Menunggu Giliran yang Tak Pernah Datang: Sebuah Cerita Tentang Kesabaran dan Ketidakadilan

Posted on

Pernah nggak sih, nunggu sesuatu yang harusnya datang ke kamu, tapi sampai dunia hampir kiamat pun nggak kunjung tiba? Rasanya kayak jadi karakter figuran di hidup sendiri, cuma bisa duduk manis sambil nonton orang lain dapet giliran duluan, meskipun jelas-jelas kamu datang lebih awal.

Nah, kalau kamu pernah ngerasain itu—atau bahkan lagi ada di fase itu sekarang—cerita ini mungkin bakal bikin kamu manggut-manggut sambil ngelus dada. Siap-siap aja, karena ini bukan sekadar cerita tentang nunggu… tapi tentang sesuatu yang mungkin nggak akan pernah sampai.

 

Menunggu Giliran yang Tak Pernah Datang

Angka Yang Tak Pernah Disebut

Di ruangan itu, kursi-kursi plastik berjejer rapi, sebagian sudah ditempati oleh orang-orang yang menunggu dengan wajah bosan. Beberapa sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain menggoyangkan kaki dengan gelisah. Di sudut kiri, seorang pemuda duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya menggenggam erat selembar kertas kecil yang sudah lecek. Nomor antreannya tercetak di sana, seakan mengejeknya.

“Lima puluh tujuh.”

Suara mekanis dari pengeras suara menggema di seluruh ruangan. Seorang pria paruh baya dengan kemeja kusut langsung berdiri, berjalan ke meja petugas dengan langkah mantap. Pemuda di sudut itu tidak bergeming, hanya menghela napas panjang. Nomornya masih jauh.

Di belakangnya, seorang anak kecil merengek minta pulang. Ibunya mencoba menenangkan, tapi suara tangisnya semakin keras. Seorang petugas yang bertugas di meja penerimaan menghela napas, tampak sedikit terganggu.

“Bentar lagi, Dek, ya?” suara ibunya lembut, tapi penuh kelelahan. “Antrean kita bentar lagi.”

Pemuda itu melirik sekilas. Nomor antrean si ibu terpampang jelas di layar—enam puluh satu.

Dia menunduk, melihat nomornya sendiri. Tujuh puluh dua.

Lagi-lagi jauh.

Seorang pria dengan kaos lusuh di sebelahnya bergumam, suaranya terdengar jelas di tengah suasana yang mulai riuh. “Gila lama banget, ya. Harusnya dari tadi aku makan dulu.”

Seorang pemuda lain yang duduk tak jauh darinya menyahut. “Iya, makanya tadi aku makan dulu sebelum ke sini. Biar nggak uring-uringan.”

Pemuda di sudut itu tetap diam, tetapi pikirannya bergemuruh. Dia bahkan belum makan sejak pagi. Tapi kalau dia pergi sekarang, bagaimana kalau gilirannya tiba-tiba dipanggil? Meski, sejauh ini, sepertinya itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Papan digital kembali menyala.

“Lima puluh delapan.”

Seseorang di barisan depan berdiri. Pemuda itu menghela napas lagi, memperbaiki posisi duduknya.

Di seberang ruangan, seorang pria dengan kemeja rapi dan sepatu mengkilap baru saja masuk. Ia menghampiri meja penerimaan dengan langkah percaya diri, menyerahkan selembar kertas kepada petugas.

Dan dalam waktu kurang dari dua menit—

“Enam puluh lima.”

Tatapan pemuda di sudut itu menegang. Alisnya berkerut. Tunggu. Enam puluh lima?

Dia menoleh ke kanan dan kiri, seakan mencari konfirmasi dari orang lain. Beberapa orang yang juga menunggu tampak saling pandang, tapi tak ada yang benar-benar peduli. Seorang pria paruh baya berdiri, mendatangi meja petugas dengan ekspresi santai.

Pria itu bahkan baru saja datang.

Pemuda di sudut itu meremas lembaran antreannya. Rasanya ingin bertanya. Kenapa bisa begitu? Bukankah seharusnya nomor dipanggil berurutan? Tapi suaranya seakan tertahan di tenggorokan.

Seorang wanita muda di sebelahnya tampaknya juga menyadari hal yang sama. “Kok… lompat, ya?” gumamnya pelan.

Pria di sampingnya, yang sedang memainkan ponsel, hanya menoleh sekilas sebelum kembali sibuk dengan layar. “Mungkin dia punya orang dalam.”

Wanita itu mendecak pelan. “Kalau gitu, percuma dong kita ngantre dari pagi.”

Pemuda di sudut itu tidak ikut berkomentar. Dia hanya menatap kosong ke depan, pikirannya mengembara.

Takdir seolah selalu seperti ini padanya. Dalam banyak hal, dia selalu menunggu lebih lama dari yang seharusnya. Entah itu dalam antrean, dalam kehidupan, atau dalam hal-hal lain yang lebih besar.

Dan sekarang, dia kembali menunggu. Menunggu angka kecil di kertas kusut itu disebut—meski, untuk kesekian kalinya, ia merasa itu tak akan pernah terjadi.

 

Kursi Yang Terlalu Lama Ditempati

Waktu bergerak, tapi angka di tangannya tetap terasa jauh. Pemuda itu masih duduk di tempat yang sama, di kursi yang sudah mulai terasa lebih keras dari sebelumnya. Punggungnya mulai pegal, dan kedua kakinya sudah berkali-kali bergeser mencari posisi yang lebih nyaman.

Di seberang, orang-orang terus datang dan pergi. Wajah-wajah baru muncul dengan ekspresi bosan, beberapa mengeluh pelan, beberapa hanya menatap kosong ke layar ponsel. Tapi ada satu hal yang selalu sama—mereka yang datang belakangan, entah bagaimana, lebih cepat mendapat giliran.

“Enam puluh sembilan.”

Papan digital menyala lagi, dan seorang wanita dengan blazer hitam berdiri, berjalan menuju meja petugas dengan langkah santai. Pemuda itu melirik ke tangannya. Tujuh puluh dua.

Sudah dekat. Setidaknya, itu yang ia pikir.

Ia menengadah ke langit-langit, menarik napas panjang. Perutnya mulai terasa kosong, tapi dia tetap tidak berani pergi. Bukan hanya soal takut gilirannya terlewat, tapi lebih karena… ini sudah terlalu lama. Kalau dia bangkit sekarang, rasanya seperti menyerah setelah sejauh ini bertahan.

Di bangku sebelah, pria yang tadi mengeluh soal lapar kini kembali menggerutu. “Lama banget, ya ampun. Gua harusnya tadi ke tempat lain aja.”

Seorang wanita di depannya menyahut tanpa menoleh, suaranya datar. “Makanya, jangan berharap banyak. Udah biasa ini.”

Pemuda itu tidak menyela percakapan mereka, tapi kata-kata wanita itu terngiang di kepalanya. Udah biasa ini.

Mungkin benar.

Mungkin memang begini cara kerja dunia. Ada orang-orang yang selalu berada di posisi terakhir, yang harus menunggu lebih lama, yang tak pernah benar-benar mendapat giliran pada waktu yang seharusnya.

“Enam puluh sembilan.”

Mereka mengulang angka yang sama. Tak ada yang berdiri. Rupanya, orangnya sudah pergi.

Pemuda itu sedikit menegakkan badan. Kalau satu angka dilewati, berarti gilirannya makin dekat, kan?

Tapi kemudian, suara petugas berbicara dengan nada santai, “Baik, kita lanjut ke tujuh puluh.”

Dan detik berikutnya, seseorang yang baru saja masuk beberapa menit lalu berdiri dengan percaya diri, berjalan ke meja petugas seolah sudah tahu itu akan terjadi.

Pemuda itu hanya menatap.

Bibirnya sedikit terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tetap tak keluar. Tangannya meremas lembaran nomor antrean, seakan bisa meremas juga perasaan yang bergejolak di dadanya.

Ia ingin protes. Ia ingin menuntut keadilan. Tapi… kepada siapa?

Seorang pria tua di kursi dekat pintu tampak ikut menyadari ada yang tidak beres. Ia menoleh ke arah pemuda itu, mengamati angka yang ada di tangannya sebelum berdeham pelan.

“Kamu dari tadi nunggu, ya?”

Pemuda itu mengangguk kecil.

Pria tua itu menyandarkan tubuh ke kursinya, mendecak pelan. “Sudah kuduga. Kadang memang gitu. Yang harusnya dipanggil malah dilewatin.”

Pemuda itu mengeratkan rahangnya. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Pria tua itu tersenyum tipis, tapi senyum yang entah kenapa terasa begitu pahit. “Mungkin memang bukan giliran kita, Nak.”

Pemuda itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap angka di kertasnya sekali lagi.

Dua angka lagi.

Tapi entah kenapa, rasanya seperti masih seribu langkah jauhnya.

 

Satu Persatu Mereka Pergi

Udara di ruangan itu semakin terasa berat. Pendingin ruangan masih bekerja, tapi tak cukup menenangkan kegelisahan yang makin menggumpal di dada pemuda itu. Satu per satu orang yang menunggu mulai bangkit, bukan karena giliran mereka dipanggil, tapi karena mereka menyerah.

Seorang ibu yang sejak tadi menenangkan anaknya akhirnya berdiri dengan ekspresi pasrah. “Udah, Dek, kita pulang aja,” katanya lelah. Anak kecil di gendongannya masih sesenggukan, matanya sembab karena terlalu lama menangis.

Tak lama, pria di kursi sebelahnya ikut berdiri. “Gua cabut, ah. Males banget nunggu ginian.”

Satu per satu mereka pergi, tapi pemuda itu tetap bertahan.

Layar digital kembali menyala.

“Tujuh puluh satu.”

Pemuda itu menegakkan punggungnya, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Satu angka lagi. Tinggal satu.

Seorang wanita muda berdiri dan berjalan menuju meja petugas. Kali ini tidak ada yang mendahului. Tidak ada yang menyelak. Tidak ada yang tiba-tiba mendapat prioritas lebih.

Haruskah dia lega?

Atau haruskah dia tetap waspada?

Tangannya sedikit gemetar. Sudah berapa lama ia menunggu? Dua jam? Tiga jam? Atau lebih? Ia tak berani melihat jam. Tak ingin tahu seberapa banyak waktu yang sudah hilang.

Saat wanita di meja petugas selesai dan mulai berjalan keluar, pemuda itu mengatur napasnya. Ia bersiap. Ia tahu setelah ini gilirannya.

Layar digital menyala lagi.

Dan seharusnya itu adalah nomornya.

Seharusnya.

Tapi suara dari pengeras suara menyebut angka lain.

“Tujuh puluh lima.”

Sekujur tubuhnya menegang. Matanya melebar.

Dia menoleh ke sekeliling, berharap ada orang lain yang menyadari ini. Tapi yang tersisa di ruangan ini hanya orang-orang yang terlalu letih untuk peduli.

Orang yang baru masuk beberapa menit lalu berdiri, melangkah ke meja petugas dengan santai. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang bertanya. Tidak ada yang merasa ada yang salah.

Pemuda itu masih duduk di tempatnya.

Giginya mengerat. Dadanya sesak. Suara-suara di kepalanya berteriak, menuntutnya untuk bicara, untuk menuntut haknya, untuk bertanya kenapa ini bisa terjadi lagi dan lagi.

Tapi mulutnya tetap terkunci.

Seseorang menepuk bahunya.

Pria tua yang tadi sempat berbicara dengannya menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Kadang memang begini, Nak.”

Pemuda itu tetap diam.

“Kamu masih mau nunggu?” tanya pria tua itu dengan suara pelan.

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada layar digital yang terasa semakin jauh dari jangkauannya.

Ia ingin mengatakan iya. Ingin bilang bahwa ia sudah sejauh ini, bahwa ia tidak akan menyerah, bahwa ia akan menunggu sampai gilirannya benar-benar tiba.

Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya, kursi yang ia duduki terasa begitu dingin. Begitu kosong.

Begitu… tidak ada gunanya.

 

Giliran Yang Tak Pernah Datang

Layar digital menyala lagi.

“Tujuh puluh enam.”

Pemuda itu tidak lagi terkejut. Tidak lagi berharap. Tidak lagi merasa perlu mencari alasan kenapa gilirannya kembali terlewati.

Ia hanya diam.

Orang-orang yang datang lebih belakangan terus berdiri satu per satu, melangkah dengan ringan seolah memang begitulah seharusnya dunia berjalan—dengan memberikan giliran kepada mereka yang lebih beruntung, kepada mereka yang sepertinya selalu tahu jalan pintas ke garis depan.

Pemuda itu masih di tempatnya.

Di sudut ruangan, pria tua yang tadi menepuk bahunya sudah bangkit dari kursinya, bersiap untuk pergi.

“Kamu yakin masih mau nunggu?” tanyanya sekali lagi, suaranya terdengar seperti nasihat terakhir dari seseorang yang sudah terlalu paham bagaimana sistem ini bekerja.

Pemuda itu membuka mulutnya, ingin menjawab.

Tapi entah kenapa, tidak ada kata yang keluar.

Tangannya masih menggenggam nomor antrean yang sekarang terasa begitu sia-sia. Tujuh puluh dua. Angka itu tetap sama. Tidak berubah. Tidak pernah dipanggil.

Ia melihat sekeliling. Ruangan yang tadinya penuh kini hampir kosong. Orang-orang sudah pergi, entah karena urusan mereka sudah selesai, atau karena mereka lelah menunggu dan akhirnya memilih menyerah.

Hanya dia yang masih duduk di sini.

Seorang petugas melintas, berjalan ke arah layar digital. Ia mengetuk beberapa tombol di perangkat kecil yang ada di mejanya, lalu berbicara melalui pengeras suara.

“Kami tutup antrean untuk hari ini. Terima kasih.”

Pemuda itu menatap layar digital yang kini padam. Tidak ada lagi angka yang muncul. Tidak ada lagi giliran yang dipanggil.

Dan itu artinya—

Tidak akan ada giliran untuknya.

Sama sekali.

Tangannya mengeratkan genggaman pada lembaran angka di tangannya, tapi ia tahu, tidak ada gunanya lagi.

Ia terlambat. Atau mungkin… ia memang tidak pernah benar-benar ada dalam daftar giliran itu sejak awal.

Tidak ada yang memperhatikannya saat ia akhirnya bangkit dari kursinya. Tidak ada yang peduli bahwa masih ada satu orang yang seharusnya mendapat kesempatan. Tidak ada yang tahu bahwa seseorang telah duduk di sana selama berjam-jam, hanya untuk akhirnya pulang dengan tangan kosong.

Pemuda itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan kursi yang telah begitu lama ia tempati.

Di luar, langit sudah gelap.

Angin malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk, seolah ingin mengingatkannya bahwa dunia di luar tidak akan jauh berbeda dari apa yang baru saja ia lalui.

Bahwa akan selalu ada orang-orang yang menunggu.

Menunggu giliran yang tak pernah datang.

Dan mungkin, selamanya akan tetap begitu.

 

Jadi, begitulah. Kadang dunia tuh emang kejam. Ada orang yang nunggu sebentar, langsung dapet. Ada yang nunggu lama, tapi tetap nggak kebagian. Dan ada juga yang akhirnya sadar… mungkin, dari awal, dia memang nggak pernah masuk daftar antrean.

Sedih? Banget. Tapi ya mau gimana? Hidup nggak selalu adil. Dan buat mereka yang masih nunggu giliran yang entah kapan datangnya… semoga aja kalian lebih beruntung dari dia.

Leave a Reply