Cerpen Obsesi dan Perubahan: Mengatasi Fanatisme dalam Dunia Digital

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa hidup kamu kayak muter di satu orang yang bahkan nggak tau kamu eksis? Nah, cerita ini tentang Liora, cewek yang tadinya terjebak di dunia khayalan tentang idolanya. Dari ngefans biasa, terus naik level ke fanatik, sampe akhirnya sadar: hidup itu lebih dari sekadar ngejar bayangan orang yang nggak mungkin diraih.

Ini kisah tentang perjalanan melepaskan obsesi, nyari jati diri, dan move on ke kehidupan nyata yang kadang lebih seru dari yang dibayangin. Ready buat ikut rollercoaster emosinya? Yuk, baca sampe habis!

 

Cerpen Obsesi dan Perubahan

Bayangan di Antara Kerumunan

Malam itu, auditorium begitu terang dengan sorot lampu yang berputar-putar, seolah-olah langit malam diambil dan dipindahkan ke dalam gedung ini. Suara musik menggema, menggulung dalam gelombang emosi yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang hadir, yang merasakan setiap ketukan, setiap lirik. Semua orang bersorak, dan aku, seperti mereka, ada di sana, terlena dalam kegembiraan.

Tapi aku tak sama dengan mereka. Mereka datang untuk menikmati konser, aku datang untuknya. Orion Gale. Suaranya menggetarkan dunia, tubuhnya bergerak dengan luwes, setiap senyum yang ia lontarkan rasanya seperti hadiah khusus untukku. Tak peduli berapa banyak orang yang mengaguminya, aku merasa seolah-olah dia ada hanya untukku. Setiap kali dia melirik ke arah penonton, aku merasa dia melihatku. Meskipun aku tahu, itu hanya khayalanku saja.

“Aku nggak bisa percaya aku di sini…” bisikku, mataku tertuju pada sosok yang ada di panggung.

Teman-temanku yang duduk di sampingku, yang mungkin hanya mengenal Orion lewat lagu-lagu yang sering diputar di radio, tersenyum, tetapi aku bisa melihat mereka tidak merasakan kegelisahan yang sama. Mereka datang untuk bersenang-senang, menikmati musik, bukan untuk terbenam dalam obsesi yang sudah menggerogoti pikiranku selama berbulan-bulan.

“Kamu benar-benar gila, Liora,” kata Rina, sahabatku yang duduk di sebelah kanan. “Coba deh, kalau ketemu dia, jangan sampai kayak orang kesurupan.”

Aku hanya tertawa pelan. Rina sudah tahu betul betapa besar pengaruh Orion dalam hidupku, tapi dia tak pernah benar-benar mengerti. Aku bukan sekadar penggemar biasa. Aku adalah seseorang yang bisa mengenali setiap ekspresi wajahnya, mengingat setiap interview yang dia lakukan, bahkan menghafal setiap kata yang dia ucapkan.

Musik berhenti sejenak, dan saat itulah aku melihatnya—Orion berdiri dengan mikrofon di tangan, tatapannya menyapu penonton. Aku tahu, dia tak akan melihatku, tapi untuk beberapa detik, seolah dunia berhenti berputar. Jantungku berdegup kencang. Mataku tak bisa lepas dari wajahnya. Rasanya seolah aku bisa merasakan nafasnya, meskipun jaraknya teramat jauh.

“Liora, kamu nggak dengerin? Orion ngomong, nih!” Rina menyentuh lenganku, terkejut karena aku melamun begitu lama.

Aku tersentak. Oh, iya, dia sedang berbicara.

“Ada yang punya tiket VIP?” suara Orion yang dalam itu menembus ke seluruh ruangan, dan aku mendengar gelak tawa di seluruh auditorium.

Tanpa sadar, aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi. Aku tak tahu kenapa, mungkin karena ingin dia melihatku, atau mungkin karena ingin merasa terhubung dengan setiap kata yang dia ucapkan. Mataku tetap terkunci pada sosoknya, dan aku mendengar suara tawa di sekitar aku. Rina mengerutkan kening, tapi aku terlalu terhanyut untuk peduli.

Ketika akhirnya konser berakhir, para penggemar mulai berhamburan keluar dari auditorium, ada yang melompat, ada yang menangis. Semua orang terlihat begitu bahagia. Tapi aku hanya bisa menatap panggung kosong itu dengan perasaan campur aduk—sebagian dari diriku ingin tetap berada di sana, tak peduli berapa banyak orang yang berlalu.

“Ayo, Li, kita pulang.” Rina menyeret tanganku, sepertinya dia mulai lelah dengan sikapku yang terlampau terfokus pada Orion.

Aku mengangguk, meskipun sebenarnya aku tak ingin pergi. Pikiranku tetap terfokus pada apa yang baru saja terjadi. Aku merasa hampir bisa menyentuh dunia Orion, bahkan jika itu hanya dalam bentuk bayangan.

Di luar gedung konser, udara malam begitu dingin, tapi aku tak merasa kedinginan. Aku merasakan sesuatu yang lebih kuat—semacam kecemasan yang membungkus hatiku. Aku ingin lebih. Aku ingin mendekatinya. Aku ingin lebih dari sekadar menjadi penonton.

Setibanya di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar. Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk. Itu dari grup penggemar eksklusif Orion, tempat aku berbagi informasi, foto, dan segala hal yang berhubungan dengan idola kami.

“Li, ada apa? Kamu nggak kelihatan tadi?” tulis Rina, menanyakan kenapa aku tak banyak berbicara setelah konser. Aku hanya membalas dengan emoji tertawa. Aku tak bisa menjelaskan semuanya pada Rina. Bagaimana bisa? Dia tidak akan mengerti.

Aku membuka grup itu dan mulai membaca pesan-pesan yang masuk. Semua orang membicarakan konser, berdebat tentang lagu terbaik, membahas penampilan Orion yang sangat memukau. Kemudian, aku menemukan sesuatu yang menarik—sebuah pesan yang ditulis oleh NovaBlaze, pengguna yang sering kali mengkritik penggemar yang terlalu fanatik, yang terlalu terobsesi dengan Orion.

“Apa kalian tidak sadar? Semua ini sia-sia. Dia tidak akan pernah tahu siapa kalian. Kalian hanya bayangan baginya.”

Pesan itu membuat dadaku sesak. Sebagian dari diriku ingin mengabaikannya, ingin membenarkan diri bahwa aku adalah penggemar sejati, bahwa aku berhak untuk merasa seperti ini, untuk merasakan apa yang kurasakan. Tapi pesan itu terus berputar di kepalaku, menciptakan keraguan yang tak bisa dihapus.

Aku tidak bisa berhenti memikirkan komentar itu. Apa yang salah dengan aku? Mengapa aku merasa begitu terikat pada sosok yang bahkan tidak mengenal namaku?

Aku membalas pesan itu, menulis panjang lebar tentang bagaimana aku mengagumi Orion, bagaimana aku merasa seolah-olah dia adalah bagian dari hidupku, meski dia tak tahu siapa aku. Aku menulis tanpa berhenti, meyakinkan diri bahwa apa yang aku rasakan adalah hal yang wajar bagi seorang penggemar.

Tapi kenapa, setiap kali aku membaca kembali pesan itu, ada rasa kosong yang menyusup?

 

Pesan dari NovaBlaze

Hari-hari setelah konser berlalu begitu cepat, seiring dengan gelombang perasaan yang terus bergulir dalam diriku. Setiap detik, aku merasa terperangkap dalam labirin pikiranku sendiri, di mana Orion selalu ada di sana—dalam setiap sudut, dalam setiap detik. Aku terus kembali ke grup penggemar itu, berharap menemukan jawaban atas keraguan yang mulai merayapi diriku.

Pesan dari NovaBlaze yang tak bisa hilang dari pikiranku mulai menciptakan retakan dalam dunia yang selama ini kusebut sebagai penggila Orion. Itu terasa seperti luka kecil yang makin membesar, menuntut perhatian yang tak bisa lagi kuabaikan.

Aku kembali membuka pesan tersebut. “Apa kalian tidak sadar? Semua ini sia-sia. Dia tidak akan pernah tahu siapa kalian. Kalian hanya bayangan baginya.”

Aku membaca kalimat itu berulang kali, sampai setiap kata terasa berat di dada. Rasa sakit yang aneh—seperti ada suara kecil yang menuntut untuk mengingatkan diriku akan batas yang ada. Batas antara obsesiku dan kenyataan yang mengerikan. Tapi, aku tak bisa membiarkannya begitu saja. Aku tak bisa membiarkan rasa itu merusak segalanya.

Aku membalas pesan NovaBlaze dengan cepat, kali ini lebih tegas, bahkan sedikit kasar. “Kamu nggak ngerti apa-apa! Kamu nggak tahu betapa aku peduli sama Orion! Ini bukan hanya soal dia, tapi tentang apa yang aku rasakan. Aku berhak jadi bagian dari ini. Aku berhak untuk menikmati setiap momen yang aku punya.”

Beberapa menit kemudian, balasan dari NovaBlaze masuk.

“Liora, aku mengerti kamu sangat mengagumi dia, tapi aku sudah pernah berada di posisi kamu. Rasanya seperti jatuh cinta pada bayangan. Tapi percayalah, itu hanya akan menyakitimu. Ini bukan hal yang bisa kamu kendalikan. Cobalah untuk mencari sesuatu yang nyata.”

Pesan itu begitu tajam, seperti pisau yang menorehkan luka di dalam hatiku. NovaBlaze… dia tahu sesuatu yang aku tak ingin tahu. Seperti seorang teman yang menyadari bahwa aku sudah melampaui batas yang seharusnya ada. Sesuatu yang telah berubah dalam diriku tanpa kusadari, yang perlahan membentuk obsesi yang tak bisa ditarik kembali.

Namun, aku menolak untuk percaya begitu saja. Aku tak ingin menyerah pada keraguan itu. Orion adalah segalanya bagiku. Dia adalah dunia yang selalu membuatku merasa hidup. Tidak ada yang bisa mengerti seperti aku mengerti dia.

Aku menghapus pesan NovaBlaze dan kembali ke grup, mencoba untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bukanlah orang yang terjebak dalam ilusi. Aku seorang penggemar sejati, bukan seorang yang hilang dalam mimpi yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Namun, di tengah kebisingan grup yang membahas segala hal tentang Orion, perasaan itu muncul lagi—keraguan yang perlahan menuntut perhatian. Aku teringat betul pesan dari NovaBlaze. Ada kebenaran di sana, meskipun aku tak ingin mengakuinya.

Hari berikutnya, aku memutuskan untuk pergi ke kafe tempat Orion sering menghabiskan waktu, sebuah tempat yang sering ia unggah di akun media sosialnya. Aku tahu itu takkan mudah, dan rasanya seperti keputusan impulsif yang datang tanpa pikir panjang. Tetapi perasaan itu terlalu kuat. Rasanya seperti ada yang memanggilku, mendorongku untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar menjadi penonton.

Ketika aku tiba, tempat itu cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang menikmati kopi mereka. Aku duduk di sudut yang dekat dengan jendela, mencoba merasa tenang, meskipun hatiku berdegup kencang. Aku memesan secangkir kopi, mataku tak lepas dari setiap gerakan orang-orang yang lalu lalang. Aku berharap, dengan cara yang aneh, sesuatu akan terjadi. Entah apa, entah bagaimana, aku hanya ingin merasa dekat dengan dunia yang Orion tempati. Aku ingin berada di sana, dekat dengan apa yang selalu mengisi pikiranku.

Dan saat itulah aku melihatnya. Orion, berjalan masuk ke kafe, tampak seperti baru selesai dengan aktivitas lainnya. Dia mengenakan jaket kulit hitam yang selalu menjadi ciri khasnya. Suasana seketika menjadi lebih hidup, meskipun aku tahu dia tak menyadari kehadiranku. Dia duduk di meja yang tak jauh dari tempatku, menghadap ke jendela dengan secangkir kopi di tangan. Hatinya mungkin sedang sibuk dengan dunia lain, sementara aku di sini, memandangi setiap gerak-geriknya, berharap bisa berbicara dengannya, atau bahkan hanya mengucapkan satu kata.

Aku memegangi cangkir kopi dengan tangan yang gemetar. Lalu mataku bertemu dengan matanya, meski hanya sekejap. Sebuah detik yang begitu lama, dan di detik itu aku merasa dunia milikku. Sesaat, aku merasa dia melihatku. Tapi tentu saja, itu hanya khayalanku.

Dengan cepat, aku menundukkan kepala, merasa malu pada diriku sendiri. Kenapa aku selalu melakukan ini? Kenapa aku selalu merasa seperti ini, seperti bayangan yang hanya ada ketika aku menginginkannya?

Sejak saat itu, setiap langkahku terasa semakin berat. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apa yang sebenarnya aku cari? Apakah ini semua hanya sekadar ilusi yang kugenggam erat? Apakah aku terlalu jauh masuk ke dalam dunia yang tak akan pernah menjadi milikku?

Sampai suatu pagi, aku menerima sebuah pesan baru dari NovaBlaze. Kali ini, pesannya lebih pendek.

“Liora, ini bukan tentang siapa dia. Ini tentang siapa kamu di dunia yang nyata.”

Aku tak tahu apakah itu kalimat yang penuh kebijaksanaan atau sekadar sebuah peringatan, tapi satu hal yang kutahu—aku tak bisa terus seperti ini.

 

Mencari Batas yang Hilang

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap detik terasa semakin berat. Pikiranku seolah terjebak dalam sebuah lingkaran setan yang tak bisa kutemukan ujungnya. Setiap kali aku berusaha melangkah maju, bayangan Orion selalu kembali, mengikat langkahku pada kebiasaan yang tak bisa kujelaskan. Ada kalanya aku merasa benar-benar hidup hanya ketika aku terhubung dengan dunia yang ia tempati, dunia yang seolah-olah hanya miliknya, sementara aku hanyalah seorang penonton yang tak pernah bisa lebih dari itu.

Namun, pesan NovaBlaze terus menghantui, seolah menjadi suara kecil yang perlahan semakin nyaring dalam pikiranku. Aku tak tahu mengapa, tapi kali itu aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang bergerak dalam diriku. Sesuatu yang menuntut perhatian, sesuatu yang seharusnya kubiarkan berkembang, bukan menahannya dengan keras kepala seperti yang sudah kulakukan.

Hari itu, aku memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Aku tahu, kalau aku terus berada di dalam dunia yang sama—dalam grup penggemar yang sama, dalam rutinitas yang sama—maka aku tak akan pernah bisa keluar dari perangkap ini. Aku butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir, untuk merasakan apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidupku. Tidak ada yang tahu, bahkan teman-temanku, bahwa aku merasa benar-benar terjebak. Aku merasa seperti hidup dalam ilusi yang kubuat sendiri.

Aku memutuskan untuk pergi ke taman, tempat yang dulu sering kuhabiskan waktu untuk sendiri. Di sana, aku bisa meresapi angin yang berhembus pelan dan membiarkan pikiranku mengalir bebas tanpa gangguan. Setiap langkah yang kuambil menuju bangku di bawah pohon besar itu seakan membawaku semakin jauh dari kekacauan pikiranku. Aku duduk, menutup mata sejenak, dan berusaha menenangkan diri.

Namun, saat aku membuka mata, mataku menangkap sesuatu yang membuat jantungku kembali berdegup kencang. Ada sebuah pesan masuk di ponselku—dari NovaBlaze.

Aku membuka pesan itu dengan cepat.

“Liora, kamu harus berhenti mengejar bayangan. Ini bukan tentang Orion. Ini tentang siapa dirimu saat kamu berhenti mengandalkan orang lain untuk menemukan kebahagiaanmu. Kamu punya lebih dari sekadar rasa obsesif ini.”

Aku menghela napas panjang, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis. Itu bukan hanya sebuah pesan biasa. Itu adalah peringatan, seperti sebuah panggilan yang mengingatkanku akan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar perasaan yang kupendam untuk Orion. Aku tahu apa yang NovaBlaze katakan ada benarnya. Tapi untuk melepaskan perasaan itu—untuk melepaskan semua yang selama ini menjadi bagian dari hidupku—rasanya seperti melepaskan bagian dari diriku sendiri.

Aku merasa seperti ada dua dunia yang saling bertentangan di dalam diriku. Satu dunia yang aku bangun di sekitar obsesi ini, dan satu dunia yang mengingatkanku bahwa aku harus melangkah keluar dan menemukan siapa diriku yang sebenarnya, tanpa bergantung pada bayangan seseorang.

Aku menghapus pesan itu, tapi kali ini, tidak dengan perasaan kecewa atau marah. Aku merasa lebih tenang, lebih sadar akan diriku sendiri. Sesuatu dalam diriku mulai berubah, meskipun aku belum tahu apakah aku siap untuk berubah.

Hari itu, aku pulang ke rumah dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam ketenangan yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Aku mulai merencanakan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang akan membawa aku keluar dari dunia yang selama ini kutinggali. Aku akan mencoba untuk hidup lebih nyata, untuk berhenti menjadi seorang penggemar yang terperangkap dalam fantasi. Tapi itu tidak mudah. Perasaan yang tumbuh dalam diriku tidak bisa hilang begitu saja. Itu sudah menjadi bagian dari siapa aku.

Malam itu, aku kembali membuka grup penggemar Orion. Tentu saja, aku tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari dunia ini begitu saja. Tapi kali ini, aku tidak merasa seperti bayangan. Aku merasa lebih kuat, lebih sadar akan pilihan yang harus kutempuh.

Pesan baru muncul di layar ponselku. Dari Rina.

“Ayo, Li! Ada acara meet and greet Orion di bulan depan! Kamu harus ikut! Ini kesempatan kita!”

Aku menatap pesan itu beberapa detik, dan hati kecilku mulai berdebar. Rasa itu datang kembali, seperti sebuah dorongan yang tak bisa kutahan. Aku ingin ikut, ingin bertemu dengannya, ingin merasakan bahwa aku ada di dekatnya. Namun, kali ini aku sadar. Aku tak bisa terus hidup dalam bayangan ini.

Aku menulis balasan dengan perlahan, memilih kata-kata dengan hati-hati.

“Rina, aku… aku rasa aku harus mengambil jeda dari semua ini. Aku butuh waktu untuk diri aku sendiri.”

Aku menekan tombol kirim, dan saat pesan itu terkirim, perasaan lega menyelimuti hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku hanya tahu, aku harus berhenti mengejar bayangan yang tak akan pernah bisa kuraih.

Aku menatap langit malam melalui jendela kamar, merasa sedikit lebih bebas, meskipun tak sepenuhnya. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku mulai merasakan apa itu kebebasan. Kebebasan untuk memilih jalan yang berbeda. Dan meskipun Orion akan selalu ada di hatiku, aku tahu kini aku bisa menemukan diriku sendiri—tanpa bayangan, tanpa ilusi.

Aku menutup mataku, membiarkan dunia ini berputar, sementara aku mulai menapaki jalan baru, tanpa harus selalu melihat ke belakang.

 

Melangkah Lebih Jauh

Pagi itu terasa berbeda, seolah aku memulai hari dengan semangat baru yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku menatap cermin, melihat refleksiku yang kini tampak lebih tenang, lebih matang. Aku tahu, ini bukan perjalanan yang akan cepat berakhir. Tapi setidaknya, aku sudah mulai memahami satu hal—hidupku tak bisa terus bergantung pada fantasi yang kumiliki tentang seseorang yang bahkan tak mengenalku.

Aku memutuskan untuk kembali ke rutinitasku yang lama, namun dengan perspektif yang berbeda. Aku mulai lebih sering keluar dengan teman-temanku, berinteraksi lebih banyak, dan mencoba mengeksplorasi diri yang lama tertutup dalam bayang-bayang obsesi ini. Aku tahu, ada dunia nyata di luar sana yang menunggu untuk dijelajahi.

Aku tak lagi menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, menatap foto-foto Orion dan membaca setiap tweet yang ia kirim. Semua itu kini terasa jauh lebih ringan, seolah beban berat yang selama ini kutahan akhirnya bisa aku lepaskan. Namun, aku tak bisa menipu diriku sendiri. Ada kalanya perasaan itu datang, mengganggu dan merindukan hari-hari ketika aku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar—sebuah dunia di mana Orion ada, dan aku hanya berusaha untuk menjadi bagian dari kisahnya.

Tapi aku sadar, aku bukan hanya seorang penggemar. Aku punya cerita dan hidupku sendiri. Aku punya impian yang lebih besar dari sekadar menjadi bayangan dalam kehidupan orang lain.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun terkadang aku merasa kesepian, aku tahu aku tak sendirian. Ada teman-temanku yang mendukung, ada orang-orang yang peduli. Aku mulai menemukan diri dalam percakapan-percakapan sederhana, dalam tawa yang datang tanpa beban, dalam momen-momen yang terasa begitu nyata. Mungkin aku tak akan pernah sepenuhnya bebas dari perasaan itu, tapi setidaknya aku belajar untuk menghadapinya dengan lebih bijaksana.

Suatu sore, aku duduk di taman sambil membaca buku yang sudah lama ingin kutamatkan. Suara riuh anak-anak bermain di sekitar membuatku tersenyum. Di sinilah aku, di dunia nyata, jauh dari layar dan segala hal yang selama ini mengikatku. Aku tidak tahu apa yang akan datang, tapi aku merasa siap untuk menghadapi apapun.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk, kali ini dari NovaBlaze. Aku membuka pesan itu dengan sedikit ragu, namun kali ini aku merasa lebih kuat. Pesan itu singkat, namun aku bisa merasakannya.

“Liora, aku tahu kamu pasti merasa jauh dari dunia itu sekarang, tapi aku senang kamu bisa menemukan jalanmu sendiri. Ingat, ini bukan tentang siapa yang kamu ikuti, tapi siapa dirimu sebenarnya. Kamu luar biasa.”

Aku membacanya beberapa kali, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang mengerti. Tak ada lagi pertanyaan, tak ada lagi keraguan. Aku mengirim balasan singkat.

“Terima kasih. Aku akan mencoba terus melangkah.”

Aku meletakkan ponselku dan menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik horizon. Ada kedamaian di dalam diriku yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mudah, tapi aku sudah siap. Aku siap untuk melangkah lebih jauh, untuk menemukan lebih banyak tentang diriku, dan tentang dunia yang selama ini hanya kuimpikan dari balik layar.

Tidak ada lagi obsesi yang mengikatku. Tidak ada lagi bayangan yang menghantuiku. Kini, aku adalah diriku sendiri—Liora, yang kuat, yang tidak takut untuk menjalani hidup dengan segala kemungkinan yang ada. Dan meskipun Orion tetap ada di dalam hati, aku tahu sekarang, aku bisa hidup tanpa mengandalkan bayangan. Aku bisa hidup untuk diriku sendiri.

Aku menarik napas dalam-dalam, melepaskan semua yang pernah mengikatku, dan melangkah maju, dengan percaya diri, tanpa ragu. Dunia ini luas, dan aku baru saja memulainya.

 

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari cerita Liora? Kadang, ngefans itu bikin hidup lebih berwarna, tapi kalau terlalu dalam, bisa bikin kita lupa siapa diri kita sebenarnya.

Liora berhasil keluar dari bayang-bayang obsesi dan ngebuktiin kalau hidup nyata punya cerita yang jauh lebih seru buat dijalani. Akhirnya, nggak semua mimpi harus dikejar, dan nggak semua rasa harus dimiliki. Kadang, yang kamu butuhin cuma belajar melepaskan, dan dari situ, kamu bakal nemuin versi terbaik dari diri kamu sendiri.

Leave a Reply