Kenapa Aku Sebodoh Ini Tuhan? Sebuah Cerita Penyesalan dan Pembaruan Diri

Posted on

Kadang hidup itu suka bikin kita merasa bodoh banget, ya. Semua keputusan yang kita buat, semua langkah yang kita ambil, kayaknya selalu salah.

Tapi, mungkin itu cuma bagian dari perjalanan, kan? Cerita ini tentang gimana seseorang berjuang keluar dari bayang-bayang penyesalan dan mencoba untuk bangkit. Penasaran kan, gimana bisa ada perubahan meski semuanya udah berantakan? Yuk, baca terus ceritanya!

 

Kenapa Aku Sebodoh Ini Tuhan?

Jalan yang Salah

Hujan turun dengan deras, melukis jendela dengan garis-garis tipis yang terus bergerak seiring angin yang berdesir. Arka duduk sendirian di sudut ruang tamu apartemennya, mata kosong menatap layar ponsel yang sudah lama tidak ia sentuh. Ada pesan-pesan yang masuk, beberapa dari teman-temannya yang masih mencoba menghubunginya, namun dia tidak merasa ada yang perlu dijawab.

Semua terasa hampa. Dalam keheningan yang hanya dihiasi suara hujan dan desah napasnya sendiri, Arka teringat masa lalu, saat ia masih memiliki segala sesuatu yang diinginkannya. Pekerjaan yang membanggakan, hubungan yang cukup bahagia, dan teman-teman yang selalu ada. Tapi semuanya kini sudah berubah.

Dan semua itu, semuanya dimulai dari satu keputusan bodoh.

Dia mengusap wajahnya dengan tangan, seakan mencoba menyingkirkan semua kenangan yang masih menghantui pikirannya. Langkah-langkah yang ia ambil dulu terlalu jauh, terlalu tergesa-gesa. Tidak ada pertimbangan yang cukup. Tidak ada penyesalan yang ia rasakan waktu itu, hanya rasa ingin tahu dan ambisi yang membutakan.

Kenapa aku sebodoh ini?

Pikirannya terus berputar pada keputusan yang ia buat berbulan-bulan lalu, saat ia memutuskan untuk meninggalkan segalanya dan mengambil risiko yang sekarang terasa seperti jebakan yang memerangkapnya.

Arka meraih ponselnya lagi dan membuka pesan dari Clara, sahabatnya yang dulu selalu ada untuknya. Namun, saat matanya memandang pesan itu, perasaan bersalah semakin mencekiknya.

“Arka, aku benar-benar khawatir. Kalau kamu terus seperti ini, aku takut kamu bakal kehilangan segalanya. Aku tahu kamu bisa lebih dari ini.”

Kalimat itu menyayat hatinya. Clara selalu menjadi orang yang memperingatkannya, namun dia terlalu bangga dan keras kepala untuk mendengarkan. Semua yang dia lakukan dulu adalah demi sesuatu yang dia kira lebih besar, lebih penting dari semua yang sudah ia miliki.

Tapi sekarang, apa yang tersisa?

Dia melemparkan ponselnya ke samping, merasa frustasi. Semua yang ia lakukan untuk mengejar impian itu, semua langkah yang ia anggap benar, ternyata hanya membawa kebingungannya semakin dalam.

Arka berdiri dan berjalan ke jendela, memandangi hujan yang semakin deras. Hujan seakan melambangkan apa yang ia rasakan—sebuah beban yang terus mengalir, tanpa bisa dihentikan. Mungkin ini adalah hukuman, pikirnya. Hukuman atas segala kebodohan yang telah ia lakukan.

Di luar sana, dunia tampak begitu tenang. Tapi bagi Arka, dunia itu terasa jauh. Tidak ada yang bisa mengerti bagaimana dia merasa sekarang. Semua pilihan yang ia buat, semua keputusan yang ia anggap tepat, kini terasa seperti racun yang menggerogoti hidupnya pelan-pelan.

Langkah yang ia ambil dulu adalah kesalahan besar, namun saat itu, dia terlalu percaya diri. Terlalu yakin bahwa jalan yang dipilih adalah yang terbaik. Tapi kenyataannya, tidak ada yang lebih buruk dari penyesalan yang datang terlambat.

Sejak meninggalkan pekerjaan lamanya yang stabil, memilih jalur yang lebih berisiko, Arka merasa semuanya runtuh perlahan. Kepercayaan dirinya yang dulu begitu besar, kini hancur. Dia merasa telah kehilangan arah, dan setiap langkah yang ia ambil hanya membawa lebih banyak kekacauan.

Hujan terus berjatuhan, seperti waktu yang tak bisa ia kembalikan. Arka meremas lengannya, merasakan sakit di dadanya. Penyesalan semakin mendalam, dan setiap detiknya terasa seperti beban yang semakin berat.

“Kenapa aku sebodoh ini?” gumamnya lagi, kali ini suaranya hampir tak terdengar di tengah hujan yang terus mengguyur. Dia tidak tahu lagi harus mencari apa, atau siapa. Semua terasa hilang begitu saja.

Namun, di tengah rasa frustasi itu, ada sesuatu yang mengganggu. Sebuah bayangan dari masa lalu yang datang menyelinap dalam pikirannya—Clara. Sahabatnya yang selalu ada, yang selalu mengingatkan, yang selalu menepuk pundaknya ketika ia terjatuh. Clara selalu berusaha menunjukkan Arka bahwa jalan yang dipilihnya mungkin bukan jalan yang terbaik.

Tapi Arka tak pernah mau mendengarkan. Kini, Clara sudah terlalu jauh, dan segala penyesalan yang datang begitu terlambat.

Langkah yang dulu dianggapnya bisa membawa kebahagiaan kini malah membawa kekosongan. Arka menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan-bayangan itu, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat mereka datang.

Seperti saat itu, saat Clara mengatakan sesuatu yang tak bisa Arka lupakan: “Kamu takut, kan, kehilangan semuanya? Kamu takut jika nanti itu akan jadi keputusan terburuk dalam hidupmu?”

Arka merasakan air mata menetes di pipinya, tanpa bisa ia tahan. Semua yang dulu dia anggap kecil kini datang menghantui. Semua kesalahan yang dia buat, semua orang yang dia tinggalkan.

“Kenapa aku sebodoh ini, Tuhan?” bisiknya, kali ini lebih lirih, lebih putus asa.

 

Ilusi yang Tersisa

Malam semakin larut, namun Arka tidak merasa lelah. Dia masih duduk di tepi jendela, menatap hujan yang terus mengguyur. Suara dentingan hujan yang jatuh di atap terasa semakin tidak bersahabat, seakan mengingatkan dia pada kenyataan yang tidak bisa dihindari. Di luar sana, dunia terus berputar, sementara dirinya tetap terperangkap dalam penyesalan yang membelenggu.

Terkadang, saat terperangkap dalam rasa sakit seperti ini, Arka berpikir bahwa mungkin ini adalah takdirnya. Mungkin inilah yang pantas untuk seseorang sepertinya—terjebak dalam kesalahan tanpa bisa memperbaiki apapun. Tidak ada cara untuk menghapus jejak-jejak kebodohan yang telah ia buat. Tidak ada kesempatan kedua.

Dia mengalihkan pandangannya ke ruang sekitarnya. Apartemennya terasa semakin sempit. Dulu, tempat ini terasa seperti simbol kebebasan, keputusan berani untuk melepaskan segalanya dan mulai lagi. Namun kini, ruangan ini hanya mengingatkannya pada ketidakmampuannya untuk mengendalikan hidupnya sendiri.

“Kenapa aku memilih jalan ini?” Arka bergumam pelan, suaranya hampir tenggelam dalam desiran hujan. Tidak ada yang menjawab, dan tak ada yang bisa menjawab. Dia sudah terlalu jauh untuk mundur.

Sebuah pesan baru muncul di layar ponselnya. Kali ini, bukan dari Clara, namun dari seseorang yang lebih jauh lagi. Nama itu mengingatkan Arka pada waktu yang tidak ingin ia ingat, pada masa-masa ketika semua terasa begitu mudah, begitu penuh dengan harapan.

Dari: Mira
“Arka, apa kabar? Lama nggak denger kabar darimu. Gimana sekarang? Aku benar-benar khawatir, kamu kelihatan berubah sejak terakhir kita ngobrol.”

Arka hanya menatap pesan itu, merasa seolah-olah dia tidak berhak untuk menjawabnya. Mira. Teman lama yang dulu selalu memberi semangat dan harapan di saat-saat sulit. Dulu, Arka selalu merasa bahwa bersama Mira, dia bisa melewati apapun. Namun, apa yang terjadi setelah itu? Dia pergi, memilih untuk mengejar sesuatu yang tidak jelas, meninggalkan semua orang yang pernah peduli padanya.

Pesan itu menggigit, membangkitkan kesadaran dalam dirinya bahwa dia telah merusak lebih dari sekadar kesempatan. Dia telah merusak hubungan dengan orang-orang yang selalu ada untuknya. Apa yang dia harapkan dengan semua itu? Semua yang dia tinggalkan untuk mengejar mimpi yang kini terasa semakin jauh.

Arka menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada kursi yang ada di dekat jendela. Pikirannya melayang jauh, berusaha mencari jawaban untuk semua kesalahan yang telah ia buat. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Semua jalan tampak tertutup, seperti hidupnya yang sudah berada di ujung jurang tanpa ada lagi pegangan.

Kemudian, dia teringat pada satu kejadian—saat dia merasa yakin bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai rencana. Waktu itu, dia bahkan sempat membayangkan masa depan yang penuh dengan pencapaian, kebanggaan, dan rasa puas atas semua perjuangannya. Tetapi kenyataan menghancurkan semua ilusi itu dengan cepat.

Ada satu keputusan yang masih berbekas di benaknya, satu momen yang selalu membuatnya bertanya-tanya apakah dia benar-benar telah membuat pilihan yang tepat. Arka teringat saat itu, ketika dia dengan penuh percaya diri berkata pada dirinya sendiri, “Ini yang aku pilih. Ini yang terbaik.”

Tapi di mana dia sekarang? Terjebak dalam kegelapan yang hanya dia ciptakan sendiri. Semua yang dulu dianggap sebagai peluang besar kini terasa seperti jerat yang melilit erat.

Dia menatap ponselnya lagi, kali ini dengan keputusan yang lebih tegas. “Mungkin sudah waktunya aku untuk berbicara dengan mereka,” pikirnya. Arka mulai mengetik balasan kepada Mira, namun tangannya terhenti di tengah jalan. Apa yang bisa dia katakan? Kata-kata tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan semua kesalahannya. Bahkan untuk dirinya sendiri, dia merasa kebingungannya terlalu dalam untuk diungkapkan.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” Arka menatap langit malam melalui jendela, merasa seakan dunia menyembunyikan jawabannya. Hujan semakin deras, tetapi itu tidak mengurangi beban yang ada di hatinya. Semua terasa terlalu berat, dan dia semakin terjerat dalam ketidakpastian.

Dia tahu bahwa tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki semuanya. Dan meskipun ia ingin melupakan semua yang telah terjadi, kenyataannya adalah dia tidak bisa. Penyesalan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Arka merasa seperti terperangkap dalam ilusi masa depan yang ia bangun sendiri, ilusi yang kini hanya menyisakan kepedihan.

Dengan tangan yang gemetar, Arka akhirnya menekan tombol kirim pada pesan yang sudah ia tulis. Namun, begitu pesan itu terkirim, dia merasa kosong. Tidak ada rasa lega, hanya ada kekosongan yang lebih dalam. Semuanya terlalu terlambat. Semua yang bisa dia lakukan hanyalah menatap ponselnya, berharap bahwa jawaban yang dia tunggu akan datang. Tetapi dia tahu, meskipun jawabannya datang, itu tidak akan bisa menghapus semua rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Dan malam itu, Arka kembali terperangkap dalam pikirannya sendiri. Dalam hujan yang terus mengguyur, dia merasa semakin kecil, semakin jauh dari semua yang pernah ia impikan. Semua langkah yang ia ambil terasa seperti mimpi buruk yang terus berlanjut.

“Kenapa aku sebodoh ini?” tanyanya dalam hati, namun kali ini suaranya begitu pelan, hampir tidak terdengar.

 

Tanya yang Tak Terjawab

Hari sudah berganti, tetapi Arka masih terperangkap dalam siklus pikirannya yang tak kunjung berakhir. Pagi yang cerah di luar tampaknya tidak ada kaitannya dengan apa yang ia rasakan. Setiap pagi baru hanya menjadi pengingat tentang betapa suramnya hatinya. Semakin banyak ia berusaha mengalihkan perhatian, semakin dalam ia tenggelam dalam kebingungannya sendiri. Ia seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas, di luar sana ada kebebasan, namun ia sendiri yang menutup pintu itu rapat-rapat.

Ponselnya masih tergeletak di meja, dan meskipun tidak ada pesan baru, Arka tahu dia tidak bisa mengabaikan rasa bersalah yang mencekamnya. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan yang ada. Pesan-pesan yang ia abaikan, keputusan yang ia ambil, semuanya kini seperti bayangan gelap yang menghantuinya.

“Kenapa aku nggak bisa membuat keputusan yang benar?” gumamnya, hampir tidak terdengar.

Arka mencoba berdiri dari tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana caranya memperbaiki semuanya? Apakah semuanya sudah terlambat? Apakah dia bisa kembali ke titik awal dan mengubah jalan hidupnya yang sudah terlanjur rusak? Atau akankah dia terus terjebak dalam penyesalan ini, menjalani hari-harinya seperti orang asing bagi dirinya sendiri?

Dia berjalan menuju dapur, mencoba mencari sedikit kenyamanan dengan secangkir kopi. Namun, meskipun kopinya terasa pahit dan hangat, hatinya tetap terasa hampa. Seperti semuanya tidak ada artinya lagi. Apa yang seharusnya ia lakukan? Apa yang seharusnya dia katakan kepada orang-orang yang ia tinggalkan begitu saja?

Ponselnya bergetar di atas meja, dan sekali lagi Arka menatap layar itu. Kali ini, sebuah pesan dari Clara muncul. Dengan sedikit ragu, Arka membuka pesan itu, berharap ada kata-kata yang bisa memberi sedikit ketenangan. Namun, kata-kata itu malah semakin memperburuk rasa bersalahnya.

Dari: Clara
“Arka, aku benar-benar nggak tahu harus ngomong apa lagi. Aku cuma mau kamu tahu bahwa aku masih ada, kalau kamu butuh sesuatu. Aku tahu kamu merasa kehilangan banyak, tapi jangan lupakan siapa kamu yang sebenarnya. Kamu bisa bangkit, aku yakin itu.”

Pesan itu, sederhana namun penuh makna, membuat Arka merasakan seluruh tubuhnya melemas. Ia tahu Clara selalu ada untuknya, selalu siap membantu, namun ia sendiri yang mengabaikan dukungan itu. Semua kata-kata yang Clara ucapkan sekarang terdengar seperti angin yang membelai luka lama, tetapi juga memberikan sedikit rasa lega. Setidaknya, Clara masih peduli. Setidaknya, ada satu orang yang tidak meninggalkannya.

Namun, rasa bersalah itu tetap menguasai dirinya. Bagaimana bisa ia membiarkan semua yang sudah Clara lakukan untuknya begitu saja? Bagaimana bisa ia meninggalkan sahabat yang selalu mendukungnya saat itu? Arka menyandarkan tubuhnya pada meja dapur, merasakan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Kenapa aku tidak bisa mendengarkanmu, Clara?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa aku harus terjebak dalam kebodohan seperti ini?”

Dia ingin menghubungi Clara, meminta maaf, meminta untuk diperbaiki. Namun, apa yang bisa dia katakan? Bagaimana bisa dia mengungkapkan segala penyesalan yang begitu dalam, tanpa ada yang bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi?

Arka menatap langit melalui jendela. Udara terasa lebih berat, dan dia merasakan beban di dadanya semakin menekan. Semua yang telah dia jalani terasa seperti kebohongan besar. Dia menganggap bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah keputusan yang tepat, padahal semua itu hanyalah ilusi.

“Kenapa aku tidak pernah berpikir panjang?” pikirnya. “Kenapa aku terlalu percaya bahwa jalan ini akan membawa kebahagiaan?”

Semakin lama ia merenung, semakin dalam ia menyadari satu hal—semuanya terjadi karena dirinya sendiri. Semua yang telah hilang, semua yang telah rusak, itu semua bukan karena nasib, bukan karena orang lain. Itu semua adalah akibat dari pilihan-pilihan yang ia buat, dan tidak ada cara untuk mengubahnya.

Arka menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan ketegangan yang merayap ke seluruh tubuhnya. Namun, perasaan bersalah itu terlalu kuat untuk diredakan. Di dalam hatinya, dia merasa seperti seseorang yang telah menutup pintu-pintu yang tidak seharusnya ia tutup. Semua itu, sekarang hanya menjadi kenangan yang mengganggu.

Ponselnya bergetar lagi, kali ini pesan dari Mira yang sudah lama tidak ia balas. Arka membaca pesan itu dengan perlahan, seakan berharap ada jawaban yang bisa memberikan sedikit pencerahan.

Dari: Mira
“Kamu tahu, Arka, terkadang kita harus belajar untuk memaafkan diri sendiri. Aku tahu kamu sedang merasa buruk, tapi tidak ada gunanya terjebak dalam masa lalu yang tidak bisa kita ubah. Aku percaya kamu masih bisa bangkit. Jangan biarkan dirimu terus tenggelam dalam penyesalan.”

Mira selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk menenangkan hati Arka, tetapi kata-katanya justru semakin membuatnya merasa hampa. Memaafkan diri sendiri? Apakah itu mungkin? Apakah dia bisa benar-benar melepaskan semua penyesalan ini?

Dia menatap pesan itu lama, merenungkan kata-kata Mira. Mungkin ada benarnya. Mungkin memang ia harus mulai memaafkan dirinya sendiri, meskipun sulit, meskipun terasa seperti dosa yang tidak bisa dimaafkan. Tapi apakah dia bisa? Ataukah ini hanya ilusi, sama seperti semua yang ia kejar selama ini?

Arka menatap ponselnya dan meletakkannya kembali di meja. Tidak ada jawaban yang mudah, tidak ada cara untuk menghapus apa yang telah terjadi. Yang bisa dia lakukan hanyalah menjalani hari ini, dan berharap bahwa suatu saat nanti, dia bisa menemukan kedamaian dalam diri sendiri.

Namun, dalam hatinya, Arka tahu satu hal: meskipun ia tidak bisa mengubah masa lalu, masa depan masih terbuka. Mungkin langkah pertama untuk memperbaiki semuanya adalah memaafkan dirinya sendiri. Tetapi itu akan menjadi perjalanan yang panjang.

 

Akhir yang Tak Terduga

Hari-hari berlalu, dan Arka semakin terjebak dalam rutinitasnya yang penuh dengan perenungan dan perasaan bersalah. Meskipun ia mencoba untuk memperbaiki segalanya, kenyataan tidak selalu memberi ruang untuk itu. Penyesalan yang menggantung di atas kepalanya seperti awan kelabu yang tak pernah pergi. Ia merasa terperangkap di dalamnya, seperti tidak ada jalan keluar yang jelas.

Pagi itu, Arka terbangun dengan perasaan yang sama seperti hari-hari sebelumnya—hampa, bingung, dan penuh tanya. Ia menatap langit yang gelap, berharap matahari akan membawa harapan baru, namun entah kenapa, kali ini ia merasa seperti tidak ada lagi harapan yang tersisa. Rasa bersalah itu begitu mendalam, seolah-olah ia telah mengubur dirinya dalam sebuah kuburan yang dibuatnya sendiri. Setiap langkah terasa berat, dan setiap detik berlalu terasa lebih panjang daripada biasanya.

Langkah-langkah kecilnya menuju meja, tempat di mana ia menyimpan ponsel yang masih tergeletak dengan pesan-pesan yang tak pernah ia balas. Ia membuka layar, berharap ada sesuatu yang bisa memberi sedikit penghiburan, meski ia tahu itu tidak akan datang. Pesan-pesan itu tidak mampu menghapus rasa kosong di dalam dirinya. Ia bahkan tidak tahu harus mulai dari mana untuk memperbaiki semuanya.

Ketika matanya kembali terfokus pada pesan terakhir dari Mira, Arka merasa seolah dunia membeku sejenak. “Memaafkan diri sendiri,” katanya dalam hati, mengulang kalimat itu seperti mantra. Arka tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, untuk bisa hidup dengan damai, ia harus menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Tidak ada yang bisa memperbaiki kebodohannya selain dirinya sendiri. Namun, apakah ia mampu melakukannya?

Di luar, angin berhembus pelan, membawa hawa yang menenangkan. Arka merasa sejenak seperti ia sedang duduk di tepi pantai yang sepi, mendengarkan suara deburan ombak yang mengingatkannya pada ketenangan yang hilang. Suara itu seolah menjadi pelipur lara bagi hatinya yang gundah. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan kedamaian dengan menerima kenyataan yang telah terjadi.

Ponselnya bergetar lagi, kali ini bukan dari Mira, Clara, atau siapa pun yang biasa menghubunginya. Arka membuka pesan itu dengan perlahan, dan seketika itu, rasa sesak yang sejak tadi ia pendam dalam dada tiba-tiba meledak. Pesan itu berasal dari ibu.

Dari: Ibu
“Arka, kami selalu mencintaimu, meski kamu merasa tersesat. Kami tahu bahwa setiap orang memiliki waktu dan cara untuk menemukan jalan mereka sendiri. Jangan biarkan rasa bersalah menguasai hidupmu. Kami akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang telah terjadi.”

Arka meletakkan ponselnya dengan hati yang berdebar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Terkadang, kata-kata dari orang-orang yang kita cintai adalah hal terakhir yang kita butuhkan untuk membuka mata kita, untuk melihat bahwa tidak ada kesalahan yang terlalu besar untuk diperbaiki. Mungkin itu bukan jalan yang cepat, mungkin butuh waktu dan perjuangan, tetapi setiap langkah menuju pengampunan—terhadap diri sendiri dan orang lain—adalah langkah menuju kebebasan.

Arka merasa berat di dadanya sedikit berkurang. Ia masih tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus-menerus mengunci dirinya dalam penyesalan. Kehidupan ini lebih besar dari apa yang ia pikirkan, dan ia mulai menyadari bahwa untuk maju, ia harus melepaskan beban yang ia bawa terlalu lama.

Dengan perasaan yang campur aduk, Arka berdiri dan berjalan ke arah jendela. Pemandangan di luar tampak lebih cerah dari sebelumnya. Langit yang tadinya kelabu kini mulai menyelimuti dirinya dengan warna yang lebih lembut. Dalam kedalaman hatinya, Arka tahu bahwa meskipun tidak semua bisa diperbaiki, ia masih punya waktu untuk berubah. Mungkin jalan itu penuh liku, penuh perjuangan, tetapi ada harapan. Dan harapan itu, meskipun tipis, adalah sesuatu yang masih bisa ia pegang.

Arka menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Mungkin ia tidak bisa mengubah masa lalunya, tetapi ia bisa memilih untuk tidak terjebak di dalamnya. Dengan perlahan, ia menutup mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan, meresapi setiap detik yang akhirnya terasa lebih ringan. Penyesalan itu masih ada, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi masa depan.

Dengan langkah yang lebih pasti, Arka akhirnya melangkah keluar dari kamar, menuju kehidupan yang baru—meski penuh ketidakpastian, tetapi dengan harapan yang tidak lagi redup.

Dan meskipun jalan menuju kedamaian itu panjang, Arka tahu satu hal: ia tidak lagi berjalan sendirian.

 

Kadang kita harus jatuh dulu, baru bisa merasakan betapa berharganya bangkit. Arka mungkin belum sepenuhnya mengerti semuanya, tapi dia tahu satu hal—perjalanan ini belum berakhir. Dan begitu juga dengan kita.

Mungkin kita merasa bodoh sekarang, tapi siapa tahu, masa depan kita bisa jauh lebih cerah dari yang kita bayangkan. Jadi, jangan berhenti berusaha. Karena siapa pun kita, kita semua punya kesempatan untuk berubah.

Leave a Reply