Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa hidup udah diatur banget, kayak semuanya udah diputusin dari jauh-jauh hari? Itu banget yang dirasain Putri Siera. Hidupnya penuh tekanan, harus sempurna, dan nggak ada ruang buat salah.
Tapi, apa sih yang bisa dia lakukan kalau semua udah ditentukan? Dalam cerpen ini, kita bakal ikutin perjalanan Siera yang berusaha bertahan hidup di dunia penuh aturan dan harapan yang nggak pernah berhenti membebaninya. Siap-siap, karena ceritanya bakal bikin kamu mikir dua kali soal takdir!
Perjuangan Cinta dan Kekuasaan
Bayangan Takdir di Istana
Di balik dinding tebal istana yang menjulang tinggi, hidup Siera terus mengalir seperti aliran sungai yang tak bisa dibendung, meskipun terkadang ia ingin berteriak agar arusnya berhenti sejenak. Dunia luar hanya ada dalam cerita para pelayan dan pengunjung yang datang, sementara bagi Siera, dunia itu adalah kenangan yang tak bisa dijangkau. Setiap langkah yang ia ambil sudah dirancang sebelumnya, setiap kata yang keluar dari bibirnya dipantau dan diukur. Tak ada ruang untuk kesalahan. Tak ada kebebasan.
Matahari pagi menyinari halaman istana, memantulkan cahaya pada permukaan kolam yang tenang. Siera berdiri di balkon kamarnya, memandang jauh ke arah taman yang dipenuhi bunga-bunga indah yang hanya tumbuh untuk kepuasan mata orang-orang yang datang berkunjung. Taman itu, seperti hidupnya, terawat dengan sempurna. Tak ada ruang untuk kekacauan. Bahkan sedikit kotoran yang jatuh dari pohon pun segera dibersihkan.
“Putri Siera, apakah kamu sudah siap?” suara lembut dari pelayan setianya, Lira, memecah keheningan.
Siera menoleh, tersenyum tipis. “Siap untuk apa, Lira?” jawabnya dengan nada yang agak lelah, meskipun wajahnya tetap cantik seperti biasa.
Lira sedikit terkejut dengan nada suara Siera yang berbeda dari biasanya. “Rapat dengan Ayah dan Ibu. Mereka menunggu di ruang takhta.”
Siera mengangguk, melangkah perlahan keluar dari kamar. Langkahnya teratur, seakan setiap gerakan tubuhnya telah terencana dengan sempurna. Ia memasuki ruang makan, tempat di mana kedua orang tuanya sudah menunggu. Raja Eldrin, dengan jubah kebesarannya yang elegan, duduk di ujung meja, sementara Ratu Elara, yang anggun dan penuh kewibawaan, duduk di sampingnya.
“Kau terlambat, Putri,” kata sang Raja dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
Siera menundukkan kepala, “Maaf, Ayah.” Kata-kata itu sudah otomatis keluar dari mulutnya. Seolah-olah tak ada pilihan lain selain meminta maaf, meskipun ia tahu, kedatangannya tak akan pernah bisa disamakan dengan sempurna di mata mereka.
“Ada hal penting yang harus kita bahas,” kata Ratu Elara dengan suara lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. “Pernikahanmu, Siera. Waktunya semakin dekat.”
Siera menarik napas dalam-dalam. “Pernikahan,” gumamnya, meskipun ia sudah tahu bahwa itu adalah perbincangan yang pasti datang. Semua sudah diatur. Sejak kecil, ia diberitahu bahwa ia akan dipersiapkan untuk pernikahan yang tak mungkin ia pilih. Pangeran dari negeri tetangga sudah lama dipilih, dan segalanya akan terjalin demi menjaga aliansi antara kerajaan mereka.
“Siapkah kamu?” tanya Raja Eldrin dengan tatapan serius, matanya tajam memeriksa reaksi anaknya.
Siera menatap kedua orang tuanya. “Aku sudah tahu semuanya, Ayah. Aku akan melakukannya,” jawabnya dengan tenang, meskipun hatinya bergejolak. Apa lagi yang bisa ia katakan? Apa lagi yang bisa ia pilih selain melaksanakan takdir yang sudah digariskan?
“Bagus.” Raja Eldrin tersenyum, seolah puas dengan jawaban yang diberikan. “Kau adalah putri yang luar biasa, Siera. Semua yang kami lakukan ini demi kerajaan.”
Kerajaan. Semua untuk kerajaan. Setiap keputusan yang diambil, setiap langkah yang dijalani, tak ada yang lebih penting selain itu. Siera tahu itu. Ia tak pernah diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Semua telah diatur sejak awal.
Namun, di dalam hati kecilnya, ada rasa lain yang tak bisa ia ungkapkan. Ia merasa seperti seorang boneka yang terikat pada benang takdir, yang dikendalikan oleh orang lain. Tetapi tak ada yang bisa ia lakukan. Dunia yang sempurna di luar sana hanyalah bayangan, sebuah ilusi yang tak pernah bisa ia gapai. Tak ada ruang bagi Siera untuk bersuara.
Sebelum rapat berakhir, sang Raja memberikan sebuah arahan lagi. “Siera, setelah pernikahan, kau akan menjadi penguasa bersama suamimu. Kita harus pastikan kerajaan ini tetap kuat. Tak ada tempat untuk kelemahan.”
“Aku mengerti, Ayah,” jawab Siera pelan, meskipun sebenarnya hatinya merasa semakin berat. Mengerti. Ia selalu mengerti, namun perasaan itu tetap ada—perasaan terperangkap dalam hidup yang penuh tuntutan, tanpa pilihan.
Ketika rapat selesai, Siera keluar dari ruang takhta, berjalan melewati lorong-lorong istana yang sunyi. Semua terasa begitu sepi, seperti hidup yang terus mengalir tanpa memberi ruang untuk merasakan apa yang sebenarnya diinginkan. Para pelayan dan pengawal menyapanya dengan hormat, tapi Siera tahu bahwa mereka tak tahu apa yang ia rasakan.
Di luar jendela, langit senja mulai berubah warna. Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan langit yang berwarna jingga. Siera berdiri di depan jendela, memandang ke arah luar yang jauh. Apakah ada hidup yang lebih dari ini? Apakah ada kebebasan di luar sana?
Sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Putri, apakah kamu baik-baik saja?”
Siera menoleh, menemukan Lira yang berdiri dengan tatapan cemas. “Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan senyuman tipis. Tapi dalam hati, ia tahu itu bukan kebenaran.
“Jika kau butuh apa-apa, aku di sini, Putri,” kata Lira, nada suaranya penuh perhatian.
Siera hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih dalam hati, meskipun ia tahu tak ada yang bisa mengubah hidupnya. Takdir sudah mengikatnya. Semua yang ia jalani adalah untuk kerajaan. Semua untuk menjaga apa yang telah ditentukan.
Namun, saat malam mulai menyelimuti istana, sebuah perasaan yang tak terungkapkan mengisi dada Siera. Perasaan yang mungkin tak akan pernah bisa ia ceritakan pada siapa pun. Sebuah pertanyaan besar tentang takdir, tentang kebebasan, yang mungkin akan ia bawa selama hidupnya.
Untuk sekarang, ia hanya bisa melangkah, langkah demi langkah, menjalani takdir yang telah digariskan.
Persembahan Tanpa Pilihan
Hari demi hari berlalu dengan ritme yang tak pernah berubah. Siera menjalani hidupnya seperti seorang penari di atas panggung, bergerak dengan anggun, mengikuti irama yang bukan miliknya. Semua yang ia lakukan seolah sudah ditentukan. Tak ada ruang bagi kebebasan, tak ada ruang bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus mengusik hatinya. Di balik senyuman yang selalu terukir sempurna, ada ketidakpuasan yang semakin tumbuh dalam dirinya.
Hari itu, seperti biasa, Siera menjalani serangkaian latihan untuk persiapan pernikahannya. Di ruang besar yang dihias dengan kain sutra halus dan lampu-lampu berkilauan, ia duduk di hadapan seorang penata rias yang tengah menyiapkan wajahnya untuk sesi foto resmi kerajaan.
“Putri, tolong lebih sedikit lagi, senyumannya,” kata wanita tua itu, matanya tajam memeriksa setiap detail. Siera mengangguk, mencoba memaksakan senyuman yang sudah sering ia lakukan. Wajahnya terasa kaku, seperti sebuah topeng yang harus dipakai sepanjang waktu.
Siera memandang dirinya di cermin, memeriksa setiap lekuk wajahnya yang sempurna, kulit yang halus, mata yang besar, dan bibir yang melengkung indah. Namun, ia tak merasa ada kebahagiaan di sana. Semua itu hanyalah penampilan luar. Semua itu hanya untuk memenuhi ekspektasi yang tak pernah ada habisnya. Tak pernah ada waktu untuk menanyakan apakah ia bahagia.
“Putri, bagaimana perasaanmu tentang pernikahanmu nanti?” tanya penata rias itu dengan suara lembut, seolah ingin menggali lebih dalam.
Siera terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang ada di dalam hatinya. Ia sudah belajar untuk menyembunyikan perasaan, bahkan dari diri sendiri. “Aku hanya… mengikuti apa yang sudah ditentukan,” jawabnya dengan tenang, meskipun ada rasa pahit yang menggelayuti kalimat itu.
Penata rias itu hanya mengangguk, seolah mengerti tanpa berkata lebih lanjut. Ia terus bekerja, dan Siera pun kembali tenggelam dalam kebisuan yang akrab. Di luar jendela, angin bertiup pelan, dan suara riuh para pelayan yang sibuk bekerja di halaman istana terdengar samar. Siera ingin melangkah ke luar, melarikan diri, tetapi ia tahu itu bukan pilihan yang bisa ia ambil.
Saat sesi foto selesai, Siera melangkah keluar dan menuju ke ruang makan besar, tempat di mana kedua orang tuanya biasanya berkumpul. Namun, hari ini ada yang berbeda. Di meja makan, seorang pria duduk dengan penuh kewibawaan. Pangeran Davian, calon suaminya, sudah tiba.
Davian adalah sosok yang sempurna, atau setidaknya, itulah yang terlihat di luar. Pangeran dari kerajaan tetangga yang dipilih untuk memperkuat aliansi antara dua kerajaan. Ia tinggi, berwajah tampan, dan memiliki aura keturunan yang tak terbantahkan. Namun bagi Siera, Davian hanya sebatas bayangan yang tak pernah ia pilih.
“Putri Siera,” suara Davian terdengar lembut namun penuh kekuatan. “Aku sangat senang bisa bertemu denganmu hari ini.” Ia bangkit dari kursinya dan memberikan senyuman yang penuh rasa hormat.
Siera tersenyum balik, meskipun dalam hati ada kegelisahan yang terus tumbuh. “Aku juga senang bertemu denganmu, Pangeran,” jawabnya dengan nada seimbang. Semua terasa teratur, seperti yang seharusnya.
Mereka duduk bersama, makan dalam keheningan yang nyaman, meskipun ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Siera tahu, tak ada ruang untuk perasaan dalam pertemuan ini. Segala yang ada hanyalah kewajiban yang harus dipenuhi, langkah yang harus diambil untuk menjaga kehormatan kedua kerajaan.
Selama makan, pembicaraan mereka terbatas pada topik-topik yang sudah biasa: pernikahan yang akan datang, aliansi politik, dan harapan-harapan yang diinginkan orang tua mereka. Tak ada pertanyaan pribadi, tak ada percakapan yang mendalam. Semua sudah diatur. Siera menatap piringnya, sesekali menatap Davian, namun hatinya terasa kosong.
Sesudah makan, Davian menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. “Aku berharap kita bisa saling mengenal lebih baik sebelum pernikahan ini dilangsungkan,” kata Davian dengan nada yang lebih lembut. “Aku ingin memastikan kamu merasa nyaman.”
Siera menunduk, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku akan berusaha,” jawabnya pelan. Ia tahu itu bukan hanya untuk dirinya. Ini adalah untuk kerajaan mereka, untuk orang tua mereka, dan untuk semua orang yang bergantung pada keputusan ini. Tak ada pilihan selain itu.
Setelah pertemuan dengan Davian, Siera berjalan kembali ke kamarnya. Kali ini, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Setiap ruangan yang ia lewati seakan menekan jiwanya, menutup ruang untuk berpikir dan merasakan. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia ingin lebih dari sekadar menjadi alat politik dalam permainan kerajaan ini.
Namun, tak ada yang mendengarkan. Semua telah ditentukan. Semua untuk kerajaan.
Sesampainya di kamar, Siera duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit malam yang mulai gelap. Cahaya dari luar menyinari wajahnya dengan lembut, namun hatinya terasa gelap. Apa yang akan terjadi setelah semuanya berjalan? Setelah pernikahan itu berlangsung? Akankah hidupnya berubah? Atau justru ia akan semakin terjebak dalam kehidupan yang sudah digariskan ini?
Siera menarik napas dalam-dalam. Apa yang ia inginkan sebenarnya? Kebebasan? Cinta? Atau hanya sedikit ruang untuk bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus memenuhi ekspektasi orang lain?
Namun, untuk saat ini, semuanya hanya ada dalam pikirannya. Tak ada yang bisa mengubah takdir yang sudah ada. Semuanya sudah diatur, dan ia harus mengikuti jalan yang telah ditentukan.
Dan Siera tahu, tak ada jalan keluar dari takdir yang keras ini.
Bayang-Bayang Kegelapan
Siera melangkah dengan langkah yang lebih mantap, meskipun di dalam hatinya ada gelombang besar yang tak terhentikan. Sejak hari pertemuan dengan Pangeran Davian, semuanya terasa semakin mendekat, semakin nyata. Semua perasaan yang sebelumnya tersembunyi di balik rutinitas sehari-hari kini tak bisa lagi dipendam. Setiap sudut istana terasa lebih sempit, setiap langkahnya lebih berat, dan setiap senyum yang ia paksa lebih kaku. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh tali tak terlihat, menjalani hidup yang bukan miliknya.
Namun, hari itu berbeda. Ia baru saja menerima surat dari ibunya, Ratu Elora, yang memintanya untuk menemui sang ibu di ruang pribadi. Surat itu singkat, namun isinya sudah cukup jelas—perbincangan tentang pernikahan mereka yang kian mendekat.
Siera menghela napas panjang saat melangkah masuk ke ruang ratu. Di dalam, Ratu Elora duduk di kursi yang terbuat dari kayu mahoni yang diukir halus, wajahnya tampak tenang dan penuh kewibawaan. Ia mengenakan gaun berwarna emas yang melambangkan status dan kekuasaannya. Kecantikan ibunya tetap terjaga meski sudah bertahun-tahun mengarungi usia. Ratu Elora adalah sosok yang tak kenal lelah, selalu menjadi panutan, selalu berada di atas segalanya.
“Putriku, duduklah,” suara ibu Siera terdengar penuh kewibawaan. Siera menuruti perintahnya dan duduk di kursi yang terletak di seberang.
“Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu,” lanjut Ratu Elora, matanya tajam mengamati Siera. “Mengenai pernikahanmu. Pangeran Davian adalah pilihan terbaik untuk kerajaan kita. Kita membutuhkan aliansi yang kuat, dan ia adalah pilihan yang tepat.”
Siera menunduk, menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang mulai membuncah. “Aku mengerti, ibu,” jawabnya dengan suara pelan, meski hatinya terasa sangat berat.
Ratu Elora mengamati Siera dengan cermat, seolah melihat langsung ke dalam dirinya. “Aku tahu ini mungkin bukan keputusan yang mudah, namun ini adalah yang terbaik. Kita sudah mengatur segalanya dengan sangat hati-hati, dan kamu adalah bagian dari rencana ini, Siera. Jangan lupakan itu.”
Siera menggigit bibirnya lebih keras. Apa yang bisa ia katakan? Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan ini. Semua sudah terlanjur diatur. “Aku paham, ibu,” jawabnya lagi, suaranya kini hampir tak terdengar.
Ratu Elora diam sejenak, lalu menatap Siera dengan pandangan yang lebih lembut. “Kamu adalah putri kerajaan ini, Siera. Semua yang kamu lakukan, setiap langkahmu, akan menentukan masa depan kerajaan ini. Kamu tak hanya hidup untuk dirimu sendiri. Kamu harus ingat itu.”
Siera merasakan panas di wajahnya, dan hatinya terasa semakin sesak. Ia ingin berteriak, ingin berlari menjauh dari semua ini, tetapi ia tahu itu bukanlah pilihan. Tak ada kebebasan dalam hidupnya, tak ada ruang untuk melawan takdir. Semua sudah diatur, dan ia hanya bisa mengikuti.
“Davian bukan hanya calon suamimu, ia juga adalah masa depan kerajaan kita,” kata Ratu Elora lebih lembut, namun tetap dengan nada yang penuh tegas. “Kamu harus mencintainya, Siera. Itu akan memudahkan segalanya. Jangan ragu. Cinta datang setelah pernikahan itu dimulai.”
Siera merasakan bening di matanya. Tetesan air mata hampir jatuh, tetapi ia cepat-cepat menahan diri. Ia tak bisa menunjukkan kelemahan. Tak boleh ada tangisan, tak boleh ada ketidakpuasan. Semua harus sempurna.
“Aku akan berusaha, ibu,” jawabnya dengan suara yang kini hampir tak terdengar, berusaha keras untuk menahan gejolak yang ada di dalam dadanya.
Ratu Elora tersenyum tipis, tampaknya puas dengan jawaban itu. “Aku tahu kamu bisa, putriku.”
Setelah beberapa saat, Ratu Elora bangkit dari kursinya. “Sekarang, kamu bisa pergi dan bersiap. Pangeran Davian akan berkunjung lagi besok. Kita akan merencanakan pertemuan yang lebih serius tentang persiapan pernikahan.”
Siera mengangguk pelan, berdiri, dan melangkah keluar dari ruang itu. Hatinya terasa semakin penuh dengan rasa kosong yang tak terdefinisikan. Mengikuti takdir, memenuhi harapan orang tua, dan menjaga nama baik kerajaan—itu adalah segalanya. Namun, apakah itu cukup? Apakah ia akan pernah merasakan kebahagiaan yang sejati?
Siera berjalan menuruni koridor panjang, melintasi dinding-dinding istana yang penuh kemegahan dan sejarah. Di setiap langkahnya, ia merasakan beban yang semakin berat. Kegelisahan dan kebingungannya semakin menggunung, namun ia tahu, di atas segala yang ia rasakan, tak ada tempat untuk mengeluh.
Hari-hari terus berlalu dengan kecepatan yang tak bisa dihentikan. Siera tahu bahwa hari pernikahan itu sudah sangat dekat. Dan meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan, ia tak bisa melawan kenyataan.
Esok, Pangeran Davian akan datang kembali. Dan ia harus siap.
Tak ada pilihan selain itu.
Titik Balik yang Penuh Ketegangan
Pagi itu, angin dingin yang menyelinap melalui celah-celah jendela istana memberi Siera sensasi dingin yang meresap hingga tulang. Sejak pertemuan terakhir dengan ibunya, hidupnya seolah berada di ambang ketegangan. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, seperti ada ratusan beban yang ditanggungnya tanpa bisa ia lepaskan. Kini, dengan kedatangan Pangeran Davian yang tinggal beberapa jam lagi, Siera merasa semakin terperangkap dalam takdir yang tak bisa ia hindari.
Di ruang tengah istana, Pangeran Davian sudah menunggu. Penampilannya yang gagah, dengan jubah merah cerah yang menggantung di bahunya, semakin menambah kesan kemegahan dirinya. Semua orang tahu tentang kebijaksanaannya, karisma yang dimilikinya, dan bagaimana ia telah menaklukkan banyak hati. Namun, di mata Siera, ia bukanlah sosok yang bisa mengubah nasibnya. Semua itu hanya bagian dari permainan besar yang sudah diatur sebelumnya.
Siera menarik napas dalam-dalam, melangkah masuk ke ruang pertemuan. Pangeran Davian menoleh padanya, senyum tipis yang terlukis di wajahnya. “Putri Siera, selamat pagi,” sapanya dengan suara lembut, namun penuh wibawa.
“Pangeran,” jawab Siera pelan, meskipun senyumnya terasa sedikit dipaksakan. Matanya yang dulunya cerah kini tampak lebih redup, seolah menyembunyikan banyak perasaan yang ingin ia ungkapkan.
Pangeran Davian berdiri, melangkah mendekat, lalu menawarkan tangannya. “Mari kita duduk bersama. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan mengenai masa depan kita.”
Siera memandang tangan yang terulur dengan ragu. Ia tahu apa yang akan terjadi, dan bagaimana semua percakapan ini hanya akan mengarah pada satu hal—persetujuan pernikahan mereka. Namun, tanpa pilihan lain, ia menerima tangan Pangeran Davian dan duduk bersama di meja besar yang dipenuhi dengan hidangan pagi yang tak pernah ia sentuh. Hanya secangkir teh yang ia pilih, tak lebih.
Pangeran Davian memulai percakapan dengan nada yang lebih serius. “Aku tahu ini mungkin terasa mendesak bagimu, Siera. Namun, kita tidak bisa menunda lebih lama lagi. Semua persiapan telah disusun dengan cermat, dan kerjasama kita akan memastikan masa depan kerajaan ini lebih cerah.”
Siera menunduk, menyentuh ujung cangkir teh yang panas. “Aku mengerti, Pangeran. Segala sesuatunya sudah teratur, dan tak ada lagi jalan lain yang bisa aku pilih,” jawabnya, suara yang hampir tak terdengar.
Pangeran Davian mengamati Siera dengan tatapan yang lebih lembut. “Aku tahu ini berat bagimu. Tapi, percayalah, dengan waktu, kamu akan mulai merasakannya. Cinta bisa tumbuh, Siera. Terkadang kita harus memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk merasakannya.”
Siera merasa tubuhnya seakan membeku. Kata-kata itu terdengar seperti janji yang penuh harapan, namun ia tahu itu hanyalah penghiburan semata. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa tumbuh begitu saja, seperti yang diinginkan oleh Pangeran. Cinta datang dari kebebasan, dari pilihan yang ada, dan di dalam kehidupannya, tak ada kebebasan untuk memilih.
Ia menatap Pangeran Davian, matanya yang kosong menatap dengan jauh. “Aku tidak yakin, Pangeran,” ucapnya dengan hati yang penuh keraguan. “Aku tidak tahu apakah ini yang aku inginkan. Semua ini… seolah-olah dipaksakan untukku.”
Davian terdiam sejenak, menilai setiap kata yang diucapkan Siera. “Aku tidak bisa mengubah masa lalumu, Siera,” jawabnya, nada suaranya kini lebih dalam, lebih serius. “Namun, kita memiliki kekuatan untuk membentuk masa depan kita. Kamu bukan hanya seorang putri. Kamu adalah bagian dari kerajaan ini, dan apapun yang kamu lakukan akan membawa dampak. Aku ingin kita menjalani semuanya bersama. Tidak hanya sebagai pasangan, tapi sebagai dua pemimpin yang akan menjaga dan memajukan kerajaan ini.”
Siera menutup matanya, menahan perasaan yang datang begitu kuat. Perkataan Pangeran Davian terdengar seperti harapan, tapi di telinganya, itu hanya terasa seperti beban tambahan yang harus ia pikul. Apakah ia bisa merasakan cinta setelah semua ini? Apakah itu mungkin?
Saat ia membuka matanya, ia mendapati Pangeran Davian masih menatapnya dengan penuh harapan. Dalam hatinya, Siera merasakan sesuatu yang lain—sebuah kesadaran yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Mungkin ia tidak bisa memilih apa yang harus ia jalani, tapi ia bisa memilih bagaimana ia menghadapi jalan yang sudah ada. Mungkin, hanya mungkin, ada cara untuk mencari kebahagiaan meski itu di luar takdir yang sudah ditentukan.
Siera menegakkan punggungnya, menghadapi kenyataan dengan lebih tegar. “Aku akan berusaha, Pangeran. Untuk kerajaan ini, dan untuk masa depan yang lebih baik.”
Pangeran Davian tersenyum, meski masih ada keraguan yang jelas terlihat di matanya. “Itu semua yang bisa kita lakukan, Siera. Mari kita jalani ini bersama.”
Siera memandangnya satu detik lebih lama, lalu berbalik dan keluar dari ruang itu. Langkahnya terasa lebih ringan, meski hati masih penuh pertanyaan. Tak ada jawaban pasti tentang apa yang akan terjadi, namun satu hal yang pasti—ia akan terus berjalan, tak peduli seberapa gelap jalan itu.
Dan dalam kesunyian istana yang megah, Siera tahu bahwa hidupnya—meskipun telah ditentukan—masih menyimpan misteri yang belum terungkap. Ia tak akan menyerah, setidaknya tidak tanpa mencoba.
Dan meskipun hidup Siera nggak pernah mudah, satu hal yang pasti—dia nggak akan pernah menyerah. Takdir mungkin sudah menulis cerita, tapi dia tetap punya kendali atas bagaimana dia menjalani tiap halamannya.
Siapa tahu, di balik tekanan dan batasan yang ada, mungkin ada jalan untuk menemukan kebebasan, atau setidaknya, menemukan kekuatan untuk memilih sendiri apa yang dia mau. Karena kadang, kekuatan terbesar datang dari menerima kenyataan, lalu memilih untuk terus maju.