Ma, Dengarkan Aku: Perjalanan Anak yang Mencari Kasih Sayang dalam Keheningan

Posted on

Kadang, rumah nggak selalu jadi tempat ternyaman, apalagi kalau suara kita nggak pernah benar-benar didengar. Cerita ini tentang Aksara, bocah yang hidup di antara kesepian dan harapan. Dia cuma ingin satu hal: didengar. Tapi, gimana caranya bikin hati yang udah keras kayak batu mulai luluh? Yuk, simak perjalanan emosional yang bakal bikin kamu nangis sekaligus senyum kecil di akhir.

 

Ma, Dengarkan Aku

Bayangan di Bawah Pohon Jambu

Di balik pagar bambu yang hampir roboh, ada sebuah rumah kecil berwarna putih dengan cat yang mulai memudar. Di depan rumah itu, sebuah pohon jambu tua tumbuh dengan cabang-cabang yang melengkung ke bawah, menutupi sebagian dari jalan setapak yang sempit. Aksara sering duduk di bawah pohon itu, matanya terfokus pada daunnya yang mulai menguning, seolah ia ingin menangkap setiap detail yang ada di dunia yang terasa begitu jauh darinya.

Pagi itu, udara terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Aksara duduk di bawah pohon jambu, kedua lututnya terangkat ke dada, dan tangannya memeluk mereka erat-erat. Ada buku catatan kecil di sampingnya. Buku itu sudah penuh dengan tulisan tangan yang rapi, meskipun tidak ada satu pun kata yang pernah dibaca oleh orang lain. Setiap kali ia menulis, ia merasa seolah-olah hanya tinta dan kertas yang benar-benar mendengarkannya.

Dari dalam rumah, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Aksara tahu itu ibunya. Naya, ibunya, selalu terburu-buru, seolah-olah dunia ini menunggu-nunggu pekerjaan yang harus diselesaikan. Setiap pagi, ia keluar rumah tanpa pernah melirik ke arah Aksara. Naya lebih sibuk dengan pekerjaan di pasar, dengan dagangannya, dengan teman-temannya, dengan semua orang kecuali anaknya.

Aksara menatap tangan-tangannya yang kotor. Ia mengusap wajahnya, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh. Tapi, ia tahu, tidak ada gunanya menangis. Tidak ada yang akan peduli. Sejak ayahnya pergi, sejak Naya terlalu sibuk dengan dunia yang hanya miliknya, Aksara belajar untuk hidup sendiri.

Tiba-tiba, langkah kaki itu mendekat. Tanpa melihat Aksara, Naya melangkah keluar dari rumah, menyeka keringat di dahinya. Ia mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans yang sedikit kusut, tanda bahwa ia baru saja bangun.

“Ma!” Aksara berseru pelan.

Naya berhenti sejenak, hanya sebentar, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menoleh. “Ada apa, Aksara?” suaranya datar, hampir seperti tidak ada perasaan.

Aksara menelan ludah, mencoba mencari keberanian untuk berbicara lebih banyak. “Aku ingin ngomong sesuatu,” ujarnya ragu, suara agak tersendat.

Naya mengerutkan keningnya, namun tetap tidak berhenti. “Iya, ngomong aja, nanti. Mama lagi buru-buru.”

“Aku… Aku merasa… aku merasa sendirian, Ma,” kata Aksara, kata-kata itu keluar dengan suara lebih pelan, hampir terdengar seperti bisikan.

Naya berhenti sejenak dan menoleh, tapi hanya sebentar. “Kamu nggak sendirian. Ada Mama, kan?”

Aksara merasakan ada sesuatu yang mencubit hatinya. Naya, ibunya, selalu berkata seperti itu. “Ada Mama, kan?” padahal, yang ia rasakan sangat berbeda. Naya tidak pernah ada. Bahkan ketika berada di rumah, ibunya lebih memilih mengurung dirinya dalam dunia sendiri.

Aksara ingin berteriak. Ingin mengungkapkan semuanya. Tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.

“Cuma itu doang? Nggak ada yang lain, Aksara?” tanya Naya, kembali mengalihkan perhatian pada pekerjaan yang sudah menunggu di pasar.

Aksara hanya menatap ibunya pergi, tubuhnya membungkuk sedikit, seolah ingin berkata sesuatu yang lebih besar, yang lebih penting, tapi lidahnya terhalang oleh sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Di bawah pohon jambu, Aksara membuka buku catatannya lagi. Setiap tulisan yang ia buat seperti memori yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata biasa. Ia menulis dengan tangan yang agak gemetar:

“Aku ingin kamu tahu, Ma. Aku ingin kamu melihat aku lebih dari sekadar anak yang menunggu di rumah ini. Aku ingin kamu tahu perasaanku, bagaimana rasanya ketika aku memanggil namamu dan kamu tidak pernah mendengar. Bagaimana rasanya jadi anak yang tidak pernah bisa membuat Mama bangga.”

Tulisannya semakin memanjang, setiap kata yang ia tulis membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan. Ia tidak tahu apakah tulisan ini akan membuat perbedaan, tapi setidaknya, kata-kata itu bisa keluar dari dirinya.

Sementara itu, di rumah, Naya kembali sibuk dengan pekerjaan rumahnya, tidak peduli dengan Aksara yang masih duduk diam di bawah pohon jambu. Tidak ada yang tahu betapa kosongnya hati anak itu. Tidak ada yang tahu betapa besar keinginannya untuk didengar, bahkan hanya untuk satu kali saja.

Aksara meletakkan buku catatannya di pangkuan, tatapannya jauh. Seolah-olah ada dunia lain yang menunggunya, dunia yang mungkin hanya bisa ia jangkau lewat tulisan. Dunia yang lebih baik, tempat di mana ia tidak akan merasa sendirian lagi.

Ia berharap suatu saat nanti, kata-kata itu sampai ke hati ibunya. Tapi untuk sekarang, Aksara hanya bisa menulis. Dan menunggu.

 

Halaman-Halaman yang Tak Terbaca

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aksara semakin merasa dirinya terpinggirkan. Rumah yang tadinya dipenuhi tawa kini hanya menyisakan sunyi. Ia duduk di pojokan rumah, menatap jalan setapak yang mengarah ke pasar, menunggu, berharap ibunya akan berhenti sejenak dan melihatnya. Tapi seperti biasa, Naya terlalu sibuk untuk menyadari keberadaannya.

Setiap kali Aksara berusaha menarik perhatian ibunya, ia selalu merasa seperti bayangan, sesuatu yang hanya ada tanpa benar-benar terlihat. Pagi-pagi Naya sudah berangkat ke pasar, dan malam hari ia pulang dengan wajah lelah, tanpa pernah mengucapkan sepatah kata pun lebih dari sekedar “sudah makan?” yang terkesan seperti rutinitas, bukan perhatian.

Buku catatan Aksara sudah penuh dengan tulisan, dengan gambar-gambar sederhana yang menggambarkan bagaimana ia merasakan dunia yang begitu jauh darinya. Setiap halaman adalah ruang kosong yang diisi dengan kata-kata yang tak pernah didengar, kalimat-kalimat yang tetap terperangkap di dalam dirinya.

“Aku ingin kamu tahu, Ma,” tulis Aksara di halaman terakhir yang ia buka, “Aku ingin menjadi anak yang bisa membuatmu bangga. Tapi aku takut, Mama tidak pernah melihat aku lebih dari sekedar bayangan di balik pohon jambu.”

Tulisan itu ia baca berulang kali, seakan berharap kata-kata itu bisa menyentuh hati ibunya. Namun, Aksara tahu, ibunya terlalu sibuk dengan dunia luar yang tidak pernah memberinya ruang untuk masuk. Setiap kali ia menulis, ia merasa seperti berbicara pada dinding, kata-kata yang mengalir tanpa tujuan.

Hari itu, seperti biasa, Naya pulang larut malam, wajahnya terlihat letih setelah seharian berdagang. Aksara duduk di meja makan, memandangi piring kosong di depannya. Ibunya baru saja masuk dari pintu belakang, membawa beberapa kantong belanjaan.

“Ma, aku ingin bicara,” Aksara mengucapkan kalimat yang sudah ia ucapkan berkali-kali, namun kali ini dengan sedikit lebih banyak harapan.

Naya meletakkan kantong belanjaannya di meja, namun hanya sekilas menoleh ke Aksara. “Bicara apa lagi? Mama capek, Aksara. Nanti, ya.”

Aksara menundukkan kepalanya, hatinya terasa sesak. Tapi ia tidak menyerah. “Aku… aku merasa nggak penting buat Mama. Sepertinya Mama nggak pernah peduli sama aku.”

Naya menarik napas panjang, melemparkan pandangan kosong ke arah anaknya. “Kamu nggak tahu apa yang Mama lakukan. Semua ini untuk kamu juga,” katanya datar, menghindari tatapan Aksara yang semakin penuh dengan luka.

Aksara ingin berkata lebih banyak. Ingin menjelaskan bagaimana rasanya merasa seperti tidak ada, bagaimana rasanya berusaha keras agar ibunya berhenti sejenak dan melihatnya. Tapi kata-kata itu seolah terperangkap di tenggorokan, tak bisa keluar.

Ia berdiri dan meninggalkan meja makan, menuju kamarnya. Di sana, di bawah cahaya lampu yang redup, ia membuka buku catatannya lagi. Tangan Aksara bergerak cepat, menulis tanpa berpikir panjang.

“Aku ingin jadi lebih dari sekedar anak yang menunggu. Aku ingin Mama bangga. Aku ingin Mama tahu aku bisa lebih dari ini. Tapi aku takut, Ma. Aku takut, jika aku tidak bisa membuatmu melihat aku.”

Tulisan itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Aksara tidak tahu bagaimana cara membuat ibunya melihatnya, membuatnya merasa ada. Namun di setiap goresan pena, ia mencoba melepaskan beban itu, meskipun ia tahu, kata-kata itu takkan pernah sampai ke hati ibunya.

Malam itu, setelah menulis, Aksara memejamkan mata, berusaha tidur meskipun pikirannya masih berkecamuk. Dering ponsel ibunya dari ruang tamu terdengar jelas, suara tawa orang-orang dari luar yang tampaknya memberi lebih banyak perhatian kepada Naya daripada anaknya sendiri. Aksara menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh.

Ketika hari esok datang, Aksara bangun lebih awal. Ia duduk di pojok kamarnya, mengamati buku catatan di tangannya. Tulisan-tulisan itu adalah satu-satunya cara ia berbicara dengan dunia. Tanpa suara, tanpa gangguan. Namun, ia mulai merasa bahwa mungkin itu tidak cukup. Mungkin ia harus menemukan cara lain untuk mengatakan apa yang ada di dalam hatinya.

Ketika Naya keluar dari kamar dengan wajah lelah, Aksara melihatnya tanpa mengatakan apa-apa. Ibunya tetap sibuk, seperti biasa. Namun kali ini, Aksara memutuskan untuk tidak menyerah. Ia menyadari bahwa meskipun ibunya tidak mendengarkan kata-katanya, ia masih bisa berbuat sesuatu.

“Aku akan membuatnya melihatku,” bisik Aksara pada dirinya sendiri, walaupun hatinya penuh keraguan. Tapi, setidaknya ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan dirinya terus tenggelam dalam bayangan yang tak pernah terlihat.

 

Hujan di Malam Itu

Hari-hari semakin berat bagi Aksara. Meskipun ia berusaha untuk terus kuat, ada saat-saat di mana beban itu terasa terlalu berat untuk dibawa. Ia merasa seperti seorang pengembara yang terus melangkah tanpa tujuan yang jelas, dan satu-satunya harapan yang ia miliki adalah melihat ibunya berhenti, melihatnya dengan penuh perhatian, menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terguncang di dalam hatinya.

Malam itu, seperti yang sering terjadi, langit mendung dan angin mulai berhembus dengan kencang. Hujan tiba-tiba turun, memercikkan air dingin ke tanah, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Aksara duduk di samping jendela, menatap hujan yang turun tanpa henti. Air di luar seolah menghapus semua kenangan buruk, sejenak menenangkan pikirannya yang mulai kacau.

Naya, seperti biasa, pulang larut malam. Suara pintu terbuka terdengar keras, mengganggu ketenangan malam. Aksara masih duduk di tempat yang sama, tanpa bergerak, hanya memandangi hujan yang semakin deras. Ia mendengar langkah kaki ibunya yang terburu-buru, dan sesaat kemudian, suara pintu kamar yang tertutup keras. Tak lama, terdengar suara isakan dari dalam kamar ibunya.

Aksara terdiam, merasakan ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya hujan yang menyelimuti malam itu, tetapi juga perasaan yang mengguncang dalam dirinya. Ia berlari keluar kamar, tanpa berpikir panjang, tanpa ragu. Ia tahu, ini adalah kesempatan langka yang mungkin tak akan datang lagi.

“Ma?” Suara Aksara terdengar pelan di balik pintu kamar. “Apa kamu… baik-baik saja?”

Untuk pertama kalinya, Aksara mendekati ibunya dengan ketulusan yang berbeda. Ia mengetuk pintu, dan suara isakan itu terhenti seketika. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka berdua, seolah waktu berhenti.

Aksara menunggu, berharap ibunya akan membuka pintu, tapi tak ada suara. Tanpa berpikir panjang, ia memutar gagang pintu dan masuk ke dalam. Di sana, Naya duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tertunduk, tangan memeluk tubuhnya, dan air mata mengalir di pipinya. Aksara terkejut melihatnya. Ibunya, yang selama ini tampak tak tergoyahkan, kini terlihat begitu rapuh.

Aksara mendekat, berdiri di depan ibunya, namun tetap diam. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya merasakan kesedihan yang sama, kesedihan yang sudah lama tertahan dalam dirinya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad, Aksara akhirnya membuka mulutnya.

“Ma, aku… aku merasa seperti aku nggak penting buat Mama,” kata Aksara, dengan suara yang bergetar. “Aku ingin Mama tahu kalau aku butuh Mama, Ma. Aku butuh kamu.”

Naya mengangkat wajahnya, matanya merah dan lelah. Ada kesunyian yang tebal di antara mereka. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan. Ibunya menatap Aksara, seolah mencoba mencari jawaban atas kata-kata yang baru saja keluar dari mulut anaknya.

“Aksara…” Naya mulai, suara nyaris tak terdengar. “Aku… Mama nggak pernah bermaksud bikin kamu merasa seperti itu. Aku hanya… hanya terlalu sibuk dengan banyak hal. Aku nggak tahu kalau aku sudah membuatmu merasa sendiri.”

Aksara merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak bisa percaya bahwa ibunya akhirnya mengakui perasaannya. Mata Aksara mulai berembun, tapi ia berusaha keras menahan air mata. Ini adalah hal pertama yang benar-benar ia inginkan, dan meskipun rasanya berat, ia merasa ada sedikit harapan yang muncul.

“Ma, aku cuma… cuma mau kamu dengerin aku. Aku nggak ingin terus hidup di bayangan yang nggak pernah ada. Aku ingin jadi anak yang bisa Mama banggakan, Ma,” ujar Aksara dengan suara lebih dalam, lebih yakin. Ia menghela napas panjang. “Aku nggak mau lagi merasa seperti orang yang nggak terlihat.”

Naya terdiam, melihat anaknya dengan mata yang tak bisa menutupi kegetiran. Ada ketegangan yang samar di udara, namun pada saat itu, hujan di luar tiba-tiba berhenti. Hanya suara angin yang berdesir pelan mengisi ruang. Sebuah kedamaian yang aneh mulai merasuki kamar itu, seolah dunia memberi mereka kesempatan untuk berbicara, untuk mendengarkan.

“Ma…” Aksara melangkah lebih dekat, meletakkan tangan di bahu ibunya. “Aku nggak mau kamu merasa sendirian juga. Aku tahu, kamu capek, tapi kita harus saling ada.”

Naya menatap tangan Aksara di bahunya. Perlahan, ia mengangguk. “Aku… Mama juga sayang kamu, Aksara. Aku cuma nggak tahu harus gimana… untuk bilang itu.”

Aksara merasa dunia seolah berputar lebih pelan. Kata-kata itu, meskipun sederhana, adalah sesuatu yang sangat ia tunggu-tunggu. Kata-kata yang selama ini terasa jauh, kini hadir di hadapannya.

Malam itu, hujan memang berhenti, tetapi keheningan yang ada di dalam kamar itu terasa penuh makna. Keduanya duduk bersama, saling berdiam, namun untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aksara merasa dirinya didengar. Perasaan itu—yang selama ini tersembunyi—akhirnya dapat keluar, dan meskipun tidak ada kata-kata ajaib, ia tahu bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka akan menemukan jalan untuk saling memahami.

 

Cahaya yang Menuntun Jalan

Waktu berjalan perlahan, tetapi sesuatu di dalam rumah itu mulai berubah. Aksara merasa ada angin segar yang masuk, meski ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah. Begitu banyak kata-kata yang tak terucapkan di antara mereka, begitu banyak perasaan yang terkubur lama. Namun, ada langkah-langkah kecil yang mulai dibangun, dan itu sudah cukup untuk memberi harapan.

Sejak malam itu, Aksara dan Naya mulai belajar untuk saling mendengarkan. Setiap pagi, sebelum berangkat ke pasar, Naya akan memberi Aksara sedikit perhatian, menanyakan bagaimana sekolahnya atau bagaimana perasaannya hari itu. Aksara merasa sedikit lega, meski ia tahu perubahan besar tidak akan terjadi dalam semalam. Namun, ini adalah awal yang baik.

Hari-hari berikutnya, Aksara berusaha lebih keras. Ia mulai berbicara lebih terbuka kepada ibunya, meskipun kadang-kadang kata-katanya terasa canggung dan sulit. Namun, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjembatani jurang yang telah lama terbentuk di antara mereka. Ada kalanya mereka bertukar senyum, meskipun itu tidak sering. Tetapi bagi Aksara, senyum itu cukup.

Pada suatu sore yang cerah, Aksara kembali duduk di bawah pohon jambu yang selama ini menjadi tempat favoritnya. Buku catatannya terbuka di pangkuannya, tetapi kali ini, ia tidak hanya menulis kata-kata kosong. Ia mulai menulis tentang harapan, tentang mimpi, tentang bagaimana ia ingin menjadi lebih dari sekedar anak yang menunggu perhatian. Ia ingin menjadi seseorang yang mampu berdiri dengan kepala tegak, meski ibunya masih berjuang untuk menyeimbangkan hidupnya.

“Aku ingin bisa melihat dunia, Ma,” tulis Aksara di halaman buku catatannya. “Aku ingin pergi jauh, menemukan siapa aku sebenarnya, dan membuat Mama bangga.”

Ia menutup buku catatan itu dan menatap langit yang semakin menguning oleh sinar matahari sore. Aksara merasa sedikit lega, seperti ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya. Ia tahu, meskipun perjalanan ini panjang dan penuh lika-liku, ia tidak lagi berjalan sendirian. Ibu dan anak, meskipun tidak selalu sempurna, kini saling memahami lebih baik. Itu adalah awal yang cukup berarti.

Beberapa minggu setelah itu, Aksara merasakan bahwa hubungan mereka mulai membaik, meskipun tidak ada jaminan bahwa semuanya akan sempurna. Naya, meskipun masih sibuk dengan pekerjaannya, mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk Aksara. Mereka makan malam bersama lebih sering, dan kadang-kadang, Naya akan mengajak Aksara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih personal. Meskipun itu bukan percakapan panjang, bagi Aksara, itu adalah bentuk perhatian yang sudah cukup lama ia rindukan.

Pada suatu sore, saat mereka sedang membersihkan halaman rumah bersama, Naya tiba-tiba berhenti sejenak, memandang Aksara dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya.

“Aksara,” kata Naya dengan suara pelan, “Aku tahu aku nggak sempurna. Aku juga sering lupa bagaimana caranya menjadi ibu yang baik. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku bangga punya anak sepertimu.”

Aksara tertegun mendengar kata-kata itu. Untuk pertama kalinya, ibunya mengungkapkan sesuatu yang dalam, sesuatu yang menyentuh hatinya. Aksara merasa air mata hampir menetes, namun ia berusaha menahan emosi itu.

“Terima kasih, Ma,” Aksara berkata, suaranya bergetar. “Aku juga bangga jadi anak Mama.”

Mereka berdua saling tersenyum, meskipun senyum itu masih disertai sedikit ketegangan. Namun, senyum itu lebih berarti daripada ribuan kata yang pernah mereka ucapkan sebelumnya. Ini adalah tanda bahwa mereka mulai menemukan cara untuk saling memahami, untuk saling menguatkan.

Malam itu, saat Aksara menulis di buku catatannya lagi, ia merasa ada perubahan besar di dalam dirinya. Tulisan-tulisannya lebih cerah, lebih penuh harapan, dan jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Ia tidak lagi menulis tentang rasa kesepian, tetapi tentang mimpi yang ingin ia capai.

“Aku akan terus berjalan, Ma. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan lagi merasa sendirian. Aku punya kamu, dan aku akan terus berjuang untuk membuatmu bangga.”

Aksara menutup bukunya dengan senyuman kecil. Ia tahu bahwa meskipun perjalanan mereka belum selesai, mereka telah melewati bagian yang paling sulit. Dan meskipun dunia di luar sana penuh dengan tantangan, di rumah ini, ada cahaya yang mulai menuntun mereka untuk berjalan bersama.

 

Jadi, kadang kita cuma butuh waktu, kan? Waktu untuk menyadari bahwa kasih sayang nggak selalu datang dengan cara yang kita harapkan, tapi tetap ada di sana, tersembunyi dalam hal-hal kecil. Seperti Aksara dan ibunya, yang akhirnya saling mengerti, meski prosesnya panjang. Karena pada akhirnya, setiap hati yang saling mendengarkan pasti menemukan jalan pulang.

Leave a Reply