Daftar Isi
Oke, bayangin kamu lagi ikut lomba 17 Agustus bareng temen-temen. Eh, bukan cuma sekadar lomba biasa, tapi lomba yang penuh kekacauan, tawa ngakak, dan drama nggak jelas! Inilah kisah Trio Kocak, tiga sahabat yang niatnya pengen menang, tapi malah sukses bikin satu kampung terpingkal-pingkal!
Dari balap karung yang berujung nyungsep, perang minyak goreng, sampai joget balon yang meledak di muka orang, semua ada di sini! Dijamin perut kamu sakit karena kebanyakan ketawa!
Kekacauan Tiga Sahabat Konyol!
Warung Bu Murni dan Janji-janji Manis
Di sebuah kampung yang tenang—kecuali kalau Ucup mulai berbicara—ada satu tempat yang jadi pusat kehidupan para pemuda pengangguran dan para pekerja keras yang butuh secangkir kopi: Warung Bu Murni.
Warung ini kecil, dengan meja kayu yang sudah mulai reyot, kursi plastik yang kalau didudukin Gembul pasti bunyinya krek krek krek, dan dinding yang ditempeli berbagai poster promo yang sudah kadaluarsa. Ada juga satu kertas bertuliskan “Utang di atas 50 ribu harap dibayar sebelum anak cucu menanggung”—sebuah pesan yang selalu diabaikan oleh tiga sekawan yang saat ini sedang nongkrong di sana.
Ucup, Gembul, dan Wira duduk mengelilingi meja dengan segelas es teh yang mereka minum bertiga. Bukan karena pengen hemat, tapi karena itu satu-satunya minuman yang bisa mereka beli hari ini.
“Bro, besok ada lomba panjat pinang di alun-alun,” kata Gembul sambil melahap gorengan terakhir di piring mereka.
Ucup langsung membelalak, “SERIOUSLY?! Wah, kita harus ikut!”
Wira mengangkat alis, “Kita? Lu yakin? Lu aja naik ke motor Mio aja masih oleng, apalagi panjat pinang.”
“Eh, jangan remehin aku, Wi. Aku ini atlet.”
Gembul nyengir sambil menyahut, “Iya, atlet rebahan.”
Wira tertawa, tapi Ucup justru mengetuk meja dengan serius, “Nggak, ini penting. Kalau kita menang, kita bisa dapet hadiah. Hadiahnya apaan?”
Wira membuka brosur yang dia dapat dari Pak RT dan membaca dengan gaya presenter TV, “Juara satu dapet uang tunai satu juta, motor listrik, dan sekotak rendang siap saji.”
Mata mereka bertiga berbinar.
“Satu juta!” Ucup hampir pingsan.
“Motor listrik!” Gembul menelan ludah.
“Rendang siap saji!” Wira bergidik kagum.
Tiba-tiba, suasana jadi hening. Mereka bertiga mulai membayangkan kehidupan setelah menang lomba.
Ucup membayangkan dirinya naik motor listrik dengan gaya ala pembalap MotoGP, boncengin cewek kampung sebelah yang selama ini nggak pernah ngelirik dia.
Gembul membayangkan dirinya duduk santai di rumah, makan rendang tanpa batas, sementara semua orang iri padanya.
Wira? Dia cuma membayangkan bisa bayar utang di warung Bu Murni dan akhirnya bisa minum es teh segelas sendiri tanpa harus rebutan sedotan.
Setelah beberapa detik lamunan, Ucup langsung meninju meja, “FIX! Kita harus menang!”
Gembul mengangguk, “Setuju, tapi masalahnya panjat pinang itu butuh teknik, bro. Aku pernah nonton video lomba, itu licin banget. Kayak jalanan habis kena oli.”
Wira mengangguk, “Makanya kita butuh strategi. Kita harus bikin susunan tim yang kuat.”
Ucup menunjuk Gembul, “Kamu di bawah buat jadi pondasi, aku di tengah buat keseimbangan, dan Wira di atas karena dia yang paling ringan.”
Wira langsung protes, “Kamu kira aku ini featherweight?!”
“Ya dibanding Gembul, iya,” Ucup berkata tanpa ragu.
Gembul mengangkat tangan, “Tunggu dulu. Aku keberatan sama posisi aku.”
“Lho, kenapa?” tanya Ucup.
“Aku kan yang paling berat. Gimana kalau aku yang paling atas aja? Biar yang bawah nggak kena beban terlalu berat,” Gembul menyengir, berharap argumennya diterima.
Wira memandangnya dengan tatapan bisa-bisanya lu ngomong gitu?.
“Kamu mau jadi meteor jatuh?!” seru Wira.
Ucup juga geleng-geleng kepala, “Gembul, kalau kamu di atas, kita nggak bakal panjat pinang. Kita bakal panjat nisan kita sendiri.”
Gembul mendengus kecewa, “Yah… Ya udah deh.”
Mereka bertiga akhirnya menyepakati strategi awal. Namun, mereka lupa satu hal penting: Mereka belum daftar.
“Aduh! Besok terakhir daftar!” Wira panik saat melihat bagian bawah brosur yang tulisannya sudah setengah lecek karena dipakai buat alas gorengan tadi.
Tanpa buang waktu, mereka bergegas ke kantor kelurahan untuk mendaftar. Namun, ketika sampai di sana, mereka bertiga menelan ludah.
Antriannya panjang.
Panjang banget.
Seperti antrian sembako gratis.
“Tuhan… apa ini ujian?” gumam Ucup.
“Tenang, kita pasti bisa,” kata Wira, mencoba tetap positif.
Mereka pun masuk ke dalam antrian dan bersiap menghadapi tantangan pertama mereka: Berdiri selama berjam-jam sambil berusaha nggak kena sikut ibu-ibu yang bawa tas belanja sebesar planet Jupiter.
Tapi apa pun yang terjadi, satu hal yang pasti: besok mereka akan panjat pinang, dan mereka harus menang.
Strategi Hebat, Eksekusi Amburadul
Matahari pagi memancar hangat, menyinari alun-alun yang mulai ramai dengan persiapan lomba. Tiang pinang yang menjulang tinggi itu berdiri tegak, mengilap seperti habis dipoles dengan minyak goreng dua liter. Di sekelilingnya, berbagai tim peserta sudah siap dengan semangat menggebu-gebu. Ada yang pemanasan, ada yang cek peralatan, dan ada juga yang sibuk selfie dengan latar belakang tiang pinang, seolah-olah sudah menang saja.
Di pojokan, Ucup, Gembul, dan Wira sedang diskusi serius. Ucup memegang papan kecil berisi coretan tak jelas—strategi mereka yang katanya sangat brilian.
“Jadi gini, kita bikin formasi segitiga,” Ucup menjelaskan sambil menggambar segitiga yang lebih mirip kentang. “Gembul di bawah, aku di tengah, Wira di atas. Kita pelan-pelan, yang penting koordinasi.”
Gembul mengangguk sambil mengunyah pisang goreng yang tadi dia colong dari meja panitia. “Kalau licin gimana?” tanyanya dengan mulut penuh.
Wira mengeluarkan botol kecil dari sakunya, “Aku bawa bedak bayi. Kalau licin, tinggal tabur.”
Ucup mengangguk penuh keyakinan. “Pintar kamu, Wi! Bedak bayi itu rahasia atlet-atlet top.”
“Rahasia apa? Itu buat bokong bayi!” Gembul mendengus.
Ucup melambaikan tangan, “Ah, sama aja. Yang penting nggak licin.”
Tiba-tiba, pengeras suara berbunyi, “Tim Ucup, Gembul, Wira, harap bersiap!”
Deg-degan mulai menyelimuti. Mereka bertiga saling menatap dengan penuh percaya diri palsu.
“Kita pasti bisa,” kata Ucup, mencoba membangkitkan semangat.
“Kalau nggak bisa, kita kabur aja,” bisik Wira.
Mereka pun berjalan menuju tiang pinang. Penonton di sekeliling mulai bersorak. Entah mendukung atau hanya ingin melihat kekonyolan mereka.
Gembul berdiri di posisi. Kakinya agak gemetar, tapi dia berusaha tenang. Ucup naik ke pundak Gembul, mencoba menjaga keseimbangan. Wira dengan cekatan memanjat, membawa bedak bayi di tangan kanan.
“Pelan-pelan, Wi,” bisik Ucup dari bawah.
Wira mengangguk. Satu langkah, dua langkah, mereka mulai naik. Sorakan penonton makin kencang. Tapi baru beberapa meter, Wira merasa ada yang aneh.
“Eh, kok kayak ada yang licin banget?” bisik Wira.
Dia mengintip ke bawah dan melihat Gembul yang mulai tergelincir.
“Gembul! Pegang yang kuat!” seru Ucup.
“Aku nggak bisa! Aku kepeleset!” Gembul mulai panik.
Mereka bertiga mulai miring ke kiri, lalu ke kanan, seperti kapal yang dihantam ombak. Dan… BRUK! Mereka jatuh bersamaan, menimpa Gembul yang terkapar di tanah.
Penonton tertawa terbahak-bahak. Bahkan ada yang merekam dengan ponsel, mungkin besok video mereka sudah viral.
Ucup bangkit, mengelus-ngelus pantatnya yang terasa sakit. “Astaga, kenapa malah jadi kayak gini?”
Wira melihat botol bedak yang jatuh, isinya tumpah ke tanah. “Eh, bedaknya tumpah semua.”
Gembul duduk sambil mengusap-usap kakinya. “Kayaknya aku salah pilih sepatu, nih. Harusnya pake yang ada grip-nya.”
Ucup menepuk dahi, “Kenapa kita nggak kepikiran bawa sarung tangan, ya? Biar bisa pegangan lebih kuat.”
Wira mengangkat bahu. “Karena kita mikirnya menang dulu, mikir detail belakangan.”
Mereka terdiam sejenak, menatap tiang pinang yang menjulang tinggi seakan mengejek. Tapi lalu, Ucup tersenyum lebar.
“Kalian tahu nggak? Aku lihat ada tim yang bawa ember air panas buat ngelunturkan minyaknya.”
Gembul mendelik, “Kita coba?”
Ucup mengangguk penuh semangat, “Tentu! Kita pinjam aja.”
Mereka bertiga bergegas mencari ember yang dimaksud. Tapi begitu ketemu, ternyata isinya bukan air panas, melainkan air rendaman bumbu pecel. Salah ambil!
Wira tertawa terbahak-bahak, “Kalian serius mau pake bumbu pecel buat manjat?”
Ucup terdiam sejenak, lalu tertawa juga. “Ya udah, gagal deh rencana kita.”
Gembul menepuk pundak Ucup, “Tenang aja, bro. Yang penting kita udah coba. Kali ini mungkin belum rezeki kita.”
“Betul,” Wira menambahkan, “Mungkin lain kali kita bisa ikut lomba makan kerupuk aja. Lebih aman.”
Mereka tertawa bersama, menikmati momen kegagalan yang entah kenapa malah terasa manis. Meski tak ada motor listrik atau uang tunai, mereka tetap pulang dengan sesuatu yang lebih berharga—persahabatan dan cerita konyol untuk dikenang.
Celana Melorot dan Tawa Penonton
Lomba tiang pinang sudah berakhir, tapi sisa kekonyolan Ucup, Gembul, dan Wira masih menggema di alun-alun. Video mereka jatuh bertumpuk seperti martabak tebal sudah menyebar di grup WhatsApp warga. Bahkan Pak RT sempat menahan tawa sambil menepuk-nepuk bahu mereka.
“Usaha kalian luar biasa, Nak,” kata Pak RT sambil menahan senyum. “Sayang sekali, yang luar biasa malah jatuhnya.”
Ucup, Gembul, dan Wira hanya bisa cengar-cengir sambil meringis kesakitan. Pantat mereka masih terasa nyut-nyutan akibat jatuh dari tiang yang licin.
Tapi, perjuangan belum selesai.
“Bro, kita nggak bisa pulang dengan tangan kosong gini,” bisik Wira.
“Betul!” sahut Ucup bersemangat. “Kita harus menang di salah satu lomba.”
Gembul menggaruk kepala. “Lomba yang nggak butuh keseimbangan, nggak butuh kekuatan, dan nggak butuh strategi ribet. Pokoknya yang gampang aja.”
Mereka bertiga melirik ke papan pengumuman lomba yang tersisa. Ada lomba tarik tambang, lomba makan kerupuk, lomba balap karung, dan lomba joget balon.
“Makan kerupuk?” tanya Wira.
“Sudah penuh pesertanya,” jawab Ucup.
“Tarik tambang?”
“Lawan kita anak-anak gym. Kita bakal dikibaskan kayak sapu lidi,” kata Gembul sambil menunjuk sekelompok lelaki kekar yang ototnya bisa bikin genteng rumah retak.
Akhirnya, pilihan jatuh ke lomba balap karung.
“Ini dia!” seru Ucup. “Tinggal lompat-lompat doang, gampang!”
Wira mengangguk setuju. “Dan nggak ada minyak goreng di sini!”
Mereka bertiga segera mendaftar, dan beberapa menit kemudian, lomba dimulai. Para peserta, termasuk mereka, sudah siap dengan karung masing-masing. Karungnya cukup panjang, hampir sepinggang.
“Awas, jangan jatuh, ya,” bisik Gembul.
“Tentu, kita udah belajar dari pengalaman,” kata Ucup penuh percaya diri.
Peluit dibunyikan!
Semua peserta mulai melompat-lompat maju. Ucup, Gembul, dan Wira langsung tancap gas, meloncat secepat mungkin.
Awalnya, semuanya berjalan lancar. Mereka melompat kompak, hampir sejajar di posisi tengah. Tapi, tiba-tiba…
“Gembul! Celanamu!”
Celana Gembul mulai melorot!
Karena terlalu fokus melompat, dia lupa kalau ikat pinggangnya kendor. Sekarang, celana olahraga yang dipakainya mulai meluncur turun di balik karung.
“Aduh, aduh! Bahaya!” Gembul panik.
Dia mencoba menahan celananya dengan satu tangan, tapi itu malah membuat lompatannya tidak stabil.
“Woi, fokus dulu, nanti aja betulin!” Ucup berusaha tetap profesional.
“Tapi nanti nyungsep!” balas Gembul.
Dan benar saja…
Karena sibuk mengurus celana, Gembul kehilangan keseimbangan dan—BRUK!—dia jatuh ke depan, menyeret Ucup dan Wira ikut terjungkal.
Penonton langsung meledak dalam tawa.
Gembul berusaha bangkit, tapi malah semakin terjerat karung. Ucup yang mencoba menolong juga ikut tersandung, sementara Wira sibuk menahan tawa.
“Astaga, ini balap karung atau lomba nyungsep?” kata seorang bocah yang menonton.
Beberapa panitia datang membantu mereka berdiri. Gembul buru-buru menarik celananya yang hampir lepas sepenuhnya, sementara Ucup dan Wira tertawa sambil menggeleng-geleng.
Setelah berdiri kembali, mereka sadar satu hal: mereka sudah kalah lagi.
“Fix, ini bukan hari kita,” kata Ucup sambil menepuk pundak Gembul.
“Ya, tapi setidaknya kita menang satu hal,” sahut Wira.
“Apa?”
“Menjadi peserta paling menghibur!”
Mereka bertiga akhirnya tertawa bersama. Tak peduli kalah atau menang, setidaknya mereka sudah memberikan pertunjukan yang tidak akan dilupakan oleh warga sekitar.
Balas Dendam di Lomba Joget Balon!
Setelah kekacauan di lomba balap karung, Ucup, Gembul, dan Wira duduk di bawah pohon rindang, mengatur napas sambil mengelus lutut masing-masing. Cedera fisik dan mental akibat jatuh berjamaah masih terasa, tapi mereka bukan tipe yang menyerah begitu saja.
“Kita harus menang di lomba terakhir ini,” kata Ucup sambil mengepalkan tangan.
“Lomba apa lagi?” Gembul mulai ragu. “Jangan-jangan nanti kita malah bikin kehebohan lagi.”
“Lomba joget balon,” jawab Wira sambil menunjuk ke arah panggung utama, di mana panitia sedang memanggil peserta.
Mereka bertiga berpandangan. Lomba joget balon? Ini bukan soal kekuatan, bukan soal keseimbangan ekstrem, dan yang pasti tidak ada minyak goreng!
“Inilah saatnya kita balas dendam!” Ucup berdiri semangat. “Kita harus pulang dengan kemenangan, bukan dengan memar di pantat!”
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga mendaftar.
Namun, ada satu masalah.
“Lomba ini harus berpasangan,” kata panitia.
Ucup, Gembul, dan Wira langsung saling pandang. Mereka bertiga. Ganjil.
“Kita perlu satu orang lagi,” kata Wira.
Tiba-tiba, suara manis tapi penuh ejekan terdengar di belakang mereka.
“Aku mau ikutan,” kata Siti, teman satu kampung yang terkenal suka ngatain mereka tiap kali mereka bikin onar.
Ucup, Wira, dan Gembul langsung waspada.
“Kamu yakin mau pasangan sama kita?” tanya Gembul curiga.
Siti nyengir. “Jelas enggak. Aku mau jadi pasangan Wira. Kalian berdua aja yang saling tempel tuh!”
Gembul dan Ucup saling memandang dengan tatapan horor.
Mereka harus berpasangan!
Sementara Wira dengan santai berdiri di sebelah Siti, Gembul dan Ucup mulai ribut sendiri.
“Bro, gue enggak mau joget mesra sama lu,” bisik Gembul.
“Gue juga nggak!” balas Ucup. “Tapi kita nggak punya pilihan!”
Panitia lalu membagikan balon yang harus mereka jepit di antara dada masing-masing pasangan. Wira dan Siti terlihat santai, sementara Gembul dan Ucup berdiri kaku seperti patung.
Musik dimulai!
Awalnya, semua peserta hanya menggoyangkan badan pelan-pelan. Tapi begitu musik berubah jadi dangdut remix, kekacauan dimulai.
Wira dan Siti langsung lincah mengikuti irama. Siti terlihat asyik goyang, sementara Wira berusaha bertahan agar balonnya tidak jatuh.
Di sisi lain, Gembul dan Ucup terlihat seperti robot yang error.
“Lutut lu kejauhan, Cup! Deket dikit!”
“Lu aja yang maju, Bul!”
“Eh, eh, jangan deket-deket gitu, aneh banget!”
Mereka terlalu sibuk berdebat sampai lupa kalau ini lomba. Sementara itu, Siti dan Wira makin kompak, menyesuaikan langkah.
Tiba-tiba…
“WIRA! SITI! AWAS!!!”
Ucup dan Gembul yang masih panik dengan posisi mereka malah kehilangan keseimbangan. Mereka maju terlalu cepat—dan dengan dramatisnya, balon mereka meluncur ke depan dan langsung meledak di muka Wira!
DORRRR!!!
Wira kaget bukan main, refleks mundur—dan…
“DUAAARR!!”
Balon milik dia dan Siti pun ikut meledak!
Seluruh peserta dan penonton langsung tertawa ngakak sampai guling-guling!
Gembul dan Ucup jatuh terduduk sambil saling menyalahkan. Siti, yang awalnya kesal karena kalah, malah ikut tertawa melihat kekonyolan mereka.
Setelah perut mereka sakit karena kebanyakan ketawa, panitia mengumumkan pemenang. Meski mereka kalah lagi, Ucup, Gembul, dan Wira jadi peserta paling berkesan hari itu.
Dan akhirnya, mereka pulang dengan membawa sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar hadiah lomba: tawa, kenangan, dan persahabatan yang makin konyol.
Malamnya, di grup WhatsApp kampung, video mereka sudah menyebar luas. Caption-nya?
“Trio Legend: Dari Balap Nyungsep Sampai Joget Ledakan!”
Ucup hanya bisa menghela napas sambil membaca komentar warga.
“Bro, kita memang nggak menang lomba… tapi kita menang di hati masyarakat.”
Gembul dan Wira hanya bisa tertawa.
Dan seperti biasa, kekacauan ini cuma permulaan untuk lebih banyak petualangan mereka di masa depan.
Dan begitulah akhir dari petualangan Trio Kocak di lomba 17 Agustus. Menang? NGGAK. Malu? BANGET. Tapi, mereka justru sukses bikin seisi kampung ngakak sampai seminggu ke depan.
Kalau ada yang bilang lomba 17-an cuma soal hadiah, jelas salah! Karena buat mereka, yang paling penting adalah tawa, persahabatan, dan… ya, sedikit trauma akibat insiden joget balon meledak.


