Daftar Isi
Dulu, waktu kecil tuh rasanya simpel banget, ya. Nggak ada yang lebih seru selain keliling kampung naik sepeda, meskipun kadang harus jatuh dulu buat belajar. Tapi, justru dari jatuh itulah kita belajar, kan?
Cerita kali ini bakal ngingetin kamu sama masa-masa itu, masa-masa bareng sepeda yang jadi teman sejati, meskipun nggak jarang harus ngelawan rintangan dulu. Siapa sangka, dari sepeda yang rusak, bisa muncul petualangan seru yang nggak bakal terlupakan!
Cerpen Masa Kecil
Kayuhan Pertama, Luka Pertama
Matahari masih menggantung rendah di langit, sinarnya menghangatkan jalanan desa yang berdebu. Udara pagi masih segar, belum tercampur aroma asap dapur atau bau ternak yang biasa memenuhi siang hari. Di sudut halaman rumah berdinding kayu itu, seorang bocah delapan tahun berdiri dengan tangan bertolak pinggang. Matanya menatap sepeda tuanya, Si Baja, dengan penuh tekad.
“Pokoknya hari ini aku harus bisa!” gumamnya.
Si Baja berdiri tegak dengan standar sampingnya, cat birunya sudah pudar, banyak bagian yang berkarat, dan sadelnya ada sedikit robekan. Sepeda itu bukan baru, bukan juga pemberian orang tua. Itu sepeda bekas peninggalan kakaknya yang kini sudah bekerja di kota.
Aksa menyeringai, menepuk-nepuk stang Si Baja seolah menenangkan sahabat lamanya. “Kita pasti bisa, kan?” katanya.
Setelah menarik napas dalam, ia menarik sepeda itu ke jalanan kecil di depan rumah. Jalan itu tidak mulus, ada batu-batu kecil dan tanah yang kering dan berdebu. Aksa tahu ini bukan tempat terbaik untuk belajar, tapi ini satu-satunya tempat yang ia punya.
Kaki kecilnya mulai naik ke pedal. Tangan kanannya menggenggam erat stang, sementara kaki kirinya masih menempel di tanah, ragu-ragu untuk mulai mengayuh. Ia mencoba mengingat bagaimana kakaknya dulu mengajarinya, tapi semuanya terasa jauh lebih sulit saat melakukannya sendiri.
“Ayo, ayo, kamu pasti bisa…” bisiknya.
Kayuhan pertama terasa berat. Ban depan sedikit oleng, tubuhnya ikut bergoyang, dan ia berusaha mati-matian menyeimbangkan diri. Tapi baru beberapa meter, roda depan menghantam batu kecil dan—
Bruk!
“Aduh!”
Aksa terguling ke tanah, debu mengepul di sekitarnya. Lututnya terasa perih, siku kanannya menggores kerikil, dan tangannya masih mencengkeram stang yang ikut terjatuh bersamanya. Ia meringis, meniup-niup luka kecil di lututnya.
“Duh… sakit,” keluhnya pelan.
Belum sempat ia berdiri, suara dari kejauhan terdengar. “Hahaha! Aku lihat kamu jatuh!”
Aksa mendongak, mendapati seorang anak perempuan berdiri di pagar rumah sebelah. Namanya Kirana, teman sebaya yang sering mengejeknya tapi diam-diam juga selalu memperhatikan.
“Kenapa kamu ketawa?!” Aksa mengerutkan dahi, kesal.
“Soalnya lucu! Baru juga naik sebentar, udah jatuh!” Kirana tertawa lagi, tangannya bertumpu di pinggang.
Aksa mendengus, berdiri sambil membersihkan debu dari celananya. “Biarin, aku latihan! Nanti juga bisa!”
Kirana masih terkikik. “Mau aku ajarin?”
“Enggak perlu! Aku bisa sendiri!” jawab Aksa cepat.
Kirana mengangkat bahu. “Ya udah, terserah kamu.”
Aksa kembali ke sepeda, menghela napas panjang. Kakinya kembali naik ke pedal, kali ini lebih berhati-hati. Tangannya menggenggam stang lebih kuat, matanya menatap ke depan. Ia mulai mengayuh lagi.
Satu kayuhan… dua kayuhan… tiga kayuhan…
“Yes! Aku bisa!” serunya.
Tapi, kebahagiaan itu cuma bertahan sekejap. Roda belakang kehilangan keseimbangan, tubuhnya oleng ke samping, dan—
Brak!
Untuk kedua kalinya, tubuhnya menghantam tanah. Kali ini lebih keras, lututnya semakin nyeri. Tapi yang lebih menyakitkan adalah melihat Si Baja yang tergeletak di tanah, stangnya sedikit bengkok.
Kirana yang tadi menahan tawa, kini malah terdiam. Ia menatap Aksa dengan ekspresi sedikit khawatir. “Eh… kamu nggak apa-apa?”
Aksa mengerang, menahan sakit di lengannya. “Aku nggak apa-apa… tapi Si Baja…”
Mata Kirana mengikuti pandangan Aksa. “Sepedamu kenapa?”
Stang Si Baja kini miring ke kiri, pedalnya tergores, dan rantainya terlepas. Hati Aksa mencelos. Itu bukan sekadar sepeda, itu sahabatnya. Ia berusaha berdiri, mengangkat Si Baja dengan pelan, tapi lututnya masih sakit.
Kirana mendekat, jongkok di samping Aksa. “Kayaknya rusak.”
Aksa menelan ludah, mengangguk pelan. “Aku harus benerin ini…”
Ia menyentuh stang sepeda dengan hati-hati, mencoba meluruskannya dengan tangan gemetar. Tapi itu tidak mudah. Pedal kanan terasa longgar, dan rantainya menggantung lepas. Ia tahu, memperbaikinya butuh lebih dari sekadar dorongan semangat.
Kirana diam sejenak sebelum berkata, “Kamu punya uang buat benerin?”
Aksa menggeleng, matanya masih menatap sepeda kesayangannya.
Kirana menghela napas. “Ya udah… kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.”
Aksa tidak menjawab, hanya menatap sepeda itu dengan perasaan campur aduk. Di dalam hatinya, ia tahu satu hal—Si Baja tidak boleh dibiarkan rusak. Ia harus mencari cara, harus memperbaikinya.
Dan saat itu juga, Aksa berjanji pada dirinya sendiri. Apa pun yang terjadi, sepeda ini akan kembali berjalan.
Si Baja dan Janji di Ujung Jalan
Aksa duduk di teras rumah dengan kaki terjulur, dagunya bertumpu di kedua lutut. Di depannya, Si Baja berdiri diam seperti prajurit yang kelelahan. Stangnya masih miring, rantainya terlepas, dan pedalnya longgar. Setiap kali melihat sepeda itu, ada rasa sesak di dadanya.
“Aku nggak bisa naik sepeda lain,” gumamnya.
Ia tidak pernah berpikir untuk meminta sepeda baru pada orang tuanya. Bukan karena mereka tak mampu membelikannya, tapi karena ia tahu, Si Baja lebih dari sekadar sepeda tua. Itu teman perjalanan, saksi dari luka dan tawa, dan satu-satunya hal yang selalu menemaninya saat ia tidak punya siapa pun.
Sore itu, Aksa mengambil keputusan. Si Baja harus diperbaiki.
Warung Pak Gono terletak di ujung jalan kampung, dekat bengkel tua tempat para bapak-bapak suka nongkrong sambil ngobrol politik atau harga pupuk. Aksa menghentikan langkahnya tepat di depan warung, lalu menjulurkan kepala ke dalam.
“Pak Gono, sepeda rusak bisa dibenerin di mana?” tanyanya.
Pak Gono menoleh dari balik etalase penuh permen dan roti kering. “Oh, coba ke bengkel si Mbah Karso. Tapi ya itu, ongkosnya lumayan kalau udah rusak parah.”
Aksa mengernyit. “Berapa kira-kira?”
Pak Gono mengangkat bahu. “Bisa dua puluh ribu kalau cuma rantai sama stang, tapi kalau pedalnya juga rusak, bisa lebih.”
Dua puluh ribu. Itu jumlah yang besar untuk anak kecil seperti Aksa. Ia menelan ludah, lalu mengangguk.
“Ya udah, makasih, Pak.”
Pak Gono tersenyum. “Mau beli permen dulu?”
Aksa menggeleng cepat. “Lagi nabung.”
Di perjalanan pulang, Kirana tiba-tiba muncul dari gang samping, berlari kecil menghampirinya. “Hei, sepeda kamu udah dibenerin?” tanyanya dengan nada penasaran.
Aksa mendesah. “Belum. Aku harus nabung dulu.”
Kirana menaikkan alis. “Nabung? Emang nggak ada cara lain?”
“Aku nggak mau minta ke Ibu atau Ayah.”
“Hmm…” Kirana mengelus dagunya, lalu tersenyum jahil. “Gimana kalau kamu kerja sama aku?”
Aksa menatapnya curiga. “Kerja apa?”
Kirana melipat tangan di dada. “Aku punya proyek besar. Kamu tahu kan, Bu Sari di rumah pojok? Dia suka minta tolong beli sayur di pasar. Kalau kita bisa ambilin pesanan beliau tiap pagi, pasti dikasih uang!”
Aksa berpikir sejenak. Itu bukan ide buruk. Tapi tetap saja…
“Kamu yakin kita bisa?”
Kirana mendengus. “Ya bisa lah! Cuma pergi ke pasar doang!”
Aksa menghela napas. “Baiklah. Aku butuh dua puluh ribu buat benerin Si Baja.”
Kirana tersenyum puas. “Berarti mulai besok kita jadi tim!”
Aksa tidak tahu apakah ini ide bagus atau tidak. Tapi satu hal yang pasti, demi Si Baja, ia akan melakukan apa pun.
Menabung untuk Sebuah Harapan
Pagi itu, Aksa dan Kirana sudah berdiri di depan rumah Bu Sari, siap untuk memulai proyek mereka. Aksa memegang keranjang belanja yang sudah setengah terisi dengan sayuran segar dari pasar. Kirana di sebelahnya memegang daftar belanjaan yang diberikan Bu Sari dengan serius, matanya meneliti tulisan di kertas itu seolah itu adalah peta harta karun.
“Udah, kita tinggal antar aja. Cepet selesai, cepet balik,” kata Kirana sambil menoleh ke arah Aksa yang tampak masih ragu.
“Aku… nggak tahu. Kalau ada yang nanya, gimana?” Aksa bertanya khawatir.
Kirana memutar bola matanya. “Ya bilang aja beli sayur, bukan hal aneh kan? Nggak usah ribet!”
Aksa mengangguk pelan, meski rasa cemas masih menggantung di pikirannya. Mereka berjalan dengan cepat menuju rumah Bu Sari yang terletak di ujung jalan. Rumah itu sederhana, dikelilingi pagar kayu yang sudah mulai rapuh, dengan tanaman rambat yang tumbuh menutupi sebagian dinding. Bu Sari selalu ramah pada mereka, meski jarang sekali berbicara banyak.
Aksa mengetuk pintu rumah Bu Sari. Setelah beberapa detik, terdengar langkah kaki mendekat, dan pintu pun terbuka.
“Hai, Aksa, Kirana. Ada apa pagi-pagi begini?” Bu Sari menyapa dengan senyum lebar.
Aksa memberikan keranjang belanjaan itu. “Ini sayurnya, Bu.”
Bu Sari tersenyum. “Oh, cepat juga kalian. Terima kasih ya.” Ia memeriksa sayuran itu, lalu memberikan kantong kecil berisi uang. “Ini upah kalian. Dua puluh lima ribu. Terima kasih banyak.”
“Terima kasih, Bu!” Aksa dan Kirana kompak mengucapkannya.
Setelah menerima uang itu, mereka berdua saling berpandangan. Aksa merasa lega, senyum muncul di wajahnya. “Cuma perlu sehari untuk dapat segini. Aku rasa kita bisa lebih cepat menabung, Kirana.”
Kirana tersenyum nakal. “Pasti. Besok kita ambil lebih banyak pesanan. Kalau berhasil, sepeda kamu bisa kembali normal dalam beberapa hari.”
Aksa tidak bisa menahan senyum. Ia membayangkan betapa bahagianya bisa kembali mengayuh Si Baja, merasakan angin yang menyapu wajahnya, dan melaju bebas tanpa rasa takut akan kecelakaan.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aksa dan Kirana setiap pagi mengantarkan pesanan Bu Sari, kemudian menyelesaikan tugas-tugas kecil lainnya yang ditawarkan oleh orang-orang di sekitar kampung, seperti mengumpulkan kayu bakar untuk Ibu Berta, membersihkan halaman rumah Pak Abo, hingga mencuci piring di warung makan. Semua itu mereka lakukan untuk satu tujuan—mengumpulkan uang untuk memperbaiki Si Baja.
Aksa belajar banyak hal selama beberapa minggu itu. Bukan hanya tentang cara berjualan kecil-kecilan, tapi juga tentang bagaimana bekerja keras, menabung, dan menghargai setiap usaha. Setiap kali mereka menerima bayaran, Aksa langsung memasukkannya ke dalam celengan plastik yang sudah ia simpan di bawah tempat tidurnya. Perlahan, celengan itu mulai terisi.
Pada akhir minggu keempat, uang mereka sudah cukup untuk memperbaiki sepeda. Aksa merasa bangga dan puas dengan kerja kerasnya. Kirana, meski lebih sering mengolok-oloknya, turut senang melihat hasil usaha mereka.
“Besok kita ke bengkel, ya? Aku nggak sabar lihat Si Baja jadi seperti dulu lagi!” kata Kirana penuh semangat.
Aksa mengangguk. “Kita akan bawa Si Baja ke bengkel Mbah Karso, dan semoga besok sepeda itu bisa kembali jadi teman petualangku lagi.”
Aksa tahu, meski kerja keras mereka baru dimulai, perjalanan panjang ini akan membawa lebih dari sekadar sepeda yang diperbaiki. Ini adalah pelajaran tentang persahabatan, perjuangan, dan bagaimana setiap langkah kecil bisa membawa mereka lebih dekat ke tujuan besar.
Kembali Bersama Si Baja
Pagi itu, Aksa bangun dengan perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya. Angin yang berhembus lewat jendela terasa lebih segar, dan sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya memberi kehangatan yang nyaman. Ia melirik ke celengan di bawah tempat tidur—sebuah kenangan perjalanan yang penuh perjuangan. Hari ini, mereka akan membawa Si Baja kembali ke bengkel Mbah Karso.
“Ayo cepat, Aksa!” suara Kirana terdengar dari luar rumah.
Aksa segera melompat dari tempat tidur, memeriksa celengan yang sudah penuh. Ia mengambil uang yang telah mereka kumpulkan selama ini, memasukkannya ke dalam saku celananya, dan berlari keluar. Kirana sudah menunggu di depan gerbang, tangan menumpuk kantong belanjaan kecil.
“Sudah siap?” tanya Kirana dengan senyum lebar.
“Siap!” jawab Aksa, suara penuh antusiasme.
Mereka berjalan dengan langkah cepat menuju bengkel Mbah Karso. Aksa memegang uang di saku dengan erat, dan Kirana memegang sepeda di tangan, setia menemaninya. Si Baja yang sudah rusak itu terasa lebih ringan sekarang, seakan menunggu perubahan besar.
Sesampainya di bengkel, Mbah Karso yang sudah menunggu segera menyapa mereka dengan ramah. “Oh, kalian datang juga. Si Baja, ya?”
Aksa mengangguk. “Iya, Mbah. Kami sudah nabung untuk benerin sepeda ini.”
Mbah Karso mengamati sepeda itu dengan cermat, lalu mengangguk. “Oke, nggak usah khawatir. Mbah bakal benerin semua. Cuma butuh waktu sehari, ya.”
Mereka menunggu dengan sabar di luar bengkel, duduk di atas batu di depan bengkel sambil sesekali berbicara. Aksa memandangi jalanan dengan pikirannya yang melayang jauh. Tidak terasa, perasaan rindu akan perjalanan bersama Si Baja mulai datang kembali.
“Besok kita jelajahi lagi kampung ini, Kirana,” kata Aksa tanpa menoleh.
Kirana hanya tersenyum, lalu menjawab, “Tentu saja. Si Baja akan kembali seperti dulu, kan?”
Aksa mengangguk, memandangi sepeda yang tergeletak di sudut bengkel. “Iya. Aku sudah tidak sabar untuk kembali berpetualang bersamanya. Lagi pula, siapa yang butuh teman selain sepeda ini?”
“Dan aku,” jawab Kirana sambil tersenyum lebar.
Aksa tertawa kecil. Ia tahu, meskipun Si Baja adalah teman sejatinya, Kirana juga menjadi bagian penting dalam perjalanan ini. Tak ada yang lebih berarti dari sebuah perjalanan yang penuh perjuangan dan persahabatan.
Keesokan harinya, Mbah Karso datang menemui mereka dengan wajah ceria. “Si Baja sudah siap. Coba lihat.”
Aksa langsung berlari ke arah sepeda yang kini sudah terlihat seperti baru. Stangnya sudah tegak, pedalnya terpasang dengan kokoh, dan rantainya sudah kembali berkilau. Semua bagian sepeda itu terasa sempurna.
“Ini dia!” kata Aksa dengan penuh kegembiraan. Ia melompat ke atas sepeda, merasakan sensasi yang sudah lama ia rindukan—sensasi kebebasan, angin yang menyapu wajah, dan suara roda yang berputar.
“Jangan lupa, kita tetap harus kerja keras dan nabung untuk sepeda berikutnya,” kata Kirana dengan nada setengah serius, setengah bercanda.
Aksa tertawa dan mengangguk. “Nanti, Kirana. Yang ini dulu yang aku nikmati. Si Baja, kita siap berpetualang lagi.”
Dan di sana, di jalanan kampung yang sederhana itu, mereka mulai berkeliling lagi, menyusuri jalan yang penuh kenangan, di mana Si Baja membawa mereka ke tempat-tempat yang tidak pernah terduga. Meskipun sepeda itu bukan hanya sekadar kendaraan, Aksa tahu bahwa setiap perjalanan bersama Si Baja adalah sebuah petualangan yang penuh arti.
Dengan tawa mereka yang bergema, mereka melaju bersama menuju horizon, siap menghadapi dunia dengan penuh semangat dan keberanian. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka.
Karena, setiap perjalanan membutuhkan teman yang setia, dan Aksa sudah punya satu—Si Baja.
Gitu deh, hidup emang penuh kejutan, kadang kita harus jatuh dulu biar bisa bangkit dan ngerasain kebahagiaan sesungguhnya. Semua itu, termasuk perjalanan dengan sepeda, nggak cuma soal tujuan, tapi tentang proses dan teman yang ada di sepanjang jalan.
Jadi, kapan lagi kamu bisa berpetualang bareng sepeda dan temen-temenmu? Jangan ragu buat terus berusaha dan nikmatin setiap momen, karena petualangan nggak bakal berhenti sampai kamu berhenti melangkah.


