Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasa jadi bagian dari sebuah rumah besar, yang di luar kelihatan sempurna, tapi di dalamnya penuh rahasia yang nggak kelihatan?
Nah, di cerpen ini, kamu bakal diajak ke dunia dapur nyonya besar, tempat di mana hidangan lezat bukan satu-satunya hal yang bikin dunia itu berputar. Kalau kamu pikir hidup di rumah mewah cuma tentang ketenangan dan kenyamanan, siap-siap deh, karena semuanya nggak seperti yang kamu bayangin!
Dapur Nyonya Besar
Pintu Besar Menuju Dapur
Hari itu terasa lebih panas dari biasanya. Sakina, gadis muda berusia dua puluh tahun, menjejakan kakinya pertama kali di rumah keluarga Anggoro yang besar itu. Rumah itu tidak hanya besar, tapi megah, dengan halaman luas yang tampak terawat sempurna. Pintu besar yang tertutup rapat memisahkan dunia luar dengan dunia dalam yang penuh rahasia.
Sakina berdiri di halaman depan, melihat kesibukan pelayan-pelayan yang berlalu lalang, sebagian di antaranya membawa bakul berisi bahan-bahan makanan segar. Di dekat pintu masuk, ada patung marmar setinggi dua meter yang tampak gagah, sementara pohon-pohon besar di sekitarnya melindungi halaman dari terik matahari. Setiap sudut rumah ini seakan memiliki cerita tersendiri. Namun, yang paling menarik baginya adalah sebuah tempat yang berada jauh di belakang—dapur besar yang tak pernah ia bayangkan.
“Dari dulu aku cuma dengar cerita tentang dapur itu. Dapur milik Nyonya Besar,” gumamnya pelan, melangkah lebih dalam menuju pintu belakang rumah.
Pintu belakang itu lebih sederhana, dengan pintu kayu besar yang sudah mulai usang, namun tetap terlihat kokoh. Sakina memegang gagang pintu dengan tangan gemetar, sedikit ragu. Di dalam, suara percakapan pelayan dan suara panci yang beradu menggema ke luar, memberi pertanda bahwa dapur itu tidak seperti yang ia bayangkan. Ini bukan tempat biasa.
Saat pintu terbuka, Sakina langsung disambut oleh aroma rempah yang memenuhi udara. Begitu kuatnya, aroma itu seakan membawa ke tempat yang jauh, ke dalam kenangan-kenangan masa kecilnya yang penuh kehangatan. Di hadapannya, terbentang sebuah dapur besar dengan meja marmer putih, rak-rak penuh peralatan dapur berkilauan, dan kompor kayu besar yang menyala di sudut.
“Selamat datang, Nak,” suara lembut itu datang dari arah kiri. Mbok Sri, kepala dapur yang sudah bekerja di rumah ini selama puluhan tahun, muncul dari balik rak besar berisi bumbu-bumbu. Tubuhnya subur, wajahnya ramah dengan senyum yang selalu menyenangkan siapa saja yang melihatnya.
“Ah, Mbok Sri. Terima kasih sudah menunggu saya,” kata Sakina sambil menundukkan kepala.
“Gak usah sungkan. Di sini kita semua keluarga,” jawab Mbok Sri sambil tertawa kecil. “Sini, kamu pasti lapar kan? Duduk dulu, aku akan ambilkan makan.”
Sakina hanya bisa tersenyum malu, perutnya memang sudah mulai keroncongan. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Sakina lebih dari sekadar makanan.
“Dapur ini… besar sekali, Mbok,” ujarnya pelan, matanya berkeliling, melihat betapa luasnya dapur itu.
Mbok Sri mengangguk, mata tuanya berkilau bangga. “Ini dapur yang sudah jadi bagian dari keluarga Anggoro. Dulu, Nyonya Arlena suka banget masak di sini. Sejak kecil, dia sudah dekat dengan ibunya yang juga seorang juru masak handal.”
Sakina mendengarkan dengan seksama. Ia tidak tahu kalau dapur ini memiliki sejarah seindah itu.
“Dan aku di sini, terus menjaga dapur ini tetap seperti dulu. Nyonya sangat menjaga tradisi memasak. Setiap hidangan yang keluar dari sini, bukan hanya sekadar untuk makan, tapi juga untuk menyatukan keluarga.”
Sakina terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Mbok Sri. Terkadang, sebuah dapur bisa lebih dari sekadar tempat memasak. Ia bisa menjadi tempat di mana banyak hal penting terjadi—di sana rasa kasih sayang tercipta, dan di sana juga banyak rahasia hidup ditemukan.
Tak lama setelah itu, Sakina diberi tugas pertama. “Kamu coba masak sambal goreng tahu, ya? Nyonya suka yang pedas.”
Sakina mengangguk, meskipun sedikit gugup. Ia baru pertama kali bekerja di dapur besar seperti ini. Bahan-bahan sudah disiapkan oleh Mbok Sri, dan tinggal bagaimana dia menyusun langkah-langkahnya.
“Tenang saja. Jika ada yang perlu kamu tanya, tanya aja langsung. Nyonya tidak suka kalau kita bingung tapi tidak bertanya,” kata Mbok Sri sambil menyusun piring-piring bersih di atas meja.
Dengan hati-hati, Sakina memotong tahu dan menyiapkan bahan lainnya. Tangannya sedikit gemetar, namun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Pekerjaan di dapur ini tidak boleh sembarangan.
Di luar jendela dapur, suara cicada terdengar begitu jelas, menambah suasana yang seolah membungkus Sakina dalam dunia yang sepenuhnya baru. Sebuah dunia yang tak hanya penuh pekerjaan, tetapi juga penuh dengan harapan, cerita, dan rahasia yang tersembunyi.
Tiba-tiba, langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Sakina mendongak, dan dia melihat seorang wanita berdiri di ambang pintu dapur. Wanita itu mengenakan gaun berwarna pastel dengan apron putih, rambutnya disanggul rapi, dan senyumnya memancarkan kehangatan. Nyonya Arlena.
“Ah, ini dia pembantu baru yang Mbok Sri ceritakan,” kata Nyonya Arlena sambil melangkah masuk ke dapur, suaranya lembut namun tetap tegas. “Kamu Sakina, ya?”
Sakina terkejut, sedikit gugup. “Iya, Nyonya.”
“Bagus, bagus. Jangan khawatir, aku hanya ingin melihat apakah kamu nyaman di sini. Mbok Sri, aku ingin coba resep baru hari ini. Bisa bantu siapkan bahan-bahannya?”
Mbok Sri mengangguk penuh semangat. “Tentu, Nyonya. Aku akan segera siapkan.”
Sakina merasa sedikit canggung di bawah tatapan Nyonya Arlena, tetapi ada sesuatu dalam pandangan itu yang membuatnya merasa diterima, seolah ia memang bagian dari sesuatu yang lebih besar.
“Nyonya Arlena, saya akan berusaha sebaik mungkin,” kata Sakina dengan suara pelan.
Nyonya Arlena tersenyum. “Aku tahu. Jangan khawatir, dapur ini akan mengajarkan banyak hal padamu. Di sini, kita belajar banyak hal tentang kehidupan.”
Sakina hanya bisa tersenyum, meskipun hatinya penuh dengan rasa penasaran. Apa yang sebenarnya ada di balik dapur ini? Apa yang membuat Nyonya Arlena begitu mencintai setiap sudutnya?
Namun, satu hal yang pasti—Dapur Nyonya Besar ini bukanlah tempat biasa. Di sini, kehidupan dan cerita akan terus mengalir.
Pelajaran di Balik Sendok Kayu
Sakina mulai terbiasa dengan rutinitas dapur yang tak pernah sepi. Setiap pagi, sesaat setelah matahari terbit, dia sudah harus siap menghadap meja kayu besar dengan bahan-bahan yang tertata rapi di atasnya. Mbok Sri selalu menjadi sosok pertama yang hadir di dapur, memberikan instruksi dengan sabar, bahkan ketika Sakina merasa seolah-olah semuanya berjalan begitu cepat.
“Pagi, Nak. Hari ini kita akan bikin opor ayam. Nyonya suka sekali opor buatan kita, terutama yang kamu buat kemarin, sambal goreng tahu,” ujar Mbok Sri dengan senyum lebar.
Sakina hanya bisa tersenyum kecil. Tidak mudah mempelajari resep-resep rumit, apalagi saat harus memasak untuk keluarga sekelas keluarga Anggoro. Dia yang sebelumnya hanya masak sederhana di kampung, kini harus menghadapi tantangan besar di dapur megah ini.
“Nanti, kamu akan bantu aku menyiapkan ayamnya. Tapi, ingat—rasanya harus pas, tidak boleh lebih pedas atau kurang. Nyonya sangat memperhatikan hal-hal kecil seperti itu,” tambah Mbok Sri sambil mengukur bumbu dengan teliti.
Sakina mengangguk, berusaha untuk lebih fokus. Namun, meski sudah belajar sedikit demi sedikit, ia merasa masih banyak yang harus dipelajari. Setiap langkah yang dilakukan di dapur besar ini seakan terasa lebih rumit dibandingkan dengan yang ia bayangkan.
“Mbok, bagaimana cara agar ayamnya tetap empuk tapi bumbunya meresap sempurna?” tanya Sakina, mencoba untuk lebih mendalami ilmu memasak.
Mbok Sri berhenti sejenak, menatap Sakina dengan mata penuh kebijaksanaan. “Sabar, Nak. Dapur ini mengajarkan kita untuk sabar. Bumbu harus diberi waktu untuk menyatu dengan bahan-bahannya. Sama seperti hidup, kalau kamu terburu-buru, rasa akan hilang. Prosesnya harus dijalani dengan penuh perhatian.”
Sakina mengangguk, mencoba menyerap nasihat itu dengan baik. Mbok Sri kemudian mulai mengajarkan Sakina bagaimana meracik bumbu opor yang pas, menggunakan rempah-rempah segar yang ada di dapur. Wangi jahe, kunyit, dan serai yang menyatu dalam wajan membuat Sakina merasa seolah-olah berada di dunia lain, jauh dari kesibukan yang biasa ia hadapi di kampung.
“Tapi, Mbok… kenapa Nyonya Arlena selalu memasak sendiri di sini?” Sakina bertanya dengan hati-hati, rasa penasaran sudah menggerogoti pikirannya sejak beberapa hari yang lalu.
Mbok Sri tersenyum tipis, meletakkan sendok kayu yang ia pegang di samping panci besar. “Itu bukan hanya soal memasak, Nak. Nyonya Arlena punya alasan tersendiri. Dapur ini adalah tempat di mana ia merasa terhubung dengan neneknya, yang dulu juga sering memasak di sini. Mungkin, itu kenapa ia tidak ingin orang lain menggantikan tempatnya di dapur ini.”
Sakina merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari penjelasan Mbok Sri, namun dia tidak berani bertanya lebih jauh. Di sini, semua orang seperti tahu batasan untuk tidak mencampuri urusan pribadi Nyonya Arlena. Namun, rasa ingin tahunya terus membesar.
Siang itu, ketika Nyonya Arlena datang ke dapur untuk memeriksa hasil masakan, Sakina merasakan ketegangan yang tak biasa. Wanita itu datang dengan pakaian sederhana, gaun berwarna krem yang tampak anggun, tanpa riasan berlebihan. Rambutnya disanggul rapi, dan senyum manis di wajahnya membuat Sakina merasa tenang sekaligus terintimidasi.
“Nyonya Arlena,” Sakina menyapa dengan hati-hati.
“Hmm, apa kabar, Sakina?” Nyonya Arlena melangkah mendekat, melihat dengan seksama hidangan yang telah disiapkan. “Opornya terlihat bagus, Mbok Sri. Tapi… kamu tahu, ada satu hal yang harus dipelajari Sakina di sini.”
Sakina menunggu dengan penuh harap. Nyonya Arlena berhenti sejenak, menatapnya tajam. “Hidangan ini harus mengandung jiwa. Bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang perasaan yang kamu masukkan ke dalamnya. Jika kamu masak dengan penuh perhatian dan rasa sayang, itu akan terasa oleh orang yang makan.”
Sakina tertegun. Pernahkah ia memasak dengan penuh perhatian dan rasa sayang? Rasanya selama ini, masakannya hanya sekedar untuk makan.
“Nyonya, aku… akan belajar lebih banyak lagi,” ucapnya perlahan, mencoba menanggapi kata-kata Nyonya Arlena dengan penuh kesungguhan.
“Baiklah. Tapi ingat, dapur ini bukan hanya tentang bumbu dan masakan. Ini adalah tempat di mana cerita keluarga Anggoro dimulai, tempat kami berkumpul dan berbagi, tempat yang lebih dari sekadar tempat memasak.” Nyonya Arlena kemudian melangkah keluar dari dapur dengan langkah anggun, meninggalkan Sakina yang masih terdiam, memikirkan kata-kata itu.
Mbok Sri yang melihat kebingungannya, mendekat dan meletakkan tangan di bahunya. “Jangan terburu-buru, Nak. Nyonya itu memang misterius, tapi dia baik. Jika kamu sabar, dia akan mengajarkan banyak hal tentang kehidupan ini.”
Hari demi hari berlalu, dan Sakina semakin banyak belajar tentang dapur itu, tentang Nyonya Arlena, dan tentu saja, tentang dirinya sendiri. Setiap masakan yang ia buat semakin terasa lebih personal. Ia tidak hanya memasak untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga mulai merasakan bahwa dapur ini telah mengajarkan dirinya untuk lebih sabar, untuk lebih peduli dengan setiap langkah yang diambil.
Namun, Sakina merasa masih ada banyak hal yang belum dia pahami tentang keluarga ini. Setiap kali Nyonya Arlena berada di dapur, ada semacam misteri yang mengelilinginya, seolah-olah ia menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah diungkapkan kepada siapa pun.
Dapur besar ini semakin terasa seperti labirin—tempat di mana kisah-kisah bersembunyi, menunggu untuk ditemukan. Dan Sakina tahu, setiap langkah yang ia ambil, semakin banyak rahasia yang akan terungkap.
Jejak Langkah di Lantai Marmer
Hari-hari di rumah keluarga Anggoro mulai berjalan lebih cepat dari yang Sakina kira. Setiap pagi, dapur yang luas dan penuh dengan berbagai peralatan masak itu kini terasa semakin akrab. Sakina mulai mengenali setiap sudutnya, dari rak-rak bumbu yang teratur hingga lantai marmer yang mengkilap. Namun, ada satu hal yang belum juga bisa ia pahami sepenuhnya—Nyonya Arlena.
Terkadang, Sakina melihat wanita itu berdiri lama di jendela dapur, menatap jauh ke luar, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kadang, Nyonya Arlena tampak begitu jauh, seolah menghindari pertanyaan yang sering dilontarkan oleh Sakina atau Mbok Sri.
Pagi itu, seperti biasa, Sakina dan Mbok Sri sibuk menyiapkan sarapan. Saat sedang memotong sayuran, Sakina melihat sosok Nyonya Arlena memasuki dapur. Namun, kali ini ia tidak langsung menuju meja makan atau ke jendela. Nyonya Arlena datang dengan langkah yang lebih pasti, langsung menuju meja kerja.
“Pagi, Nyonya,” ucap Sakina, sedikit terkejut melihat kedatangan Nyonya Arlena yang tampaknya memiliki tujuan jelas.
“Pagi, Sakina. Aku ingin kamu membuatkan sambal terasi yang lebih pedas hari ini,” jawab Nyonya Arlena sambil meletakkan keranjang kecil berisi tomat dan cabai di meja.
Sakina mengangguk, mengerti betul apa yang dimaksud. Ia sudah sering membuat sambal terasi untuk keluarga Anggoro, tetapi kali ini terasa berbeda. Ada ketegangan yang mengalir di udara, seolah-olah Nyonya Arlena sedang menunggu sesuatu.
“Apakah ada yang ingin Nyonya tambahkan dalam sambal kali ini?” Sakina bertanya, mencoba memecah keheningan yang mulai terasa canggung.
Nyonya Arlena menatap Sakina dengan mata yang tidak begitu tajam, namun cukup dalam untuk membuat Sakina merasa terkejut. “Kadang, kita hanya perlu pedasnya untuk merasakan hidup lebih nyata,” jawabnya pelan, seperti memikirkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar masakan.
Sakina merasa kalimat itu bukan hanya tentang sambal. Ada sesuatu yang lebih tersembunyi, sebuah perasaan yang Nyonya Arlena coba sembunyikan. Tapi, Sakina tidak berani bertanya lebih lanjut. Ia memilih untuk menyiapkan bahan sambal seperti yang biasa ia lakukan, meskipun rasa penasaran terus menggeliat di dalam hatinya.
Ketika sambal terasi yang dimasaknya akhirnya selesai, Nyonya Arlena mencicipinya dengan seksama. “Baik,” ujarnya, tidak banyak berkomentar. Namun, Sakina bisa melihat senyum kecil di sudut bibirnya. “Sakina, kamu semakin hari semakin pintar.”
Pujian itu terasa luar biasa bagi Sakina, meskipun ia tahu itu hanya sedikit dari banyak hal yang harus ia pelajari. Namun, dalam hatinya, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih, sebuah hubungan yang lebih dari sekadar pembantu dan nyonya.
Di saat yang sama, Mbok Sri yang sedang menata piring di meja makan menghampiri mereka. “Nyonya Arlena, kalau kamu sudah selesai mencicipi sambalnya, mari kita sarapan.”
Sakina ikut mengangkat piring dan membawa hidangan ke meja makan, tempat di mana keluarga Anggoro biasa berkumpul. Namun, pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Sakina merasa semakin dekat dengan Nyonya Arlena, meskipun masih ada jarak yang sulit dijelaskan.
Mereka duduk bersama di meja makan, meskipun percakapan hanya terbatas pada hal-hal ringan, seperti cuaca dan pekerjaan rumah. Namun, Sakina mulai merasakan adanya kehangatan yang tidak ada sebelumnya. Nyonya Arlena yang biasanya terlihat dingin, kini tampak lebih terbuka, meskipun masih ada banyak hal yang tidak diungkapkan.
Usai sarapan, Nyonya Arlena berdiri dan mengambil beberapa lembar kertas dari laci meja. “Sakina,” katanya dengan nada serius. “Aku ingin kamu membantuku dengan sesuatu yang lebih penting hari ini.”
Sakina menatapnya dengan bingung. “Apa itu, Nyonya?”
“Aku ingin kamu membersihkan ruang tamu depan,” jawab Nyonya Arlena. “Dan pastikan semuanya tampak sempurna. Kita akan kedatangan tamu penting.”
Sakina terkejut, tetapi tidak berani bertanya lebih jauh. “Baik, Nyonya. Aku akan segera melakukannya.”
Namun, saat ia bersiap untuk pergi, Nyonya Arlena menambahkan, “Tamu itu akan membawa cerita penting bagi keluarga ini, Sakina. Jadi pastikan kamu melakukan semuanya dengan hati-hati.”
Sakina hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya rasa penasaran semakin besar. Siapa tamu itu? Apa yang begitu penting bagi keluarga Anggoro sampai harus diungkapkan dengan begitu penuh perhatian?
Ketika Sakina masuk ke ruang tamu, ia merasa atmosfer rumah itu semakin terasa berat. Lantai marmer yang berkilau, lukisan-lukisan besar di dinding, dan dekorasi yang sangat rapi—semuanya tampak begitu sempurna, seolah rumah ini tidak pernah mengalami kekacauan. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia lepaskan dari pikirannya: misteri yang mengelilingi Nyonya Arlena.
Seiring Sakina membersihkan ruang tamu, ia tidak bisa menahan diri untuk membayangkan apa yang akan terjadi ketika tamu itu datang. Apakah itu akan mengubah segalanya? Dan jika benar, apakah Sakina siap untuk menghadapi perubahan yang akan datang bersama tamu itu?
Dia tak tahu jawabannya, tapi satu hal yang pasti—hidup di dapur Nyonya Arlena semakin memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada yang ia bayangkan.
Menuju Titik Balik
Pagi itu, rumah keluarga Anggoro terasa berbeda. Suasana di ruang tamu yang sebelumnya selalu penuh dengan keheningan dan ketenangan kini dipenuhi oleh kecanggungan yang sulit diabaikan. Sakina yang sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk masakan siang hari merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu. Nyonya Arlena telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat hati-hati, memastikan setiap sudut rumah bersih dan rapi. Semua hal tampaknya menuntut kesempurnaan.
Namun, bukan hanya rumah yang terasa berbeda. Sakina mulai merasakan perubahan dalam dirinya sendiri. Keadaan di dapur yang awalnya hanya sebuah rutinitas harian, kini memiliki bobot yang lebih besar. Ia tidak lagi sekadar memasak untuk keluarga Anggoro, melainkan menjadi bagian dari suatu cerita yang belum sepenuhnya ia pahami.
Saat ia sedang mengaduk sup di atas kompor, Mbok Sri datang menghampiri dengan wajah yang lebih serius dari biasanya.
“Sakina, kamu harus siap-siap. Tamu itu sudah hampir tiba,” kata Mbok Sri pelan, seolah berbicara pada Sakina agar tidak menarik perhatian orang lain.
Sakina hanya mengangguk, meskipun rasa ingin tahunya semakin besar. “Tamu itu siapa, Mbok?” tanyanya, meskipun tahu bahwa mungkin pertanyaan itu akan membuatnya semakin bingung.
Mbok Sri tersenyum tipis. “Kamu akan tahu sebentar lagi, Nak. Tapi ingat, apapun yang terjadi, jangan sampai ada yang salah di sini. Keluarga Anggoro sangat menjaga nama baik mereka.”
Sakina merasa seolah ada beban berat yang dijatuhkan di atas pundaknya, meskipun ia hanya seorang pembantu. Namun, ia tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, ia harus menjalani hari itu dengan sebaik-baiknya.
Beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar dari halaman rumah. Sakina berhenti sejenak, menatap Mbok Sri yang memberi isyarat agar ia kembali bekerja. Dengan langkah ringan, ia melangkah ke ruang tamu, tempat di mana Nyonya Arlena telah menunggu dengan penuh perhatian.
Tamu itu akhirnya tiba—seorang pria berusia sekitar empat puluhan yang tampak rapi, dengan jas hitam dan dasi yang terikat rapi di lehernya. Wajahnya tampak familiar bagi Sakina, meskipun ia tidak tahu pasti siapa dia. Nyonya Arlena menyambut tamu itu dengan senyum yang terkesan hangat, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Tidak seperti biasanya, Nyonya Arlena kali ini tampak lebih terbuka, namun ada ketegangan yang jelas tergambar di wajahnya.
Sakina mengamati dengan cermat. Pria itu memberikan isyarat dengan mata kepada Nyonya Arlena, seolah ada kesepakatan yang sedang dibuat. Mereka berbicara dengan nada rendah, seolah tidak ingin didengar oleh siapapun. Sakina merasa langkahnya semakin berat saat ia mendekati mereka, meskipun ia hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar.
“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Sakina bertanya dengan suara yang pelan, mencoba memastikan peranannya dalam situasi ini.
Nyonya Arlena menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Sakina, bawa hidangan makan siang ini ke ruang makan. Tamu ini akan tinggal untuk beberapa waktu,” kata Nyonya Arlena dengan nada yang serius.
Sakina mengangguk dan langsung melangkah ke dapur. Tangannya bergetar sedikit saat membawa hidangan itu, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Di luar dugaan, ia merasa ada sesuatu yang sedang berubah, sesuatu yang lebih besar dari apa yang bisa ia pahami.
Ketika ia kembali ke ruang makan, Nyonya Arlena dan tamu itu sudah duduk, berbicara dalam suara yang lebih keras. Sakina tidak bisa mendengarkan setiap kata, tetapi ada nada yang serius dalam percakapan mereka. Sesekali, pria itu menatap Sakina dengan tatapan yang begitu dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu, meskipun ia hanya pembantu.
Hidangan itu pun disajikan. Pria itu mencicipinya dengan perlahan, menilai dengan seksama. Setelah beberapa detik, ia mengangguk puas. “Nyonya, makanan ini sangat luar biasa. Benar-benar sebuah kenikmatan.”
Sakina merasa ada sesuatu yang mengendap di dalam hatinya. Kenapa perasaan ini datang? Kenapa jantungnya berdetak lebih kencang setiap kali pria itu berbicara? Seolah-olah ia terperangkap dalam suatu permainan yang tidak ia pahami, tetapi ia tahu satu hal—hidupnya di dapur ini tidak akan pernah sama lagi.
Sementara itu, Nyonya Arlena hanya tersenyum tipis. “Kami akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Terima kasih, Sakina, untuk hidangannya,” katanya dengan lembut.
Setelah makan selesai, tamu itu berdiri dan memberi salam perpisahan. “Nyonya Arlena, terima kasih atas sambutannya. Saya rasa semuanya akan berjalan lancar.”
Pria itu menatap Sakina sekali lagi, kali ini dengan lebih jelas, seperti menyampaikan pesan tanpa kata-kata. Ketika ia berbalik untuk pergi, Sakina merasa ada sesuatu yang mengalir di dalam dirinya—rasa penasaran yang tak bisa ia bendung. Apa yang sedang disembunyikan oleh keluarga Anggoro?
Tak lama setelah tamu itu pergi, Nyonya Arlena berdiri dan mendekati Sakina. “Sakina, kamu mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Tapi ingat, kehidupan kita tidak selalu sesederhana yang kamu lihat.”
Sakina merasa sebuah beban yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apa yang akan terjadi setelah hari ini? Apakah hidupnya di rumah besar ini akan tetap seperti ini, atau akan ada lebih banyak rahasia yang harus ia temui? Ia tak tahu jawabannya. Tapi satu hal yang ia yakini—hidupnya telah memasuki babak baru, di mana ia tidak bisa lagi sekadar mengikuti alur tanpa bertanya.
Dan, saat pintu rumah tertutup rapat setelah tamu itu pergi, Sakina merasakan adanya perubahan yang nyata dalam dirinya. Sesuatu telah terbangun, sesuatu yang tidak bisa ia hindari lagi. Rumah ini, dapur yang penuh dengan kenangan dan aroma masakan, kini menjadi tempat di mana banyak pertanyaan tak terjawab akan menemukan jawabannya.
Jadi, gimana menurut kamu? Dapur Nyonya Besar ternyata nggak sekadar tempat masak, kan? Di balik setiap piring yang disajikan, ada kisah yang lebih besar, penuh rahasia, dan perubahan yang nggak terduga.
Mungkin kita semua punya peran di dalamnya, meski kadang kita nggak tahu seberapa dalam kita terjebak dalam cerita itu. Tapi satu hal yang pasti, setiap hidangan punya cerita, dan di rumah besar ini, cerita itu masih jauh dari selesai.