Daftar Isi
kamu pernah ngerasa kayak ada suara yang hilang, tapi kamu nggak tahu kenapa? Kayak cerita yang udah lama banget terlupakan dan nggak ada yang peduli buat ingat lagi. Nah, cerpen ini bakal ngingetin kamu soal itu.
Soal sejarah yang kerap terabaikan, dan gimana akhirnya ada orang yang berani bangkit buat ngekspose semuanya. Penasaran kan gimana cara mereka ngebangunin suara merdeka yang udah lama terusir? Yuk, simak ceritanya!
Cerpen Terusir Suara Merdeka
Lembar-Lembar yang Tersembunyi
Damar duduk di meja kayu tua yang sudah lapuk, dengan cahaya temaram dari lampu minyak yang memantul lembut di permukaan kertas-kertas yang berserakan. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara jangkrik yang terdengar dari luar rumah. Tangannya bergerak cepat menulis, namun pikirannya terhenti setiap kali ia melihat kalimat-kalimat yang baru saja ditulis. Menulis bukan hal yang mudah baginya, terutama ketika tulisan itu harus berbicara tentang sesuatu yang begitu berat—tentang mereka yang terlupakan.
Pikirannya melayang pada Sari, perempuan tua yang setiap malam selalu duduk di depan rumahnya, memandangi bintang-bintang seolah mencari bayang anaknya di antara kilau langit malam. Damar tahu, Sari adalah simbol dari banyak orang yang tersembunyi di balik kisah besar tentang kemerdekaan. Mereka yang kehilangan lebih dari sekadar hidup, mereka yang kehilangan masa depan, tetapi tak pernah bisa mengungkitnya. Lalu, bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan suara mereka?
Seperti ada dorongan yang kuat dalam dirinya, Damar menulis lagi. Kata-kata itu keluar begitu saja, seolah-olah tak ada pilihan lain. Kisah tentang para ibu yang menunggu anak-anak mereka pulang, tentang para pejuang yang tak pernah mendapat pengakuan. Ia menulis tentang mereka yang dipaksa untuk terus hidup dalam kesepian, menunggu kabar yang tak kunjung datang.
“Damar, kamu lagi menulis itu lagi?” Suara ibu dari ruang sebelah terdengar, menggema di antara dinding rumah. Ibu Damar sering mengingatkannya tentang bagaimana menulis bisa membawa masalah, terutama kalau isinya menyentuh hal-hal yang tidak seharusnya dibahas.
“Iya, Bu. Cuma menulis sedikit,” jawab Damar singkat, matanya tetap terpaku pada kertas yang baru saja ia tulis.
Ibu Damar masuk ke ruangan dengan langkah pelan, membawa secangkir teh hangat. “Kamu tahu kan, apa yang kamu tulis itu bisa menimbulkan keributan? Ada banyak orang yang tak suka dengan hal-hal seperti itu.”
Damar mengangkat wajahnya, memandang ibu dengan tatapan penuh keyakinan. “Tapi, Bu, mereka juga harus didengar. Kita tak bisa terus hanya mengingat pahlawan yang meninggalkan sejarah kemenangan. Mereka yang terlupakan, yang kehilangan segalanya, juga punya cerita. Aku hanya ingin suara mereka ada, tidak terusir begitu saja.”
Ibu Damar terdiam sejenak. Ada kekhawatiran yang terlukis di wajahnya. “Damar, aku mengerti perasaanmu, tapi kadang-kadang, ada hal-hal yang lebih baik tak diungkit. Kita sudah merdeka, kita harus terus maju. Jangan biarkan masa lalu itu menghalangi jalanmu.”
Damar menarik napas panjang, kemudian menulis lagi, “Tapi aku merasa, selama ada satu suara yang terdiam, kita belum benar-benar merdeka.”
Ibu Damar memandangnya dengan tatapan penuh kerisauan, lalu tanpa berkata apa-apa, ia meninggalkan Damar untuk melanjutkan pekerjaannya. Hanya suara kertas yang bergesekan dengan pena yang mengisi kesunyian ruang itu.
Setelah beberapa jam, Damar merasa cukup dengan apa yang telah ia tulis. Pikirannya mulai terasa penuh dengan kisah-kisah yang ingin ia bagikan, kisah-kisah tentang mereka yang terpinggirkan, yang selama ini hanya ada di bayang-bayang. Ia pun memutuskan untuk membagikan tulisan pertama itu, meski hatinya dipenuhi rasa ragu. Tapi ada tekad dalam dirinya yang tidak bisa dibendung lagi. Ia ingin suaranya didengar, suara mereka yang selama ini terusir dari cerita besar tentang kemerdekaan.
Dengan hati-hati, ia memotong-motong kertas-kertas itu, menulis ulang beberapa bagian yang menurutnya penting untuk disebarkan. Setiap kata yang ia tulis adalah harapan agar orang-orang di desa itu mulai mendengar, mulai menghargai mereka yang terlupakan. Tidak hanya mengenang para pahlawan, tetapi juga mengenang mereka yang kehilangan di sepanjang jalan perjuangan.
Malam semakin larut, dan Damar pun keluar dari rumah dengan hati berdebar. Ia membawa beberapa lembar kertas yang baru saja ditulis, siap untuk menyelipkan tulisan-tulisan itu di bawah pintu rumah-rumah penduduk desa. Ia tahu, meskipun risikonya besar, ada satu hal yang tidak bisa ia tinggalkan—keinginan untuk menghidupkan kembali cerita yang terabaikan.
Damar menyusuri jalan setapak yang diterangi oleh cahaya bulan. Desa ini tenang, tetapi ada sesuatu yang hampa, sesuatu yang sepertinya ingin disuarakan. Perlahan, ia mulai menyelipkan kertas-kertas itu. Setiap rumah yang ia lewati, setiap pintu yang ia buka dengan hati-hati, adalah upaya kecil untuk membawa kembali mereka yang terpinggirkan.
Namun, saat ia hampir menyelesaikan tugasnya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Damar berhenti, bersembunyi di balik pepohonan. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Langkah itu semakin dekat, dan sesaat ia berpikir untuk mundur. Namun, suara itu berhenti, dan sosok yang muncul di depannya adalah seorang lelaki tua yang tak dikenalnya.
“Lama tak melihatmu, Damar,” kata lelaki itu pelan, namun dengan nada yang memerintahkan untuk berhenti. “Apa yang kamu bawa itu?”
Damar terdiam sejenak. Ia tahu, ini bukanlah saat yang tepat untuk berbicara. “Aku hanya… ingin berbagi sesuatu. Tentang mereka yang terlupakan,” jawabnya, suara sedikit bergetar.
Lelaki tua itu menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu, Damar. Tapi hati-hati, dunia ini tidak selalu seperti yang kita inginkan.”
Damar hanya mengangguk, merasa beban semakin berat. Namun, ia tahu, ia harus terus maju. Suara-suara itu tidak bisa terusir begitu saja.
Ketika lelaki itu menghilang di kegelapan malam, Damar kembali melanjutkan perjalanannya. Sesuatu yang besar sedang menantinya, dan ia tak akan berhenti sampai suara itu didengar.
Di Bawah Cahaya Bintang
Malam itu, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Bintang-bintang seolah tersembunyi, enggan menampakkan diri di balik awan kelabu. Damar berdiri di depan rumah Sari, memandangi pintu kayu yang tampak usang. Beberapa kali ia menatapnya, ragu, seolah ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Namun, hatinya sudah bulat. Ia tahu, harus ada yang berani membuka pembicaraan ini, dan kali ini, ia memilih untuk menjadi orang itu.
Sari, perempuan tua itu, selalu terlihat duduk di depan rumahnya pada malam hari, matanya kosong menatap ke arah langit, seolah mencari sesuatu yang hilang. Damar sering kali melihatnya dari kejauhan, namun belum pernah memiliki keberanian untuk mendekat. Kini, malam ini, semuanya berbeda. Ia ingin mendengar cerita dari Sari, cerita yang selama ini seakan tenggelam dalam kenangan masa lalu.
Dengan langkah hati-hati, Damar mendekat, dan sebelum ia sempat mengetuk pintu, Sari sudah menoleh, seakan tahu siapa yang datang. Senyumnya tipis, namun matanya mengandung banyak pertanyaan.
“Damar, malam ini terasa sepi, ya?” suara Sari terdengar lembut, meski ada sesuatu yang tajam dalam pengamatannya.
“Ya, Bu Sari. Aku ingin bicara. Tentang… mereka yang sudah pergi,” Damar mengatakannya dengan nada pelan, takut-takut jika kalimat itu malah menyakiti hati Sari.
Sari mengangguk, tangannya mengusap tanah di sekitar tempat duduknya. “Mereka yang pergi… memang takkan pernah kembali. Tapi, mereka hidup dalam kenangan, dalam cerita yang tak bisa dihentikan, meski dunia terus bergerak maju.”
Damar duduk di sebelahnya, menatap langit yang gelap. “Tapi, Bu, kenapa kita terus membiarkan mereka terlupakan? Mereka yang berjuang, yang mengorbankan segalanya. Aku menulis untuk mereka, agar suaranya didengar.”
Sari menatap Damar dengan mata yang penuh makna. “Kamu tahu, Damar, aku pernah punya anak laki-laki. Dia ikut berjuang, seperti mereka yang kamu sebutkan. Tapi dia tak pernah kembali. Setiap malam, aku menunggu di sini, berharap suatu saat dia akan pulang. Tapi… semakin lama, semakin aku merasa, kenangan itu akan memudar. Apa yang kamu tulis mungkin bisa mengingatkan orang-orang, tapi juga bisa membuka luka lama.”
Damar terdiam, matanya jatuh ke tanah, mencoba mencerna kata-kata Sari. “Aku mengerti, Bu. Tapi apa kita akan membiarkan mereka dilupakan begitu saja? Aku hanya ingin mereka tahu, bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.”
Sari tersenyum lagi, kali ini senyumnya lebih dalam, seolah menyimpan berjuta kisah yang sudah lama terkubur. “Aku paham, Damar. Tapi kamu harus tahu, tak semua orang di sini siap mendengar cerita itu. Mereka yang melupakan, mereka yang memilih untuk tak tahu, ada alasan di baliknya. Kadang, melupakan adalah cara untuk bertahan.”
Damar merasakan kata-kata itu mengusik hatinya. Ia tahu, Sari benar. Beberapa orang lebih memilih untuk melupakan masa lalu yang pahit, untuk melanjutkan hidup tanpa terus dihantui oleh bayangan-bayangan yang tak pernah mati. Namun, apakah itu berarti cerita mereka tak berarti lagi? Apakah kemerdekaan hanya milik mereka yang berhasil meraih kemenangan?
Damar menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin memberitahu orang-orang tentang mereka. Tentang para ibu yang menunggu, tentang anak-anak yang hilang, tentang pejuang yang tak dikenal namanya. Aku ingin agar dunia tahu bahwa kita tidak hanya merdeka dari penjajahan, tetapi juga dari melupakan mereka.”
Sari terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Jika itu jalanmu, Damar, aku takkan menghalangimu. Tapi ingat, ada harga yang harus dibayar untuk setiap pilihan. Beberapa orang mungkin tak siap untuk mendengarnya, dan suara yang kamu coba bangkitkan bisa saja dibungkam.”
Damar menunduk, perasaan campur aduk. “Aku sudah siap. Aku hanya berharap, ada orang yang akhirnya bisa melihat mereka, mendengar cerita mereka.”
Sari mengangkat tangannya, menunjuk ke arah langit yang gelap. “Lihat bintang-bintang itu, Damar. Mereka ada di sana, meski kadang tak terlihat. Seperti kenangan. Seperti suara-suara yang sudah lama menghilang. Mungkin mereka tak akan pernah bisa kembali ke bumi, tapi mereka tetap ada. Kamu hanya perlu menatap lebih lama.”
Damar menatap langit dengan penuh harap. Malam itu, kata-kata Sari mengendap dalam pikirannya. Ia tahu, perjuangannya baru saja dimulai. Suara-suara yang terabaikan harus ditemukan, dan ia akan berusaha semaksimal mungkin agar mereka tak terusir begitu saja.
Ketika ia bangkit untuk pergi, Sari memanggilnya sekali lagi. “Damar,” katanya pelan. “Jika suatu saat kamu merasa ragu, ingatlah satu hal. Suara yang paling keras bukanlah yang datang dari luar, tapi yang berasal dari dalam diri kita. Jangan biarkan apapun memadamkan suara itu.”
Damar mengangguk, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada kelegaan dalam hatinya. Ia tahu, meskipun jalan ini penuh dengan tantangan, ia harus melanjutkan perjuangan ini. Untuk mereka yang terusir, untuk suara yang harus didengar, dan untuk kenangan yang tak akan pernah mati.
Jejak Langkah yang Terhapus
Pagi itu terasa lebih gelap dari biasanya. Langit yang biasanya cerah di awal musim kemarau kini diliputi kabut tebal, seolah turut menyembunyikan semua yang ingin dilihat oleh mata dunia. Damar berdiri di depan pintu rumahnya, tangan memegang satu amplop berisi tulisan yang telah ia persiapkan selama beberapa malam. Amplop itu terasa begitu berat, bukan hanya karena kertas di dalamnya, tetapi juga karena beban yang harus ia bawa.
Ia sudah memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Sudah saatnya kebenaran itu keluar. Tapi meski langkahnya mantap, ada rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Bisakah orang-orang menerima cerita ini? Bisakah mereka mendengar suara yang selama ini terdiam? Mungkin tidak semua orang siap untuk itu, dan Damar tahu, ada banyak yang akan menentangnya. Tapi, suara yang terusir itu sudah cukup lama berdiam diri. Ia tidak bisa membiarkan mereka terlupakan begitu saja.
Damar memutuskan untuk menuju ke balai desa. Itu adalah tempat di mana semua orang berkumpul setiap minggu untuk acara rutin. Di sana, ia tahu akan ada banyak orang yang bisa ia ajak bicara. Mungkin ini bukan tempat yang paling ideal untuk memulai, tetapi ia merasa ini adalah langkah yang tepat. Tempat di mana setiap orang berkumpul, mungkin bisa memberi dampak yang lebih besar.
Langkahnya terasa lebih berat setiap kali ia mendekati balai desa. Desa ini sudah lama dilanda ketenangan, atau mungkin lebih tepatnya, keheningan yang dipaksakan. Tak ada yang berani menggugat. Tidak ada yang berani berbicara tentang mereka yang terpinggirkan, tentang kisah yang dilupakan. Semua orang seolah memilih untuk melanjutkan hidup, menutup mata pada kenyataan yang tak ingin mereka lihat.
Namun, Damar tahu, ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang mereka yang tidak bisa bersuara. Ini tentang sejarah yang tidak ditulis dengan tinta emas di buku-buku sekolah. Ini tentang ibu-ibu yang setiap malam menunggu anak-anak mereka pulang, meski mereka sudah lama tidak ada. Tentang pejuang yang namanya hilang, namun pengorbanannya tetap ada.
Sesampainya di balai desa, Damar menemukan beberapa orang sudah berkumpul di sudut ruangan. Mereka berbicara tentang cuaca, harga bahan pokok, dan masalah-masalah lain yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, Damar tahu bahwa ada sesuatu yang lebih penting yang harus dibicarakan malam ini. Ia berjalan menuju meja depan, di mana kepala desa, Pak Darmawan, duduk dengan ekspresi serius.
Pak Darmawan menoleh dan tersenyum saat melihat Damar mendekat. “Damar, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?”
Damar menarik napas dalam-dalam, lalu membuka amplop itu dan menyodorkannya ke meja. “Pak, saya ingin berbicara tentang sesuatu yang penting. Tentang mereka yang terlupakan. Tentang sejarah yang tak pernah diceritakan.”
Kepala desa menatap amplop itu dengan ragu. “Sejarah? Maksudmu apa, Damar? Kita semua tahu tentang perjuangan kemerdekaan, bukan?”
Damar menahan diri untuk tidak merasa frustasi. “Tapi bukan hanya itu, Pak. Ini tentang mereka yang tidak masuk dalam buku sejarah, yang tidak disebutkan dalam upacara, yang kehilangan segalanya tanpa ada yang peduli. Saya ingin orang-orang mendengar cerita mereka, mendengar suara mereka.”
Pak Darmawan mengerutkan dahi. “Kamu tahu, Damar, tidak semua orang ingin mendengar hal-hal seperti itu. Ada hal-hal yang lebih baik tetap di masa lalu.”
Tentu saja, Damar sudah menduga ini akan terjadi. “Tapi, Pak, apakah kita benar-benar bisa melupakan mereka begitu saja? Apakah kita bisa merayakan kemerdekaan jika kita masih mengabaikan mereka yang ikut berjuang, yang ikut menderita, yang ikut kehilangan?”
Suasana di ruangan itu mulai terasa tegang. Beberapa orang yang duduk di sudut meja menoleh, namun tidak ada yang berbicara. Hanya ada bisikan angin di luar dan deru suara dari jalan raya yang jauh.
Pak Darmawan menarik napas panjang. “Damar, saya paham maksudmu, tapi jangan lupa. Kita hidup di masyarakat yang harus saling menjaga kedamaian. Jika cerita-cerita seperti itu dibuka lagi, bisa-bisa malah menimbulkan keresahan.”
Damar merasakan jantungnya berdegup cepat. Ini lebih sulit dari yang ia bayangkan. Ia tahu bahwa perlawanan terhadapnya tidak hanya datang dari kepala desa, tetapi juga dari orang-orang yang merasa nyaman dengan status quo. Tapi, apakah ia harus berhenti begitu saja?
“Saya tidak ingin menyebabkan keresahan, Pak,” jawab Damar dengan suara yang lebih tegas. “Saya hanya ingin mereka dihargai, dihormati. Suara mereka tidak seharusnya terusir. Mereka punya hak untuk dikenang.”
Suasana semakin hening. Semua orang di ruangan itu seolah terdiam. Hanya suara Damar yang menggema, tetapi terasa seperti melawan tembok yang keras. Tiba-tiba, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak ia kenal masuk ke ruangan dengan langkah cepat.
Dia mengenakan topi jerami dan pakaian yang sedikit kusut, seolah baru saja berjalan jauh. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang tajam dalam tatapannya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?” katanya, suaranya keras dan penuh keyakinan.
Semua mata tertuju padanya. Damar merasa seperti ada sesuatu yang berbeda dengan orang ini. Dia tidak tampak seperti penduduk desa yang biasanya, tidak tampak takut untuk berbicara.
“Saya ingin mendengar cerita itu,” lanjut orang itu. “Tentang mereka yang hilang. Tentang pejuang-pejuang yang tidak pernah disebut namanya. Saya ingin tahu. Sudah terlalu lama kami mendengar kebohongan.”
Semua orang terdiam, dan Damar merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Mungkin, justru orang asing inilah yang akan menjadi kunci untuk membuka pintu yang selama ini terkunci rapat.
Orang itu menatap Damar dengan penuh pengertian. “Saya berasal dari kota, Damar. Tapi saya tahu, cerita seperti ini harus didengar. Tidak ada yang boleh terusir begitu saja.”
Damar merasa sebuah kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Ini baru permulaan, dan ia tahu langkah selanjutnya akan lebih berat. Namun, dengan adanya orang ini, ia merasa tidak lagi sendirian.
Menyuarakan yang Tak Terucapkan
Malam semakin larut, dan lampu-lampu di balai desa semakin temaram, seakan ikut menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Damar berdiri, tak jauh dari meja Pak Darmawan, wajahnya penuh keteguhan. Orang yang baru saja masuk itu, yang ternyata bernama Jaka, berdiri di sampingnya dengan tatapan yang tak kalah tajam. Mereka berdua seperti dua sisi mata uang, satu membawa beban masa lalu yang tertimbun, sementara satu lagi membawa api untuk menyalakan kembali cerita yang selama ini terkubur.
“Jaka,” kata Damar pelan, memecah keheningan, “apa yang kamu katakan tadi… itu benar. Kita tidak bisa membiarkan mereka yang sudah berjuang terpinggirkan begitu saja. Kita tidak bisa melupakan mereka. Cerita mereka perlu didengar.”
Jaka mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kita hanya perlu keberanian untuk membuka mulut, Damar. Tak ada yang bisa menghentikan suara jika itu datang dari hati yang penuh keyakinan.”
Pak Darmawan tetap diam, namun ada ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya. Ia tahu, pertemuan ini bukanlah hal biasa. Ini bukan hanya tentang sejarah yang akan dibuka, tetapi tentang sebuah perlawanan. Sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana mereka sebagai masyarakat akan menghadapi kenyataan yang selama ini tertutup rapat.
“Apa yang kalian rencanakan?” tanya Pak Darmawan akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan, namun ada kekhawatiran di balik itu.
“Mulai malam ini, Pak,” jawab Jaka dengan mantap. “Kami akan berbicara kepada semua orang di sini, di desa ini. Kami akan membuka lembaran-lembaran sejarah yang terlupakan dan mengingatkan semua orang tentang siapa mereka yang telah berkorban demi kemerdekaan. Kami akan menunjukkan bahwa mereka yang tidak disebutkan dalam buku sejarah itu tetap memiliki hak untuk dikenang.”
Damar menatap Pak Darmawan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa seolah-olah orang-orang di ruangan itu mendengarkan. Mereka bukan hanya berbicara tentang hal-hal sepele lagi. Mereka mulai berbicara tentang apa yang selama ini terpendam, dan itu adalah langkah besar yang tak bisa dihentikan oleh apapun.
Pak Darmawan menatap mereka berdua dengan serius. “Tapi apakah kalian siap dengan akibatnya? Tidak semua orang akan menerima ini dengan baik. Banyak yang akan merasa terganggu. Dan jika kalian memulai ini, tidak akan ada jalan kembali.”
Damar menarik napas dalam-dalam. “Kami sudah siap, Pak. Lebih lama kami diam, semakin banyak cerita yang hilang. Kami tidak bisa membiarkan itu terus terjadi.”
Jaka mengangguk setuju. “Kami hanya membawa kebenaran, Pak. Tidak ada yang salah dengan itu. Kami ingin desa ini, negara ini, untuk melihat dengan mata yang lebih jelas, dengan hati yang lebih terbuka.”
Pak Darmawan memandangi mereka sejenak. Wajahnya terbenam dalam pikirannya, seperti sedang menghitung langkah-langkah yang harus diambil. Akhirnya, ia menghela napas panjang dan berdiri.
“Baiklah,” katanya, suaranya lebih tenang namun penuh keputusan. “Jika kalian merasa ini yang terbaik, saya tidak bisa menghalangi. Tapi saya ingin kalian ingat, ini bukan hal yang mudah. Tidak hanya untuk kalian, tetapi untuk semua orang.”
Damar dan Jaka saling berpandangan. Tidak ada keraguan lagi di mata mereka. Mereka sudah membuat keputusan.
“Demi mereka yang terlupakan,” bisik Damar pelan, namun penuh makna.
“Agar suara yang terusir itu bisa didengar kembali,” tambah Jaka, dengan tekad yang sama.
Pak Darmawan menunduk, kemudian mengangguk. “Kalau begitu, mari kita mulai. Saya akan membantu kalian sebisa saya. Tapi ingat, ini akan menjadi perjalanan yang panjang.”
Damar merasa seperti ada beban yang akhirnya terangkat dari pundaknya. Dia tahu ini tidak akan mudah, dan banyak tantangan yang menanti. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa yakin dengan jalan yang sedang ia pilih. Suara yang terpinggirkan itu, suara yang selama ini terusir, akhirnya akan kembali bergema.
Pagi berikutnya, mereka mulai berbicara dengan orang-orang desa. Tidak ada lagi rasa takut. Kata-kata itu mengalir begitu saja, penuh dengan cerita yang sudah lama terkubur. Setiap orang yang mendengar mulai membuka mata mereka, mendengarkan dengan hati yang lebih terbuka.
Dan meskipun masih ada mereka yang memilih untuk berpaling, yang menutup telinga dan mata mereka pada kenyataan, Damar tahu satu hal pasti. Suara itu tidak akan pernah mati. Suara yang terusir selama bertahun-tahun kini akan selalu ada, bergema, mengingatkan setiap orang akan apa yang seharusnya mereka tahu.
Cerita ini bukan hanya milik mereka yang telah pergi, tetapi juga milik semua orang yang berani untuk mendengarnya. Dan di ujung jalan yang panjang itu, Damar dan Jaka tahu, mereka telah mengubah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sejarah—mereka telah mengembalikan suara yang pernah hilang, memberi hidup pada kenangan yang selama ini terhapus.
Jadi, gimana menurut kamu? Kadang, kita harus berani bersuara, walaupun itu nggak populer atau malah dianggap berbahaya. Karena yang terpenting adalah menjaga agar cerita yang benar nggak pernah hilang, meskipun terpinggirkan.
Semoga cerpen ini bikin kamu mikir lebih dalam tentang apa yang selama ini kita anggap biasa aja, padahal itu bagian dari sejarah yang nggak boleh dilupakan. Jangan takut untuk berbicara, karena suara kamu punya kekuatan lebih dari yang kamu kira.