputar.

Tidak ada matahari hari ini.

Dan mungkin, untuknya, matahari tidak akan pernah terbit lagi.

 

Kadang, kehilangan itu nggak selalu ditandai sama air mata yang deras atau teriakan yang pecah. Kadang, kehilangan datang dalam bentuk diam. Dalam bentuk langit yang tetap mendung, dalam bentuk matahari yang nggak pernah terbit lagi buat seseorang.

Dan buat Elyra, pagi yang dulu selalu jadi harapan… sekarang cuma jadi pengingat bahwa seseorang yang dia sayang nggak akan pernah ada lagi di bawah langit yang sama. Matahari mungkin masih terbit buat dunia. Tapi buat dia, sinarnya udah padam selamanya.

Leave a Reply