Daftar Isi
Masa SMA tuh katanya masa paling indah? Hah, siapa yang ngomong? Buat sebagian orang, iya. Tapi buat sebagian lagi, masa SMA itu neraka yang berseragam. Ada yang ketawa-ketiwi sama gengnya, ada juga yang jalan sendirian di lorong sekolah sambil nunduk, takut jadi sasaran iseng anak-anak sok jagoan.
Yang satu jadi raja, yang satu jadi bayangan. Dan kalau udah masuk ke posisi bayangan, keluar dari sana tuh lebih susah daripada ngerjain soal Matematika Senin pagi. Tapi kalau kamu kira cerita ini bakal berakhir kayak film sedih murahan, kamu salah. Karena langit yang kelam gak akan selamanya gelap.
Kenangan Buruk di SMA
Langkah Pertama Menuju Neraka
Langit masih abu-abu saat Aksa melangkah memasuki gerbang sekolah. Bau aspal basah dari hujan semalam masih tercium samar. Sepatu hitamnya yang sudah mulai usang sedikit terbenam di genangan kecil di depan gerbang. Ia menunduk, memperhatikan ujung celananya yang basah. Bukan hal besar, hanya satu dari sekian banyak hal menyebalkan yang akan terjadi hari ini.
Di sekelilingnya, anak-anak lain datang bergerombol. Tawa mereka menggema di udara, obrolan mereka berhamburan di sepanjang jalan masuk. Ada yang membahas tugas matematika, ada yang membicarakan film yang baru tayang semalam, ada juga yang sekadar bercanda tentang hal-hal tak penting.
Aksa tak punya siapa-siapa untuk diajak bicara.
Langkahnya cepat, mencoba mencapai kelas sebelum hal buruk terjadi. Tapi rencana itu gagal total.
“Aksa!”
Suara berat itu langsung membuat tengkuknya meremang. Ia berhenti. Bukan karena ingin, tapi karena sudah terlalu sering mengalami ini. Kalau ia berlari, mereka hanya akan mengejarnya. Kalau ia pura-pura tak dengar, mereka akan menarik kerahnya.
Perlahan, ia menoleh.
Arya berjalan ke arahnya dengan langkah santai, diikuti dua temannya, Dika dan Reno. Semua dengan wajah yang sama: wajah orang yang menikmati penderitaan orang lain.
“Tumben dateng pagi,” kata Arya, menepuk bahu Aksa cukup keras. “Biasanya suka telat, ya?”
Aksa tak menjawab. Ia tahu ini bukan pertanyaan yang benar-benar butuh jawaban.
Dika menyenggol Arya. “Eh, mungkin dia nggak bisa tidur karena excited mau ketemu kita.”
Arya tertawa pendek. “Iya, bisa jadi. Kamu kangen, nggak, Aksa?”
Aksa masih diam. Bukan karena takut—meskipun ketakutan sudah menjadi bagian dari hidupnya—tapi karena ia tahu, tidak peduli apa pun yang ia katakan, mereka akan tetap melanjutkan ini.
Reno menghela napas dramatis. “Diem aja, nih. Kamu ini kalau ngomong tuh bisa, kan? Atau jangan-jangan kacamata tebel itu bikin kamu susah denger?”
Tangan Reno terangkat, mencabut kacamata Aksa dengan kasar. Dunia Aksa langsung buram.
“Haha! Gila, mata kamu minus berapa, sih? Segede pantat botol ini,” kata Dika sambil tertawa.
Arya menggeleng pelan, pura-pura prihatin. “Kasihan banget, hidup kamu berat, ya, Aksa? Udah culun, nggak punya temen, sekarang buta pula.”
Reno berjongkok, menatap Aksa dari bawah. “Mau balikin kacamatanya?”
Aksa menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Balikin,” katanya lirih.
“Lah, minta dong yang bener,” kata Dika, menggoyang-goyangkan kacamata itu di ujung jarinya. “Mana suaranya? Kamu kan bisa ngomong, kan?”
Aksa diam.
Sebuah tangan tiba-tiba menyambar tasnya, menariknya ke belakang hingga tubuhnya sedikit terhuyung.
“Ayo, balikin kalau dia bisa minta dengan sopan,” kata Arya.
“Ya udah, ngomong dong. Aku mohon, balikin kaca mataku,” Dika menirukan suara memelas, yang diikuti tawa mereka bertiga.
Aksa menggigit bibirnya. Ia ingin mengambil kacamatanya, tapi Dika lebih tinggi darinya. Lebih kuat. Mereka semua lebih kuat.
Seorang guru melintas di ujung koridor. Aksa berharap mereka akan berhenti, tapi tidak. Mereka hanya pura-pura berdiri santai, berpura-pura bercanda.
Saat guru itu sudah pergi, Arya menyeringai.
“Denger ya, Aksa. Kita ini baik banget mau ngajarin kamu sopan santun. Coba ulang lagi.”
Aksa menatap kacamata yang masih digenggam Dika. Kepalanya sakit karena harus memicingkan mata terlalu lama.
“Siniin kacamataku,” katanya, nadanya lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Arya tertawa. “Oh, dia mulai berani.”
Lalu, sebelum Aksa bisa melakukan apa pun, Reno meraih kacamata itu dari tangan Dika dan melemparkannya.
Bukan ke tangan Aksa.
Tapi ke arah keran air yang bocor di ujung lapangan.
Aksa berbalik, ingin mengejar, tapi Arya menahannya dengan menepuk bahunya keras. “Santai, santai. Itu latihan buat kamu, supaya lebih cepat refleksnya.”
Tawa mereka meledak lagi saat Aksa berlari ke arah kacamata yang kini basah kuyup di bawah pancuran air.
Tangan Aksa gemetar saat ia mengambilnya. Lensa sebelah kanan retak.
Hari ini baru saja dimulai.
Dan neraka yang sama masih menunggunya di dalam kelas.
Koridor Yang Tak Pernah Ramah
Aksa duduk di bangkunya, membiarkan air dari kacamata yang masih setengah basah menetes ke bukunya. Kelas sudah hampir penuh, suara obrolan dan tawa memenuhi ruangan, tapi semua itu terasa seperti dengungan tak berarti di telinganya.
Kacamata yang retak membuat dunia terlihat pecah, seolah ada garis halus yang membagi hidupnya menjadi dua: sebelah kanan yang jernih, sebelah kiri yang rusak.
“Eh, lihat tuh, si culun nangis.”
Aksa menghela napas. Ia tidak menangis, tapi mungkin matanya memang terlihat seperti itu setelah berusaha keras menahan semuanya sejak tadi. Suara itu datang dari Ravi, salah satu siswa yang hobi ikut-ikutan. Ia bukan bagian dari geng Arya, tapi selalu berusaha mendapatkan perhatian mereka dengan cara yang sama.
“Pagi-pagi udah drama, bro,” Ravi berseru, membuat beberapa orang menoleh dan cekikikan.
Aksa mengabaikan. Percuma.
Tak lama kemudian, Pak Rian masuk ke kelas. Keributan sedikit mereda, meskipun beberapa orang masih berbisik-bisik. Aksa menegakkan punggung, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman yang seperti bayangan gelap di sekelilingnya.
Pak Rian mulai menjelaskan pelajaran matematika. Aksa sebenarnya menyukai matematika, tapi hari ini pikirannya terlalu berantakan untuk bisa fokus. Angka-angka di papan tulis terlihat kabur karena kacamata yang retak. Ia berusaha mencatat, tapi garis di lensanya membuat tulisan di buku terlihat aneh.
Lalu sesuatu mendarat di mejanya. Sebuah kertas kusut yang dilempar dari belakang.
Pelan, ia membuka lipatannya.
“Pinjam dong kacamatanya. Gue mau lihat dunia dari perspektif orang menderita.”
Tawa kecil terdengar di belakangnya. Ia tahu ini pasti ulah Arya atau salah satu temannya.
Aksa meremas kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku.
Tapi mereka belum selesai.
Sebuah bola kertas lagi menghantam kepalanya. Kali ini ia tak membukanya. Ia hanya diam, menahan napas, mencoba menahan diri.
“AKSA!”
Ia tersentak. Semua mata kini tertuju padanya.
Pak Rian berdiri di depan kelas dengan tangan bersedekap. “Kenapa kamu tidak mencatat? Atau kamu bahkan tidak mendengarkan?”
Aksa menunduk. “Maaf, Pak.”
“Sini, kamu yang mengerjakan soal ini.”
Aksa menggigit bibirnya. Matanya menyipit mencoba membaca angka-angka di papan tulis. Tapi bayangan retak di lensanya membuat semuanya terlihat tumpang tindih.
Ia berdiri perlahan dan berjalan ke depan.
Di belakangnya, Arya berbisik pelan.
“Kita lihat seberapa jenius si culun ini tanpa kacamata ajaibnya.”
Aksa menggenggam spidol di tangannya. Tangannya berkeringat. Angka-angka di papan putih terasa seperti simbol tak beraturan. Ia mencoba berpikir, mengingat rumus, tapi pikirannya berputar tak tentu arah.
“Cepat, Aksa.” Suara Pak Rian terdengar tak sabar.
Tawa kecil terdengar dari bangku belakang. Aksa menarik napas. Ia menuliskan jawabannya. Tidak yakin. Tidak benar-benar melihat.
Saat ia melangkah mundur, tawa semakin keras.
“Jawabannya salah.”
Pak Rian menghela napas. “Kamu biasanya tidak seperti ini, Aksa. Lebih fokus lagi.”
Aksa ingin berteriak.
Bukan salahnya. Bukan karena ia tidak fokus. Bukan karena ia tidak bisa. Tapi apa yang bisa ia lakukan dengan dunia yang setengah hancur di depan matanya?
Ia berjalan kembali ke bangkunya. Saat melewati Arya, seseorang menyodok pinggangnya dengan lutut. Ia tersandung sedikit, hampir jatuh.
“Ups,” bisik Dika. “Refleksnya payah.”
Aksa duduk tanpa suara. Di depannya, halaman bukunya tetap kosong.
Di luar kelas, koridor sekolah terasa semakin panjang dan gelap.
Dan jam pelajaran baru saja dimulai.
Pukulan Pertama Selalu Yang Terberat
Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswa berhamburan keluar kelas seperti kawanan burung yang baru saja dilepaskan dari sangkar. Suara mereka memenuhi lorong sekolah, bercampur dengan derit pintu yang terbuka dan tertutup.
Aksa tetap duduk di bangkunya. Tangannya meremas ujung meja, seolah bisa menahan dirinya agar tidak hanyut dalam arus keramaian di luar. Perutnya lapar, tapi ia tidak ingin pergi ke kantin. Kantin adalah tempat paling berisik dan penuh orang, tempat di mana ia selalu menjadi target empuk.
Dari sudut matanya, ia melihat Ravi, Dika, dan Arya berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu apa artinya tatapan itu.
Aksa mengambil tasnya dan berdiri. Kalau ia cepat, mungkin bisa menghindari mereka.
Tapi harapannya langsung hancur begitu langkahnya keluar kelas.
Sebuah tangan kasar mencengkeram bahunya dari belakang.
“Eh, si kutu buku mau ke mana?” suara Arya terdengar santai, tapi cengkeraman di bahunya lebih dari sekadar main-main.
Aksa menelan ludah. “Aku mau ke perpustakaan.”
“Perpustakaan?” Arya menyeringai. “Ngapain? Mau cari cara supaya bisa lihat dunia dengan lebih jelas?”
Tawa kecil terdengar dari Dika dan Ravi di belakangnya.
Aksa ingin menarik diri, tapi genggaman Arya semakin erat.
“Kita ngobrol dulu bentar, santai aja.” Arya menepuk pundaknya dengan kuat, seolah mereka teman dekat. “Lu tahu, kita tuh perhatian sama lu. Sayang banget lihat anak pinter kayak lu jadi pecundang.”
“Bukan urusan kalian,” suara Aksa pelan, tapi cukup terdengar.
Arya dan teman-temannya saling berpandangan, lalu tertawa kecil.
“Oh? Bukan urusan kita?” Ravi menirukan nada suara Aksa dengan nada mengejek. “Denger tuh, dia udah berani ngomong sekarang.”
Aksa tahu ia sudah salah langkah.
Tangan Arya mencengkeram kerah seragamnya dan menariknya sedikit ke depan. Napasnya berbau permen karet, tapi Aksa bisa merasakan nada ancaman di baliknya.
“Kamu pikir bisa kabur terus, ya?”
Aksa tidak menjawab.
Dika menepuk bahunya, pura-pura bersahabat. “Jangan diem doang, lah. Kita cuma mau ngobrol, kok.”
Tapi Aksa tahu apa artinya ‘ngobrol’ bagi mereka.
Beberapa siswa lewat di lorong, tapi mereka hanya melirik sekilas sebelum buru-buru pergi. Tidak ada yang ingin ikut campur dalam urusan Arya dan gengnya.
Arya menoleh ke Dika dan Ravi. “Ayo, kita cari tempat lebih enak buat ngobrol.”
Mereka menyeret Aksa ke lorong belakang sekolah. Tempat yang sepi. Tidak ada guru, tidak ada murid lain. Hanya dinding kusam dan lantai yang berdebu.
Aksa mencoba memberontak, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat.
Arya mendorongnya ke dinding.
Dika menepuk pipinya dengan ringan, tapi Aksa tahu itu hanya gertakan sebelum pukulan sesungguhnya.
“Jadi gini, Aksa. Kita sebenernya suka kamu.” Arya bersandar di dinding seolah ini cuma obrolan biasa. “Tapi sayangnya, kamu terlalu… apa ya? Sok kuat?”
Ravi menirukan gaya bicara Arya. “Iya, sok berani.”
Aksa tetap diam. Ia tidak ingin memberikan reaksi yang mereka inginkan.
Tapi itu tidak menyelamatkannya.
Sebuah pukulan mendarat di perutnya.
Udara keluar dari paru-parunya dengan paksa.
Dika menepuk pundaknya lagi. “Eh, jangan lemes gitu dong. Baru juga pemanasan.”
Aksa mencoba menarik napas, tapi sebelum sempat bangkit, sebuah tendangan mengenai lututnya, membuatnya jatuh terduduk di lantai.
Arya berjongkok di depannya. “Kamu tahu kenapa kami selalu ‘peduli’ sama kamu?”
Aksa menggigit bibirnya, menahan rasa sakit.
“Karena kamu terlalu lemah.”
Satu pukulan lagi.
Gelap.
Saat Aksa sadar, mereka sudah pergi.
Hanya suara bel tanda akhir istirahat yang menggema di udara.
Dan tubuhnya yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
Ketika Langit Tak Lagi Kelabu
Aksa berdiri dengan tubuh gemetar, lututnya lemas, dan rasa nyeri menjalar di setiap inci tubuhnya. Napasnya pendek-pendek, seperti seseorang yang baru saja tenggelam terlalu lama di bawah air.
Lorong belakang sekolah kosong. Seperti biasa, tidak ada yang melihat. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang ingin melihat.
Pelan, ia meraba wajahnya. Bibirnya sedikit pecah, mungkin berdarah. Seragamnya kotor, berdebu, dan sedikit kusut akibat tarikan tadi. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa sesak di dadanya.
Langkahnya berat saat ia berjalan kembali ke kelas. Tidak ada yang bertanya kenapa ia terlambat. Tidak ada yang peduli kenapa wajahnya sedikit lebam. Semua berjalan seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi.
Hingga bel pulang berbunyi.
Aksa mengemasi bukunya dengan perlahan, menunggu kelas mulai kosong sebelum pergi. Namun, saat ia melangkah ke luar, suara yang familiar menghentikannya.
“Eh, Aksa!”
Ia menoleh. Arya dan gengnya berdiri di dekat gerbang sekolah, menunggunya.
Perutnya seakan terpelintir. Tidak lagi. Ia tidak ingin mengalami ini lagi.
Aksa menoleh ke arah lain, mencoba mencari rute lain untuk keluar, tapi langkah kakinya tiba-tiba berhenti ketika seseorang berdiri di hadapannya.
Bukan Arya.
Bukan Ravi atau Dika.
Melainkan seseorang yang tidak pernah ia sangka akan berdiri di sisinya.
“Gue udah muak lihat lo disiksa terus.”
Itu suara Tama.
Tama—cowok paling disegani di sekolah. Bukan tipe orang yang rajin belajar atau peduli soal nilai, tapi semua orang tahu satu hal: jangan macam-macam dengannya.
Arya dan gengnya terdiam sesaat. Bahkan mereka pun tidak ingin berurusan dengan Tama.
“Apa urusan lo?” Arya mencoba tetap tenang, tapi nada suaranya sedikit goyah.
Tama menyeringai, santai tapi penuh ancaman. “Lo pikir lo keren karena ngebully anak pendiem? Nih, sekarang gue di sini. Lo coba deh, pukul gue.”
Arya menelan ludah.
Tama melipat tangannya. “Gak berani?”
Ravi dan Dika melirik Arya, menunggu perintah. Tapi Arya tidak bicara apa-apa.
Dalam diam, mereka perlahan melangkah mundur.
“Udah ah, kita pergi aja,” gumam Ravi.
Arya masih menatap Tama dengan rahang mengatup rapat, tapi akhirnya ia membalikkan badan. Tanpa sepatah kata pun, mereka bertiga pergi.
Aksa berdiri di tempatnya, masih tercengang.
Tama menoleh padanya, memasukkan tangannya ke saku celana. “Lo gak bakal bisa terus diem aja.”
Aksa mengerjap.
“Gue gak bakal selalu ada buat nolongin lo.” Tama melanjutkan, suaranya terdengar lebih tenang. “Kalau lo terus diem, mereka bakal terus nginjek lo. Sampe kapan lo mau kayak gini?”
Aksa tidak menjawab.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang berdiri di sisinya.
Dan untuk pertama kalinya juga, ia bertanya-tanya…
Apakah ia harus terus menjadi bayangan yang tak bersuara?
Atau sudah waktunya ia melawan?
Langit sore di atasnya perlahan berubah warna. Biru kusam digantikan oranye yang hangat, seakan memberi pertanda bahwa malam yang gelap akan segera datang.
Tapi setelah malam, selalu ada fajar.
Dan mungkin, inilah saatnya untuk Aksa menemukan fajar dalam hidupnya sendiri.
Mereka pikir Aksa bakal terus diem, bakal terus jadi anak culun yang bisa diinjek-injek tanpa perlawanan. Tapi masalahnya, manusia tuh gak bisa selamanya diem. Bahkan anak paling pendiem sekalipun, kalau udah sampai titik terendahnya, bakal bangkit.
Dan sekarang, Aksa udah gak di titik terbawah lagi. Langit SMA yang dulu selalu kelabu, akhirnya mulai ada semburat warna lain. Gak langsung cerah, gak langsung biru bersih. Tapi setidaknya, udah gak segelap dulu. Karena yang namanya malam, selalu punya akhir. Dan setelahnya, fajar pasti datang.


