Cerpen Tragis: Semua Itu Karena Dia, Rahasia Kairo yang Terungkap

Posted on

Kamu pernah nggak sih ngerasa kalau semua yang terjadi dalam hidup kamu kayaknya ada yang ngatur, dan tiba-tiba kamu tahu kalau semuanya itu cuma karena satu orang?

Cerita ini tuh tentang Sefira, yang baru nyadar kalau semua kenangan dan rahasia kelam yang dia lewatin, semuanya ada hubungannya sama Kairo—laki-laki yang udah pergi, ninggalin banyak pertanyaan. Penasaran? Yuk, ikutin ceritanya sampai akhir.

 

Cerpen Tragis

Bayang-Bayang yang Menghantui

Hujan turun begitu deras malam itu, hampir seperti menangisi nasibku yang tak pernah berubah. Rumah kecilku terasa begitu sepi, hanya suara tetesan air yang memenuhi setiap sudut. Aku duduk di meja makan, di hadapanku ada secangkir teh yang sudah mulai dingin. Tanpa terasa, jari-jari tanganku gemetar sedikit saat memegang gelas itu.

Aku menatap keluar jendela, mencari-cari bayangan Kairo di bawah hujan. Mungkin dia masih ada di sana, di tempat yang sama, menunggu untuk kembali. Tapi aku tahu, itu hanya khayalan. Tidak ada lagi Kairo yang menunggu di luar sana. Semua yang tersisa hanyalah kenangan yang membekas begitu dalam di hatiku.

Lima tahun sudah berlalu, dan rasa sakit itu masih belum hilang. Seperti kabut yang tak pernah benar-benar lenyap, ia selalu ada. Aku sering terbangun tengah malam, merasa Kairo masih ada di sini, seakan-akan bisa mendengar langkah kaki kecilnya berlari ke arahku. Setiap malam, aku berbaring di tempat tidur, menunggu, berharap—meskipun aku tahu, harapanku itu hanya sia-sia.

“Kenapa kamu pergi, Kairo?” bisikku pada diri sendiri. Tidak ada jawaban.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu memecah kesunyian malam. Aku terkejut dan segera bangkit berdiri. “Siapa?” tanyaku tanpa berpikir.

Pintu terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdiri seorang wanita muda dengan paras yang familiar. Namanya Liana, sahabatku sejak lama. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

“Apa yang kamu lakukan di sini tengah malam begini?” tanyaku, suara ku terdengar lebih tajam dari yang seharusnya. Tapi Liana hanya tersenyum lemah, tidak merasa tersinggung.

“Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawabnya pelan.

Aku tertawa kecil, walau suara tawaku terasa kosong. “Baik-baik saja? Kamu tahu aku tidak akan pernah baik-baik saja lagi.” Aku memutar badan, berbalik ke arah jendela.

Liana terdiam beberapa saat, kemudian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Aku tahu. Tapi setidaknya, kamu harus makan. Itu sudah dua hari, Sefira. Kamu tidak bisa terus begini.”

Aku menghela napas panjang, kemudian menunduk, mengamati teh di tangan. “Aku tak tahu bagaimana lagi harus bertahan,” gumamku, lebih pada diriku sendiri.

Liana mendekat, duduk di kursi sebelahku, dan menatapku dengan penuh perhatian. “Aku tahu kehilangan itu berat, tapi hidupmu belum berakhir, Sefira. Kamu masih punya masa depan.”

“Bagaimana dengan masa depan yang sudah hilang?” jawabku tanpa memandangnya, suara ku bergetar. “Semua itu hilang malam itu, Liana. Kairo… adikku… dia hilang. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.”

Liana menggenggam tanganku, mencoba memberiku kenyamanan yang tak bisa aku terima. “Sefira, kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu sendiri. Itu bukan salahmu.”

Tapi kata-kata Liana terasa hampa di telingaku. Bagaimana bisa aku tidak merasa bersalah? Bagaimana bisa aku tidak merasa bahwa aku yang telah menyebabkan semuanya? Kairo, adikku yang penuh semangat, yang selalu berada di sisiku, kini hanya menjadi bayangan yang terus menghantui setiap langkahku.

Aku ingat jelas, malam itu, malam yang mengubah segalanya. Kairo baru saja pulang dari sekolah. Dia terlihat sangat ceria, membawa buku-buku dengan tangan yang penuh. “Aku pulang!” teriaknya dengan suara ceria yang selalu membuatku merasa tenang. “Ayo, kita nonton film! Aku beli snack!”

Tapi aku menahannya sejenak. “Kairo, jangan keluar malam ini. Hujan deras, dan kamu harus istirahat. Nanti kita bisa nonton bersama-sama.”

Dia tersenyum lebar, melambai pada aku. “Gak apa-apa, Kak. Aku janji cepat pulang. Lagian, cuaca gak separah itu kok.” Kairo selalu bisa membuatku merasa tidak perlu khawatir, meski aku tahu bahwa aku seharusnya tetap memegang teguh keputusanku.

Aku tak tahu mengapa, malam itu aku membiarkannya pergi. Kairo, yang selalu percaya bahwa dunia ini penuh dengan hal-hal baik, pergi begitu saja dengan senyum di wajahnya. Aku masih ingat jelas, bagaimana langit yang gelap dan hujan yang turun deras menutupi jejak-jejak langkah kaki kecilnya. Aku tahu, aku harus mencegahnya pergi, tapi tidak. Malam itu, aku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.

Sekarang, aku hanya bisa menatap kembali ke belakang, merasakan kehampaan yang tak pernah benar-benar bisa aku jelaskan. Semua itu berawal dari keputusan kecil, dari ucapan sederhana, dari kata-kata yang terlewatkan. Aku merasa itu semua adalah akibat dariku, akibat dari diriku yang tidak cukup melindunginya.

Liana menepuk pundakku dengan lembut. “Kamu harus kuat, Sefira. Kairo ingin kamu bahagia. Dia tidak ingin kamu terjebak dalam penyesalan seperti ini.”

Aku mengangkat wajah, memandang Liana dengan mata yang mulai basah. “Tapi aku… aku merasa semua ini karena aku, Liana. Semua itu karena aku…”

Liana tidak berkata apa-apa. Dia hanya menggenggam tanganku lebih erat, berusaha memberi sedikit kekuatan. Aku tahu, meskipun dia ada di sini, meskipun dia mencoba menenangkan, rasa sakit ini hanya bisa aku rasakan sendiri. Bayang-bayang Kairo akan selalu ada, membayangi setiap langkahku.

Aku tidak tahu apakah aku akan pernah bisa melepaskan kenangan itu, tapi aku tahu satu hal—semua yang terjadi, semua yang hilang, semua itu karena dia.

 

Surat yang Tak Pernah Terkirim

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti jalanan, seakan kota ini pun enggan beranjak dari mimpi gelap yang pernah terjadi. Di luar, suara hujan mulai reda, meskipun langit tetap tampak mendung, seperti hati yang tak pernah cukup terang. Aku duduk di meja makan, secangkir teh hangat masih tergeletak di sampingku, kini sudah dingin, sama seperti perasaan yang kurasakan.

Liana sudah pergi lebih awal, dengan janji akan kembali nanti siang untuk membawakan aku beberapa obat dan makanan. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran Liana yang datang dan pergi begitu saja, berusaha merawatku dengan cara yang tak pernah aku pahami sepenuhnya. Aku tahu dia hanya peduli, tapi aku tak bisa menerima semua perhatian itu. Bagiku, dunia ini seperti berhenti saat Kairo pergi. Tidak ada yang bisa menggantikan tempatnya.

Hari-hariku dipenuhi dengan rutinitas yang sama. Berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, dan kadang tersenyum miris ketika mendengar suara-suara dari luar yang terdengar begitu asing. Tapi pagi ini, aku merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang menantangku untuk membuka masa lalu yang sudah lama kubungkam rapat-rapat.

Itu dimulai saat aku membuka lemari tua di sudut kamar, tempat aku menyimpan barang-barang yang kuanggap sebagai kenangan dari masa lalu—dari masa bersama Kairo. Tumpukan buku-buku yang dulu sering kami baca bersama, foto-foto yang terhampar dengan kenangan indah, dan berbagai surat-surat lama yang kini berdebu.

Aku menarik sebuah kotak kayu kecil dari dalam lemari itu. Kotak yang tak pernah kusinggung sejak kejadian itu. Kotak itu adalah milik Kairo. Di dalamnya ada berbagai benda yang penting baginya—kerajinan tangan yang dia buat, beberapa hadiah yang kami tukar, dan tentu saja, surat-surat yang dia tulis untukku. Aku seringkali membuka surat-surat itu, membaca setiap kata yang ditulisnya dengan tangan kecilnya yang cermat. Tapi hari ini, ada satu surat yang baru pertama kali aku lihat. Surat yang tersembunyi di sudut kotak, dibungkus rapi dengan pita biru yang sudah sedikit pudar.

Aku menarik surat itu dengan hati-hati. Tak ada nama pengirim atau penerima. Hanya ada satu nama di bagian atas: Untuk Kak Sefira, dan itu sudah cukup membuat hatiku terhenti sejenak. Aku tidak tahu mengapa surat ini ada di sini, atau kenapa Kairo menulisnya tanpa memberikannya padaku. Mataku mulai berkaca-kaca saat aku membuka surat itu perlahan.

“Kak Sefira,” tulisnya, “Aku ingin kau tahu bahwa meskipun aku terkadang merasa tak berguna dan hanya menjadi beban, aku sangat mencintaimu. Kamu adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku, yang membuat aku merasa berharga. Aku berharap suatu saat nanti, ketika kita sudah dewasa, kita bisa melihat dunia bersama. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kita impikan, bersama-sama. Aku tahu, kamu selalu khawatir padaku, tapi aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu. Jangan pernah merasa sendirian, Kak. Aku akan selalu di sampingmu, meskipun aku tak bisa selalu ada.”

Aku berhenti sejenak, menahan tangis yang hampir pecah. Setiap kalimat yang tertulis di sana mengingatkanku pada sosok Kairo yang penuh semangat, yang selalu berpikir tentang masa depan. Dia tidak pernah melihat dunia seburuk yang kulihat. Dia melihat semuanya dengan optimisme yang tak terbatas. Tetapi aku, aku hanya bisa melihat bayangannya yang kosong. Kairo tidak bisa lagi menjadi bagian dari dunia ini.

Aku melanjutkan membaca surat itu dengan tangan yang gemetar. “Kak Sefira, jika suatu hari nanti kamu merasa sangat kesepian dan terpuruk, ingatlah satu hal: aku akan selalu mencintaimu. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Aku akan terus ada dalam hatimu. Kalau aku pergi, biarkan aku tinggal di dalam kenanganmu yang terbaik. Jangan pernah lupa, Kak. Semua yang kita impikan, kita akan capai.”

Surat itu berakhir begitu saja, tanpa penutupan atau tanda tangan. Itu surat terakhir dari Kairo, yang tidak sempat dia kirimkan. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir. Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan. Cinta yang dia tulis di sana seolah menamparku. Kairo, adikku, sudah tahu bahwa aku akan merasa kehilangan. Dia sudah tahu aku akan merasa sendiri. Tapi surat ini juga memberi tahu aku sesuatu yang lebih penting. Bahwa dia tidak pernah benar-benar pergi. Dia masih ada di setiap kenangan yang aku simpan.

Aku melipat surat itu kembali dengan hati-hati, meletakkannya di sampingku, dan terdiam. Hujan sudah berhenti, namun langit tetap suram, seolah menunggu aku untuk memutuskan langkah selanjutnya. Di dalam hati, aku merasa sedikit lebih lega, namun ada rasa perih yang tidak bisa hilang begitu saja.

Liana datang lebih cepat dari yang kuharapkan. Aku tahu dia khawatir, dan meskipun aku tidak ingin terlihat lemah di depannya, aku merasa ada yang berbeda dalam diriku hari itu. Mungkin, aku harus lebih kuat. Mungkin aku bisa sedikit lebih menerima kenyataan.

“Sefira, aku bawa makanan,” kata Liana sambil meletakkan tas di meja. Tapi matanya langsung tertuju pada surat yang masih tergeletak di atas meja. “Itu… dari Kairo?”

Aku mengangguk pelan. “Iya, dari Kairo.” Aku memegang surat itu erat-erat, merasakan kehadiran adikku yang tak pernah pergi meskipun tubuhnya sudah tidak ada lagi.

Liana tidak berkata apa-apa, hanya duduk di sebelahku dan meraih tanganku. “Kamu tahu, dia pasti bangga punya kakak sepertimu. Kamu harus kuat, Sefira. Jangan biarkan kenangan itu menghancurkanmu.”

Aku menatap Liana, merasakan sedikit kenyamanan dari kata-katanya, meskipun aku tahu perjalanan ini masih panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa,” jawabku dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi aku akan mencoba.”

Dengan surat itu, aku tahu ada sedikit harapan yang bisa aku genggam. Dan meskipun jalan yang harus kulalui masih penuh dengan bayang-bayang masa lalu, mungkin aku bisa sedikit demi sedikit menapaki hidup tanpa terlalu terjerat dalam penyesalan.

 

Jejak yang Tak Terhapus

Malam datang begitu cepat, seakan waktu tak pernah berhenti berlari. Langit yang tadi suram kini dipenuhi bintang-bintang yang gemerlap, tetapi entah kenapa aku merasa seperti mereka jauh dari jangkauanku. Tidak ada lagi perasaan hangat yang biasa datang saat melihat bintang bersama Kairo. Aku menatap ke luar jendela, berharap bisa menemukan jawabannya di sana, tetapi semakin lama aku semakin merasa kesepian.

Liana sudah pergi, dengan janji akan kembali lagi besok. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal, meskipun pikiranku tak bisa tenang. Setiap sudut kamar ini seolah mengingatkanku pada semua kenangan yang pernah ada. Pada Kairo. Pada semua mimpi yang tak sempat kami raih bersama. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit yang gelap, mencoba mengingat bagaimana rasanya menjadi lebih bahagia—sebelum semuanya berubah.

Tidur datang begitu lambat, dan ketika akhirnya aku terlelap, mimpi yang datang adalah mimpi yang tak pernah kuinginkan.

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Mataku terbelalak, dan tubuhku gemetar. Tidak ada suara, hanya keheningan yang mencekam. Hujan turun lagi, keras, seperti suara riuh dalam pikiranku. Di luar jendela, bayang-bayang samar terlihat bergerak, dan aku merasa ada sesuatu yang mengintai. Namun, aku tahu itu hanya bayanganku yang berlarian, berusaha melarikan diri dari kenyataan.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Liana berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya terbelalak seperti baru saja melihat sesuatu yang tak bisa dipercaya.

“Ada apa, Liana?” tanyaku, suara yang terpecah karena ketakutan yang aku sendiri tak bisa jelaskan.

Liana menutup pintu dengan cepat dan berjalan mendekat, matanya masih terlihat kosong, seolah dia sedang berjuang melawan sesuatu. “Sefira,” suaranya bergetar, “Kamu harus lihat ini.”

Aku duduk di tempat tidur, bingung dan semakin tidak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyaku, suara terasa lebih keras dari yang seharusnya. “Apa yang terjadi?”

Liana mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya menyerahkan sesuatu padaku—sebuah foto lama. Foto yang menunjukkan Kairo, aku, dan Liana, kami bertiga tertawa bersama di pantai. Kami semua masih muda, ceria, dan tak terbebani dengan apa pun. Namun ada sesuatu yang berbeda dalam foto itu.

Di sudut foto, ada bayangan seseorang yang tak bisa dikenali. Seseorang yang tampak berdiri di kejauhan, hampir tak terlihat oleh mata biasa. Wajahnya buram, tetapi cukup jelas untuk membuat perasaan tidak nyaman merayap ke dalam hatiku. “Ini… ini tidak mungkin,” aku bergumam, tak percaya.

Liana menatapku dengan mata yang penuh kecemasan. “Aku menemukannya di album lama. Kairo tidak pernah menunjukkan foto ini padaku. Aku bahkan tidak ingat ada seseorang yang berdiri di sana.”

Aku memegang foto itu lebih erat, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Tapi semakin lama aku menatapnya, semakin aku merasa ada yang salah. Kenapa foto ini bisa ada di album kami? Dan siapa orang di sudut itu? Aku merasa ketakutan yang lebih dalam dari sebelumnya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak akan pernah berakhir.

“Tapi… siapa itu?” aku akhirnya bertanya, suaraku terasa serak.

Liana menggigit bibirnya, seakan tidak yakin untuk berkata lebih jauh. “Aku tidak tahu, Sefira. Tapi aku merasa kita harus mencari tahu.”

Keheningan mengisi ruangan. Aku bisa merasakan ketegangan yang ada di udara, seolah ada hal yang lebih besar yang sedang mengintai kami. Aku menatap Liana, merasa sedikit cemas dengan apa yang sedang kami hadapi. “Apa yang kamu maksud dengan mencari tahu?” tanyaku, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku berdebar kencang.

Liana menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah menyelidikinya sedikit. Ada seseorang yang datang ke rumah beberapa hari sebelum Kairo… sebelum semuanya terjadi. Dia meninggalkan sesuatu. Sebuah kunci.”

Aku terdiam mendengar kata-kata itu. “Kunci?” ulangku, mencoba memahaminya. “Kunci untuk apa?”

Liana tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia hanya memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami keluar dari kamar dan menuju ruang bawah tanah. Udara terasa dingin, dan suasana di rumah itu semakin terasa suram. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk terus mengikutinya.

Kami berhenti di depan pintu besar yang tertutup rapat di ruang bawah tanah. Pintu itu selalu terkunci, tidak pernah dibuka sejak Kairo meninggal. Liana menunduk ke dalam tasnya dan mengeluarkan kunci kecil, yang tampak sangat tua. Kunci itu terasa asing, namun aku merasakan sebuah perasaan yang membingungkan.

“Apa ini?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Kunci untuk pintu ini,” jawab Liana, matanya tajam menatapku. “Aku rasa ini milik Kairo.”

Tanpa kata-kata lebih lanjut, Liana memasukkan kunci itu ke dalam kunci pintu dan memutarnya. Pintu terbuka dengan suara berderit yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu yang terpasang di dinding. Liana melangkah lebih dulu, dan aku mengikutinya dengan hati-hati.

Di dalam, aku melihat sebuah meja besar yang dipenuhi dengan berkas-berkas dan benda-benda lain yang tampaknya tidak pernah disentuh. Ada gambar-gambar yang tergantung di dinding, semuanya penuh dengan warna gelap dan simbol yang tidak aku mengerti. Liana berjalan ke sebuah rak buku besar di sudut ruangan dan menarik sebuah buku tebal dari sana.

“Ini,” katanya, membuka halaman buku itu. “Ini semua ada di sini. Semua yang terjadi. Semua yang Kairo coba sembunyikan dari kita.”

Aku melangkah mendekat, merasa semakin terperangkap dalam labirin kenangan yang tidak pernah ingin aku jelajahi. Namun ketika mataku terfokus pada halaman yang terbuka, aku melihat sesuatu yang tak terduga. Di sana, tertulis sebuah nama yang sangat aku kenal.

Nama yang tidak pernah kuharap untuk melihatnya lagi.

 

Kebenaran yang Tak Terucapkan

Aku menatap nama itu, terpaku. Rasanya seperti dunia berhenti berputar, dan aku terperangkap dalam ruang yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Nama yang tertulis di halaman itu bukan hanya sekadar nama. Itu adalah sebuah tanda, sebuah peringatan yang selama ini disembunyikan dari kami. Aku menggenggam buku itu lebih erat, jari-jari tanganku kaku, seakan ingin mengusir rasa takut yang semakin mendalam.

Liana berdiri di sampingku, menunggu reaksiku, namun wajahnya tak terlihat lebih baik. “Sefira… kamu harus tahu ini.” Suaranya hampir berbisik, tetapi ada kegelisahan yang jelas dalam nada itu. “Kairo… Kairo sepertinya tahu sesuatu yang kita tidak tahu. Sesuatu yang mungkin kita tidak siap untuk ketahui.”

Aku merasa perutku bergejolak. Rasa cemas yang sudah sejak lama menghinggapi diriku kini berubah menjadi ketakutan yang nyata. Semua yang pernah terjadi—semua yang kami alami—terasa semakin tidak berarti, seolah semua itu hanyalah bagian dari sebuah permainan besar yang tidak bisa kami pahami. “Apa yang kamu maksud?” suaraku nyaris tercekat.

Liana menutup buku itu dan memandangku dengan tatapan yang lebih dalam. “Kairo tidak hanya berjuang dengan dirinya sendiri. Dia terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap… lebih besar. Dan itu… itu mungkin yang akhirnya membuatnya pergi.”

Aku merasa seluruh tubuhku lemas. “Tidak mungkin,” kataku, walaupun aku sendiri tidak tahu kenapa aku masih mencoba menyangkal. “Kairo tidak seperti itu. Dia bukan orang yang…” Aku terdiam, tak bisa melanjutkan kata-kataku. Semua yang aku yakini tentang Kairo—tentang dirinya yang selalu tampak kuat dan penuh dengan harapan—tiba-tiba terasa seperti kebohongan besar.

Liana menunduk, seakan mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Ada seseorang yang Kairo coba lindungi, seseorang yang sangat berbahaya. Dia sudah lama mengikutinya, bahkan sebelum kamu dan dia bertemu. Dan akhirnya, orang itu datang. Mereka berencana untuk mengambil sesuatu—sesuatu yang ada di rumah ini. Sesuatu yang Kairo sangat lindungi. Aku pikir, itu juga yang membuatnya selalu menghindari aku, Sefira. Dia tidak ingin aku terlibat, tidak ingin aku terluka.”

Aku terdiam, memproses semuanya. Tiba-tiba, ingatanku kembali ke setiap momen yang tampaknya biasa—setiap kali Kairo meninggalkanku tanpa penjelasan, setiap kali dia terlihat tertekan, seolah ada sesuatu yang sangat berat yang dia sembunyikan. Semua itu kini mulai masuk akal, meski aku tidak ingin menerimanya.

Liana melanjutkan, “Dia sangat terobsesi dengan perlindungan, dan aku rasa dia tahu ini akan berakhir seperti ini. Aku hanya tidak menyangka ini semua akan datang begitu cepat.”

Aku merasa seperti terjatuh ke dalam kegelapan yang tak terhindarkan. Semua yang ada di rumah ini—kenangan indah, kebahagiaan yang pernah kami rasakan—sekarang menjadi sebuah teka-teki yang tak bisa diselesaikan. Dan semakin aku mencari tahu, semakin aku merasa semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Apakah Kairo benar-benar pergi karena tak ada jalan lain? Atau, apakah dia sudah merencanakan semuanya sejak lama, meninggalkan jejak yang akan membawa kami ke titik ini?

Aku menatap Liana yang kini menunduk, wajahnya penuh dengan penyesalan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku, suaraku hampir seperti desahan. Aku merasa kehilangan arah, dan pertanyaan itu muncul tanpa aku bisa menghindarinya. Liana mengangkat kepala dan menatapku dengan mata yang penuh kecemasan.

“Aku tidak tahu,” jawabnya, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Tapi kita harus mencari tahu. Kita harus tahu siapa yang ada di balik ini semua.”

Kami diam, suara hujan di luar menjadi semakin keras, seakan dunia ingin menghancurkan semua yang pernah ada. Kami berdiri di sana, di ruang bawah tanah yang penuh dengan rahasia, memikirkan langkah selanjutnya. Aku merasa seperti semua keputusan yang pernah aku buat, setiap pilihan yang pernah aku ambil, telah mengarah ke titik ini—ke titik di mana kebenaran yang tak terucapkan akhirnya akan terbuka. Namun, aku tahu satu hal pasti: tidak ada yang bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan yang ada.

Dan pada saat itu, aku tahu satu hal lebih jelas daripada yang lain: semua ini, semua yang terjadi, adalah karena dia. Karena Kairo. Karena keputusan yang dia buat, karena rahasia yang dia bawa, karena semuanya yang aku tak tahu, hingga akhirnya semua ini menjadi kenangan buruk yang tak akan pernah bisa terhapuskan.

 

Jadi, apakah Sefira bakal bisa mengungkap semua rahasia yang Kairo sembunyikan, atau justru semakin terjebak dalam misteri yang nggak ada habisnya? Semua itu cuma bisa dijawab sama waktu. Tapi satu hal yang pasti, kadang, hidup nggak pernah sesederhana yang kita kira.

Dan Kairo, dia jadi bukti kalau kadang kita cuma bisa nyesel karena nggak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ya, apa daya, semua itu sudah jadi bagian dari kenangan buruk yang takkan bisa diubah.

Leave a Reply