Daftar Isi
Siapa sih yang nggak kangen masa-masa SMK? Bangun kesiangan, lari-lari ke kelas biar nggak dihukum, tugas numpuk sampai kepala ngebul, tapi tetep aja ketawa bareng temen-temen. Apalagi kalau tinggal di asrama, cerita absurd makin banyak!
Dari nyolong mi instan tengah malam, dihukum gara-gara hal sepele, sampai drama percintaan receh yang bikin geger satu angkatan. Nah, siap-siap nostalgia, karena cerita ini bakal ngebawa balik ke masa-masa paling gokil dalam hidup!
Masa Indah SMK di Asrama
Pagi yang Selalu Kacau
Pukul lima pagi, suara bel asrama meraung seperti alarm kebakaran. Setiap pagi, suara itu menjadi mimpi buruk bagi para penghuni asrama SMK Harapan Bangsa. Di Asrama Putra, suara bel itu disusul oleh teriakan kakak kelas yang sudah lebih dulu bangun.
“Bangun, oi! Lima menit lagi apel pagi! Yang telat siap-siap disuruh keliling lapangan!”
Di salah satu kamar, Reza masih membenamkan kepalanya ke bantal, pura-pura tuli. Gilang, yang sudah setengah sadar, menatapnya dengan malas.
“Reza, kalau kamu gak bangun sekarang, nanti pasti telat.”
“Aku gak peduli, Gil. Lima menit lagi, aja. Dunia ini terlalu keras buat dihadapi sepagi ini,” gumam Reza dengan suara serak.
Farhan, yang dari tadi duduk di kasurnya sambil main gitar kecil, hanya tertawa kecil. “Kalau telat, siap-siap aja sapu halaman depan. Itu masih lebih baik daripada dihukum Pak Herman.”
Seketika Reza terduduk. “Pak Herman jaga apel pagi ini?”
“Ya iyalah. Minggu lalu aja ada yang ketahuan telat, disuruh ngangkat meja ke aula sendirian,” jawab Gilang.
Tanpa pikir panjang, Reza langsung meloncat dari kasur. “Kenapa gak bilang dari tadi?!”
Sementara itu, di Asrama Putri, situasinya gak jauh berbeda. Aira duduk di kasurnya dengan rambut masih berantakan, setengah sadar sambil memeluk bantal.
“Indri, bangun. Jangan sampai kita dihukum lagi,” kata Siska sambil merapikan tempat tidurnya.
Indri hanya menggumam pelan. “Aku mimpiin makan martabak, jangan ganggu dulu.”
Aira langsung menendang kasurnya pelan. “Kalau gak bangun sekarang, aku ambil semua stok camilan kamu!”
Detik itu juga, Indri bangun dengan ekspresi panik. “Gak bisa, camilan aku suci!”
Tanpa banyak bicara, mereka bertiga langsung bersiap.
Di lapangan apel, barisan sudah hampir penuh. Anak-anak yang datang terlambat mulai berjalan cepat—beberapa bahkan berlari kecil dengan napas terengah-engah. Reza dan Gilang berhasil sampai tepat waktu, meskipun rambut mereka masih acak-acakan.
Pak Herman berdiri di depan dengan wajah datar yang mengintimidasi.
“Siapa yang telat?” tanyanya dingin.
Tak ada yang menjawab, tapi dua anak di belakang diam-diam menyelinap masuk ke barisan. Sayangnya, Pak Herman punya mata elang.
“Kamu berdua, ke depan.”
Dengan wajah pasrah, dua siswa yang telat melangkah maju. Pak Herman melipat tangannya. “Keliling lapangan lima putaran, sekarang.”
Sementara dua siswa itu mulai berlari, yang lain hanya bisa menahan tawa. Reza berbisik ke Gilang, “Untung kita gak telat, ya.”
“Aku baru sadar, kita nyaris jadi mereka,” jawab Gilang sambil menghela napas.
Apel pagi berjalan seperti biasa—pengumuman, nasihat, dan jadwal kegiatan. Setelah itu, semua siswa berhamburan ke kantin untuk sarapan sebelum masuk kelas.
Di meja kantin, Reza, Gilang, dan Farhan duduk bersama. Aira, Siska, dan Indri juga gak jauh dari mereka, sibuk membahas tugas yang menumpuk.
“Aku gak ngerti kenapa tugas sekolah makin banyak tiap minggu,” keluh Aira sambil mengaduk teh hangatnya.
Siska menatapnya datar. “Karena kita sekolah, bukan tempat liburan.”
Reza menatap mereka dengan alis terangkat. “Kalau tugas bisa berkurang setiap kali kita mengeluh, aku bakal mengeluh setiap hari.”
Farhan terkekeh. “Kalau tugas bisa hilang gara-gara mengeluh, semua anak sekolah udah jadi pengangguran sekarang.”
Obrolan mereka terus berlanjut sampai bel masuk berbunyi. Kelas dimulai, tugas sudah menunggu, dan kehidupan di asrama masih akan terus berjalan dengan segala kekacauan dan keseruannya.
Babak baru akan dimulai, dan mereka semua tahu: pagi hari hanyalah permulaan dari hari yang panjang.
Tugas, Hukuman, dan Akal-Akalan
Bel masuk berbunyi, mengisyaratkan bahwa hari yang panjang baru saja dimulai. Seperti biasa, kelas pertama diisi dengan mata pelajaran yang paling ditakuti di SMK Harapan Bangsa—Matematika bersama Bu Rina, guru yang terkenal dengan ekspresi tanpa emosi dan hobinya memberikan soal mendadak.
Di dalam kelas, Reza duduk dengan kepala bertumpu di meja, berharap waktu berjalan lebih cepat. Gilang, di sebelahnya, sudah pasrah menatap papan tulis yang penuh angka dan rumus yang tampak lebih rumit dari hubungan manusia.
“Baik, sebelum kita lanjut pelajaran, saya mau lihat tugas yang saya berikan minggu lalu,” suara Bu Rina menggema di kelas.
Sekejap, suasana berubah tegang. Sebagian besar siswa langsung merogoh tas dengan panik. Farhan, yang duduk di belakang Reza, menyenggol punggungnya.
“Kamu ngerjain tugasnya?” bisiknya.
Reza hanya menggeleng lemas. “Lupa total.”
Gilang menahan napas. “Sama. Kita bakal habis.”
Bu Rina mulai berjalan mengelilingi kelas, mengecek tugas siswa satu per satu. Setiap kali menemukan yang tidak mengerjakan, dia hanya diam, mencatat sesuatu di buku kecilnya—hal yang justru lebih menyeramkan.
Saat tiba di meja Reza dan Gilang, mereka hanya bisa memasang ekspresi polos.
“Tugas kalian?”
Reza berdeham. “Ehm, gini, Bu. Saya sebenarnya sudah ngerjain, tapi…”
Gilang langsung menangkap kode. “Tapi, Bu, tugasnya hilang. Saya sama Reza udah cari di asrama, tapi gak ketemu.”
Farhan yang mendengar itu nyaris tersedak, berusaha menahan tawa. Bu Rina menatap mereka tanpa ekspresi.
“Lain kali, tugas kalian jangan sampai ‘hilang’ lagi,” ujarnya dingin. “Setelah kelas ini selesai, kalian berdua datang ke ruang guru. Kita lihat siapa yang benar-benar kehilangan tugas, atau kehilangan akal sehat.”
Reza dan Gilang langsung tertunduk. Setelah Bu Rina pergi, Farhan menepuk bahu mereka sambil terkikik. “Kalian ini luar biasa. Kreatif dalam kebohongan, tapi tetap kena.”
Sementara itu, di kelas sebelah, situasi gak jauh beda. Aira, Indri, dan Siska juga menghadapi drama tugas mereka sendiri.
“Aku lupa total ada tugas ini!” Aira panik, melirik ke arah Pak Herman yang sudah bersiap mengecek tugas anak-anak.
Siska yang duduk di sebelahnya berbisik, “Aku udah ngerjain, tapi gak yakin benar semua.”
Indri mendesah, “Kenapa kita gak pernah siap buat hal-hal kayak gini?”
Aira menggigit bibirnya, otaknya berputar mencari solusi. “Siska, aku pinjam tugas kamu, ya? Aku salin cepat!”
“Mana sempat?!” Siska mendelik.
Sementara Aira masih mencoba menyalin beberapa angka dengan panik, Pak Herman sudah tiba di meja mereka. Aira hanya bisa pasrah.
“Kalian bertiga ikut saya ke ruang guru setelah pelajaran ini,” katanya singkat.
Indri mengerang pelan. “Ya Tuhan, hidup kita penuh tragedi.”
Ketika jam pelajaran selesai, Reza, Gilang, Aira, Indri, dan Siska akhirnya berkumpul di depan ruang guru.
“Kita semua kena,” gumam Reza.
“Nasib,” Indri mengangguk lesu.
Pintu ruang guru terbuka, dan mereka pun masuk dengan perasaan was-was. Di dalam, Bu Rina dan Pak Herman sudah menunggu.
“Baik,” kata Bu Rina. “Karena kalian ‘lupa’ mengerjakan tugas, hukuman kalian adalah membersihkan aula sore ini.”
Reza menatap Gilang. “Aku udah bisa ngebayangin betapa sakitnya punggung kita nanti.”
Siska menghela napas. “Ya udah lah, kita kerjain aja. Setidaknya kita kena hukuman bareng.”
Dan begitulah, sore itu mereka berlima berdiri di aula, membawa sapu dan kain pel sambil saling mengeluh.
“Seandainya tugas bisa ngerjain dirinya sendiri,” kata Aira.
“Seandainya kita lebih rajin,” tambah Indri.
“Seandainya kita gak ketahuan,” sahut Reza.
Mereka semua tertawa. Meskipun banyak tugas dan hukuman, setidaknya mereka masih punya satu sama lain.
Hari ini mungkin berat, tapi petualangan mereka di asrama masih panjang.
Malam Minggu dan Misi Rahasia
Setelah sesi bersih-bersih yang terasa seperti kerja rodi, Reza, Gilang, Aira, Indri, dan Siska akhirnya bisa duduk di lantai aula dengan napas terengah-engah. Lantai aula berkilau, bahkan mungkin lebih bersih daripada hati mereka yang penuh dosa akademik.
“Kalau begini terus, aku serius mau pertimbangkan jadi anak rajin,” keluh Gilang sambil mengipasi wajahnya dengan kain lap.
Siska menatapnya dengan tatapan kosong. “Kamu pikir kita punya kesempatan jadi anak rajin?”
Reza tertawa kecil. “Gilang rajin itu kayak hujan turun ke atas. Impossible.”
Aira yang sedari tadi diam tiba-tiba menyeringai. “By the way, malam ini malam Minggu. Kalian tahu artinya?”
Mereka saling berpandangan sebelum Farhan, yang entah sejak kapan ikut nimbrung, menjawab, “Artinya kita tetap harus tidur sebelum jam sepuluh, karena kita di asrama?”
Aira menggeleng dengan dramatis. “No. Artinya, ini saatnya untuk Misi Rahasia!”
Indri langsung mendengus. “Kamu gak serius kan?”
“Tentu saja serius!” Aira mendekat dengan semangat. “Kita harus rayakan keberhasilan kita survive dari hukuman ini.”
Gilang menyipitkan mata. “Tunggu. Jangan bilang ini ada hubungannya sama—”
“—kabur ke kantin buat beli mi instan dan es teh?” potong Aira sambil tersenyum licik.
Mereka semua diam sebentar.
“Kalau ketahuan, kita bisa kena hukuman lagi,” bisik Siska.
“Tapi kalau gak ketahuan?” tanya Aira penuh harap.
Reza menghela napas, menimbang konsekuensinya. “Oke, tapi kita harus punya strategi.”
Akhirnya, mereka menyusun rencana dengan detail. Farhan bertugas jadi mata-mata, mengawasi jalur yang aman. Indri dan Siska mengurus kode rahasia kalau ada guru asrama yang patroli. Aira, Reza, dan Gilang jadi eksekutor alias orang yang bakal menyelinap ke kantin dan membawa pulang makanan.
Sekitar pukul sebelas malam, ketika asrama sudah sunyi dan hanya suara jangkrik terdengar dari luar, misi dimulai.
Farhan mengintip dari balik pintu kamar asrama cowok. “Aman. Kalian jalan sekarang.”
Reza dan Gilang mengikuti Aira yang dengan lincah menyelinap keluar. Mereka berjinjit melewati lorong, menahan napas saat melewati kamar guru asrama. Sesampainya di dekat kantin, mereka sedikit melonggarkan langkah.
“Kantin gak dikunci?” bisik Gilang heran.
Aira tersenyum lebar. “Aku udah cek sore tadi. Kita tinggal masuk.”
Mereka bertiga segera menyusup ke dalam kantin yang gelap. Hanya cahaya bulan yang masuk lewat jendela, cukup untuk menerangi rak-rak berisi mi instan, camilan, dan botol minuman.
Reza bergerak cepat mengambil beberapa bungkus mi. “Ambil seperlunya aja, jangan ketahuan kalau ada yang hilang.”
Gilang yang sudah menggenggam tiga botol es teh mengangguk. “Santai, aku ngerti kok konsep mencuri yang bertanggung jawab.”
Aira yang sedang memilih camilan tiba-tiba terdiam. “Eh, denger gak?”
Mereka semua membeku. Dari luar, suara langkah kaki terdengar mendekat.
“Satpam!” bisik Reza panik.
Mereka buru-buru mencari tempat sembunyi. Reza dan Gilang merunduk di balik etalase, sementara Aira dengan cepat masuk ke balik meja kasir.
Langkah kaki semakin mendekat, lalu berhenti tepat di depan pintu kantin. Dari celah, Reza bisa melihat sepatu hitam besar—satpam.
Jantung mereka berdegup kencang.
Seketika, terdengar suara ponsel berdering di luar sana.
“Lagi patroli, Pak. Kantin aman, kok,” suara satpam berbicara di telepon. “Iya, saya balik sekarang.”
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki itu menjauh.
Mereka bertiga menghembuskan napas lega.
“Nyaris,” gumam Aira.
Setelah memastikan benar-benar aman, mereka buru-buru keluar dan berlari secepat mungkin kembali ke asrama. Saat mereka tiba di kamar, Farhan, Indri, dan Siska sudah menunggu dengan ekspresi penuh harap.
“Mana mi-nya?!” bisik Farhan penuh antusias.
Reza mengangkat plastik berisi barang rampasan. “Misi sukses.”
Tanpa banyak bicara, mereka langsung memasak mi dengan alat pemanas seadanya di kamar. Bau sedap mi instan merebak ke seluruh ruangan. Mereka makan dengan lahap, sambil sesekali menahan tawa mengingat kejadian barusan.
“Kalau kita kena hukuman lagi gara-gara ini, aku bakal pura-pura gak kenal kalian,” kata Siska sambil mengunyah.
“Jangan khawatir,” kata Aira. “Malam ini kita bukan cuma berhasil, tapi juga legend.”
Reza tersenyum, memandangi teman-temannya yang tertawa dan bercanda di tengah malam.
Ya, mereka mungkin hanya anak-anak asrama dengan tumpukan tugas dan aturan ketat, tapi di antara semua itu, mereka selalu menemukan cara untuk menciptakan kenangan yang tak terlupakan.
Kenangan yang Tak Terlupakan
Keesokan paginya, kantin asrama heboh.
“Ada maling mi instan semalam!” suara Bu Rina, penjaga kantin, menggema di seantero ruangan. Murid-murid yang sedang sarapan langsung menoleh penasaran, beberapa bahkan berbisik-bisik membahas kemungkinan tersangkanya.
Di salah satu meja sudut, Reza, Gilang, Aira, Indri, Siska, dan Farhan saling bertukar pandang dengan ekspresi datar.
“Kita bakal mati,” bisik Indri pelan, menatap mi goreng di hadapannya seolah itu adalah makanan terakhirnya di dunia.
“Enggak, kita bakal dikremasi dulu, baru mati,” tambah Farhan lebih dramatis.
Aira tetap tenang, mengunyah rotinya dengan santai. “Kalem aja. Gak ada bukti kalau itu kita.”
Reza menghela napas dan mencoba ikut santai, meski di dalam hatinya sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk: hukuman membersihkan toilet asrama sebulan penuh.
Namun, untungnya, penyelidikan ala-ala Bu Rina berakhir dengan kesimpulan bahwa “mungkin ada tikus gede yang doyan mi instan.” Seisi kantin pun akhirnya kembali tenang.
Setelah melewati pagi yang menegangkan, hari-hari di asrama berjalan seperti biasa. Tugas menumpuk, guru-guru semakin kreatif mencari cara menyiksa murid dengan PR, dan mereka tetap harus bangun pagi meski rasanya baru tidur lima menit yang lalu.
Tapi di antara semua itu, ada sesuatu yang tidak berubah—mereka selalu punya alasan untuk tertawa.
Suatu sore, saat mereka duduk di halaman belakang asrama sambil menikmati sisa matahari yang mulai tenggelam, Gilang tiba-tiba berucap, “Kayaknya kita harus bikin janji, deh.”
“Janji apa?” tanya Siska, memiringkan kepalanya.
“Janji buat tetap ingat masa-masa ini. Bahkan kalau nanti kita udah lulus, sibuk kerja, atau punya keluarga sendiri,” jawab Gilang.
Aira menyeringai. “Jadi kalau suatu hari kita ketemu lagi, kita bakal nostalgia soal kita yang hampir ditangkap satpam gara-gara mi instan?”
“Dan soal tugas-tugas kejam yang bikin kita hampir gila?” tambah Farhan.
“Dan soal hukuman absurd yang selalu kita terima?” lanjut Indri.
Reza tersenyum, menatap teman-temannya satu per satu. “Ya. Karena kalau dipikir-pikir, semua kekacauan itu yang bikin masa SMK kita gak bakal tergantikan.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang terasa hangat.
Lalu, Aira mengangkat tangannya, telapak terbuka ke atas. “Kalau gitu, kita buat janji. Ayo taruh tangan kalian di atas tanganku.”
Satu per satu, tangan mereka bertumpuk di atas tangan Aira.
“Gak peduli seberapa jauh nanti kita pergi, masa SMK ini bakal selalu jadi bagian dari kita,” kata Reza.
Mereka saling pandang, lalu tertawa kecil.
Dan di situlah, di bawah langit senja yang menghangatkan hati, mereka menyadari sesuatu—masa indah ini mungkin tak akan bertahan selamanya, tapi kenangannya akan terus hidup dalam ingatan mereka.
Selamanya.
Masa SMK itu emang nggak selamanya, tapi kenangannya? Nempel terus kayak bekas coretan di meja kelas. Nanti, pas udah sibuk sama kerjaan atau urusan hidup, pasti bakal kangen masa-masa ini.
Kangen ketawa sampai perut sakit, kangen dihukum bareng, bahkan kangen tugas yang dulu dikutuk-kutuk tiap hari. Karena pada akhirnya, yang bikin masa SMK berharga itu bukan cuma sekolahnya, tapi orang-orangnya. Dan yang satu ini? Bakal selalu jadi cerita yang nggak bakal basi buat diulang-ulang.


