Keajaiban Malam di Ujung Lombok: Suara Laut yang Memanggil

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak ada yang aneh banget di suatu tempat, tapi nggak bisa ngejelasin apa itu? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke tempat yang misterius banget, di ujung Lombok, di mana laut dan langit seakan punya rahasia yang nggak bisa diungkap.

Di sini, nggak cuma gelapnya malam yang bikin merinding, tapi juga suara-suara aneh yang bikin penasaran. Jadi siap-siap deh, buat masuk ke dunia yang penuh teka-teki ini!

 

Suara Laut yang Memanggil

Warung Di Ujung Tebing

Malam di ujung Lombok selalu punya caranya sendiri untuk memukau siapa pun yang datang. Langit bersih tanpa awan, bulan menggantung sempurna di atas lautan yang berkilauan seperti ditaburi berlian. Angin dari selatan membawa aroma asin yang bercampur dengan harumnya pohon kelapa di sepanjang tebing. Ombak di bawah sana bergerak pelan, sesekali memecah karang dengan suara yang menenangkan.

Di sebuah warung sederhana yang berdiri di ujung tebing, lampu minyak bergoyang pelan, memancarkan cahaya hangat ke dinding-dinding bambu. Meja kayu di dalamnya tampak penuh dengan noda kopi dan garam laut yang tertinggal setelah bertahun-tahun diterpa angin. Di balik meja, seorang pria paruh baya dengan rambut sedikit memutih sibuk mengaduk kopi hitam kental dalam gelas tanah liat.

Pak Raden—begitu ia biasa dipanggil—bukan sekadar pemilik warung. Ia adalah saksi hidup dari ratusan cerita yang lahir di tempat ini.

Seorang nelayan dengan kaos lusuh dan celana pendek duduk di bangku panjang, menyesap kopi dengan santai. Manca, lelaki dengan kulit legam terbakar matahari, tertawa kecil sambil menggoyangkan kakinya yang telanjang di atas lantai bambu.

“Pak, malam ini kok sepi amat? Padahal biasanya ada bule-bule nongkrong di sini,” tanya Manca, menaruh cangkirnya dengan suara berdenting pelan.

Pak Raden tersenyum tipis, tangannya tetap sibuk menuangkan kopi ke gelas lain. “Hari ini Selasa Kliwon, Man. Banyak yang nggak berani ke sini.”

Manca mendecak. “Halah, percaya aja sama mitos! Aku dari kecil di laut, nggak pernah lihat yang aneh-aneh.”

Baru saja ucapan itu selesai, suara motor tua meraung dari kejauhan. Jalanan tanah berbatu bergetar saat dua orang anak muda muncul dari balik kegelapan, lampu motor mereka menyorot jalur sempit yang berakhir di depan warung.

Seorang pria turun lebih dulu, jaket kulitnya tampak lusuh tapi bergaya. Kamera tergantung di lehernya, berayun pelan saat ia melepas helmnya. Di belakangnya, seorang wanita turun dengan syal merah yang berkibar tertiup angin laut. Ia memeluk tubuhnya, mencoba melawan udara malam yang mulai menusuk.

Reza dan Keisha—dua petualang kota yang sedang mencari ketenangan di ujung Lombok.

“Pak, masih jual kopi?” tanya Reza, matanya berbinar melihat suasana tradisional warung itu.

Pak Raden mengangguk. “Duduk aja dulu.”

Keisha memandang sekitar dengan mata berbinar. “Ya ampun, tempat ini keren banget! Langitnya bersih banget, kayak bisa lihat bintang jatuh kapan aja.”

Manca terkekeh. “Hati-hati, di sini bukan cuma bintang yang bisa jatuh. Kadang ada yang lain juga.”

Reza menoleh cepat. “Maksudnya?”

Pak Raden meletakkan dua cangkir kopi di depan mereka, uapnya naik perlahan, bercampur dengan udara asin laut. “Ah, dia cuma nakut-nakutin. Nikmati aja kopinya.”

Keisha menyesap sedikit, lalu langsung meringis. “Gila, pahit banget!”

Manca tertawa. “Ya jelas! Ini kopi asli, bukan yang udah dicampur gula kiloan kayak di kota.”

Reza menatap ke arah tebing, angin laut mengacak rambutnya. Kamera di lehernya mulai ia siapkan, mencari sudut terbaik untuk mengabadikan keindahan malam. Keisha ikut menatap ke bawah, melihat ombak yang menggulung perlahan di bawah sana.

“Reza, ini keren banget. Aku nggak nyangka tempat sekeren ini masih sepi.”

Reza mengangguk sambil mengangkat kameranya. “Mungkin belum banyak yang tahu. Dan itu bagus.”

Ia membidik lautan yang berkilauan, lalu menekan tombol shutter. Kilatan blitz menyinari malam, sebentar saja, lalu kembali gelap.

Tapi sesuatu yang aneh terjadi.

Di layar kameranya, ada siluet seseorang berdiri di atas air.

Reza mengernyit, menatap layar lebih lama. Keisha yang penasaran ikut melongok. Wajahnya langsung pucat.

“Reza… itu siapa?”

Di layar, siluet itu berdiri diam. Seperti seorang wanita dengan rambut panjang yang berkibar ditiup angin. Gaunnya melayang di atas permukaan laut.

Tapi saat mereka menoleh ke lautan nyata, tidak ada siapa-siapa.

Pak Raden dan Manca yang melihat ekspresi mereka ikut mendekat. Begitu mereka melihat layar kamera, wajah Manca langsung berubah.

“Nak, kamu baru aja motret sesuatu yang nggak seharusnya dipotret,” gumamnya dengan suara rendah.

Reza menelan ludah. “Kamu becanda, kan?”

Pak Raden menarik napas panjang. “Di ujung Lombok ini, ada beberapa tempat yang nggak boleh sembarang diabadikan. Bisa jadi… itu Nyai Laut.”

Keheningan menyergap mereka. Angin tiba-tiba bertiup lebih dingin, seperti ada sesuatu yang sedang mengawasi.

Keisha menggenggam lengan Reza erat. “Aku nggak suka ini.”

Reza menatap laut yang gelap, jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi di dalam kepalanya, ada satu pertanyaan yang terus berputar: apa yang sebenarnya baru saja mereka lihat?

Dan di atas sana, bulan tetap bersinar tenang, menyaksikan malam yang baru saja berubah menjadi sesuatu yang tak terduga.

 

Kilatan Di Tengah Malam

Angin laut bertiup lebih kencang. Lampu minyak di warung Pak Raden bergoyang, nyaris padam. Keisha masih memegang lengan Reza erat, sementara pria itu tetap menatap layar kameranya dengan ekspresi bingung dan sedikit ngeri.

Manca yang biasanya santai kini tampak gelisah. Ia menarik napas dalam, lalu berdeham. “Begini ya, aku nggak mau nakut-nakutin, tapi kalau kalian emang nggak sengaja motret yang begituan…” ia melirik Pak Raden, mencari dukungan.

Pak Raden menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Sebaiknya hapus saja fotonya.”

Keisha langsung mengangguk. “Setuju! Hapus aja, Reza. Aku nggak suka perasaan ini.”

Tapi Reza ragu. Tangannya masih menggenggam kamera erat, matanya terpaku pada layar. “Tapi… ini bukti. Maksudku, gimana kalau ini cuma efek kamera? Atau ada orang di sana yang nggak kita lihat?”

Manca menyeringai kecil. “Orang apaan yang bisa berdiri di atas air, Mas?”

Keisha menyikut Reza. “Reza, ayolah. Aku nggak peduli teori apapun yang kamu pikirin sekarang. Aku cuma mau kita pulang dengan tenang.”

Reza mendesah panjang. Ia menekan beberapa tombol di kameranya, bersiap menghapus foto itu. Tapi sebelum jari telunjuknya menyentuh tombol delete, layar kameranya tiba-tiba… mati.

“Eh?” Reza mengerutkan dahi, menekan tombol power beberapa kali. Tidak ada reaksi. Kamera yang tadi berfungsi normal sekarang seolah kehilangan nyawa.

“Baterai habis?” tanya Keisha, suaranya bergetar.

“Nggak mungkin. Aku baru charge sebelum kita berangkat.”

Pak Raden dan Manca saling pandang. Atmosfer warung yang tadinya hangat mendadak terasa dingin. Manca berdehem pelan, lalu berdiri. “Aku ambil senter dulu, ya.” Ia masuk ke dalam warung, meninggalkan mereka bertiga dalam ketegangan.

Pak Raden kembali ke balik meja, menuangkan kopi untuk dirinya sendiri. “Kalian percaya atau nggak, tempat ini punya aturannya sendiri. Orang yang datang ke sini harus tau batas. Kadang, ada yang iseng ngasih peringatan.”

Keisha menelan ludah. “Iseng?”

Pak Raden tersenyum tipis, tapi matanya serius. “Kalau mereka udah nggak iseng… ya, lain cerita.”

Keheningan menyelimuti mereka. Ombak di bawah tebing bergulung lebih keras, seperti ikut mengomentari obrolan malam itu.

Manca kembali dengan sebuah senter kecil di tangannya. “Ayo, aku anterin ke tempat yang lebih terang. Jalanan ke bawah gelap banget kalau kalian mau balik sekarang.”

Keisha dengan sigap berdiri. “Yaudah, ayo! Kita pulang aja, Reza.”

Reza masih terlihat ragu. Ia menatap kameranya yang mati, lalu lautan yang tenang di kejauhan. Sejujurnya, bagian dalam dirinya masih ingin mencari tahu lebih banyak. Tapi melihat wajah pucat Keisha, ia akhirnya menyerah.

“Oke, kita balik.”

Mereka membayar kopi, lalu berjalan ke arah motor yang diparkir tak jauh dari warung. Manca menyorot jalan dengan senter, memastikan mereka bisa melihat jalur sempit berbatu itu dengan jelas.

Saat mereka hampir sampai di motor, angin berembus lebih kencang, membawa suara gemerisik dari pepohonan di sekitar. Keisha menggigil, merapatkan syalnya.

Dan lalu, samar-samar… terdengar suara.

Lembut.

Dingin.

Seperti seseorang yang bernyanyi dari kejauhan.

Keisha menghentikan langkahnya. “Dengar nggak?” bisiknya.

Reza mengerutkan kening. Suaranya terlalu halus untuk didengar dengan jelas, tapi ada sesuatu yang aneh dalam nada nyanyian itu.

Manca, yang berdiri di depan mereka, langsung membalikkan badan dan memasang wajah tegang. Ia mengarahkan senter ke arah semak-semak di samping jalan, tapi tidak ada apa-apa di sana.

Keisha menarik lengan Reza. “Reza… kita pergi sekarang.”

Reza mengangguk cepat, mengambil helm dan langsung naik ke motor. Keisha duduk di belakangnya, tangannya mencengkeram jaketnya erat.

Manca menepuk bahu Reza. “Jangan ngebut, tapi jangan berhenti di jalan juga. Kalau ada yang manggil, pura-pura nggak dengar.”

Reza menelan ludah, lalu menghidupkan motor. Mesin menderu, memecah keheningan malam.

Begitu roda mulai bergerak, angin semakin kencang.

Dan di detik terakhir sebelum mereka meninggalkan warung, Keisha menoleh sekali lagi ke arah tebing.

Di sana, berdiri sosok perempuan dengan rambut panjang yang tergerai, gaunnya berkibar pelan di tiupan angin laut.

Keisha menahan napas, jantungnya hampir berhenti.

Tapi saat ia berkedip… sosok itu sudah tidak ada.

Motor melaju menjauh, meninggalkan warung di ujung tebing.

Dan di balik gelapnya malam, nyanyian halus itu masih terdengar.

 

Nyai Laut Dan Rahasia Ombak

Reza menekan gas motornya lebih cepat, meninggalkan jalan setapak yang sempit dan berbatu. Angin malam terasa menusuk kulit, menggigit setiap inci yang tak terlindungi oleh jaket. Keisha masih terdiam di belakang, menempelkan tubuhnya ke punggung Reza, berusaha menghindari hembusan angin yang kian dingin.

Tapi entah kenapa, udara malam ini terasa lebih berat. Suara ombak yang biasanya menenangkan kini terdengar bagaikan ributannya yang menahan nafas, seperti ada sesuatu yang tak bisa dilepaskan.

“Keisha, kita aman, kan?” tanya Reza, sedikit gugup.

Keisha, yang sejak tadi hanya terdiam, mengangguk pelan. Matanya terpejam, seakan mencoba menepis perasaan aneh yang kian mencekam di dalam dadanya. “Iya, aman. Tapi… aku masih nggak bisa lupa sama suara itu.”

Reza mengerutkan dahi, menyesuaikan arah pandangannya dengan jalur jalanan yang mulai menurun. “Suara siapa?”

Keisha menelan ludah, matanya menatap ke kejauhan, menuju laut yang terlihat samar-samar di bawah sana. “Suara wanita itu. Suara nyanyiannya. Seperti… seperti memanggil kita.”

Reza terdiam. “Mungkin hanya angin.”

Keisha tertawa kering. “Angin nggak mungkin nyanyi, Reza. Itu jelas bukan angin.”

Tiba-tiba, mesin motor mereka menderu lebih keras, dan Keisha merasa sedikit melayang. “Reza!” teriaknya.

Reza buru-buru menarik rem motor. “Apa?” matanya terbelalak.

Keisha menunjuk ke arah jalan. Di sana, di ujung jalanan yang gelap, sebuah bayangan berdiri tegak, hampir tidak tampak oleh mata. Seperti sosok manusia, namun lebih… kabur, seperti tidak sepenuhnya nyata.

“Siapa itu?” tanya Reza dengan suara bergetar.

Keisha menatap tajam. Bayangan itu bergerak pelan, seperti tertarik oleh sesuatu, dan dengan langkah yang tak teratur, sosok itu menuju ke arah mereka. Keisha memegangi tangannya, tapi Reza langsung menarik gas motor dan melaju cepat.

Mereka melewati bayangan itu dalam sekejap, dan Keisha bisa melihat dengan jelas wajahnya.

Perempuan itu. Sosok yang tadi mereka lihat di tebing. Sekarang ia berdiri di tengah jalan, dan matanya… mata itu, meskipun terlihat kosong, menatap mereka dengan intens. Terlihat jelas bahwa ia sedang menunggu sesuatu.

“Reza!” teriak Keisha sekali lagi. “Jangan berhenti! Jangan berhenti!”

Namun, entah bagaimana, motor mereka seperti berhenti dengan sendirinya. Mereka sudah cukup jauh, tapi entah kenapa motor itu seakan menarik mereka kembali. Reza mencoba menghidupkan kembali mesin, namun tidak bisa.

“Kenapa ini bisa berhenti?” tanya Reza dengan cemas.

Keisha memandang ke luar, dan bayangan itu sekarang sudah tidak ada. Tapi ada sesuatu yang aneh di udara. Sesuatu yang terasa sangat mencekam.

“Reza, ada yang nggak beres. Kita harus pergi dari sini.” Suara Keisha bergetar.

Sosok itu—perempuan itu—berjalan mendekat, namun langkahnya terhenti. Sebuah suara melintas di udara. Keras, jelas, seperti suara bisikan dari bawah laut, datang langsung ke telinga mereka.

“Jangan tinggalkan aku.”

Reza menoleh ke arah Keisha. Matanya diliputi ketakutan. “Kita nggak bisa tinggal di sini.”

Tiba-tiba, seperti ada kekuatan yang mendorong mereka, motor itu akhirnya melaju sendiri, meninggalkan tempat yang penuh misteri ini. Keisha terus menoleh ke belakang, namun bayangan itu semakin menjauh, menyatu dengan gelap malam.

Jalanan semakin sempit dan gelap, mereka mulai memasuki bagian yang lebih dalam dari ujung Lombok, jauh dari keramaian dan jauh dari peradaban. Hanya ada suara ombak yang tak pernah berhenti. Keisha mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang aneh.

“Reza, kamu nggak merasa ada yang nggak beres dengan tempat ini?”

Reza mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”

“Entah kenapa aku merasa seperti—seperti kita nggak akan bisa keluar dari sini.” Keisha menggigil, meskipun suhu udara terasa normal. Ada rasa tak nyaman yang semakin menggerogoti hatinya.

Reza menggenggam setang motor lebih erat. “Kita cuma harus terus maju, Keisha. Nggak ada yang akan terjadi kalau kita tetap tenang.”

Tapi Keisha tahu, meskipun mereka melaju dengan kecepatan tinggi, ada sesuatu yang mengikuti mereka dari kejauhan. Suara itu, nyanyian itu, tetap ada, bergema di udara, seolah tidak akan pernah berhenti.

Dan di suatu titik, Keisha merasa—ada yang mengamatinya. Sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan.

“Reza…” suara Keisha nyaris tidak terdengar. “Kamu merasa itu kan?”

Keisha menoleh, tapi kali ini sosok itu bukan hanya sekadar bayangan. Di atas sebuah bukit kecil yang menghadap ke laut, sosok perempuan itu berdiri, menatap dengan mata yang kosong namun penuh rasa sakit. Rambutnya terurai, gaunnya putih, hampir bersinar dalam gelapnya malam.

“Keisha… kita harus berhenti,” kata Reza dengan suara tegas. Wajahnya serius, tak seperti biasanya.

Keisha menarik napas panjang. “Gimana kalau kita nggak bisa keluar dari sini?”

“Ayo kita coba dulu,” Reza menggenggam tangan Keisha, mengarahkannya ke jalan setapak yang lebih kecil.

Namun, begitu mereka berbalik, sebuah suara, jelas dan penuh kehampaan, menggema dari kejauhan. Suara itu datang dari arah laut, suara yang sama yang terdengar sebelumnya.

“Jangan tinggalkan aku…”

 

Lautan Tanpa Jawaban

Motor Reza melaju semakin cepat, melewati jalan setapak yang semakin menurun. Keisha memegangi erat jaketnya, takut jika motor itu tergelincir. Tetapi entah kenapa, meskipun mereka sudah jauh, perasaan aneh itu belum juga hilang. Suara itu—nyanyian itu—terus bergaung, semakin lama semakin mendekat.

Di kejauhan, gelapnya laut semakin terlihat jelas, menyatu dengan langit malam yang kosong. Keisha merasa seakan dirinya dan Reza hanyalah dua titik yang terlupakan di antara kedalaman alam yang gelap. Begitu mendalamnya, hingga mereka mulai meragukan kenyataan itu sendiri.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Keisha?” tanya Reza, suaranya tampak putus asa. “Kenapa ini terus mengikuti kita?”

Keisha menatap Reza dengan pandangan kosong. “Aku nggak tahu, Reza. Aku juga nggak paham apa yang sedang terjadi. Semua ini terasa… aneh. Terlalu aneh.”

Reza menurunkan kecepatan motor, akhirnya berhenti tepat di tepi tebing yang menghadap laut. Keduanya turun dari motor dan berdiri di sana, menatap luasnya samudra yang terlihat seperti dunia lain. Laut itu—hitam, tanpa batas—menyimpan sesuatu yang tak terungkapkan.

Keisha mengusap wajahnya. “Kenapa perasaan aku semakin berat? Seakan-akan aku kehilangan sesuatu, atau ada sesuatu yang hilang.”

Reza menatap laut. Ia bisa merasakan ketegangan yang menghimpit. “Keisha… aku tahu ini terdengar gila, tapi… aku merasa kita seharusnya tahu lebih banyak tentang tempat ini.”

Keisha menoleh ke arah Reza. “Apa maksud kamu?”

Reza menelan ludah, matanya menyapu area sekitar. “Mungkin kita nggak hanya sedang mencari tahu tentang suara itu. Mungkin, ini lebih dari sekadar misteri… mungkin kita memang seharusnya berada di sini.”

Keisha bingung. “Maksud kamu?”

Reza melangkah lebih dekat ke pinggir tebing, matanya tidak lepas dari pandangan kosong laut yang bergelora. “Aku merasa… aku merasa seperti aku sudah tahu tempat ini. Seperti aku pernah berada di sini sebelumnya. Tapi… aku nggak ingat kapan.”

Keisha merasakan sesuatu yang menggelitik di dalam hatinya. Suasana ini, suara itu, dan sekarang Reza yang berbicara tentang sesuatu yang tak ia pahami. “Aku nggak mengerti.”

Tiba-tiba, suara itu kembali. Kini lebih keras dari sebelumnya, bagaikan ombak yang bergulung dan memecah di sekitar mereka. Keisha menutupi telinganya dengan kedua tangan. “Tidak! Jangan!”

Reza berpaling, matanya terbelalak, seolah baru saja mengerti sesuatu. “Keisha… kita tidak bisa lari dari ini. Suara itu… dia tidak akan berhenti memanggil.”

Keisha menggigit bibirnya. “Aku takut, Reza. Aku takut kalau kita tidak bisa pergi dari sini.”

Namun, sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, gelombang ombak yang besar datang dari lautan, menggulung ke arah mereka dengan cepat. Tanpa peringatan, ombak itu menabrak tebing dengan dahsyat, dan air laut seakan melahap seluruh pemandangan di hadapan mereka. Keisha terjatuh, terpelanting ke samping, dan Reza dengan cepat menariknya.

Dengan napas terengah, Keisha melihat ke dalam gelombang yang seolah tak berujung itu, merasakan tarikan yang kuat, seakan ada kekuatan dari dalam laut yang ingin menariknya masuk.

“Kita harus pergi sekarang!” teriak Reza, mencoba menariknya pergi dari tepi laut.

Keisha hanya bisa mengangguk, kakinya tak kuat berdiri, namun Reza menggenggam erat tangannya, membimbingnya menjauh. Hati Keisha semakin berpacu, semakin berat. Suara itu masih terdengar, semakin jelas, semakin penuh dengan penantian.

“Suaranya…,” Keisha berbisik, “Dia masih memanggil kita, Reza.”

Dan tiba-tiba, saat mereka berbalik untuk meninggalkan tempat itu, sebuah bayangan muncul di hadapan mereka. Bayangan wanita yang sama. Wajahnya, meskipun samar, tetap terlihat jelas dalam kegelapan. Matanya terbuka lebar, penuh dengan kesedihan yang tak terungkapkan.

“Jangan tinggalkan aku…”

Keisha dan Reza berhenti. Pandangan mereka kosong. Dalam hati mereka, entah mengapa, perasaan itu terasa mengikat, begitu kuat. Seperti ada benang yang menghubungkan mereka dengan sosok itu, meskipun mereka tidak tahu apa atau siapa dia sebenarnya.

Tiba-tiba, suara itu menghilang, seiring dengan hilangnya bayangan itu ke dalam kabut yang muncul begitu cepat. Keisha mengusap matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka alami. Seolah semuanya hanyalah mimpi, atau mungkin—tak ada yang bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

Reza menggenggam tangan Keisha lebih erat. “Keisha… kita harus pergi sekarang. Ini… ini bukan tempat kita.”

Keisha mengangguk, dan meskipun ketakutan masih menguasai dirinya, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang dalam, yang entah berasal dari mana, tapi mereka tidak bisa melawan. Laut, dengan semua misterinya, tetap meninggalkan rasa tak terpecahkan.

Ketika mereka meninggalkan tempat itu, tidak ada suara yang terdengar lagi. Laut itu kembali tenang. Langit malam mengisyaratkan kedamaian yang sama sekali tidak mereka rasakan.

Namun, satu hal yang pasti: mereka tahu, malam di ujung Lombok ini akan selalu tinggal bersama mereka. Sebuah kenangan yang tak akan pernah bisa dilupakan, meskipun mereka berusaha lari sejauh mungkin.

Mereka hanya berharap, suara itu tidak akan pernah kembali.

 

Jadi gitu deh ceritanya, malam di ujung Lombok yang penuh rahasia dan ketegangan. Kadang kita mikir, kalau udah terjebak di tempat yang aneh, bisa nggak ya kita lari dari itu semua?

Atau memang, kita ditakdirkan buat ngerti lebih dalam soal misteri itu? Siapa yang tahu, kan? Tapi satu hal yang pasti, cerita ini bakal selalu jadi kenangan yang nggak bakal gampang hilang. Gimana, seru kan?

Leave a Reply