Cerpen Lucu SMA: Petualangan Kiko, Tio, dan Wina dalam Ujian yang Tak Terduga

Posted on

Hallo! Kalian pasti pernah ngerasain yang namanya ujian di sekolah, kan? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia SMA yang penuh tawa, kekonyolan, dan ide-ide gila dari para siswa yang nggak pernah takut buat mikir beda.

Gak cuma soal ujian, tapi juga tentang persahabatan yang nggak ada matinya, cara-cara aneh ngadepin masalah, dan si Kiko yang selalu bikin semuanya seru. Pokoknya, kamu bakal ketawa deh, ngebayangin gimana hidup mereka yang gak pernah biasa-biasa aja!

 

Cerpen Lucu SMA

Kacamata Hitam dan Pertanyaan Gila

Kelas 11 IPA 2 sudah mulai dipenuhi dengan kebisingan khas pagi hari. Sebagian besar siswa masih sibuk mengatur barang-barang mereka di meja, ada yang ngobrol, ada yang sibuk dengan ponsel, dan ada juga yang berusaha tidur di atas meja (namanya juga anak SMA). Tapi, di tengah-tengah kegaduhan itu, Kiko duduk di bangkunya, dengan sikap seolah-olah dunia ini adalah miliknya. Dia mengenakan kacamata hitam, meski lampu kelas yang terang benderang itu nggak sebanding dengan terik matahari.

Wina, yang duduk di bangku belakang Kiko, melirik sekilas ke arahnya. Seperti biasa, Kiko tampak serius dengan dunianya sendiri. Entah sedang menulis di buku catatannya yang penuh coretan atau memikirkan ide-ide gila lagi. Wina tahu, kalau Kiko sudah seperti itu, jangan ganggu. Dia pasti sedang merancang sesuatu yang aneh, dan siapa yang tahu apa lagi yang akan dia lakukan kali ini.

Tio yang duduk di samping Wina, tampak lebih santai. Di tangannya sudah ada buku catatan yang dipenuhi rumus-rumus matematika, yang jelas sekali bukan untuk dilihat orang lain, apalagi guru. Dia selalu punya cara untuk menyelesaikan soal-soal sulit, tapi entah kenapa soal bahasa Indonesia selalu jadi bencana bagi Tio.

“Gila, ya. Kiko pake kacamata hitam terus di dalam kelas. Kayak film aksi aja,” ujar Wina sambil menggelengkan kepala, masih tak habis pikir dengan kebiasaan Kiko.

Tio yang tengah membaca soal matematika, tanpa menoleh sedikit pun, hanya mengangkat bahu. “Biarin aja, Wina. Namanya juga Kiko, dia pasti punya alasan sendiri.”

Kiko, yang sepertinya mendengar percakapan mereka, dengan santai memutar tubuhnya dan menatap ke belakang. “Kenapa? Ada yang nggak suka dengan gaya aku?” tanyanya, suara penuh percaya diri.

Wina tersenyum miring. “Nggak sih, cuma aja… kamu kayaknya bikin kita semua ngerasa kayak di bioskop. Kacamata hitam di dalam ruangan, Kiko.”

“Emang kenapa?” Kiko melirik ke Wina dengan serius, namun matanya tetap terlindung oleh kaca gelap itu. “Kalau aku nggak pake kacamata hitam, kalian bakal merasa canggung. Aku tuh, kayak… ninja yang siap bertarung kapan saja.”

Wina tertawa kecil. “Iya, ya. Kalau ada musuh datang, kita semua pasti bingung, nih. Kamu udah siap kayak James Bond.”

“Benar! Jangan-jangan aku sedang menyelamatkan dunia dan kalian nggak tahu,” jawab Kiko sambil tersenyum nakal.

Obrolan ringan itu langsung terhenti begitu Bu Titi, guru biologi mereka, masuk ke kelas. Wanita berambut pendek dan selalu membawa buku tebal ini langsung berdiri di depan kelas dengan ekspresi serius. Seperti biasa, begitu Bu Titi muncul, suasana kelas langsung berubah jadi hening. Semua siswa mulai duduk tegak, kecuali Kiko yang entah kenapa tetap nggak mau melepas kacamata hitamnya.

“Selamat pagi, semuanya!” sapa Bu Titi, meskipun suaranya tidak terlalu ceria. “Hari ini kita akan melanjutkan materi tentang sistem pernapasan manusia. Tolong buka buku biologi kalian di halaman 37.”

Beberapa siswa membuka buku dengan malas, beberapa lainnya terlihat lebih tertarik dengan ponsel mereka. Namun, Kiko yang duduk di barisan depan, tetap seperti biasa, menatap ke luar jendela, pura-pura tidak mendengar. Wina sudah menebak apa yang akan terjadi. Kiko pasti sedang merencanakan sesuatu.

Beberapa menit berlalu dengan penuh penjelasan tentang fungsi paru-paru dan oksigen, hingga akhirnya Kiko mendadak mengangkat tangan dengan sangat cepat.

“Bu, saya mau bertanya!” serunya dengan suara keras. Seperti biasa, semua orang di kelas terdiam seketika, memandang Kiko yang berdiri penuh percaya diri.

Bu Titi, yang sudah hafal dengan kebiasaan Kiko, hanya mengangkat alis. “Apa lagi, Kiko? Ada pertanyaan penting seputar pernapasan?”

Kiko berdiri tegak, dengan kacamata hitam yang membuatnya terlihat seperti agen rahasia. “Bu, kalau manusia bisa bernapas pakai hidung, kenapa ikan harus pakai insang? Apakah mereka juga bernapas supaya bisa ngobrol dengan teman-temannya di laut?”

Seisi kelas langsung terdiam. Wina menatap Kiko dengan mulut terbuka, berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar. Tio, yang biasanya bisa menjawab soal matematika secepat kilat, malah kini tampak bingung dan mulai menyandarkan kepalanya di meja.

Bu Titi menatap Kiko dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kiko… itu pertanyaan yang… agak unik.”

Kiko mengangguk serius. “Jadi, kan kita selalu diajarkan kalau insang itu untuk bernapas. Tapi, bukannya kita juga bisa bernapas dengan mulut kalau hidung kita mampet? Nah, kenapa ikan nggak coba yang sama?”

Beberapa detik terdiam. Lalu, suara tawa mulai terdengar. Pertama dari Tio yang tak bisa menahan senyum, lalu disusul dengan Wina yang sudah menutup wajahnya dengan buku catatan, berusaha menahan tawa agar tidak pecah. Bahkan Bu Titi, yang biasanya sangat tegas, akhirnya menyerah dan tertawa kecil.

“Kiko, kamu ini, kalau bikin pertanyaan… nggak ada habisnya,” kata Bu Titi sambil menyunggingkan senyum tipis. “Tapi, setidaknya, kamu sudah membuat kelas ini sedikit lebih hidup.”

Kiko duduk kembali dengan tenang, merasa seperti pemenang. “Jadi, kapan kita bisa ngobrol dengan ikan?”

Seisi kelas langsung pecah tawa. Kiko dengan kacamata hitamnya yang masih terpasang, duduk dengan gaya santai, merasa bahwa hari itu dia telah menyelamatkan kelas dari kebosanan. Wina dan Tio, yang masih tertawa terbahak-bahak, hanya bisa menggelengkan kepala.

Hari itu, kelas biologi berlanjut dengan materi yang sama, tapi suasana sudah berubah. Kini, setiap kali seseorang melihat Kiko, mereka pasti ingat tentang insang ikan yang jadi bahan perbincangan aneh dan lucu itu. Dan entah kenapa, kejadian itu menjadi salah satu kenangan yang tak akan dilupakan oleh mereka semua, meski tampaknya tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar paham dengan pertanyaan Kiko.

Namun, itulah yang membuat SMA menjadi menarik. Tidak selalu tentang ujian atau pelajaran. Kadang, yang paling berkesan justru adalah saat-saat di mana kamu bisa tertawa bersama teman-teman, bahkan untuk hal-hal paling bodoh sekalipun.

 

Logika Kiko yang Tak Terbantahkan

Hari-hari di SMA memang penuh kejutan, tapi kalau bicara soal Kiko, kejutan itu selalu datang dengan cara yang tak terduga. Meski sudah hampir seminggu sejak “insiden ikan” di kelas biologi, Kiko masih jadi bahan pembicaraan. Bahkan saat istirahat, ada yang menirukan pertanyaannya tentang insang ikan dan membuat teman-teman tertawa kembali.

Namun, hari ini, kelas 11 IPA 2 terlihat lebih hidup dari biasanya. Wina, yang biasanya memilih duduk tenang di sudut, kali ini tampak lebih ceria, meskipun dia lebih banyak berbicara dengan Tio daripada dengan Kiko. Mungkin, karena setelah tanya jawab di kelas biologi, dia merasa sudah cukup dengan kebodohan Kiko untuk beberapa waktu.

Tio, dengan ekspresi serius, sedang berusaha menyelesaikan soal fisika yang menurutnya sangat membingungkan, sementara Kiko duduk dengan tenang di bangku depan, memutar bolpoin di antara jarinya. Di sampingnya, ada meja kosong yang selalu menjadi “territory” Kiko—tidak ada yang berani duduk di sana karena takut terjebak dalam percakapan yang absurd.

Lalu, dengan gaya khasnya, Kiko kembali bertanya, seolah-olah sudah merencanakan sesuatu. “Wina, Tio,” kata Kiko, tanpa menoleh ke belakang. “Pernah nggak mikir, kenapa ya, kita bisa banget ngomong ke teman-teman pakai WiFi, tapi nggak bisa ngomong langsung ke ikan?”

Wina yang sedang asyik dengan minuman cokelatnya terkejut mendengar pertanyaan itu. “Kiko, kamu ini ya… ngapain sih mikirin hal-hal gila kayak gitu?” tanya Wina sambil melirik ke Tio yang tampak bingung.

Tio yang sedang berusaha memecahkan rumus Fisika dengan tatapan kosong akhirnya menoleh dan menatap Kiko dengan serius. “Wait, kamu lagi ngomongin WiFi dan ikan?” tanyanya.

Kiko mengangguk dengan mantap. “Iya, Tio. Gue baru mikir. Kalau WiFi bisa bikin kita ngobrol dari jarak jauh, kenapa kita nggak bisa bikin teknologi yang bikin kita ngobrol sama ikan? Ikan kan juga hidup, mereka pasti punya cerita yang menarik, kan?”

“Bukan itu masalahnya,” kata Tio sambil mengangkat tangan seolah menghalau ide gila itu. “Masalahnya, kita nggak bisa ngerti bahasa mereka, Kiko. Ikan itu nggak bisa ngomong, atau punya WiFi.”

“Tapi kalau ada teknologi yang bisa bikin kita ngerti bahasa hewan, kenapa nggak bisa sama ikan?” Kiko melanjutkan dengan penuh keyakinan.

Wina, yang sepertinya sudah kehabisan kata-kata, hanya bisa menatap Kiko dengan tatapan kosong. “Kiko, itu namanya ‘nggak mungkin’,” katanya.

Tio yang mulai merasa serius dengan diskusi ini, menggaruk kepalanya. “Tapi, Kiko, lo beneran mau bikin teknologi buat ngobrol sama ikan? Lo yakin itu bakal jadi produk yang laku di pasar?”

Kiko tersenyum lebar, seolah-olah dia baru saja menemukan solusi untuk masalah dunia. “Bukan cuma ikan, Tio. Lo bisa bayangin nggak, kalau gue bikin alat yang bikin manusia bisa ngobrol sama semua hewan? Gue bisa jadi orang terkaya di dunia! Bisa ngobrol sama gajah, singa, bahkan kucing peliharaan lo!”

Tio mendesah dan meletakkan bolpoinnya. “Lo ini, Kiko, benar-benar nggak ada habisnya.”

Wina yang mulai terbiasa dengan kelakuan Kiko, mulai tertawa kecil. “Gue nggak ngerti kenapa lo bisa selalu punya ide yang lebih gila dari sebelumnya, Kiko. Tapi, lo beneran yakin, ya, kalau bisa ngobrol sama ikan? Ikan aja nggak tahu WiFi itu apa.”

“Lo nggak ngerti, Wina. Ikan itu mungkin cuma lagi berpikir, ‘Kenapa manusia selalu datang ke aku buat ditangkep?’” Kiko menjawab sambil terkekeh. “Mungkin mereka lagi punya rencana juga, siapa tahu mereka mau balas dendam, kan?”

Tio yang mendengar itu cuma bisa menggelengkan kepala. “Kiko, jangan-jangan lo udah nonton film dokumenter tentang ikan yang ngetren beberapa tahun lalu, ya? Lo jadi terpengaruh sama itu?”

“Film dokumenter? Gua nggak nonton film kayak gitu, Tio. Gue cuma mikir, kan hidup ini penuh misteri, kita nggak tahu apa yang ada di dalam laut. Mungkin aja ikan-ikan di sana punya kerajaan bawah laut, siapa tahu kan?” Kiko balas dengan wajah serius.

Wina hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. “Ya, tapi lo jangan ngajak kita mikir yang aneh-aneh terus, Kiko. Nanti kita kebawa-bawa, loh.”

Tio, yang sudah kehabisan tenaga untuk melawan logika Kiko, akhirnya menyerah. “Yaudah, kalau lo mau ngobrol sama ikan, ya silakan. Gue sih nggak ngerti apa yang lo omongin, Kiko.”

Suasana kelas yang awalnya terasa tenang, kini dipenuhi dengan suara tawa mereka bertiga. Tio yang tetap merasa bingung, Wina yang mulai terbiasa dengan kebodohan Kiko, dan Kiko yang merasa dirinya adalah orang yang paling pintar di dunia. Mereka mungkin tidak tahu jawabannya, tapi entah kenapa, diskusi tentang ikan dan WiFi itu membuat hari itu terasa lebih hidup.

Guru mereka, Bu Titi, yang sudah selesai memberikan tugas dan melihat ketiganya yang sedang asyik berdiskusi, hanya menggelengkan kepala. “Kiko, kamu memang luar biasa. Bisa-bisanya mikirin hal kayak gitu di kelas biologi.”

Tio yang masih bingung dengan pernyataan Kiko, hanya tertawa kecil. “Emang, Bu. Kadang-kadang, kita semua butuh pertanyaan gila kayak gitu buat bikin hari ini lebih seru.”

Dan begitu kelas biologi berakhir, diskusi tentang WiFi dan ikan itu pun berlanjut di luar kelas, bahkan menjadi topik utama di antara mereka. Meskipun kelihatannya tidak ada satu orang pun yang benar-benar mengerti maksud Kiko, tapi di balik setiap keanehan yang dia lontarkan, selalu ada tawa yang mengisi hari mereka.

 

Tio, Si Pemberi Jawaban, dan Gambarnya yang Aneh

Setelah pembicaraan mengenai WiFi dan ikan yang tidak ada habisnya, suasana kelas kembali seperti biasa. Meskipun Kiko dengan ide gilanya selalu berhasil mengubah hari-hari mereka jadi lebih berwarna, ada satu hal yang tidak pernah bisa dihindari di SMA: ujian. Ya, ujian semesteran sudah di depan mata, dan meskipun para siswa di kelas 11 IPA 2 sudah berusaha keras untuk mengabaikannya, kenyataannya tetap sama. Ujian itu akan datang, dan mereka harus siap.

Namun, bagi Tio, ujian bukanlah masalah besar. Tio adalah anak yang pandai—terutama dalam hal matematika dan fisika. Bagi dia, soal ujian itu seperti makanan ringan. Dia bisa menghabisinya dalam waktu singkat. Yang menjadi masalah adalah… soal bahasa Indonesia.

“Yakin deh, soal bahasa Indonesia itu kayak jebakan,” kata Tio dengan ekspresi frustasi, meletakkan pulpen di meja dan menatap soal ujian yang ada di depannya.

Di sebelahnya, Wina dengan tenang menulis jawaban soal sejarah. Wina bukan tipe yang pusing soal ujian. Dia lebih suka belajar dengan cara yang santai, meski terkadang dia juga punya momen-momen krisis, terutama saat mengingat bagaimana cara menjawab soal esai sejarah yang panjang itu.

Sedangkan Kiko? Dia malah sibuk menggambar di buku catatan—sebuah gambar ikan yang mengenakan kacamata hitam, lengkap dengan WiFi di sekelilingnya. Kiko seperti biasa, tidak terlalu khawatir dengan ujian, meskipun dia tahu betul bahwa dia tidak akan lulus dengan cara biasa-biasa saja.

Tio menatap Kiko dengan tatapan penuh kebingungan. “Lo nggak mikir soal ujian sama sekali, Kiko?” tanyanya, sambil menunjuk buku soal ujian yang terbuka lebar di depannya.

Kiko menoleh, sejenak matanya melirik ke arah buku catatan Tio yang penuh dengan rumus-rumus sulit. “Ujian? Gue nggak peduli soal itu,” jawab Kiko santai, seolah dia tidak terpengaruh dengan dunia ujian yang menakutkan itu. “Kalau soal ujian gue cuma jawab pakai gambar aja, pasti nilainya bagus.”

Tio hampir tersedak mendengar jawaban Kiko. “Lo serius, Kiko? Gambar? Lo pikir lo bisa dapetin nilai tinggi cuma dari gambar-gambar aneh lo itu?”

Kiko mengangguk dengan yakin. “Nggak masalah, Tio. Lo pikir, kita bakal diujikan dengan hal-hal yang normal aja, kan? Gue justru berpikir, ujian itu adalah cara buat ngetes kreativitas kita. Jadi, kenapa nggak pake gambar?”

Wina yang mendengar percakapan itu, tanpa sadar melemparkan pandangan ke Kiko. “Lo nggak ada habisnya, ya? Kalau ujian bisa selesai cuma dengan gambar, gue juga mau. Tapi nggak bisa begitu juga, dong.”

Kiko tersenyum nakal. “Gitu aja lo udah nyerah, Wina? Lo harus berpikir di luar kotak. Jangan terjebak sama sistem ujian yang kaku itu.”

Tio menggelengkan kepala, tampaknya sudah lelah dengan logika Kiko yang sepertinya tidak pernah ada habisnya. “Lo ini emang nggak ada matinya, Kiko. Kalau lo pake gambar, gue yakin soal-soal fisika bakal muter balik ke lo.”

Di sisi lain, Wina sudah selesai dengan soal sejarahnya dan mengamati Tio yang tampak kesulitan di soal bahasa Indonesia. Wina lalu dengan santai berkomentar, “Lo bener-bener nggak bisa jawab soal ini, ya, Tio?”

Tio melirik Wina dengan mata terbelalak. “Lo pikir gue nggak bisa? Gue sih bisa jawab, cuman… soal bahasa Indonesia itu ribet banget, gue nggak ngerti maksudnya.”

Kiko yang dari tadi pura-pura tidak mendengarkan akhirnya mencuri perhatian dengan menyodorkan buku gambarnya yang penuh dengan sketsa ikan dan gambarnya yang agak aneh. “Gue punya ide, Tio. Lo jawab soal itu pake gambar juga. Bisa banget.”

Tio menatap Kiko dengan tatapan bingung, namun tetap penasaran. “Lo bisa jelasin lebih lanjut nggak?”

Kiko dengan ekspresi serius mulai menjelaskan. “Begini, Tio. Misalnya soal bahasa Indonesia nanya tentang ‘menggambarkan karakter tokoh dalam cerita’. Lo bisa jawab dengan gambar lo. Misalnya lo gambar tokoh yang suka makan mie, ya lo gambar dia lagi makan mie di warung. Udah deh, selesai!”

Wina yang mendengar itu sampai terbahak-bahak. “Gambar makan mie? Lo serius, Kiko?”

“Serius banget!” jawab Kiko dengan semangat. “Lo nggak akan tahu kalau nggak coba. Gue tuh selalu berpikir, ujian itu bukan soal jawabannya, tapi soal bagaimana lo bisa bikin soal itu jadi lebih hidup!”

Tio dan Wina saling bertukar pandang. Mereka tahu kalau Kiko itu suka sekali berpikir di luar logika biasa, tapi kadang-kadang dia benar-benar terlalu jauh.

Lalu, setelah beberapa menit tertawa dan bercanda, ujian pun berlanjut. Tio mulai kembali fokus ke soal-soal di depannya, meskipun otaknya masih sempat terganggu oleh ide-ide gila dari Kiko. Wina yang biasanya tenang, mulai merasa sedikit terpengaruh dengan cara berpikir Kiko yang nyeleneh. Dia akhirnya memutuskan untuk menulis jawaban sejarah dengan cara yang sedikit berbeda—mungkin sedikit lebih kreatif dari biasanya.

Namun, saat waktu ujian hampir habis dan bel berbunyi, Kiko, seperti biasa, terlihat santai. Dia sudah menyerahkan kertas ujian tanpa memikirkan soal-soal yang ada. “Gue udah selesai, guys,” katanya dengan senyum lebar, meskipun kertas ujian itu terlihat kosong kecuali satu gambar ikan yang sedang berenang dengan WiFi di sekelilingnya.

Tio, yang merasa terpojok dengan soal-soal bahasa Indonesia, hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Lo ini, Kiko, bener-bener nggak ada obatnya.”

Wina yang sudah selesai dengan ujian, hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. “Mungkin, Kiko, kalau lo jadi guru, kelas ini bakal lebih seru.”

Dan begitu bel tanda ujian selesai berbunyi, suasana kelas yang penuh dengan tawa pun kembali terasa lebih hidup. Kiko, dengan cara uniknya, tetap menjadi pusat perhatian. Siapa yang tahu, mungkin dia memang punya cara yang aneh untuk menghadapinya, tetapi untuk mereka, itulah yang membuat SMA terasa begitu berwarna.

 

Ujian Sebenarnya dan WiFi Ikan

Hari terakhir ujian semesteran akhirnya tiba, dan kelas 11 IPA 2 tampak lebih ceria dari sebelumnya. Tidak ada lagi ketegangan yang menghantui mereka. Semua seolah sudah lepas dari beban ujian, meskipun pada kenyataannya, ujian itu justru baru dimulai. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di kelas setelah ini, tetapi satu hal yang pasti: Kiko tidak pernah berhenti membuat hari-hari mereka lebih hidup.

Hari itu, suasana kelas terasa ringan, bahkan meskipun beberapa dari mereka masih merasa cemas akan hasil ujian. Namun, Kiko sudah siap untuk melanjutkan apa yang telah dia mulai. Dalam pikirannya, ujian adalah bagian dari permainan besar yang harus dijalani dengan santai, seperti halnya kehidupannya yang penuh tawa dan ide-ide gila.

Saat bel berbunyi dan para siswa mulai menyerahkan lembar jawaban mereka, Kiko berdiri dari tempat duduknya dengan senyum lebar. “Selesai, guys. Gue udah ngasih semuanya ke sistem WiFi,” katanya dengan suara penuh percaya diri, seolah menganggap seluruh ujian itu hanya soal koneksi.

Tio yang baru saja selesai dengan soal fisika menatap Kiko dengan tatapan bingung. “Lo ngomong apa, Kiko? Itu bukannya soal ujian, ya? Kenapa jadi ngomongin WiFi segala?”

Kiko mengangkat bahunya sambil menyeringai. “Ya, siapa tahu sih. Gue udah ngasih jawaban terbaik gue di kertas itu. Lo pikir gue bakal ngejawab soal tentang ikan atau rumus fisika dengan serius?”

Wina yang ikut menyerahkan jawaban dengan sedikit cemas, akhirnya mendekat ke meja mereka. “Kiko, lo ini nggak takut ketahuan, ya? Jawaban lo kok kosong semua, cuma ada gambar ikan. Lo yakin itu bisa dapet nilai?”

Kiko menatap Wina dengan serius, seolah-olah baru saja menemukan pencerahan hidup. “Gue yakin banget, Wina. Siapa tahu, kalau mereka nilai kreatifitas gue, gue bakal dapat nilai lebih tinggi. Ikan itu, kan, penting. WiFi itu penting. Mungkin aja, ada yang ngerti.”

Tio yang merasa lelah dengan diskusi tersebut akhirnya menyerah dan melirik Wina. “Gue rasa kita harus banyak belajar dari Kiko. Dia udah mengubah ujian jadi kayak seni.”

Saat mereka keluar dari ruang ujian, langit sudah mulai gelap. Sore itu, mereka semua berkumpul di kantin sekolah, menikmati makanan ringan sambil tertawa bersama. Kiko masih saja berbicara tentang WiFi dan ikan, sementara Wina dan Tio lebih memilih untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih realistis, seperti rencana liburan musim panas mereka. Tapi meski begitu, suasana itu tetap terasa nyaman. Tidak ada rasa khawatir, tidak ada rasa takut akan ujian yang belum selesai dinilai.

“Lo udah siap buat liburan, Tio?” Wina bertanya, sambil menyeruput jus jeruk.

Tio mengangguk. “Iya, tapi rasanya tetap ada sesuatu yang aneh. Kayak masih ada yang belum selesai. Gue rasa ujian itu cuma satu bagian dari hidup kita, tapi ternyata Kiko… dia udah nemuin cara baru buat ngejalanin semuanya.”

Kiko yang mendengar itu tiba-tiba tertawa keras. “Gue kan bilang! Hidup itu nggak harus selalu serius. Lo cuma perlu lihat segala sesuatu dari sisi yang lebih kreatif. Kalau lo selalu mikir rumus, lo nggak bakal nemuin jalan keluarnya.”

“Yah, lo ini ngomong apa sih?” Wina melontarkan tanya sambil memutar bola matanya.

“Apa ya, soal hidup kan nggak jauh beda sama ujian, Wina. Kadang lo harus ngasih jawaban yang beda. Coba aja lihat ujian fisika tadi. Kalau semua orang ngikutin buku teks, ya pasti jawabannya bakal sama. Tapi kalau lo nyoba kreatif, siapa tahu lo jadi orang yang paling menonjol!” Kiko berkata dengan semangat.

Tio tertawa kecil. “Jadi lo bener-bener mau ngajarin kita buat berpikir kayak lo, ya? Sementara kita ngisi soal, lo malah bikin gambar ikan dengan WiFi?”

Kiko mengangkat gelas jusnya, mengisyaratkan persetujuan. “Tepat sekali. Gue udah kasih segalanya. Kalau mereka nggak ngerti, ya itu masalah mereka. Hidup itu kayak gitu, kan? Kadang orang lain nggak ngerti lo, tapi kalau lo tetap jadi diri lo sendiri, semua akan baik-baik aja.”

Mereka pun melanjutkan obrolan ringan tentang segala hal, tapi di hati mereka, sesuatu sudah berubah. Mungkin, cara berpikir Kiko yang tidak biasa dan logikanya yang aneh memang memberi mereka sesuatu yang berbeda. Kehidupan SMA ini tidak melulu soal ujian dan pelajaran—ada hal-hal lain yang jauh lebih penting: persahabatan, tawa, dan melihat dunia ini dari perspektif yang berbeda.

Hari itu berakhir dengan tawa yang tidak pernah habis. Tio, Wina, dan Kiko kembali ke rumah mereka masing-masing, meninggalkan sekolah dengan perasaan ringan dan penuh semangat. Meskipun mereka tidak tahu hasil ujian mereka nanti, satu hal yang pasti: hari-hari mereka tidak pernah sama lagi.

Setelah semua selesai, mereka menyadari sesuatu yang lebih besar dari sekadar ujian—bahwa kebahagiaan tidak terletak pada nilai di kertas ujian, melainkan pada bagaimana mereka menjalani hidup bersama, dengan cara yang tak terduga, penuh tawa, dan selalu berbeda. Bahkan, terkadang, jawabannya memang ada di dalam gambar ikan yang mengenakan kacamata hitam, dengan WiFi yang mengelilinginya.

 

Jadi, gitu deh ceritanya! Siapa sangka ujian yang kelihatannya serius banget, bisa jadi bahan tawa yang gak ada habisnya.

Intinya, hidup itu nggak harus selalu tertekan sama yang namanya nilai dan ujian—yang penting adalah gimana cara kita nikmatin setiap momen dengan temen-temen yang bisa bikin semuanya lebih ringan. Kalau kamu ngerasa cerita ini seru, jangan lupa share dan kasih tau temen-temen kamu, ya!

Leave a Reply