Daftar Isi
Jadi gini, kamu pernah nggak sih ngerasain hidup yang kelihatan sempurna di luar, tapi ternyata dalamnya berantakan banget? Kayak keluarga kaya yang punya segalanya, tapi malah saling diem-dieman dan nggak pernah bener-bener nyambung.
Cerpen ini bakal ngulik gimana kehidupan yang kelihatannya oke banget, padahal hancur dari dalam. Penasaran kan gimana alur ceritanya? Langsung aja baca sendiri, let’s go!!
Cerpen Keluarga Kaya yang Terlihat Sempurna
Kehilangan yang Tak Terlihat
Pagi itu, Yasmin duduk di meja makan besar yang terbuat dari kayu jati, menatap tumpukan jadwal di ponselnya. Hari-harinya selalu begitu—penuh dengan pertemuan, gala dinner, dan kegiatan amal yang tak pernah selesai. Suara sendok yang bergerak di atas piring porselen terdengar seperti musik yang tidak diinginkan, hanya pengisi kekosongan. Tidak ada lagi percakapan hangat atau tawa yang sering terdengar di meja makan ini.
Pramana, suaminya, duduk di ujung meja dengan wajah serius, matanya terpaku pada layar tablet. Sekali-sekali, ia mengangkat cangkir kopi dan meminumnya dengan cepat, seolah itu cara tercepat untuk menghindari percakapan. Sesekali, ia melirik ke arah Yasmin, tetapi itu lebih seperti rutinitas daripada perhatian. Yasmin tahu itu. Sudah lama mereka tidak berbicara tanpa ada sesuatu yang harus diungkapkan.
Dirga, anak sulung mereka, datang terlambat, seperti biasa. Ia melangkah masuk tanpa sepatah kata pun. Earphone masih tergantung di lehernya, dan matanya tetap tertuju pada ponsel. Ia mengabaikan sapaan Yasmin dan duduk di kursi kosong tanpa menggubris keadaan di sekitarnya. Yasmin memandangnya sebentar, tidak tahu harus mulai dari mana.
“Apa kamu tahu kalau nanti malam ada acara keluarga di hotel?” Yasmin akhirnya bertanya, suaranya lembut, namun terkesan terpaksa.
Dirga hanya mengangkat bahu, tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. “Ya, aku tahu.” Jawabnya pendek. Tanpa ada rasa ingin berbicara lebih lanjut.
Yasmin mendesah pelan, menyadari betapa percakapan mereka semakin kering. Dirga, yang dulu suka bercerita tentang sekolahnya, kini seperti tertelan oleh dunia maya yang tak terlihat. Dia lebih banyak berbicara dengan teman-temannya lewat media sosial daripada dengan orang-orang di rumah. Yasmin sudah sering bertanya-tanya kapan semuanya berubah. Apakah itu dimulai ketika Dirga memasuki masa remaja, ataukah semuanya hanya terhenti begitu saja tanpa ada yang menyadari?
“Apa kamu nggak akan makan? Ini semuanya masih hangat, loh,” Yasmin melanjutkan, mencoba menghidupkan suasana.
Namun, Dirga tetap dengan dirinya sendiri. Hanya ada suara ketukan jari-jari yang cepat pada layar ponselnya. Yasmin memandangi ponsel yang masih ada di tangan anaknya, merasa ada jarak yang semakin jauh. Ia merasa seperti seorang ibu yang hanya bisa melihat, tapi tidak bisa menyentuh.
Amira, anak bungsu mereka, baru saja masuk ke ruangan. Ia membawa buku gambar dan duduk di kursi seberang Dirga, memulai rutinitasnya yang sudah biasa: menggambar tanpa bicara. Sesekali ia mengangkat kepalanya, melihat ibunya dengan tatapan kosong, lalu kembali menggambar. Yasmin menatap putrinya dengan lembut. Amira sudah berubah menjadi gadis yang cenderung menyendiri. Sebelumnya, ia yang paling banyak berbicara dan bercanda, tetapi belakangan ini, ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya. Yasmin merasa ada yang hilang, tetapi ia tak tahu apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki semuanya.
“Amira, kamu nggak mau sarapan?” Yasmin bertanya, mencoba mengisi hening yang semakin menyiksa.
Amira hanya menggelengkan kepala tanpa berkata apa-apa, melanjutkan gambarannya yang semakin rumit. Yasmin menghembuskan napas pelan. Pagi itu terasa semakin berat. Ia tidak tahu kenapa, tapi semua ini seperti rutinitas yang sudah terlalu lama dipaksakan.
Pramana, yang semula sibuk dengan tablet, akhirnya meletakkan perangkatnya di atas meja dan menatap mereka semua dengan raut wajah yang datar. “Makan, dulu. Nanti, kita bicara masalah acara malam nanti.”
Yasmin mengangguk, meskipun dalam hati, ia merasa ragu. Percakapan yang dijanjikan suaminya nanti malam terasa seperti sebuah formalitas. Sebuah acara besar dengan banyak tamu, tetapi di balik itu semua, tidak ada kehangatan. Semua terasa kaku. Dirga, yang sudah selesai makan, bangkit dari meja tanpa berkata sepatah kata pun. Ia mengangkat tas punggungnya dan menuju pintu.
“Ke mana?” Yasmin bertanya, sedikit terkejut dengan sikap Dirga yang tiba-tiba.
“Mau keluar sebentar,” jawab Dirga singkat, tanpa menatap ibunya.
Yasmin hanya mengangguk, meskipun ia merasa gelisah. Anaknya yang dulu selalu minta diantar kemana-mana kini mulai semakin menjauh. Tanpa ada rasa saling mengerti. Tanpa ada ruang untuk bicara.
Pramana, yang sepertinya sudah selesai dengan sarapan, berdiri dan menepuk-nepuk bahu Yasmin. “Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Kita hanya perlu sedikit lebih banyak waktu bersama,” ujarnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dulu daripada Yasmin.
Yasmin tersenyum kaku, berusaha meyakinkan dirinya juga. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu ada yang tidak beres. Keluarga mereka, yang dulunya begitu erat, kini seperti rumah tanpa suara. Mereka ada di dalamnya, tapi tak ada satu pun yang benar-benar hadir.
Amira, yang masih sibuk menggambar, tiba-tiba menatap ibunya dengan tatapan kosong. “Kamu nggak marah, kan, Bu?” tanyanya lirih, meskipun suaranya hampir tak terdengar. Yasmin terkejut, merasa seperti ada yang mengena.
“Kenapa, sayang?” jawab Yasmin, mencoba mengatur nada suaranya agar tetap lembut.
Amira memegang pensilnya lebih erat, seperti menahan sesuatu yang sulit diungkapkan. “Kalau aku nggak ada di sini, kamu akan merasa kehilangan, kan?” tanyanya, matanya kini menatap Yasmin dengan penuh pertanyaan.
Yasmin menelan ludah. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa sangat paksa. “Tentu saja, Amira. Kamu adalah bagian terpenting dalam keluarga ini.”
Namun, kata-kata itu seakan hanya meluncur begitu saja tanpa bisa mengisi kekosongan yang sudah ada. Yasmin merasa tak mampu lagi memeluk anak-anaknya seperti dulu. Semua terasa rapuh. Seperti kaca yang retak, namun tak ada yang berani menyentuhnya.
Amira kembali mengalihkan pandangannya ke gambar di buku, dan suasana kembali sunyi. Seperti biasa, mereka kembali ke dunia masing-masing. Di luar sana, dunia mereka terlihat sempurna—keluarga kaya raya dengan segala kemewahannya. Namun di dalam, rumah itu semakin kosong, dan mereka semakin jauh satu sama lain.
Yasmin menatap keluarga yang terpisah, merasa sebuah kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Dan entah mengapa, pagi itu, kesendirian mereka terasa lebih menyesakkan.
Senyum yang Tak Pernah Sampai
Malam itu, Yasmin duduk di ruang tamu besar yang dihiasi lampu kristal yang berkilau. Semuanya terlihat sempurna, seperti yang selalu mereka lakukan di setiap acara keluarga. Meja panjang di tengah ruangan dipenuhi dengan makanan lezat, sementara para tamu yang diundang berjalan masuk dengan senyum-senyum penuh perhatian. Namun di balik semuanya, Yasmin merasa seperti ada dinding tebal yang membatasi dirinya dengan dunia sekitarnya. Suasana itu terasa asing, meski ia tahu ini adalah bagian dari rutinitas yang sudah berlangsung lama.
Pramana sudah berdiri di sampingnya, berbicara dengan para kolega dan teman-teman lama yang tampaknya tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Dirga, dengan jas hitam yang terlihat formal, berdiri dengan tatapan kosong, berusaha terlihat seperti anak yang penuh perhatian, meskipun tidak ada percakapan yang hangat. Sesekali, ia memeriksa ponselnya, tampaknya lebih tertarik dengan dunia maya daripada dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
“Yasmin, kamu lihat Dirga? Sudah mulai banyak bicara dengan teman-temannya,” Pramana berkata, berusaha mengarahkan pandangannya pada anak mereka.
Yasmin mengangkat bahu, meskipun hatinya terasa berat. “Dia sudah cukup besar. Tugas kita sebagai orang tua hanya bisa memberi ruang, kan?” jawabnya, suaranya terdengar datar meski ia berusaha menjaga kesan santai.
Pramana tersenyum tipis, tapi Yasmin tahu itu hanyalah senyum yang terlatih. Mereka berdua tahu bahwa mereka hanya berbicara untuk mengisi kekosongan yang sudah ada sejak lama. Percakapan mereka di antara tamu ini adalah upaya untuk menjaga citra keluarga sempurna. Keluarga yang penuh kebahagiaan di luar sana, namun terbelah di dalam rumah.
Sementara itu, Amira masih tidak terlihat. Yasmin mulai merasakan ketegangan di dadanya. Anaknya yang paling sensitif, yang dulu tak pernah melewatkan acara keluarga seperti ini, tiba-tiba menghilang. Mungkin itu yang membuat Yasmin semakin cemas. Amira bukan lagi gadis kecil yang ceria. Amira kini sudah menutup dirinya dengan dunia yang tak ingin diungkapkan.
Mata Yasmin melirik ke arah pintu kamar, dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia memutuskan untuk meninggalkan kerumunan dan berjalan perlahan menuju kamar Amira. Pintu kamar itu sedikit terbuka, dan di dalamnya, Amira duduk di sudut kamar, di depan meja rias, memandangi bayangan dirinya di kaca.
“Amira?” Yasmin memanggil lembut, berusaha tidak menakut-nakuti.
Amira menoleh sejenak, tetapi hanya memberi senyum yang sangat tipis—senyum yang terasa seperti topeng. “Oh, Bu. Aku nggak merasa enak. Terlalu banyak orang di luar sana,” jawabnya, suaranya datar, tanpa semangat.
Yasmin merasakan hatinya tercabik. “Kamu tahu, acara ini penting. Ayah dan aku ingin kamu ikut. Orang-orang ingin bertemu denganmu, Amira.”
Amira menatap Yasmin dengan mata yang seolah kosong, tak ada keinginan untuk berbicara lebih lanjut. “Aku nggak peduli dengan mereka, Bu. Aku nggak mau jadi pusat perhatian seperti itu. Aku hanya ingin di sini, di kamar.”
Yasmin merasakan keputusasaan yang semakin menguat. Ia berdiri diam, tidak tahu harus berkata apa. Anak-anaknya—Dirga, yang sudah tidak peduli, dan Amira, yang semakin terisolasi—membuatnya merasa sepi, meskipun keluarga lengkap dan penuh. Di luar, mereka terlihat sempurna, tetapi di dalam rumah ini, mereka tak lebih dari orang-orang yang terpisah oleh dunia masing-masing.
Ketika Yasmin berbalik untuk kembali keluar, ia sempat mendengar suara pelan dari Amira. “Bu… Apa kamu bahagia, sih?” suara itu hampir tidak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Yasmin berhenti sejenak.
Yasmin menoleh, terkejut oleh pertanyaan itu. “Apa maksudmu?” tanyanya, berusaha menjaga ketenangan.
Amira tidak langsung menjawab, hanya memandangnya dengan mata yang penuh keraguan. “Aku nggak tahu. Aku hanya merasa… kita nggak pernah benar-benar bahagia, kan?”
Yasmin terdiam, merasa seperti terhempas oleh kata-kata itu. Ia tahu Amira merasa seperti itu, tapi tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ya, mereka mungkin punya semua yang mereka inginkan—rumah mewah, mobil mewah, segala hal yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi di balik itu semua, ada kehampaan yang semakin terasa.
“Amira, kita cuma… kita cuma butuh waktu. Untuk bisa saling mengerti satu sama lain,” jawab Yasmin dengan suara yang semakin pelan.
Amira mengangguk, meskipun ia tidak terlihat puas dengan jawaban itu. Yasmin bisa melihat ada perasaan terluka yang masih mendalam di dalam hati anaknya, yang tak pernah diungkapkan dengan jelas. Amira tidak pernah benar-benar bahagia. Bahkan, Yasmin merasa ia juga tidak bahagia. Semuanya terasa hampa.
Ketika Yasmin kembali ke ruang tamu, ia merasa semakin lelah dengan semua upaya untuk mempertahankan citra sempurna yang sebenarnya rapuh. Pramana sedang berbicara dengan seorang tamu penting, tampaknya tidak menyadari ketegangan yang terjadi di dalam keluarganya. Yasmin hanya bisa tersenyum kecil, mencoba terlihat baik-baik saja. Tetapi di dalam hatinya, ia merasa semakin jauh dari orang-orang yang seharusnya ia cintai.
Dirga sudah lama pergi, meninggalkan Yasmin dengan kenyataan bahwa ia semakin terasing di dunia yang penuh dengan kemewahan ini. Apa gunanya semua itu jika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru terasa seperti rumah kosong?
Yasmin menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, mereka akan berpose sebagai keluarga bahagia di depan dunia. Tetapi di dalam, mereka tahu—semuanya hanya sebuah pertunjukan, dan tidak ada yang benar-benar saling mengerti.
Keramaian yang Sepi
Malam semakin larut, dan Yasmin merasa waktunya untuk meninggalkan pesta keluarga itu. Di luar, kerumunan masih berbicara, tertawa, seakan semuanya baik-baik saja. Namun, di dalam hatinya, Yasmin mulai merasa seakan setiap langkahnya semakin berat. Ia berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang semakin menumpuk, mencoba memainkan peran yang sudah begitu lama ia jalani. Namun, semakin lama ia berpura-pura, semakin jelas bahwa semua ini tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi.
Pramana sudah kembali ke sampingnya setelah selesai berbicara dengan beberapa tamu. Ada senyum hangat di wajahnya, tapi Yasmin tahu itu bukan senyum yang tulus. Senyum itu hanyalah sebuah kebiasaan, sebuah rutinitas yang sudah mereka jalani bersama-sama. Tidak ada kedalaman di balik senyum itu. Ia menyadari hal itu, namun tidak tahu harus berkata apa.
“Kamu kelihatan lelah,” kata Pramana, suaranya lembut, namun ada nada asing yang tidak bisa Yasmin tafsirkan.
“Aku hanya… butuh waktu sendiri,” jawab Yasmin, matanya melayang ke arah pintu utama yang sudah mulai terbuka, memberi kesempatan bagi angin malam untuk masuk. Angin yang seolah menyampaikan pesan dari dunia luar yang jauh lebih nyata.
Pramana mengangguk pelan, lalu memalingkan wajahnya ke arah tamu yang sedang berbicara di sudut ruangan. Yasmin tahu, ia tidak benar-benar tertarik untuk mendengarkan percakapan itu. Namun, inilah kenyataan. Mereka hidup di dunia yang begitu penuh dengan penampilan. Dunia yang tak pernah memberi mereka kesempatan untuk merasa sungguh-sungguh terhubung satu sama lain.
“Yasmin, bisa bicara sebentar?” suara itu datang tiba-tiba, memecah lamunannya. Yasmin menoleh, dan di sana berdiri Amira, di ambang pintu, dengan raut wajah yang lebih serius daripada sebelumnya.
“Amira? Ada apa?” Yasmin menatap anaknya dengan cemas. Sejak malam tadi, hatinya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang masih mengganjal, meskipun Amira tidak mengatakannya secara jelas.
Amira menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku nggak bisa begini terus, Bu,” katanya, suara sedikit gemetar.
Yasmin merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak. Ia mengamati Amira dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. “Begini maksudmu?”
Amira menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat, sedikit menjauh dari kerumunan yang masih tertawa dan berbincang. “Aku merasa terjebak, Bu. Semua yang kita lakukan ini… semua yang kita pamerkan ke orang-orang. Aku nggak mau jadi bagian dari ini lagi,” ujar Amira, suaranya semakin terdengar patah. “Aku nggak mau jadi anak yang hanya bisa ada di belakang bayang-bayang semua orang ini. Aku butuh sesuatu yang lebih.”
Yasmin merasa dadanya sesak mendengarnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Amira terasa seperti pukulan di hatinya. Seakan seluruh ekspektasi yang ia miliki tentang keluarga ini, tentang masa depan yang ia harapkan untuk anak-anaknya, hancur begitu saja.
“Amira, kita hanya berusaha menjaga semuanya tetap berjalan, menjaga semuanya tetap terlihat baik-baik saja. Jangan katakan ini seperti… seperti kita tidak peduli padamu,” Yasmin mencoba mencari kata yang tepat, namun rasanya semuanya tidak cukup.
“Yang aku lihat justru kebalikannya, Bu. Kamu dan Ayah lebih peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Kamu lebih peduli dengan dunia luar daripada keluarga kita sendiri,” jawab Amira, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Yasmin merasa hatinya terbelah mendengar itu. Di mana salahnya? Mereka sudah memberi Amira segalanya. Pendidikan terbaik, kenyamanan hidup yang tak terbayangkan bagi banyak orang, kebebasan yang lebih dari cukup—tetapi Amira tidak merasakannya. Amira merasa kosong, terasing di tengah kemewahan yang mereka bangun selama ini.
“Apa yang kamu inginkan, Amira? Apa yang bisa kita lakukan supaya kamu merasa lebih… hidup?” Yasmin bertanya dengan nada yang lembut, berharap dapat memahami anaknya lebih dalam.
Amira terdiam sejenak, seakan-akan mencerna pertanyaan itu. “Aku nggak tahu, Bu. Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan, apa yang bisa bikin aku merasa aku punya keluarga, bukan hanya tempat tinggal.”
Yasmin menelan ludah, perasaan kecewa yang tak terkatakan mulai meresap. Ia ingin sekali menghapus semua rasa takut di hati anaknya, ingin sekali memberi Amira sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa membuatnya merasa dipahami. Namun, tidak ada kata-kata yang cukup untuk itu. Mereka terjebak dalam dunia yang penuh dengan kebohongan kecil, yang semakin hari semakin besar, hingga mereka hampir tak bisa melihat satu sama lain lagi.
“Amira… kamu bukan hanya tempat tinggal bagi kami. Kamu adalah anak kami. Tetapi terkadang, aku merasa seperti kita sama-sama mencari apa yang hilang di hidup kita,” Yasmin mencoba berbicara dengan hati, meskipun suaranya mulai tercekat.
Amira menunduk, kemudian mengangkat wajahnya, menghapus air mata yang mulai jatuh. “Aku cuma nggak mau jadi bagian dari kehidupan yang kosong. Aku ingin kita lebih dari sekadar orang yang saling mengenal, Bu.”
Kata-kata itu menyentak hati Yasmin. Amira, anak perempuan yang ia kira sudah memiliki segalanya, ternyata merasakan kekosongan yang sama. Mereka berdua, dalam keheningan ini, menyadari bahwa meski mereka hidup dalam dunia yang serba ada, mereka belum menemukan apa yang benar-benar mereka butuhkan—satu sama lain.
“Aku… aku janji akan mencoba lebih mengerti, Amira. Aku janji akan berusaha mencari cara supaya kita bisa jadi keluarga yang lebih baik. Tapi itu juga harus dimulai dari kita berdua,” kata Yasmin, sambil menatap Amira dengan penuh harap.
Amira mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih terlihat berat. “Aku berharap itu benar, Bu.”
Di luar, lampu-lampu pesta masih berkelip indah. Namun, Yasmin tahu bahwa malam ini bukan tentang pesta atau penampilan. Ini tentang keluarga yang sedang terbelah, yang berusaha untuk mencari kembali apa yang hilang, meski kadang perasaan itu terlalu sulit untuk ditemukan.
Dalam Keheningan yang Terpecah
Pagi datang begitu cepat setelah malam yang panjang itu. Matahari terbit dengan lembut, menerangi langit dengan warna oranye yang hangat, tapi Yasmin merasa seakan waktu berjalan terlalu cepat, seperti mengabaikan kepedihan yang masih mengganjal di hatinya. Pagi ini, rumah terasa lebih sunyi. Tidak ada suara riuh dari Pramana yang biasanya mulai berbicara tentang urusan bisnisnya sejak fajar. Tidak ada gelak tawa dari anak-anak yang biasanya mengisi ruang-ruang kosong rumah dengan keceriaan mereka. Semua terasa hampa, kosong, dan begitu damai—damai yang tak seharusnya ada di sebuah rumah yang pernah dipenuhi dengan kebahagiaan.
Di meja makan, Pramana duduk dengan surat kabar di tangannya, sementara Amira duduk diam, menatap piringnya dengan mata yang kosong. Ada jarak yang begitu lebar antara mereka, seolah ruang di meja makan itu lebih lebar dari seharusnya. Yasmin mengamati mereka dari tempatnya berdiri, mencoba merangkai kata-kata untuk membuka pembicaraan, tapi terasa sangat sulit. Semuanya terasa seperti sebuah kebisuan yang sudah terlalu lama dipelihara.
Pramana menyadari kehadiran Yasmin, dan tanpa berpaling dari surat kabarnya, ia berbicara, “Bagaimana semalam? Semua sudah baik-baik saja?”
Yasmin merasa sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Ia hanya bisa mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya jauh dari kata “baik.” Amira hanya menyentuh makanan di piringnya, tanpa memberikan perhatian lebih. Yasmin bisa merasakan ketegangan yang melingkupi seluruh ruangan, seperti dinding-dinding yang semakin mengeraskan perasaan mereka. Tidak ada yang benar-benar bisa merasakan kedekatan itu lagi.
“Aku pikir kita perlu bicara,” akhirnya Yasmin memutuskan untuk memecah keheningan yang semakin mencekam. “Kita harus cari cara supaya keluarga ini kembali seperti dulu. Tidak harus sempurna, tapi setidaknya ada kebersamaan yang bisa kita rasakan.”
Amira mengangkat wajahnya, dan dalam tatapan matanya, Yasmin melihat sebuah kelelahan yang dalam. “Aku nggak tahu, Bu,” jawab Amira pelan. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua terasa seperti sebuah kebohongan, dan aku… aku capek dengan itu.”
Yasmin merasakan hatinya teriris. Ini bukan yang ia inginkan. Ini bukan yang ia bayangkan ketika ia dulu membangun keluarga ini bersama Pramana. Semua yang mereka kerjakan, semua yang mereka bangun, ternyata tidak bisa menyatukan hati mereka yang semakin jauh satu sama lain.
“Pramana,” Yasmin mulai, suara yang sedikit lebih keras, “kamu juga harus menyadari ini. Kita nggak bisa terus hidup dalam rutinitas yang kosong seperti ini. Kita butuh lebih dari sekadar kehidupan yang terlihat sempurna. Kita butuh satu sama lain.”
Pramana meletakkan surat kabarnya dan menatap Yasmin dengan ekspresi datar. “Aku tahu,” jawabnya singkat. “Tapi apa yang kamu harapkan dari aku, Yasmin? Aku sudah mencoba. Kita punya tanggung jawab yang lebih besar daripada perasaan kita sendiri. Ini bukan hanya soal kita berdua atau soal Amira. Ini tentang semua yang sudah kita bangun.”
Yasmin merasa ada sesuatu yang terkunci di dalam hatinya, seperti ada kata-kata yang tak bisa ia keluarkan. “Apa artinya semua ini, Pramana? Kalau kita hanya hidup untuk mempertahankan citra, apa bedanya kita dengan orang lain yang hanya berpura-pura?” tanyanya dengan suara yang hampir teredam oleh kesedihan yang mendalam.
Pramana terdiam. Ia tahu Yasmin sedang berbicara dengan hati yang terluka. Tetapi di balik kata-kata itu, ada juga rasa marah yang terpendam, kebingungannya sendiri tentang bagaimana menyelesaikan semuanya. Ada perasaan bersalah yang mungkin ia coba sembunyikan, namun tak bisa lagi ia bohongi.
Amira menunduk, seakan merasakan bahwa semua ini lebih dari sekadar percakapan biasa. Ini adalah pembicaraan yang sudah lama tertunda, dan ia tahu itu. Tidak ada lagi yang bisa mereka sembunyikan, tidak ada lagi yang bisa mereka perbaiki hanya dengan kata-kata atau janji.
“Aku ingin kita berhenti berpura-pura,” kata Amira dengan suara pelan, yang terasa lebih seperti pengakuan daripada permintaan. “Aku ingin kita berhenti hidup di dunia yang seolah-olah sempurna. Aku ingin kita benar-benar berusaha, berusaha saling mengerti.”
Yasmin merasa sebuah harapan kecil tumbuh dalam dirinya, meskipun itu masih terlalu rapuh untuk dibanggakan. Setidaknya, ada permulaan untuk saling berbicara, untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka rasakan. Mungkin ini adalah awal yang baru, meskipun sulit untuk diterima.
“Aku tidak tahu apakah ini bisa diperbaiki, Amira,” Yasmin berkata dengan suara yang penuh keraguan. “Tapi kita harus mencoba. Aku janji akan mencoba untuk lebih mendengarkan.”
Amira mengangguk, meskipun keraguan masih terlihat di matanya. “Aku akan mencoba juga, Bu.”
Pramana hanya terdiam, namun ada sesuatu dalam tatapan matanya yang seolah memberi sinyal bahwa ia pun mulai merasakan keperluan untuk mengubah sesuatu. Tidak ada lagi ruang untuk terus mengabaikan apa yang sudah lama terlupakan. Ini adalah titik balik, meskipun terasa sangat terlambat.
Keheningan kembali menyelimuti meja makan mereka, namun kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Tidak lagi sunyi dalam pengertian yang menakutkan, tetapi lebih seperti sebuah ruang kosong yang memberi kesempatan bagi mereka untuk mencari jalan keluar.
Di luar, dunia terus berjalan. Namun, di dalam rumah ini, Yasmin tahu bahwa mereka masih memiliki waktu untuk memperbaiki segala sesuatu yang telah rusak. Tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi topeng yang harus mereka pakai. Yang ada hanya mereka, keluarga yang saling terhubung dengan kelemahan dan kekuatan mereka, berusaha menemukan kembali makna yang sesungguhnya dari kebersamaan.
Dan meskipun jalan ini masih panjang, Yasmin merasa, untuk pertama kalinya, ada harapan.
Jadi, gimana? Kadang hidup emang nggak seindah yang kita lihat di luar, kan? Keluarga yang kelihatannya punya semuanya, ternyata punya masalah yang lebih besar dari yang kita bayangin.
Tapi, siapa tahu? Mungkin ada jalan keluar kalau kita mau berusaha lebih jujur dan terbuka. Ya, siapa tahu… Semua bisa berubah, asal ada usaha, kan?