Daftar Isi
Kadang hidup tuh nggak bisa ditebak. Hari ini kamu punya segudang harapan, besok semua itu bisa ancur seketika. Mau lari? Nggak bisa. Mau nyerah? Rasanya juga nggak mungkin.
Cerita ini bukan tentang kisah sukses yang mulus kayak jalan tol, tapi tentang orang yang harus jatuh, gagal, kehilangan, sebelum akhirnya sadar kalau masa depan bukan soal kesempurnaan, tapi tentang gimana kamu terus berdiri.
Perjuangan Masa Depanku
Langit yang Terlalu Jauh
Virrel selalu suka menatap langit. Ada sesuatu di sana yang membuatnya ingin bermimpi lebih besar, sesuatu yang mengingatkan bahwa dunia ini lebih luas dari gang sempit yang tiap hari ia lewati. Setiap malam, ia duduk di atap rumahnya yang sudah mulai lapuk, menatap bintang-bintang seolah mereka punya jawaban atas semua pertanyaannya tentang masa depan.
“Aku bakal jadi arsitek, Ma.” Suaranya penuh keyakinan saat ia berbicara dengan ibunya, seorang wanita dengan wajah lelah tapi senyum hangat yang selalu ada untuknya.
Ibunya hanya tertawa kecil sambil mengelus rambut Virrel. “Kamu yakin?”
Virrel mengangguk cepat. “Yakin banget! Aku mau bikin gedung-gedung tinggi, yang nggak cuma keren, tapi juga nyaman buat orang-orang.”
Wanita itu tersenyum, lalu menatap anaknya dengan mata penuh harapan. “Kalau gitu, belajarlah yang rajin. Jangan cuma mimpi doang.”
Dan Virrel menepati janjinya. Ia menghabiskan hari-harinya di perpustakaan sekolah, menenggelamkan diri dalam buku-buku tebal tentang teknik bangunan dan desain. Ia bahkan sering lupa waktu kalau sudah sibuk menggambar sketsa bangunan impiannya di buku catatan yang sampulnya sudah penuh coretan.
Teman-temannya bilang ia terlalu serius. “Kamu nggak capek, Rel? Hidup ini bukan cuma soal belajar,” ujar Rendra, sahabatnya yang lebih suka menghabiskan waktu bermain basket daripada tenggelam dalam buku.
“Tapi kalau aku nggak belajar sekarang, nanti aku nggak bisa ngejar beasiswa.”
“Kamu yakin bakal dapat?”
Virrel terdiam sejenak sebelum menjawab, “Harus yakin. Aku nggak punya pilihan lain.”
Baginya, pendidikan adalah satu-satunya tiket untuk keluar dari hidup yang pas-pasan ini. Bukan berarti ia malu dengan keluarganya—tidak sama sekali. Tapi ia ingin memberikan sesuatu yang lebih baik untuk ibunya. Ia ingin mereka pindah dari rumah kontrakan kecil yang atapnya bocor tiap kali hujan datang.
Maka ia terus berusaha, menolak semua ajakan main, bahkan mengorbankan waktu tidurnya demi belajar lebih giat. Guru-gurunya mengakui kepintarannya, bahkan kepala sekolah pernah memujinya sebagai salah satu murid dengan masa depan paling cerah.
Namun, di balik semua optimisme itu, ada satu kenyataan yang pelan-pelan mulai menghantui. Ayahnya, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, mulai sering batuk-batuk. Awalnya, mereka mengira itu hanya flu biasa. Tapi semakin hari, tubuh pria itu semakin melemah, wajahnya semakin pucat, dan napasnya sering tersengal.
Suatu malam, Virrel mendengar suara ibunya menangis pelan di dapur. Ia mengintip dari balik pintu dan melihat ibunya duduk di kursi tua, kepalanya tertunduk, bahunya bergetar. Di depannya, ada setumpuk kertas yang tampak seperti tagihan rumah sakit.
“Kita nggak punya uang sebanyak itu, Mas…” suara ibunya lirih, hampir tak terdengar.
Ayahnya menghela napas panjang. “Aku bakal cari cara. Kamu nggak usah khawatir.”
Tapi Virrel tahu, itu hanya kata-kata untuk menenangkan. Kenyataannya, ayahnya sudah semakin jarang pergi bekerja, dan tabungan mereka hampir habis untuk biaya pengobatan.
Hari itu, langit yang dulu terasa dekat bagi Virrel, tiba-tiba tampak begitu jauh.
Ia masih punya mimpi. Ia masih ingin jadi arsitek. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mulai bertanya-tanya—apakah mimpi itu benar-benar bisa diraih, atau hanya sekadar ilusi yang perlahan-lahan akan pudar?
Jalan yang Berbelok Tajam
Virrel menatap buku pelajarannya, tapi pikirannya tidak berada di sana. Di dalam kelas yang sunyi, suara pena teman-temannya yang menari di atas kertas terdengar jelas. Tapi baginya, semuanya hanya gumaman samar. Tatapannya kosong, tangannya mengepal di bawah meja.
Kemarin malam, ibunya bilang sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.
“Rel, mungkin… kamu bisa pikirin lagi soal kuliah.”
Ia tahu maksud ibunya. Mereka tak punya uang. Semua tabungan habis untuk biaya pengobatan ayahnya. Bahkan makan sehari-hari saja mulai terasa berat. Ia ingin marah, ingin membantah, tapi suara ibunya terdengar begitu lelah.
“Kamu masih bisa cari kerja dulu, kan? Bantuin keluarga sebentar aja…”
Virrel menggigit bibirnya, menahan emosinya agar tidak meledak.
Sekarang, saat ia duduk di kelas, ia melihat teman-temannya yang sibuk mencatat, mengerjakan tugas, dan bercanda seolah dunia mereka baik-baik saja. Dunia mereka tidak seperti dunianya. Mereka tidak perlu berpikir tentang biaya rumah sakit, tentang uang kontrakan, tentang apakah mereka masih bisa makan besok atau tidak.
“Rel,” suara Rendra membuyarkan lamunannya. “Gimana, jadi ikut latihan basket sore ini?”
Virrel menggeleng pelan. “Nggak bisa. Ada urusan.”
“Urusan apa? Kamu tuh belajar terus, nggak ada waktu buat santai. Hidup nggak melulu soal sekolah, Rel.”
Virrel menatap sahabatnya dengan tatapan kosong. “Hidupku nggak sesimpel itu, Ren.”
Rendra terdiam, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya menghela napas dan kembali ke tempat duduknya.
Sorenya, Virrel tidak pulang ke rumah. Ia berjalan tanpa tujuan di sekitar kota, melewati toko-toko kecil yang ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan kehidupannya sendiri. Ia berhenti di depan sebuah bangunan yang sedang dibangun. Besi-besi menjulang, para pekerja sibuk memindahkan material. Ia menatap gedung itu lama, membayangkan bagaimana seandainya ia yang merancangnya.
Tapi imajinasinya hancur ketika seorang pria tua di dekatnya berkata, “Mau kerja? Butuh tenaga angkut di proyek ini.”
Virrel menoleh, terkejut.
“Aku… masih sekolah, Pak.”
Pria itu mengangkat bahu. “Nggak masalah. Kalau butuh uang, kerja aja. Banyak anak muda yang kerja sambil sekolah.”
Virrel menelan ludah. Beberapa bulan lalu, ia tidak akan pernah membayangkan dirinya berdiri di sini, ditawari pekerjaan sebagai kuli bangunan. Tapi sekarang, dengan kondisi keluarganya… mungkin ini satu-satunya jalan.
Malamnya, ia pulang ke rumah dengan langkah berat. Ayahnya terbatuk keras di dalam kamar. Ibunya masih terjaga, matanya sembab.
“Aku mau kerja,” kata Virrel tiba-tiba.
Ibunya menoleh dengan wajah terkejut. “Apa?”
“Aku mau kerja, Ma. Bantu biaya rumah sakit.”
“Virrel, kamu sekolah dulu. Mama nggak mau kamu—”
“Kalau aku terus sekolah, kita makan apa, Ma?” suaranya naik, matanya merah karena menahan emosi. “Kita nggak punya pilihan.”
Ibunya terdiam, lalu menunduk.
Malam itu, Virrel duduk di atap rumah, menatap langit seperti biasa. Tapi kali ini, langit terasa lebih gelap, lebih jauh dari sebelumnya.
Harapan yang Dikubur dalam Tanah
Langit masih gelap ketika Virrel melangkah keluar rumah. Udara pagi dingin, tapi pikirannya lebih beku daripada embun yang menggantung di daun-daun pinggir jalan.
Hari ini, ia resmi bekerja sebagai buruh angkut di proyek bangunan.
Saat tiba di lokasi, pria tua yang kemarin menawarinya pekerjaan menyambutnya dengan sebuah helm proyek usang. “Pakai ini. Kerja di sini nggak gampang, Nak.”
Virrel hanya mengangguk. Ia mengikatkan helm itu di kepalanya dan mulai bekerja. Seharian, ia memanggul semen, mengangkat besi, membersihkan area kerja. Tenaganya terkuras habis, tangannya mulai bergetar, dan punggungnya terasa remuk. Ini bukan seperti menggambar sketsa di buku catatan—ini adalah dunia yang benar-benar berbeda.
Tengah hari, saat istirahat, seorang pekerja yang duduk di sampingnya menatapnya dengan heran.
“Kamu masih muda. Kenapa kerja di sini?”
Virrel menatap tangannya yang kotor penuh debu semen. “Nggak punya pilihan.”
Pria itu tertawa kecil. “Dulu aku juga mikir gitu. Tapi percaya deh, dunia ini nggak pernah kehabisan pilihan. Yang ada, kita cuma terlalu takut buat ngambil risiko lain.”
Virrel diam. Ia tak tahu apakah pria itu benar atau tidak. Yang jelas, ia tak sedang memilih, ia sedang bertahan.
Hari demi hari berlalu. Virrel bekerja dari pagi sampai sore, lalu pulang dalam keadaan nyaris tak punya tenaga untuk melakukan apa pun. Mimpi-mimpinya tentang masa depan terasa semakin samar, seperti bayangan di air yang bergoyang tertiup angin.
Lama-lama, sekolahnya mulai terbengkalai. Ia terlalu lelah untuk belajar, tugas-tugasnya menumpuk, dan nilai-nilainya mulai turun drastis. Guru-guru mulai mempertanyakan ketidakhadirannya di beberapa kelas, teman-temannya mulai memperhatikan perubahan dalam dirinya.
Suatu hari, Rendra menariknya ke sudut lorong sekolah.
“Rel, ini udah keterlaluan,” kata Rendra dengan nada serius. “Kamu nggak bisa kayak gini terus. Kamu bahkan nggak ikut ujian minggu lalu!”
Virrel mengusap wajahnya, berusaha menahan rasa pusing akibat kelelahan. “Aku udah nggak punya waktu buat mikirin itu.”
“Kamu sadar nggak sih? Kamu lagi ngubur diri kamu sendiri, Rel!” suara Rendra naik. “Dulu kamu yang selalu bilang mau kuliah, mau jadi arsitek, mau keluar dari hidup yang kayak gini. Sekarang kamu malah—”
“REN!” suara Virrel meledak. Ia menggertakkan giginya, matanya menatap tajam sahabatnya. “Aku nggak punya kemewahan buat mikirin masa depan sekarang! Aku bahkan nggak yakin besok keluargaku masih bisa makan atau nggak!”
Hening. Rendra terdiam, seolah kehabisan kata-kata.
Virrel menghela napas panjang, lalu menunduk. “Maaf… Tapi aku nggak bisa berhenti kerja.”
Rendra menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas. “Kalau gitu, aku nggak bakal maksa. Tapi tolong, jangan sampai kamu kehilangan diri kamu sendiri.”
Tapi mungkin, Virrel sudah kehilangan itu sejak lama.
Malam itu, ia duduk di atap rumah, seperti biasa. Tapi kali ini, ia tidak lagi menatap bintang-bintang. Ia menatap tangannya sendiri—tangan yang dulu memegang pensil untuk menggambar sketsa, kini hanya dipenuhi lecet dan kapalan karena kerja kasar.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya…
Apakah benar harapannya masih ada, atau sudah terkubur dalam tanah bersama lelah dan keputusasaan?
Jalan yang Tidak Sempurna
Hari-hari berlalu seperti siklus yang tak berujung. Bangun pagi, kerja di proyek, pulang dalam keadaan remuk, lalu tidur hanya untuk mengulang semuanya esok hari. Virrel tak lagi berpikir tentang ujian, tak lagi menyentuh buku-buku yang dulu ia cintai. Ia hanya menjalani hidup seperti mesin—tanpa tujuan, tanpa arah.
Sampai suatu sore, semuanya berubah.
Langit berwarna oranye saat Virrel keluar dari proyek. Tubuhnya pegal, tapi ia tetap melangkah ke arah halte untuk pulang. Namun, sebelum ia sempat naik ke bus, suara dering telepon ibunya menggema di telinganya.
Suara di seberang terdengar panik. “Rel… ayahmu—”
Dunia Virrel seakan berhenti berputar.
Di rumah sakit, ia melihat ibunya duduk di kursi tunggu dengan wajah yang lebih pucat dari biasanya. Air mata menggenang di matanya saat melihat Virrel datang.
“Dokter bilang… ayah nggak kuat lagi.” Suaranya bergetar.
Virrel merasa kakinya lemas. Ia menelan ludah, mencoba menahan sesuatu yang mendesak di dadanya.
Saat ia masuk ke kamar, ayahnya terbaring dengan napas yang berat. Matanya terbuka sedikit, melihat putranya yang kini berdiri di samping tempat tidur.
“Rel…” suara ayahnya lemah. “Capek, ya?”
Virrel menggenggam tangan ayahnya yang semakin kurus. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
“Kamu anak baik…” lanjut ayahnya, tersenyum kecil. “Tapi jangan… jangan berhenti bermimpi hanya karena dunia nggak adil.”
Virrel mengepalkan tangannya. “Tapi, Yah… aku nggak bisa ninggalin Mama. Aku harus kerja.”
Ayahnya menggeleng lemah. “Mama pasti lebih sedih kalau kamu kehilangan masa depanmu sendiri…”
Virrel menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia ingin membantah, ingin berkata bahwa hidup tidak semudah itu. Tapi melihat ayahnya yang bahkan untuk bernapas saja harus berjuang, ia memilih diam.
Beberapa jam kemudian, suara mesin di kamar itu berhenti berbunyi.
Ayahnya pergi.
Pemakaman berjalan dalam keheningan. Beberapa kerabat datang, memberi belasungkawa, tapi Virrel tidak bisa benar-benar mendengar mereka. Ia hanya berdiri di depan makam ayahnya, melihat nama yang terukir di batu nisan.
Harapan apa yang tersisa sekarang?
Saat semua orang mulai pergi, hanya tersisa dirinya, ibunya, dan seorang pria yang tak ia duga akan datang.
Rendra.
Sahabatnya berdiri di sampingnya, lalu tanpa berkata apa-apa, ia menaruh sesuatu di tangan Virrel. Sebuah kertas kusut.
Virrel membuka dan membaca isinya. Mata dan pikirannya yang lelah butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang ia lihat.
Sebuah formulir pendaftaran beasiswa.
“Aku nggak bisa—”
“Kamu bisa,” potong Rendra cepat. “Dan kamu harus.”
Virrel menggigit bibirnya. “Gimana dengan Mam—”
“Aku di sini,” suara ibunya tiba-tiba menyela. Ia menatap Virrel dengan mata yang masih sembab, tapi ada sesuatu yang berbeda di sana. “Pergilah, Nak. Kejar mimpimu. Aku akan baik-baik saja.”
Virrel menatap tangan kasarnya. Tangan yang dulu ia pakai untuk menggambar. Yang sekarang penuh luka dan kapalan.
Tapi ia tahu, tangan itu masih bisa bermimpi.
Ia menghela napas panjang, lalu menggenggam formulir itu erat.
Mungkin jalan ini tidak sempurna.
Tapi bukan berarti ia harus berhenti melangkah.
Nggak semua orang punya jalan yang lurus dan gampang. Ada yang harus tersesat dulu, harus jatuh berkali-kali, bahkan harus kehilangan sesuatu yang paling berharga.
Tapi satu hal yang pasti, selama kamu masih punya alasan buat melangkah, kamu belum benar-benar kalah. Masa depan? Nggak perlu sempurna. Yang penting, kamu nggak berhenti ngejalaninnya.


