Harapan di Ujung Pena: Perjalanan Seorang Penulis Menemukan Diri

Posted on

Pernah merasa kayak kamu lagi nulis tapi nggak tahu sebenernya nulis buat siapa? Atau ngerasa kamu udah capek banget ngejar sesuatu yang nggak tahu tujuannya? Cerpen ini buat kamu yang lagi bingung tentang tujuan hidup, yang ngerasa kehilangan arah, atau bahkan ngerasa kalau nulis tuh cuma buat orang lain, bukan buat diri sendiri.

Tapi, siapa tahu kan, kadang harapan itu bisa tiba-tiba muncul di tempat yang nggak kita duga, dan di ujung pena yang sempat kita anggap tumpul? Yuk, baca ceritanya dan lihat gimana langkah kecil bisa bawa kita ke tempat yang lebih baik.

 

Harapan di Ujung Pena

Bayang-Bayang di Antara Kata

Fadlan duduk di meja kerjanya, memandangi layar komputer yang kosong. Di sekelilingnya, hanya ada suara detak jam dinding yang monoton dan angin malam yang berdesir pelan melalui celah jendela. Tak ada kata yang muncul dari jari-jarinya yang diam di atas keyboard. Tumpukan kertas yang berantakan di meja semakin menambah beban di dadanya. Setiap kertas itu seperti saksi bisu dari perjuangan yang tak pernah usai, dan setiap tulisan yang ia hasilkan tak lebih dari sekadar bayangan yang memudar.

Dia menghela napas panjang, menatap pena yang tergeletak di samping laptop. Pena itu tampak sepele, namun ia tahu bahwa itu adalah satu-satunya benda yang menemaninya dalam keheningan malam ini. Fadlan meraih pena itu, menggenggamnya erat, seolah berharap bisa menarik keluar segala perasaan yang selama ini terpendam. Namun, pena itu terasa berat di tangannya—lebih berat daripada yang ia duga.

“Kenapa, sih, susah banget buat nulis sesuatu yang berharga?” bisiknya, suaranya pelan, hampir seperti gumaman pada diri sendiri.

Di luar jendela, bintang-bintang berkilau terang, seolah mengingatkan Fadlan bahwa dunia ini masih penuh dengan harapan. Namun, di dalam dirinya, semuanya terasa gelap. Setiap kata yang ia coba tulis seolah berubah menjadi debu yang terbang ke udara, tak pernah meninggalkan jejak yang jelas. Ia merasa seolah seluruh dunia tidak mendengarkan apa yang ingin ia katakan.

Dia mencoba mengetik satu kalimat lagi. Kali ini, sesuatu yang sederhana—sebuah kalimat pembuka untuk cerita yang sudah berkali-kali ia mulai, tetapi tak pernah ia selesaikan. Namun begitu jari-jari tangannya menyentuh tombol, rasa frustasi mulai menguasai dirinya. Tulisan itu tampak begitu kaku, begitu kosong.

Fadlan menghapusnya. Ia menatap layar dengan tatapan kosong, berharap ide datang begitu saja, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Tetapi ide itu tidak datang. Yang ada hanya ruang kosong yang menantinya untuk menulis sesuatu—sesuatu yang mungkin bisa memberikan arti, meskipun sedikit.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, dan suara langkah kaki terdengar mendekat. Fadlan mengangkat kepalanya dan melihat Rina, sahabatnya yang juga tinggal di apartemen yang sama. Rina menatap Fadlan dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Lagi di sana?” tanya Rina, suara lembut namun tajam, seolah sudah bisa membaca kegelisahan Fadlan dari jarak jauh.

Fadlan hanya mengangguk pelan, mata kembali menatap layar yang masih kosong.

“Aku nggak ngerti kenapa kamu terus ngepoin tulisan-tulisan ini,” ujar Rina, sambil melangkah lebih dekat dan duduk di kursi di samping Fadlan. “Kamu tuh sudah punya banyak ide keren, kenapa nggak coba fokus ke yang lebih nyata aja?”

Fadlan tersenyum tipis, namun senyum itu terasa kosong. “Aku… aku nggak tahu. Kadang rasanya, apa yang aku tulis itu nggak pernah cukup. Rasanya, kata-kata itu nggak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan.” Ia meremas pena itu lebih kuat, seolah berharap bisa meremas keluar semua kegelisahannya.

Rina menghela napas dan menatapnya penuh pengertian. “Tapi, kamu juga tahu kan? Menulis itu bukan tentang hasilnya. Itu tentang prosesnya. Kamu harus percaya kalau setiap kata yang kamu tulis punya arti.”

Fadlan menoleh ke Rina, matanya masih penuh keraguan. “Proses? Aku sudah berusaha, Rina. Aku sudah coba segala cara, tapi semua tulisan itu tetap berakhir sia-sia. Bahkan ketika aku pikir aku sudah menemukan arah, tetap saja aku tersesat.”

Rina mengangguk pelan, seolah memahami apa yang Fadlan rasakan. Ia melirik tumpukan kertas yang berserakan di meja, dan dengan lembut berkata, “Kamu terlalu keras pada diri sendiri. Jangan terlalu fokus pada hasil, Fad. Lihatlah setiap tulisan itu sebagai langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Mungkin, di ujung pena ini, ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar cerita yang selesai.”

Fadlan terdiam sejenak. Kata-kata Rina menggema di dalam hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam suara Rina yang memberi sedikit ketenangan. Mungkin, selama ini ia terlalu terjebak dalam pencarian sempurna. Mungkin, selama ini ia lupa bahwa menulis bukan hanya tentang mencapai tujuan, tapi juga tentang menikmati setiap langkahnya.

“Aku cuma… cuma merasa nggak ada yang peduli dengan apa yang aku tulis,” Fadlan berkata pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam.

Rina tersenyum lembut. “Tapi kamu peduli, kan? Itu yang penting. Bukankah itu yang membuatmu terus menulis?”

Fadlan menatapnya, kali ini dengan sedikit kelegaan. Mungkin Rina benar. Mungkin, ia tidak perlu menunggu pengakuan dari orang lain. Mungkin, harapan yang ia cari selama ini sebenarnya sudah ada di ujung pena—meskipun terkadang terasa sangat kecil.

“Terima kasih, Rin,” Fadlan akhirnya berkata, suaranya lebih ringan. “Aku rasa aku terlalu fokus pada hasilnya dan lupa menikmati prosesnya.”

Rina tersenyum dan berdiri, melangkah menuju pintu. “Ingat, Fad. Harapan itu tidak selalu datang dalam bentuk besar. Kadang, itu datang dalam bentuk kata-kata yang masih setengah jadi. Jadi, jangan pernah berhenti menulis, oke?”

Fadlan mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Rina meninggalkan kamar, dan Fadlan kembali menatap layar komputer di depannya. Angin malam kembali berhembus, menyapu wajahnya dengan sentuhan dingin, dan untuk pertama kalinya, Fadlan merasa sedikit lebih tenang.

Tangan Fadlan bergerak lagi, kali ini tanpa rasa terburu-buru. Ia menulis, bukan untuk menyelesaikan sesuatu, tetapi untuk mengekspresikan sesuatu yang ia rasakan. Dan meskipun kata-kata itu tidak sempurna, ia tahu bahwa pena di tangannya masih membawa harapan—harapan yang tidak akan pernah hilang.

Namun, ia tidak tahu apakah kali ini ia akan menemukan jalan keluar dari labirin kata-katanya. Yang jelas, ia siap untuk terus berjalan, satu kata demi satu kata, hingga akhirnya menemukan arah yang ia cari.

 

Tumpulnya Ujung Pena

Hari-hari berlalu, dan meskipun Fadlan mulai sedikit merasa lebih baik, perjuangannya dengan pena dan kata-kata belum berakhir. Setiap malam ia kembali ke meja kerjanya, meraih pena yang terasa begitu familiar di tangan, namun selalu disertai dengan rasa cemas. Seolah pena itu adalah saksi dari kebuntuan yang terus menghantui setiap langkahnya. Ia merasa seperti seorang pelukis yang tak bisa menemukan warna yang tepat untuk mengisi kanvasnya, meskipun sudah mencampurkan berbagai macam cat.

Kali ini, Fadlan mencoba cara yang berbeda. Ia menutup laptopnya, beranjak dari meja kerja, dan mengambil beberapa buku catatan lama yang ada di rak. Buku-buku itu penuh dengan ide-ide yang pernah ia tulis, tetapi tidak pernah ia lanjutkan. Beberapa halaman hanya berisi coretan kasar, sebagian lainnya kosong, tak pernah terisi sama sekali.

Tangan Fadlan berhenti di sebuah buku catatan berwarna coklat, yang tampaknya sudah lama terabaikan. Ia membuka halaman pertama, dan matanya tertuju pada beberapa kalimat yang pernah ia tulis bertahun-tahun yang lalu.

“Aku ingin menjadi penulis, tetapi aku takut kata-kata yang ku tulis tak akan berarti. Aku takut ketika aku akhirnya menulis, tak ada seorang pun yang akan peduli.”

Kata-kata itu begitu familiar, seolah itu adalah bagian dari dirinya yang tak pernah benar-benar hilang. Fadlan menggelengkan kepala, merasakan bagaimana perasaan itu kembali datang. Ia merasakan beban yang sama, kegelisahan yang sama, meskipun waktu sudah berjalan begitu lama.

“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” gumamnya, menutup buku itu dengan sedikit kasar.

Ia kembali duduk di kursi, menatap langit malam melalui jendela kamar yang sedikit terbuka. Angin berhembus masuk, membawa aroma hujan yang tak jadi turun. Fadlan merenung, mencoba mencari cara untuk keluar dari kebuntuan yang selalu menghantuinya. Ia sudah mencoba segala hal—menulis dengan semangat, menulis dengan perasaan, bahkan mencoba menulis tanpa harapan. Tetapi hasilnya selalu sama. Kekosongan.

Tak lama kemudian, teleponnya berdering. Fadlan mengangkatnya tanpa melihat nama yang tertera di layar. Suara Rina terdengar dari ujung sana, ceria seperti biasanya.

“Fadlan, aku baru aja ketemu penerbit, loh! Mereka tertarik sama tulisan yang aku kirim!”

Fadlan mengangkat alis, sedikit terkejut. “Apa? Kamu serius?”

“Iya! Mereka bilang aku punya potensi. Mereka bahkan minta aku kirim naskah penuh! Bisa bayangin nggak? Aku, seorang penulis!”

Rina terdengar sangat bersemangat, dan Fadlan merasa sedikit cemas. Semangat Rina begitu menular, tetapi di sisi lain, itu juga mengingatkannya pada dirinya sendiri. Rina sudah berhasil melangkah maju, sementara ia masih terjebak di titik yang sama.

“Selamat, Rin. Aku senang denger itu,” jawab Fadlan, berusaha menenangkan perasaannya sendiri.

“Tapi Fadlan, kamu harus coba lagi! Aku yakin kamu bisa! Kamu punya banyak ide yang bagus, hanya perlu sedikit dorongan. Ayo, kita sama-sama! Jangan berhenti nulis, oke?”

Fadlan mendengus pelan, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Dia tahu Rina hanya ingin menghiburnya, tetapi kata-kata itu terasa lebih seperti beban. Dorongan itu, meskipun datang dari sahabat terbaiknya, justru semakin menambah rasa frustasinya.

“Penerbit gak akan mau baca tulisan-tulisanku, Rin. Aku sudah coba beberapa kali, tapi nggak ada yang peduli,” jawab Fadlan dengan nada lelah.

Rina terdiam sejenak. “Fadlan, kamu terlalu keras sama diri sendiri. Coba lihat dari sisi yang berbeda. Menulis itu bukan cuma soal diterima atau ditolak, tapi tentang siapa yang kamu jadiin diri sendiri di sepanjang proses itu. Bukankah itu lebih penting?”

Fadlan terdiam. Kata-kata Rina kembali menggema di benaknya. Ia tahu sahabatnya itu benar, tapi terkadang, rasa frustasi itu terlalu besar untuk bisa diabaikan begitu saja. Mengapa menulis jika tak ada yang peduli? Mengapa berjuang jika hasilnya selalu nihil?

“Aku nggak tahu, Rin. Mungkin aku sudah terlalu lama menunggu sesuatu yang nggak pernah datang,” jawab Fadlan dengan suara pelan, hampir seperti sebuah pengakuan.

“Jangan begitu, Fadlan. Kalau kamu berhenti sekarang, kamu akan menyesal nanti. Jangan biarkan harapan itu hilang cuma karena takut gagal,” kata Rina, nada suaranya tetap penuh semangat.

Fadlan menatap pena yang masih tergeletak di meja. Ia menggenggamnya lagi, seolah mencari kekuatan di sana. Pena itu, meskipun tumpul dan hampir tidak bisa menulis dengan sempurna, masih bisa menuliskan sesuatu. Sesuatu yang mungkin tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata lisan. Mungkin, itulah yang harus ia cari—sesuatu yang tersembunyi di balik setiap goresan pena.

“Baiklah, Rin. Aku akan coba lagi,” kata Fadlan akhirnya, walau masih dengan sedikit keraguan.

“Yess! Itu baru temen! Aku tahu kamu bisa, Fadlan. Ingat, jangan pernah berhenti. Harapan itu ada di ujung pena kamu, percayalah.”

Telepon itu ditutup, dan Fadlan meletakkan ponsel di sampingnya. Ia duduk diam, memandangi pena di tangannya yang seolah menunggu untuk digunakan kembali. Di luar, hujan mulai turun dengan lembut, memberi rasa tenang yang berbeda. Mungkin, ada sesuatu yang bisa ia temukan di dalam setiap tetes hujan, sesuatu yang tidak terlihat tapi bisa dirasakan—seperti harapan yang tak pernah hilang.

Fadlan menarik napas dalam-dalam dan mulai menulis lagi. Kata-kata itu mengalir perlahan, seperti air hujan yang tak terburu-buru. Tidak sempurna, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Mungkin kali ini, ia akan menemukan makna dari perjalanan panjang ini.

 

Langkah Kecil yang Menemukan Cahaya

Beberapa minggu setelah percakapan itu, Fadlan merasa ada yang sedikit berubah dalam dirinya. Tulisan-tulisannya, meskipun masih penuh dengan keraguan, mulai terasa lebih ringan. Ia tak lagi menulis karena ingin mencapai kesempurnaan, tapi karena ia ingin menulis untuk dirinya sendiri. Mungkin, inilah yang Rina maksud dengan menulis untuk diri sendiri, bukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain.

Setiap pagi, Fadlan mulai menulis dengan cara yang berbeda. Ia tak lagi duduk dengan penuh tekanan, mencoba menulis sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, ia menulis dengan rasa ingin tahu, seolah pena itu adalah teman yang setia, bukan alat untuk mencari pengakuan. Tulisan-tulisannya masih terkesan mentah, tapi ada kejujuran dalam setiap kata yang ia tulis.

Pagi itu, seperti biasa, ia duduk di depan meja kerjanya, pena di tangan, menatap kosong layar laptop yang tidak bernyala. Fadlan menarik napas dalam-dalam, mengingat kata-kata Rina tentang pentingnya mencari makna di sepanjang proses, bukan hanya pada hasil akhirnya. Ia merasa ada ketenangan baru dalam dirinya, meskipun belum sepenuhnya bebas dari rasa ragu yang sering datang begitu saja.

Sebuah pesan masuk dari Rina. Fadlan membuka ponselnya, dan membaca dengan saksama.

“Fadlan, aku baru dapat kabar bagus! Buku pertama aku bakal diterbitkan bulan depan! Aku nggak sabar banget!”

Fadlan tersenyum tipis, bahagia untuk Rina, meskipun di sisi lain, rasa cemburu itu tak bisa ia pungkiri. Ia tahu, sahabatnya itu memang punya bakat luar biasa, tetapi tetap saja, saat melihat keberhasilan orang lain, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ia merasa tertinggal, seperti ada sesuatu yang menghalangi langkahnya.

Ia menjawab pesan Rina dengan cepat.

“Selamat, Rin! Itu berita yang luar biasa! Semoga sukses terus, ya.”

Namun, saat ia menatap balasan itu, ada perasaan kosong yang kembali datang. Fadlan merasa terasingkan dalam dunianya sendiri. Ia tahu, Rina telah mencapai tujuannya, sedangkan ia masih terjebak dalam kebuntuan. Mungkin ia terlalu banyak memikirkan tentang kegagalan dan terlalu sedikit berpikir tentang proses itu sendiri.

Tak lama setelah itu, Fadlan mendapat telepon dari sang ibu. Suaranya terdengar penuh kehangatan, seperti biasanya.

“Fadlan, sayang, sudah lama tidak dengar kabar darimu. Gimana tulisanmu? Apa sudah ada perkembangan?”

Fadlan menghela napas, berusaha menutupi ketidakpastian yang melanda dirinya. Ia tak ingin ibunya tahu bahwa ia masih terjebak dalam kebuntuan itu, meskipun ia tahu ibu selalu memberikan dukungan tanpa syarat.

“Masih proses, Bu. Nggak mudah, tapi aku coba. Biar lambat, yang penting aku nggak berhenti,” jawab Fadlan, mencoba terdengar meyakinkan.

“Ibu tahu kamu bisa, Nak. Kamu sudah punya semua yang kamu butuhkan untuk sukses, hanya tinggal waktu yang akan menunjukkan. Jangan terlalu keras pada diri sendiri,” kata ibunya dengan lembut.

“Terima kasih, Bu,” jawab Fadlan, mencoba menguatkan hatinya sendiri. Kata-kata ibunya selalu memiliki kekuatan yang menenangkan, tetapi tetap saja, ia merasa ada sesuatu yang belum tercapai, sesuatu yang sulit digapai.

Setelah menutup telepon, Fadlan kembali duduk di meja kerjanya. Kali ini, ia tidak segera menulis. Sebaliknya, ia menatap langit sore yang mulai gelap, cahaya matahari yang memudar memberikan nuansa keheningan di ruangan itu. Angin malam mulai berhembus masuk melalui jendela yang terbuka sedikit. Fadlan merasa ada sesuatu yang baru saja berubah dalam dirinya, meskipun ia tidak tahu persis apa itu.

Ia menyentuh pena itu lagi, perlahan menuliskan sebuah kalimat di kertas kosong. “Mungkin, aku harus belajar untuk tidak menuntut terlalu banyak.” Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa ada niatan khusus. Tapi setelah menulisnya, Fadlan merasa sedikit lebih ringan.

Malam itu, Fadlan merasa tidak ada lagi yang harus ia kejar. Tidak ada lagi tekanan untuk menulis sempurna. Tidak ada lagi pencarian akan pengakuan. Yang ada hanya dirinya, pena, dan kertas kosong yang memberi ruang untuk menemukan apa yang selama ini hilang—kedamaian.

Saat ia menulis baris demi baris, kata-kata itu mulai mengalir dengan lebih lancar. Seperti air yang mengalir tanpa terbebani oleh beban yang terlalu berat. Ia menulis tentang kehidupan, tentang harapan, tentang perjuangan yang tak selalu berakhir dengan kemenangan. Tetapi yang terpenting, ia menulis tentang dirinya sendiri.

Dan di akhir kalimat, Fadlan menyadari satu hal yang ia tidak pernah benar-benar pahami sebelumnya: Mungkin, harapan itu bukan sesuatu yang harus ditemukan di ujung pena, tetapi dalam setiap langkah kecil yang kita ambil untuk maju, meskipun kadang kita tak tahu kemana kita akan berakhir.

 

Menemukan Diri di Ujung Harapan

Waktu terus berjalan dengan cara yang tak terburu-buru, dan Fadlan merasa seperti akhirnya ia menemukan ritme yang tepat. Setiap hari, ia menulis lebih banyak, tanpa beban. Ia menulis untuk dirinya sendiri, untuk mengeksplorasi dunia yang ada dalam pikirannya, dan bukan lagi untuk mencari pengakuan atau prestasi. Pena itu, yang dulunya terasa seperti beban, kini menjadi sahabat yang selalu ada saat ia membutuhkan cara untuk mengungkapkan segala perasaan yang mengendap di dalam dirinya.

Setelah beberapa bulan, Fadlan memutuskan untuk mengirimkan tulisan-tulisannya ke beberapa penerbit. Tanpa terlalu berharap banyak, ia melakukannya sebagai sebuah eksperimen, bukan lagi sebagai langkah yang mengharuskannya mendapatkan balasan positif. Kali ini, ia hanya ingin mencoba. Tulisan-tulisan itu adalah potongan dari perjalanan dirinya, potongan yang ia pilih untuk dibagikan, tanpa ekspektasi apapun.

Suatu pagi, setelah beberapa minggu mengirimkan naskahnya, Fadlan menerima email dari salah satu penerbit yang ia kirimkan tulisannya. Hatinya berdebar-debar saat membuka email itu, meskipun ia mencoba untuk tetap tenang. Kalimat pertama dari email itu mengubah arah hidupnya.

“Kami tertarik untuk menerbitkan naskah Anda.”

Fadlan tertegun, seolah kata-kata itu baru saja membuat seluruh dunia berhenti sejenak. Ia membaca ulang kalimat itu beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak salah baca. Setiap kata dalam email itu terasa seperti hadiah, bukan hanya untuk tulisan yang ia kirimkan, tetapi untuk semua waktu dan usaha yang telah ia curahkan selama ini. Ia bukan hanya menulis untuk sebuah tujuan atau untuk mengejar kesuksesan, tetapi untuk menemukan dirinya sendiri. Dan kini, dunia memberi tanggapan.

Ia tersenyum, pertama kali dalam waktu yang lama, tanpa ada keraguan atau rasa takut. Rina, yang beberapa kali memberi semangat dan mendorongnya untuk terus maju, pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini. Tapi, yang lebih penting, Fadlan tahu bahwa dirinya sendiri yang paling bahagia, karena ia akhirnya bisa menemukan alasan yang lebih dalam untuk menulis. Itu bukan lagi untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri.

Beberapa minggu setelah itu, buku pertama Fadlan akhirnya diterbitkan. Meskipun itu bukan sebuah kesuksesan yang luar biasa besar, tetapi baginya, itu adalah pencapaian yang jauh lebih bermakna. Ia tidak mengukur keberhasilannya dengan seberapa banyak buku yang terjual atau seberapa banyak pengakuan yang diterima. Bagi Fadlan, ini adalah tentang perjalanan yang penuh dengan rintangan dan kebuntuan, tetapi akhirnya berujung pada sesuatu yang lebih bermakna—penemuan diri.

Di suatu sore, saat ia duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir teh, Fadlan merenung. Ia menyadari bahwa menulis bukan tentang mencari pengakuan dunia, tetapi tentang menemukan diri di dalam setiap kalimat yang tertulis. Setiap kata adalah potongan dari dirinya yang ia berikan kepada dunia, dan dunia, dengan cara yang tak terduga, memberikan balasan.

Ia menatap pena di tangannya. Mungkin ujung pena itu selalu membawa harapan, tapi tidak dalam arti yang Fadlan kira selama ini. Harapan itu tidak ada di ujung pena, tetapi dalam setiap langkah yang ia ambil, dalam setiap keputusan yang ia buat untuk terus bergerak maju meskipun tidak ada yang tahu arah yang pasti.

Akhirnya, Fadlan menemukan sebuah kedamaian yang selama ini ia cari. Tidak ada lagi rasa takut gagal, tidak ada lagi keraguan tentang apakah ia pantas atau tidak untuk menjadi penulis. Ia tahu, sekarang, bahwa harapan itu bukan hanya untuk yang berani, tetapi juga untuk yang terus bertahan, meskipun ujung pena itu terasa begitu tumpul.

Dengan senyuman kecil di wajahnya, Fadlan kembali menulis. Karena, untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa ia menulis bukan hanya untuk dunia, tetapi untuk dirinya sendiri.

 

Jadi, kalau kamu lagi merasa stuck atau nggak tahu harus kemana, ingat aja, kadang harapan itu bukan di ujung yang kita bayangin, tapi ada di setiap langkah kecil yang kita ambil. Nggak usah buru-buru, nggak usah pusingin apa yang orang lain pikirin. Yang penting, kamu terus maju dan nulis cerita hidupmu, karena siapa tahu, cerita kamu bisa jadi lebih keren dari yang kamu bayangin. Keep going, ya!

Leave a Reply