Cerita Lucu Warung Soto: Parjo, Karti, dan Sambal Pedas yang Bikin Ngakak

Posted on

Oke, siap-siap ya, karena cerpen ini bakal bikin kamu ngakak! Bayangin aja, dua orang yang nggak tahu apa-apa tentang jadi seleb kuliner, tiba-tiba jadi legenda sambal pedas.

Dari warung soto biasa yang penuh tawa, mereka berdua justru bikin kejutan-kejutan kocak yang nggak disangka-sangka. Kalau kamu lagi butuh hiburan yang bener-bener bisa buat kamu tersenyum, cerpen ini cocok banget buat kamu baca!

 

Cerita Lucu Warung Soto

Soto, Pesanan, dan Awal dari Sebuah Malapetaka

Suasana di warung Bu Rukiyem selalu terasa hangat, baik dari segi suasana maupun kelezatan sotonya. Warung itu tidak pernah sepi, apalagi setelah Bu Rukiyem terkenal dengan soto ayam yang katanya bisa menyembuhkan segala penyakit—meskipun itu tidak benar, sih, tapi ya begitulah anggapan orang. Semua orang tahu, kalau sudah makan di sana, pasti puas. Tapi, ada satu hal yang sering membuat suasana di warung itu menjadi sedikit ‘lebih seru’—yaitu Parjo, asisten warung yang baru beberapa bulan bekerja di sana.

Saat itu, seperti biasa, warung ramai dengan pelanggan. Bu Rukiyem sibuk di belakang dapur, sementara Parjo, yang sudah diberi tanggung jawab untuk melayani meja, tampak sangat percaya diri. Tanpa beban, ia menyiapkan piring-piring kosong dan menata sendok garpu, seperti seorang juru masak profesional, padahal semua orang tahu ia lebih ahli dalam menciptakan kekacauan daripada kelezatan.

Pak Mulyadi, pelanggan setia yang hampir setiap hari datang, sudah duduk di meja favoritnya. Kabar tentang pesanan soto yang sangat spesifik sudah terkenal di warung ini. Siapa pun yang melayani Pak Mulyadi harus benar-benar mengingat detil pesanan itu dengan seksama—karena kalau salah, bisa berurusan dengan tatapan ‘mengerikan’ dari Pak Mulyadi yang cukup membuat siapa pun mundur perlahan.

“Bu Rukiyem, soto ayam satu! Jangan kebanyakan bawang goreng, jangan terlalu panas, jangan terlalu dingin, dagingnya jangan kebanyakan lemak, bihunnya jangan terlalu lembek, sambalnya jangan terlalu pedas, tapi jangan hambar juga! Paham, kan?” Suara Pak Mulyadi terdengar begitu tegas, seperti perintah dari seorang jenderal yang memimpin pasukannya.

Parjo, yang baru saja menyentuh mangkuk-mangkuk kosong, segera mendekat dengan senyum lebar. “Iya, Pak Mulyadi! Tenang saja, aku siap melayani dengan sepenuh hati!” Parjo menjawab sambil memancarkan aura percaya dirinya yang cukup menggelitik.

Namun, di dalam hatinya, ia merasa sedikit gugup. Pesanan Pak Mulyadi itu terlalu banyak detilnya. Tapi, apalah artinya itu bagi seorang Parjo yang selalu percaya dirinya lebih tinggi daripada gunung Everest?

“Jangan khawatir, Pak. Aku ini kan sudah hafal, soto kamu yang paling spesial!”

Pak Mulyadi hanya mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku tunggu ya.”

Parjo bergegas ke dapur, seolah sedang mengatur strategi untuk pertandingan sepak bola. Pertama, ia menuangkan kuah soto ke dalam mangkuk. Sesuai perintah Pak Mulyadi, ia pun berhati-hati agar kuahnya tidak terlalu panas. Tetapi, saking hati-hatinya, ia malah meniup kuah soto itu berkali-kali sampai uap panasnya hilang.

“Wah, ini baru dingin! Tapi kayaknya… masih kurang. Aduh, kayaknya Pak Mulyadi nggak suka kalau sotonya dingin. Ah, aku tambahkan lagi kuah panas aja,” pikirnya dalam hati.

Begitu kuah panas kembali ditambahkan, Parjo mencicipi sedikit. “Aduh, kurang pedas!”

Tanpa pikir panjang, ia menambahkan sambal ke dalam mangkuk soto. Tapi, sambal itu terlalu pedas, dan takut kalau Pak Mulyadi tidak suka, ia menambahkan air untuk menetralisir. Lalu ia cicipi lagi. “Aduh, kok malah hambar, ya?”

Dan begitu terus. Sambal, air, kuah panas, kuah dingin, sampai akhirnya, soto yang harusnya disajikan dengan penuh rasa justru menjadi campuran rasa yang sulit diartikan. Parjo menyadari ada satu hal yang terlupakan—bawang goreng.

“Oh iya! Jangan kebanyakan bawang goreng!” Parjo berkata pada dirinya sendiri, lalu dengan cepat mengangkat semua bawang goreng yang terlanjur masuk ke dalam soto.

Melihat mangkuk yang sudah tampak ‘aneh’, ia kembali berpikir. “Ini kayaknya sudah pas. Pokoknya harus pas! Aku sudah berusaha sebaik mungkin.” Dengan keyakinan tinggi, ia segera membawa mangkuk itu ke meja Pak Mulyadi.

Tiba di meja Pak Mulyadi, Parjo dengan sedikit percaya diri menyerahkan soto tersebut.

Pak Mulyadi menerima mangkuk soto itu, lalu menatapnya dengan wajah yang datar. “Terima kasih, Parjo,” ujarnya pelan, lalu mulai menyendok soto.

Parjo berdiri di sana dengan hati berdebar-debar. Selama beberapa detik yang terasa seperti beberapa jam, Pak Mulyadi menatap soto itu, lalu mencicipinya perlahan. Ia mengerutkan kening, lalu mencicipi lagi.

Parjo menunggu dengan sangat tegang. Rasanya detik-detik itu mengalir lebih lambat dari biasanya. Namun, Pak Mulyadi tetap diam. Ia menaruh sendoknya di mangkuk, lalu menatap Parjo dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Ada yang salah, Pak?” tanya Parjo dengan suara ragu, namun berusaha terdengar santai.

Pak Mulyadi akhirnya menghela napas panjang. “Parjo… kamu yakin ini soto ayam, bukan eksperimen kimia?”

Parjo terdiam. Wajahnya langsung merona. Tanpa sadar, ia meremas tangan sampai gemetar. Kepercayaan dirinya mendadak menguap begitu saja. Tapi, sebelum ia sempat membela diri, Pak Mulyadi menambahkan lagi dengan nada yang lebih keras.

“Soto ayam ini atau air rendaman sandal?!”

Di seluruh warung, suasana mendadak hening. Bahkan suara sendok yang jatuh ke meja terdengar sangat jelas. Parjo merasa ingin menghilang seketika.

Namun, Pak Mulyadi tetap duduk dengan tenang, hanya menatap Parjo yang keringatnya sudah mulai bercucuran. Sementara Bu Rukiyem yang mendengar suara itu keluar dari dapur, langsung menyadari apa yang telah terjadi.

Satu hal yang pasti, hari ini Parjo bukan hanya belajar tentang soto—tapi juga tentang bagaimana cara membuat malu diri sendiri dengan sangat, sangat sempurna.

 

Parjo dan Dilema Sambal yang Tak Berkesudahan

Hari itu, setelah kejadian yang cukup mengguncang hati Parjo, ia duduk dengan terdiam di sudut warung. Bukan hanya karena malu, tapi juga karena sisa-sisa kehancuran yang ia ciptakan masih terus terbayang di pikirannya. Ia melihat warung itu dengan cara yang berbeda. Semua sudut yang tadinya nyaman kini terasa seperti tempat yang dipenuhi bom waktu.

Pak Mulyadi sudah pulang dengan ekspresi yang tidak bisa diterjemahkan. Bu Rukiyem, yang sebelumnya tampak sibuk menyiapkan bahan-bahan di dapur, muncul dengan tatapan tajam. Ia tahu pasti ada sesuatu yang salah, tapi belum ada yang berani memberitahunya apa yang terjadi.

“Parjo, ayo keluar dulu sebentar,” Bu Rukiyem berkata dengan nada tenang tapi mengancam. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia memimpin Parjo ke luar warung menuju halaman belakang.

Di sana, di bawah pohon mangga yang rimbun, Bu Rukiyem akhirnya membuka suara.

“Parjo, aku nggak tahu apa yang kamu lakukan tadi, tapi kamu harus berhenti bikin kekacauan! Setiap kali kamu melayani, itu bagaikan petualangan yang penuh dengan drama, dan itu nggak lucu lagi!”

Parjo menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Mungkin ini adalah hari terburuk dalam karir warungnya. “Aku nggak sengaja, Bu. Semua itu… karena aku ingin membuat soto yang pas, biar Pak Mulyadi senang. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Terlalu pedas, terlalu asin, terlalu hambar, aku bingung,” jawabnya dengan nada penuh penyesalan.

Bu Rukiyem terdiam beberapa detik, lalu ia menghela napas. “Soto itu harusnya sederhana, Parjo. Kalau kamu bikin terlalu rumit, itu malah jadi kacau. Ada saatnya kita harus santai dan nggak usah terlalu dipikirin. Pelanggan datang ke sini untuk makan, bukan untuk ikut ujian rasa.”

Parjo terdiam, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan bekerja di warung itu, ia merasa benar-benar bodoh. Ia mengingat bagaimana dulu ia sering tertawa saat pelanggan lain keliru, dan sekarang ia merasakan sendiri betapa pahitnya.

“Baiklah, Bu, aku ngerti. Aku janji nggak bakal bikin masalah lagi. Kalau aku melayani lagi, aku bakal lebih hati-hati,” jawab Parjo sambil menatap Bu Rukiyem dengan serius.

Tapi tiba-tiba, terdengar suara keras dari dalam warung. “PARJO! BANTUIN AKU, DONG!”

Suara itu berasal dari Karti, pelayan muda yang baru bergabung di warung. Karti sedang menggulung sejumlah piring dan peralatan makan, tapi tangannya terhenti begitu ia melihat sambal di meja yang hampir tumpah ke seluruh tempat.

Parjo segera berlari ke dalam warung, dan begitu melihat pemandangan itu, dia merasa dunia seakan berputar lebih cepat. Ternyata, Karti yang baru saja melayani pelanggan meja sebelah juga berhadapan dengan masalah sambal yang sama rumitnya seperti yang ia alami.

Sambal yang sudah ditambahkan ke piring soto, entah kenapa malah berubah menjadi lebih pedas daripada yang seharusnya. Tampaknya, ada bahan yang salah dicampurkan, dan kini semua meja warung itu tercium bau pedas yang menyengat.

“Aduh, Karti, kamu ikut-ikutan masalah sambal juga?” Parjo menghela napas, mencoba mengendalikan diri, walau rasanya ingin tertawa karena melihat Karti juga dalam kesulitan.

Karti melihat Parjo dengan wajah bingung. “Aku cuma menambah sedikit, tapi… kenapa rasanya bisa seperti ini? Ini soto atau lava, sih?”

Parjo menatap sambal itu dan menggaruk kepalanya. “Gini deh, kita coba turunin tingkat kepedasannya dengan cara… menambah lebih banyak sambal yang nggak pedas! Maksudnya, lebih banyak sambal yang kurang pedas, biar nggak terlalu gila. Gimana?”

Karti mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan tanda-tanda keragu-raguan. Namun, mereka pun melanjutkan percakapan sambil mengutak-atik mangkuk soto dengan segala macam usaha mereka, menambah, mengurangi, dan mencoba membuat sambal yang semakin nggak jelas itu menjadi ‘pas’. Mereka benar-benar merasa seperti berada di dunia masak-memasak yang sedang berputar cepat, dengan penuh kebingungannya.

Sementara itu, Bu Rukiyem yang mendengar keributan di dalam warung, masuk dengan langkah pasti. “Kalian berdua ngapain? Sampai jadi kayak gini! Ini warung soto, bukan eksperimen kimia!” serunya sambil melotot melihat kekacauan sambal yang sudah mereka buat.

Parjo dan Karti hanya bisa mengusap wajah mereka yang sudah mulai memerah. Tapi, ternyata, bukan hanya mereka yang sedang terjebak dalam situasi yang memalukan. Tamu yang sedang makan di meja lain mulai menatap mereka dengan ekspresi bingung, menahan tawa.

Pak Mulyadi, yang baru datang kembali setelah beberapa saat meninggalkan warung, berdiri di pintu dan tersenyum lebar. Ia melihat Parjo dan Karti yang sedang berjuang dengan sambal yang ‘menggila’.

“Parjo, Karti… aku kira kalian sudah belajar dari pengalaman. Jangan sampai soto kalian malah jadi bahaya nuklir, ya?” Pak Mulyadi berkomentar, sambil menahan tawa.

Parjo menatap Pak Mulyadi dengan ekspresi bingung dan malu, sedangkan Karti hanya bisa tertawa canggung.

“Tunggu deh, Pak. Soto yang kami buat bukan untuk uji nyali kok. Ini lebih ke eksperimen rasa yang… bisa dibilang, sedikit lebih ekstrem,” jawab Parjo, berusaha membuat situasi menjadi lebih ringan.

Namun, Pak Mulyadi tidak bisa menahan tawanya, dan seluruh warung pun ikut tertawa. Bahkan Bu Rukiyem yang biasanya tegas, akhirnya ikut tertawa melihat kegilaan itu. Pada akhirnya, soto itu mungkin bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang seberapa besar hati kita untuk menikmati kegagalan dengan tertawa.

Warung itu pun kembali dipenuhi dengan tawa—meskipun entah bagaimana, ada yang merasa lebih pedas dari biasanya.

 

Kisah Sambal Terakhir dan Kejutan di Meja 4

Keadaan di warung mulai membaik setelah kejadian sambal yang benar-benar membuat semua orang terpingkal-pingkal. Parjo dan Karti, meskipun sedikit canggung, merasa lega karena akhirnya berhasil melayani pelanggan dengan sedikit lebih hati-hati, meskipun sambal masih berpotensi menjadi ‘senjata pemusnah’.

Namun, ada satu meja yang selalu menjadi sumber kekacauan mereka: Meja 4. Itu adalah meja yang paling sulit, paling rewel, dan selalu bisa membuat para pelayan merasa seperti mereka sedang berkompetisi dalam lomba ‘Soto Paling Pedas di Dunia’. Pembelinya, Pak Guntur, adalah pelanggan tetap yang sangat teliti. Tidak ada sambal yang cukup pedas, tidak ada potongan daging yang cukup empuk, dan selalu saja ada saja yang kurang.

Hari itu, Pak Guntur datang lagi dengan raut wajah serius. “Parjo, Karti, hari ini aku ingin soto yang benar-benar gila. Yang bisa membakar mulutku, yang bisa membuat aku lupa akan hidup ini. Aku percaya kalian bisa,” katanya dengan nada yang sama sekali tidak menunjukkan keceriaan.

Parjo dan Karti saling melirik dengan panik. “Kali ini… apa yang bisa kita buat, ya?” tanya Parjo, cemas.

Karti yang masih merasa sedikit canggung sejak kejadian sebelumnya mengangkat tangan. “Mungkin kita coba sambal yang lebih pedas? Atau, aku bisa campur sambal sama lada hitam, ya?”

Namun, ide Karti justru membuat Parjo semakin tertekan. “Lada hitam? Kamu mau membuat sambal ini lebih kayak lada ledakan? Jangan, nanti dia malah kebakaran mulutnya!” jawab Parjo seraya mengusap wajahnya.

Pak Guntur yang mendengarkan perbincangan mereka hanya tersenyum lebar. “Kalian ini ngapain? Nggak percaya diri ya? Gini aja deh, kalau sambalnya nggak pedas banget, aku minta dua porsi sambal. Dua porsi, ngerti?!”

Parjo dan Karti terdiam sejenak, mencoba menyusun rencana. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka memutuskan untuk memberi Pak Guntur sambal yang bisa membuatnya ‘merasakan api neraka’… atau setidaknya, membuatnya sedikit lebih puas.

Saat sambal disajikan, Pak Guntur menyendok sedikit dan mencicipinya dengan serius. Mata Pak Guntur terbuka lebar, dan ia menyeka keringat yang mulai muncul di dahinya. “Hmm, ini baru enak! Pedasnya bukan main!” Pak Guntur memberi pujian, tetapi ekspresi wajahnya yang mulai merah menandakan ia sedang menahan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa pedas.

Parjo dan Karti menunggu dengan cemas, berharap tidak ada kejadian buruk lagi. Namun, Pak Guntur mengambil satu sendok lagi, dan kali ini wajahnya benar-benar berubah. Matanya melotot, dan ia langsung berdiri dari kursinya. “Parjo, Karti… kalian ini benar-benar menantang maut, ya?” katanya dengan napas terengah-engah.

Melihat reaksi Pak Guntur, Parjo dan Karti sudah siap menerima segala kemungkinan, bahkan ancaman. Namun, tiba-tiba, Pak Guntur justru mulai tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha! Aku… aku nggak bisa… tahan! Ini pedas banget, tapi… ini luar biasa! Kalian memang keren!” katanya, sambil terengah-engah karena ketawa.

Parjo dan Karti akhirnya menghela napas lega, meski agak bingung dengan reaksi Pak Guntur yang tidak terduga itu. Mereka memang berhasil membuat sambal yang pedasnya gila, tapi ternyata, bukan hanya itu yang membuat Pak Guntur terkesan.

“Tapi, Parjo, Karti,” kata Pak Guntur, matanya menyipit, “kalian tahu, kan, kalau di meja 4 ini nggak cuma aku yang datang. Ada teman-temanku juga yang suka tantangan pedas.”

Seperti mendapat petunjuk dari langit, Parjo langsung mengangkat tangan. “Pak Guntur, kalau begitu kita kasih lebih banyak sambal! Lebih banyak, lebih pedas, dan lebih berani!”

Karti juga ikut angkat bicara, meski dengan suara sedikit ragu. “Ayo, kita buat sambal ini jadi lebih epic. Lebih pedas dari yang tadi! Kita bikin meja 4 ini jadi arena perang sambal!”

Pak Guntur terkejut, kemudian tertawa lagi. “Hahahaha! Aku suka banget ide kalian! Ayo, kita buat meja ini jadi legenda sambal! Tapi, ingat, jangan sampai ada yang pingsan ya!”

Mereka bertiga pun tertawa bersama. Ternyata, kadang, kekacauan yang dimulai dengan sedikit rasa tidak percaya diri bisa berujung pada sesuatu yang jauh lebih menghibur. Pak Guntur yang sangat sulit puas, akhirnya merasa bahwa warung ini tidak hanya menawarkan soto, tapi juga petualangan sambal yang tak ada habisnya.

Ketika makan siang hampir selesai dan meja 4 kembali tenang, Karti tiba-tiba melihat sesuatu yang mencurigakan. “Eh, Parjo, lihat itu, Pak Guntur nggak habis-habis makan sambalnya!”

Parjo mengintip, dan benar saja—Pak Guntur malah menambah sambal lagi ke dalam mangkuknya. “Dia ini bener-bener nggak ada habisnya, ya!” Parjo bergumam.

Karti terbelalak. “Ini bisa jadi PR besar kita kalau pelanggan mulai ketagihan. Gimana kalau kita malah harus cari sambal cadangan yang lebih pedas lagi?”

Parjo tertawa kecil. “Nggak ada masalah, Karti. Kita kan emang nggak cuma jualan soto, tapi juga menjual pengalaman pedas yang nggak ada duanya.”

Hari itu, warung mereka menjadi saksi dari kisah sambal yang semakin berwarna, dan Parjo serta Karti menyadari satu hal penting: tidak ada yang lebih memuaskan selain melihat pelanggan tertawa puas, meskipun dengan mulut terbakar karena pedasnya soto mereka.

 

Akhir yang Pedas, Tapi Manis

Hari itu, warung soto mereka tak pernah sepi. Kejadian-kejadian unik selalu menyertai setiap sendok soto yang dihidangkan, dan kisah Pak Guntur yang tak ada habisnya dengan sambalnya menjadi legendaris. Namun, meskipun warung semakin ramai, Parjo dan Karti tahu, bahwa di balik semua kehebohan ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar makanan pedas yang mereka sajikan.

Suatu sore, ketika warung sudah mulai sepi dan hanya ada beberapa pelanggan setia, Parjo dan Karti berdiri di depan meja kasir, menyusun rencana untuk besok. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Karti mengangkat wajahnya, dan tak disangka, Pak Guntur datang lagi.

“Loh, Pak Guntur? Kok datang lagi?” tanya Parjo dengan sedikit kaget, meski senyum lebar sudah terukir di wajahnya.

Pak Guntur tersenyum dan duduk di meja 4, yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. “Aku datang bukan untuk soto kali ini,” katanya sambil melepas kacamata hitamnya yang hampir selalu dipakai.

Karti melirik Parjo, bingung. “Lho, kalau bukan soto, ada apa, Pak?”

Pak Guntur tersenyum lebih lebar lagi, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop besar.

Parjo dan Karti saling pandang, kebingungan. Amplop besar itu tergeletak di meja mereka, berkilau di bawah lampu warung yang hangat. Pak Guntur menyentuh amplop itu pelan-pelan, seperti sedang menunggu reaksi mereka.

“Apa ini, Pak? Undian hadiah besar?” tanya Karti, setengah bercanda.

Pak Guntur tertawa. “Bukan, Karti. Ini… hadiah buat kalian berdua.”

Parjo dan Karti terkejut. “Hadiah?” serentak mereka berdua mengucapkan kata yang sama. “Buat kami?”

Pak Guntur mengangguk. “Iya, hadiah. Kalian berdua nggak cuma bisa bikin sambal yang luar biasa pedas, tapi juga membawa senyum ke wajah-wajah pelanggan. Aku lihat itu, dan aku rasa kalian pantas mendapatkannya.”

Karti mengernyitkan dahi. “Tapi Pak Guntur, kami kan cuma… ya, bikin sambal yang pedas banget aja. Nggak ada yang istimewa.”

Pak Guntur tersenyum bijak. “Itulah yang orang-orang nggak paham, Karti. Kalian berdua udah membuat perbedaan kecil, dan itu yang penting. Yang besar dimulai dari yang kecil, kan?”

Parjo dan Karti terdiam. Mereka merasa terharu. Dalam kekacauan yang penuh tawa dan sambal pedas itu, mereka tak pernah menyangka kalau ada seseorang yang benar-benar memperhatikan apa yang mereka lakukan.

Pak Guntur akhirnya membuka amplop besar itu dan mengeluarkan sebuah cek. “Ini, buat kalian berdua. Sebuah investasi untuk masa depan. Aku tahu kalian punya potensi lebih dari sekadar jadi pelayan warung soto. Ini untuk membuka peluang baru. Cobalah, pikirkan tentang ini.”

Karti hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Pak Guntur, ini… benar-benar untuk kami?”

“Benar,” jawab Pak Guntur dengan serius. “Aku percaya kalian bisa lebih dari ini. Kalau kalian mau, ini bisa jadi langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar.”

Parjo menatap cek itu, kemudian menatap Karti yang juga terperangah. Ada perasaan campur aduk dalam hati mereka. Semua kerja keras yang mereka jalani, semua tawa yang mengiringi soto pedas mereka, sekarang bisa membawa mereka pada sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan.

“Tapi, Pak,” Parjo akhirnya berkata setelah diam cukup lama, “kenapa kami?”

Pak Guntur tersenyum lebar. “Karena kalian berdua nggak pernah takut untuk mencoba sesuatu yang berbeda, dan kalian juga tahu cara membuat orang senang. Jangan pernah lupakan itu.”

Mereka berdua terdiam, akhirnya paham bahwa dalam setiap tawa dan kekacauan yang terjadi, mereka telah menciptakan lebih dari sekadar bisnis. Mereka telah membangun kenangan, kebersamaan, dan bahkan harapan.

Ketika Pak Guntur pergi, membawa ceknya dan melambaikan tangan ke arah mereka, Parjo dan Karti duduk sejenak di meja, menatap satu sama lain dengan penuh kebingungan dan rasa syukur.

“Jadi, gimana nih?” tanya Karti dengan suara pelan. “Mau terus di warung ini, atau kita coba sesuatu yang baru?”

Parjo tertawa, melirik ke arah warung yang penuh kenangan itu. “Kita sudah bikin sesuatu yang luar biasa di sini. Tapi, kayaknya, waktunya kita coba sambal pedas yang lebih besar, ya? Mungkin kita bisa bikin warung ini jadi… bukan cuma soal soto. Kita buat dunia tahu siapa Parjo dan Karti, pelayan sambal legendaris!”

Karti tertawa terbahak-bahak. “Setuju! Kalau kita bisa bikin sambal yang pedasnya bisa bikin orang nangis, kita pasti bisa bikin lebih dari itu!”

Dengan senyum lebar dan rasa penuh semangat, mereka berdua melangkah keluar dari warung itu, siap menghadapi dunia dengan cara mereka yang penuh kekacauan, tawa, dan tentu saja… sambal pedas.

 

Nah, jadi gitu deh kisah Parjo dan Karti yang awalnya cuma pengen jualan soto tapi malah bikin heboh dunia dengan sambalnya yang pedas banget. Kadang, hal-hal lucu dan kocak bisa muncul dari tempat yang paling nggak terduga.

Siapa sangka kalau dari warung soto yang sederhana bisa lahir kejutan-kejutan seru yang bikin ketawa nggak berhenti. Jadi, kapan nih kamu coba sambal pedasnya? Siapa tahu, kamu juga bakal jadi legenda!

Leave a Reply