Daftar Isi
Gimana jadinya kalau masa depan udah ditentuin dari lahir? Hidup serba teratur, tanpa resiko, tanpa gagal—kedengarannya kayak surga, kan? Tapi gimana kalau ternyata semua itu cuma kebohongan besar? Bayangin kamu tumbuh di tempat yang katanya sempurna, tapi suatu hari kamu sadar… dunia di luar sana masih ada, masih bernafas, dan lebih nyata dari apa pun yang pernah kamu lihat.
Ini bukan cerita tentang robot atau teknologi canggih doang, ini cerita tentang pilihan—dan tentang seseorang yang akhirnya sadar kalau masa depan yang indah itu bukan sesuatu yang dikasih… tapi sesuatu yang harus diperjuangkan.
Masa Depan yang Indah
Kota Tanpa Kesalahan
Langit Neo-Astra berpendar biru keperakan, tidak pernah berubah, tidak pernah redup, seolah waktu telah membeku di dalam kubah raksasa yang melindungi kota ini dari dunia luar. Jalan-jalan steril, tanpa debu, tanpa retakan, setiap sudut tertata sempurna seperti arsitektur yang didesain oleh algoritma tanpa cela. Gedung-gedung menjulang simetris, kaca-kacanya memantulkan cahaya artifisial yang menggantikan matahari. Tidak ada angin, tidak ada suara riuh, hanya kesunyian yang dipecah oleh langkah kaki yang bergerak serempak, seirama, menuju tujuan yang telah ditentukan.
Di salah satu menara tertinggi, di dalam ruangan yang lebih mirip laboratorium daripada kamar tidur, seorang pemuda bernama Veylan duduk tegap di depan layar transparan setinggi dinding. Tubuhnya nyaris tidak bergerak, hanya matanya yang mengikuti rangkaian angka, diagram, dan teks ilmiah yang terus bergulir tanpa henti. Tangannya sesekali menggeser layar dengan gerakan ringan, menyelesaikan simulasi tanpa kesalahan.
Sebuah suara mekanis berbicara dari sudut ruangan.
“Ujian selesai. Skor: 100%.”
Tidak ada kejutan di wajahnya. Sejak kecil, angka itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kesempurnaan bukanlah pencapaian—itu kewajiban.
Pintu geser terbuka otomatis, memperlihatkan seorang pria berjas putih dengan lencana emas bertuliskan Dr. Lior Veylan, Kepala Departemen Neuroteknologi Neo-Astra. Mata tajamnya meneliti ruangan, lalu beralih ke layar skor.
“Kamu menyelesaikannya lebih cepat dari yang aku perkirakan.” Suaranya tenang, tapi ada nada ekspektasi yang tidak bisa disembunyikan.
Veylan hanya mengangguk, tidak ada kebanggaan dalam ekspresinya.
“Kami sedang menyiapkan proyek baru,” lanjut Dr. Lior. “Kamu akan mulai belajar tentang integrasi neuro-AI mulai besok. Kurasa kita bisa mempercepat jadwalmu enam bulan lebih awal.”
“Baik,” jawab Veylan datar.
Tak ada yang bisa ditolak dalam rencana yang sudah disusun untuknya. Tidak ada “kenapa”, tidak ada “bagaimana jika”. Masa depan telah dipetakan, dan setiap langkahnya hanya perlu mengikuti garis lurus yang telah digoreskan oleh orang tuanya.
Dr. Lior melirik jam holografis di lengannya. “Ibumu menunggumu di ruang makan. Jangan terlambat.”
Veylan berdiri, melangkah keluar tanpa banyak bicara.
Ruang makan keluarga Veylan lebih mirip ruang konferensi daripada tempat berkumpul. Meja panjang dengan permukaan berpendar biru dikelilingi kursi berdesain minimalis. Tidak ada aroma makanan yang menggugah selera, hanya piring-piring kaca yang otomatis mengeluarkan hidangan yang telah dihitung berdasarkan kebutuhan nutrisi setiap individu.
Seorang wanita duduk di ujung meja, mengenakan pakaian serba putih dengan lencana ilmuwan yang sama seperti suaminya. Wajahnya cantik, tapi ekspresinya dingin. Ia tidak menoleh saat Veylan duduk di kursinya.
“Kamu masih melatih daya ingatmu?” tanya wanita itu tanpa basa-basi.
“Ya.”
“Kami menyiapkan sesuatu untukmu,” lanjutnya, jari-jarinya menggeser layar holografis di sampingnya. “AI pribadi yang akan membantu efisiensimu. Aku dan ayahmu sudah memilih model terbaik, tapi kamu bisa memilih suaranya sendiri.”
“Aku tidak butuh AI,” kata Veylan.
“Kamu akan membutuhkannya. Itu bukan pilihan.”
Sejenak, ruangan itu hening. Veylan tidak membantah, seperti biasa. Segala sesuatu dalam hidupnya telah disiapkan, bahkan hal sekecil suara AI yang akan menemaninya setiap hari.
Di luar dinding kaca, barisan anak-anak lain berjalan menuju pusat edukasi. Tidak ada seorang pun yang berbicara satu sama lain. Tidak ada tawa. Tidak ada yang menoleh ke arah lain selain ke depan. Mereka semua adalah generasi baru yang dipersiapkan untuk masa depan yang telah ditentukan.
Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil di dada Veylan saat melihat mereka. Sesuatu yang ia sendiri tidak tahu namanya.
Malam itu, saat sistem rumah memasuki mode diam, Veylan kembali ke ruangannya. Layarnya memunculkan jadwal esok hari:
05:30 – Pemrograman Neuro-AI
07:00 – Pelatihan Memori Fotografi
08:30 – Analisis Bioteknologi Tingkat Lanjut
…
23:00 – Tidur
Rutinitas tanpa celah, tanpa kebebasan, tanpa jeda.
Ia menatap langit Neo-Astra dari balik jendela kaca. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya kubah yang memantulkan cahaya neon dari gedung-gedung di bawahnya.
Lalu, suara notifikasi terdengar.
Ding.
Sebuah pesan muncul di layar transparannya.
“Apa kamu tidak lelah?”
Veylan mengernyit. Ini bukan pesan dari sistem. Bukan juga dari orang tuanya. Tidak mungkin ada seseorang yang bisa mengirimkan pesan seperti ini.
Ia mengetik balasan.
“Siapa ini?”
Tidak ada jawaban selama beberapa detik, lalu pesan baru muncul.
“Jika kamu ingin tahu seperti apa dunia di luar rencana mereka, temui aku di Terminal 9, tengah malam.”
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Terminal 9. Itu area yang jarang dikunjungi, hampir tidak pernah ada orang yang pergi ke sana. Kota ini tidak memiliki transportasi umum, karena semua perjalanan telah dijadwalkan dan diawasi oleh sistem. Satu-satunya alasan seseorang pergi ke Terminal 9 adalah jika mereka berencana pergi ke luar batas kota.
Tetapi… tidak ada ‘luar’ di dunia ini.
Setidaknya, itulah yang selalu diajarkan kepadanya.
Veylan menatap layar itu lama. Ini bisa jadi jebakan, atau mungkin hanya kesalahan sistem. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Bukan rasa takut.
Bukan rasa penasaran.
Tapi sesuatu yang ia sendiri tidak pernah diajarkan bagaimana cara menghadapinya.
Dan ia harus memutuskan—malam ini juga.
Pesan di Layar Transparan
Veylan tidak bisa tidur. Matanya terus terpaku pada layar yang masih menampilkan pesan terakhir itu.
“Jika kamu ingin tahu seperti apa dunia di luar rencana mereka, temui aku di Terminal 9, tengah malam.”
Pesan itu belum terhapus, belum terlacak, dan yang lebih aneh lagi, tidak ada sumbernya. Sistem komunikasi di Neo-Astra tidak memungkinkan pesan anonim. Setiap data, setiap interaksi, bahkan setiap langkah seseorang, semuanya direkam dan diawasi. Tapi entah bagaimana, pesan ini lolos dari sensor.
Veylan melirik waktu di sudut layar. 23:45.
Tinggal lima belas menit sebelum tengah malam.
Ia bisa mengabaikannya. Bisa berpura-pura tidak pernah menerima pesan itu dan melanjutkan hidup seperti biasa. Esok pagi, ia akan bangun, mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan, memenuhi ekspektasi orang tuanya, dan terus berjalan di jalur yang sudah dirancang sejak ia lahir.
Tapi jari-jarinya sudah bergerak lebih dulu. Layar holografis di pergelangan tangannya berkedip saat ia mulai memindai jalur menuju Terminal 9. Tidak ada transportasi yang tersedia ke sana. Itu berarti ia harus berjalan kaki, melewati zona yang hampir tidak pernah diinjak manusia sejak kota ini selesai dibangun.
Ia menarik napas dalam.
Hanya satu kali.
Hanya untuk melihat apakah benar ada sesuatu yang berbeda di luar sana.
Neo-Astra selalu terang. Bahkan di malam hari, jalanan tetap diterangi cahaya lembut dari lampu-lampu yang tertanam di setiap sudut kota. Tidak ada bayangan, tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Veylan berjalan dengan langkah terukur, menyusuri koridor pejalan kaki yang jarang digunakan. Kamera-kamera pengawas berputar perlahan, mengikuti gerakan setiap orang yang melintas. Tapi ia sudah mempelajari sistem ini sejak kecil. Ia tahu di mana titik butanya, tahu bagaimana caranya melewati jalur yang tidak tertangkap sensor.
Tangannya mengetuk layar holografis di pergelangan tangan. Mode “Reguler” aktif—menyamarkan pola gerakannya agar tidak memicu alarm aktivitas abnormal. Seakan ia hanya berjalan untuk sekadar menghirup udara malam, meskipun udara di Neo-Astra tidak pernah berubah, tidak pernah segar, tidak pernah bebas.
Ia menyeberangi jembatan yang membentang di atas jalur rel otomatis, lalu menyelinap ke lorong sempit di antara dua gedung pencakar langit. Tempat ini jarang dilewati, hanya digunakan oleh teknisi pemeliharaan. Tidak ada cahaya neon yang menyilaukan di sini, hanya bayangan yang samar-samar.
23:59.
Veylan berhenti di depan gerbang logam yang sudah berkarat. Tidak ada teknologi canggih di sini, tidak ada sensor pengenal wajah atau pintu otomatis yang hanya bisa dibuka oleh otoritas tertentu. Hanya gerbang biasa dengan rantai besi yang melilit pegangan.
Ia meraih rantai itu, menariknya sedikit.
Tidak terkunci.
Dari dalam, terdengar suara angin yang aneh.
Ia mendorong pintu perlahan. Engselnya berdecit kecil, dan di baliknya, Terminal 9 menyambutnya dengan keheningan yang mencekam.
Terminal ini berbeda dari bagian lain Neo-Astra. Tidak ada permukaan yang berkilau bersih, tidak ada desain futuristik yang sempurna. Lantainya retak, dindingnya ditumbuhi lumut tipis, seolah tempat ini sudah lama ditinggalkan.
Veylan melangkah masuk.
Udara di sini terasa lebih berat, lebih dingin. Tidak ada jejak manusia, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Jika ada seseorang yang mengirim pesan itu, seharusnya mereka sudah menunggu di sini.
Tapi tempat ini kosong.
Ia hendak berbalik, tapi sebelum sempat melangkah, sebuah suara terdengar dari sudut ruangan.
“Kamu datang juga.”
Veylan menoleh cepat.
Di depan sebuah panel tua yang sudah mati, seorang gadis berdiri dengan tangan tersilang di dada. Rambutnya pendek, sedikit berantakan, dan matanya—mata yang tidak asing bagi Veylan—memancarkan sesuatu yang belum pernah ia lihat pada orang lain di kota ini.
Ketidakteraturan.
Berbeda dari semua orang yang ia kenal, gadis ini tidak terlihat sempurna. Pakaiannya tidak rapi, wajahnya tidak bersih dari noda, dan yang lebih mengejutkan lagi, ekspresinya tidak datar. Ia tersenyum, tapi bukan senyum ramah. Lebih seperti senyum seseorang yang sedang menguji sesuatu.
Veylan mengamati gadis itu dengan hati-hati. “Siapa kamu?”
“Kamu bisa panggil aku Kora.”
Veylan tidak mengenal nama itu. Tidak ada satu pun individu di Neo-Astra yang tidak terdaftar dalam sistem, tapi nama “Kora” tidak pernah muncul dalam data yang pernah ia baca.
“Kamu mengirim pesan itu?” tanyanya lagi.
Kora mengangguk. “Aku penasaran, apakah anak emas Neo-Astra akan datang atau tidak.”
Veylan tidak membalas.
“Jadi?” lanjut Kora, berjalan mendekat. “Apa rasanya menjalani hidup yang sudah dirancang sempurna?”
Ia tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu bukan sesuatu yang membutuhkan jawaban.
Kora tertawa kecil. “Dulu aku juga seperti kamu.”
Kalimat itu menghentikan pikiran Veylan sejenak.
“Bohong,” katanya akhirnya. “Kalau kamu seperti aku, seharusnya aku mengenalmu.”
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak mengenalku?” Kora memiringkan kepala. “Mungkin karena mereka tidak ingin kamu mengenalku.”
Neo-Astra tidak pernah menghapus data seseorang. Setiap warga, setiap kelahiran, setiap aktivitas, semuanya tersimpan dengan detail sempurna. Tidak mungkin ada seseorang yang “tidak diinginkan” dalam sistem ini.
Tapi Kora ada di sini, dan sistem seakan tidak menyadarinya.
Veylan mengepalkan tangan. “Apa yang kamu inginkan dariku?”
“Pertanyaan bagus.” Kora berhenti di depannya, menatapnya langsung. “Tapi pertanyaannya salah. Seharusnya, yang kamu tanyakan adalah… apa yang aku bisa tunjukkan padamu.”
Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan sesuatu yang terlihat seperti gelang hitam polos.
“Benda ini,” katanya, “akan menunjukkan hal yang tidak pernah kamu lihat dalam hidupmu.”
Veylan tetap diam.
Kora tersenyum. “Satu pertanyaan sebelum kamu menerimanya.”
Ia menatap lurus ke matanya.
“Kamu pernah melihat bintang, Veylan?”
Sebuah pertanyaan yang aneh. Neo-Astra tidak memiliki bintang. Langitnya hanya pantulan cahaya buatan dari kubah yang menutupinya.
“Tidak,” jawabnya akhirnya.
Kora mengulurkan gelang itu.
“Kalau begitu, inilah saatnya.”
Veylan menatap gelang itu lama.
Satu keputusan.
Satu pilihan yang bisa mengubah segalanya.
Dan tanpa sadar, tangannya mulai bergerak ke depan.
Cahaya di Luar Kubah
Veylan merasakan permukaan dingin gelang itu ketika jari-jarinya menyentuhnya. Tidak ada layar, tidak ada tombol, hanya sebuah lingkaran hitam polos yang terlihat terlalu sederhana untuk sesuatu yang diklaim bisa “menunjukkan hal yang tidak pernah ia lihat dalam hidupnya.”
“Kamu ragu?” suara Kora terdengar santai, tapi matanya tajam, mengamati setiap gerakan Veylan.
“Bukan ragu,” jawabnya singkat, “hanya berhati-hati.”
Kora tertawa kecil. “Bagus. Tapi kalau kamu terlalu hati-hati, kamu nggak akan pernah tahu seperti apa dunia yang sebenarnya.”
Ia menggoyangkan gelang itu sedikit di depan wajahnya.
“Pasang ini,” katanya. “Dan kita akan pergi ke tempat yang tidak pernah kamu bayangkan.”
Veylan menatap Kora sejenak, lalu mengambil gelang itu. Ia menyelipkannya di pergelangan tangan kanannya, dan dalam sekejap, sesuatu terjadi.
Tubuhnya terasa ringan, hampir seperti kehilangan bobot. Matanya menangkap perubahan kecil di sekelilingnya—udara di dalam Terminal 9 tampak bergetar, seperti ilusi panas di atas permukaan logam. Warna-warna di sekitar mereka menjadi sedikit lebih redup, dan suara dengungan samar muncul di telinganya.
Kemudian, semuanya berubah.
Terminal 9 menghilang.
Veylan tidak berdiri di antara reruntuhan stasiun tua lagi. Ia berdiri di sesuatu yang luas, gelap, dan tidak memiliki batas.
Ia menoleh ke kiri. Tidak ada bangunan, tidak ada kubah, tidak ada lampu-lampu kota yang biasa menerangi Neo-Astra. Ke kanan, hanya ada kegelapan yang dalam. Tapi yang lebih mengejutkan dari semua itu adalah apa yang ada di atasnya.
Bintang.
Bukan cahaya buatan, bukan hologram. Bintang-bintang sesungguhnya berkelap-kelip di langit yang luas, berjuta-juta titik cahaya yang tidak pernah ada dalam sistem Neo-Astra.
Veylan tidak bisa berkata-kata.
Ini… nyata?
“Lihat ke bawah,” suara Kora memecah keheningan.
Ia menunduk.
Dan dadanya terasa seperti dihantam sesuatu.
Di bawah mereka, jauh di bawah sana, ada sesuatu yang lebih besar dari yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Sebuah planet. Tidak seperti Neo-Astra yang tertutup oleh kubah transparan, planet ini benar-benar bebas.
Ada lautan luas, daratan hijau, gunung-gunung menjulang. Ada awan, ada sungai, ada sesuatu yang bergerak—bukan drone atau kendaraan otomatis, tapi sesuatu yang lebih alami.
“Ini…” Veylan berusaha mengatur napasnya. “Ini bumi?”
Kora tersenyum miring. “Kamu mengira kita masih di dalam Neo-Astra?”
Ia menunjuk ke atas. “Kubah itu tidak pernah ada di sini. Dan ya… ini bumi. Tapi bukan yang mereka ceritakan padamu.”
Veylan menggeleng. Tidak mungkin. Bumi sudah lama ditinggalkan. Sejarah mengatakan kalau manusia meninggalkan planet ini ratusan tahun lalu karena sudah tidak layak huni. Tapi yang ada di hadapannya sekarang bertolak belakang dengan semua yang ia pelajari.
“Kalau bumi sudah hancur,” suaranya hampir berbisik, “kenapa masih ada kehidupan di sana?”
Kora tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.
“Kamu harus lihat sendiri,” akhirnya ia berkata. “Dan satu-satunya cara adalah… kita turun ke sana.”
Gelang di pergelangan tangan Veylan mulai bersinar lembut. Kora menyentuh permukaan gelangnya sendiri, lalu tanpa peringatan, tubuh mereka mulai bergerak turun dengan kecepatan yang mustahil dijelaskan.
Angin berputar di sekitar mereka, tapi tidak ada tekanan, tidak ada gravitasi yang menarik mereka dengan kasar. Mereka tidak jatuh, mereka meluncur, melewati lapisan atmosfer dengan begitu halus seolah-olah sedang berenang di udara.
Dan kemudian, mereka menyentuh tanah.
Veylan merasakan sesuatu yang asing di bawah kakinya. Bukan lantai metalik, bukan permukaan steril seperti yang ia kenal di Neo-Astra. Ini tanah sungguhan—hangat, berpasir, dan sedikit lembab.
Di sekelilingnya, ada pohon-pohon tinggi yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Udara di sini lebih berat, lebih kaya akan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Dan yang paling menakjubkan…
Langit.
Tidak ada kubah. Tidak ada batas. Langit yang sesungguhnya membentang luas di atas kepalanya, dengan awan putih yang melayang bebas, diterangi cahaya matahari yang terasa lebih nyata daripada sinar buatan di kota.
“Ini… nyata?” Veylan akhirnya berbicara.
Kora menoleh padanya. “Sejak kapan kamu mulai meragukan semuanya?”
Ia tidak bisa menjawab.
“Ayo,” Kora melangkah maju. “Masih banyak yang harus kamu lihat.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Veylan mengikuti langkah seseorang tanpa tahu ke mana ia akan pergi.
Dunia yang Tak Pernah Diajarkan
Veylan melangkah dengan hati-hati, seolah-olah tanah di bawahnya bisa runtuh kapan saja. Semua yang ia lihat begitu berbeda dari Neo-Astra—begitu hidup, begitu liar. Setiap daun yang bergoyang diterpa angin, setiap suara burung yang berkicau di kejauhan, setiap hembusan udara yang masuk ke paru-parunya… semuanya terasa begitu nyata.
“Kenapa aku nggak pernah tahu kalau ini ada?” Veylan bertanya, masih memandangi sekelilingnya dengan takjub.
Kora menyeringai. “Karena mereka nggak mau kamu tahu.”
“Apa maksudmu?”
Kora berhenti dan menatapnya. “Kamu benar-benar percaya kalau bumi sudah hancur?”
“Itu yang mereka ajarkan,” jawab Veylan pelan.
“Dan kamu nggak pernah mempertanyakan?”
Veylan terdiam. Mempertanyakan? Seumur hidupnya, ia selalu menerima informasi yang diberikan tanpa ragu. Tidak ada yang mempertanyakan sejarah di Neo-Astra. Tidak ada yang berani.
“Kenapa mereka berbohong?” tanyanya akhirnya.
Kora menghela napas panjang. “Karena mereka nggak mau kehilangan kendali. Neo-Astra dibangun untuk menciptakan dunia yang sempurna, kan? Masa depan yang sudah terencana, tersusun rapi, tanpa kekacauan, tanpa risiko.”
Veylan mengangguk. Itulah yang selalu ditanamkan sejak kecil.
“Tapi dunia yang sempurna bukan berarti dunia yang bebas,” lanjut Kora. “Mereka membatasi apa yang boleh kamu ketahui. Mereka mengatur semua yang kamu lakukan, bahkan masa depanmu. Mereka membuatmu percaya kalau tidak ada tempat lain selain di dalam kubah. Kalau semua yang ada di luar itu sudah musnah.”
Veylan mengepalkan tangannya. Semua yang ia yakini selama ini ternyata hanya setengah kebenaran.
“Tapi kenapa ada orang yang masih tinggal di bumi?”
“Itu yang harus kamu lihat sendiri,” kata Kora.
Mereka terus berjalan sampai tiba di sebuah bukit kecil. Dari sana, Veylan melihat sesuatu yang lebih mengejutkan dari apa pun yang sudah ia temui sejauh ini.
Di kejauhan, di tepi sungai yang berkilauan diterpa matahari, ada sebuah pemukiman. Bukan kota futuristik dengan gedung-gedung logam menjulang, bukan tempat yang dipenuhi drone dan sistem otomatis. Ini adalah desa. Rumah-rumah dengan atap jerami, jalanan tanah, orang-orang yang bergerak dengan bebas tanpa gelang pemantau di pergelangan tangan mereka. Anak-anak berlari-lari di antara ladang, tertawa tanpa rasa takut.
Veylan hampir tidak bisa bernapas.
“Ini…” suaranya tercekat.
“Kehidupan yang mereka sembunyikan darimu,” kata Kora pelan.
Veylan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ini jauh berbeda dari Neo-Astra yang kaku dan terkontrol. Tidak ada rutinitas yang dipaksakan, tidak ada aturan yang membelenggu. Mereka terlihat… bahagia.
“Jadi,” Kora menoleh padanya. “Kamu masih mau kembali?”
Veylan terdiam.
Seharusnya jawabannya mudah. Ia sudah memiliki segalanya di Neo-Astra—jaminan masa depan, pendidikan terbaik, kehidupan yang terencana sempurna. Tapi sekarang, setelah melihat ini semua, ia mulai meragukan segalanya.
Untuk pertama kalinya, ia punya pilihan.
“Kalau aku kembali,” katanya pelan, “aku nggak akan bisa menceritakan ini ke siapa pun, kan?”
Kora mengangguk. “Mereka nggak akan membiarkanmu. Kalau kamu kembali, kamu harus melupakan semuanya. Neo-Astra tidak suka orang yang mempertanyakan sistem.”
Veylan mengepalkan tangannya.
Hidup di dalam kubah berarti keamanan. Hidup di sini berarti kebebasan.
Keamanan atau kebebasan?
Dulu, ia pikir masa depan yang sudah diatur adalah sesuatu yang indah. Tapi sekarang, ia sadar… masa depan yang indah bukan tentang rencana yang sudah ditentukan orang lain. Masa depan yang indah adalah tentang memiliki pilihan.
Dan untuk pertama kalinya, Veylan tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia menatap Kora, matanya penuh dengan tekad.
“Aku nggak akan kembali.”
Kora tersenyum. “Aku tahu kamu akan bilang begitu.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Veylan merasa benar-benar bebas.
Masa depan yang sempurna? Itu cuma ilusi yang dijual sama mereka yang takut kehilangan kendali. Pada akhirnya, bukan aturan atau sistem yang menentukan kebahagiaan seseorang—tapi pilihan yang mereka buat sendiri.
Veylan bisa aja kembali ke Neo-Astra dan hidup nyaman tanpa harus mikirin apa pun, tapi dia milih sesuatu yang lebih berharga: kebebasan. Karena dunia yang indah bukan dunia yang terencana, tapi dunia yang bisa kamu jalani dengan cara kamu sendiri.


