Cinta Tak Terduga di Tempat Parkir: Cerita Romantis dan Konyol yang Membuat Jatuh Cinta

Posted on

Siapa sangka, di tempat parkir yang biasa banget buat parkir mobil, bisa muncul cerita cinta yang gak biasa? Ya, begitulah kisah ini. Gak ada yang nyangka bakal ada hal-hal konyol dan romantis yang nyelip di antara mobil-mobil yang terparkir rapi.

Tapi, inilah dia, cinta datang tanpa diundang, dan tempat parkir pun jadi saksi bisunya. Yuk, simak gimana dua orang yang nggak ada hubungannya bisa ketemu, ngobrol, dan mulai berbunga-bunga hatinya!

 

Cinta Tak Terduga di Tempat Parkir

Peluit yang Memulai Cerita

Siang itu, aku seperti biasa, melangkah keluar dari kafe setelah jam sibuk siang. Mal sudah hampir penuh sesak dengan pengunjung, dan aku segera berjalan menuju mobilku, yang terparkir di tempat yang tak jauh dari pintu masuk.

Aku tahu, banyak tukang parkir yang sudah mengenali mobilku. Sedan putihku selalu menjadi perhatian. Tapi, hari itu ada yang berbeda.

Aku baru saja meraih pegangan pintu mobil ketika suara peluit yang keras dan tajam mengagetkanku.

“Eh?!” Aku menoleh ke arah suara itu, dan segera bertemu dengan sosok pria yang berdiri di depan tempat parkir.

“Bu, kamu hati-hati! Itu tempat parkir, bukan lintasan balap!” teriaknya dengan nada setengah memerintah.

Aku menatapnya dengan wajah cemberut. Lalu, aku menurunkan kaca mobil sedikit, untuk memastikan aku tidak salah dengar. Pria itu mengenakan rompi oranye lusuh yang sudah mulai pudar warnanya. Gaya bicara dan sikapnya memang seperti orang yang biasa dengan pekerjaannya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak sedikit tertawa.

“Peluitmu lebih kencang daripada klaksonku, tau!” jawabku dengan nada menggoda.

Dia terdiam sejenak. Rasanya, ada beberapa detik di mana kami saling bertatapan, dan entah kenapa, aku merasa aneh. Aku bukan tipe yang mudah terpengaruh oleh orang yang baru kukenal, tapi ada sesuatu tentang cara dia menatapku yang membuat aku merasa… aneh.

Tiba-tiba, dia tertawa pelan. “Maaf, Bu. Aku cuma nggak mau ada yang nabrak motor di sini.”

Aku sedikit melonggarkan mulut, masih terkejut dengan jawabannya yang lebih santai daripada yang kukira. “Hmm… Yaudah, lain kali jangan teriak gitu. Kalau orang sampai kaget, bisa jatuh.”

Dia mengangguk, tetap dengan ekspresi serius, tapi ada sedikit senyum di ujung bibirnya yang mulai terlihat. “Iya, Bu. Nggak akan teriak lagi.”

Aku merasa sedikit aneh. Seharusnya aku marah, atau setidaknya agak kesal, tapi malah ada perasaan lucu yang aku coba tahan. Aku menghela napas dan akhirnya menutup kaca mobil. Pria itu masih berdiri di sana, menunggu aku bergerak.

Aku menyalakan mesin mobilku, lalu memundurkan mobil dengan hati-hati, berharap dia tidak lagi memanggil atau memberi instruksi. Tetapi, sebelum aku benar-benar bisa pergi, dia tiba-tiba menyebut nama mobilku dengan lantang.

“Sedan putih, tiga baris, rapi!”

Aku sedikit bingung dan berhenti sejenak. “Hah? Apa?”

Dia berjalan mendekat, mengangkat tangan dengan ekspresi serius namun sedikit lucu, seperti dia sedang menulis daftar tugas. “Mobilnya rapi banget. Kamu parkirnya udah pas banget, tanpa gores sedikit pun. Aku cuma komentarin aja, karena mobilmu keren.”

Sekilas, aku bisa melihat dia sedang berusaha tetap santai, meskipun aku merasa dia agak… kikuk. Aku mengangkat alis, sedikit bingung. “Hmm… Terima kasih, ya… Kalau begitu,” jawabku, mencoba mencari cara untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut.

Dia mengangguk, lalu berbalik, berjalan kembali ke tempatnya semula. Aku melaju pelan, dan aku tidak bisa menahan diri untuk sedikit tersenyum.

Beberapa hari berlalu sejak itu, dan aku tidak berpikir akan bertemu lagi dengannya. Namun, setiap kali aku datang ke tempat parkir, dia selalu ada di sana, di antara deretan tukang parkir lainnya. Sama seperti hari pertama itu, dia tetap mengenakan rompi oranye lusuh yang hampir tak terlihat perbedaannya. Dan setiap kali mobilku melintas, dia selalu memberi instruksi dengan suara tegas.

Aku mulai terbiasa dengan kebiasaannya. Sepertinya dia selalu ada di sana, tidak peduli jam berapa aku datang, tidak peduli seberapa penuh mal ini. Mungkin dia hanya menjalani rutinitasnya, sama seperti aku yang datang dan pergi setiap hari, berkeliling mal untuk mengurus kafe.

Suatu pagi, aku terkejut ketika dia datang menghampiriku dengan ekspresi serius. “Bu, mobil kamu ada goresan di pintu kiri belakang.”

Aku langsung melompat keluar dari mobil, melihat dengan cermat area yang dia tunjuk. “Serius? Goresan kecil begini bisa bikin orang panic.”

Dia mengangguk dengan serius. “Aku bisa bantu poles. Cuma goresan kecil.”

“Poles? Kamu tahu caranya?” tanyaku, sedikit skeptis.

Dia tertawa kecil. “Tentu. Aku dulu pernah kerja di bengkel.”

Aku bingung. “Bengkel?”

“Iya, aku pernah bantuin temen-temenku di bengkel. Nggak susah sih, cuma butuh alat aja.”

Aku menatapnya dengan ragu, tapi akhirnya setuju juga. “Oke deh, kalau begitu. Tapi jangan ada tambahan biaya ya. Gratis kan?”

Dia cuma tersenyum lebar. “Gratis kok. Aku cuma suka lihat mobil yang mulus.”

Selama beberapa menit, dia mulai bekerja dengan cepat. Aku duduk di dekat mobil, memperhatikannya dengan rasa heran. Ternyata, ada sisi lain dari pria ini yang tidak aku duga. Dia lebih bisa diandalkan dari yang aku kira. Dengan penuh perhatian, ia menggosok bagian goresan sampai hampir tidak terlihat.

“Ada apa? Udah selesai?” tanyaku setelah beberapa menit.

Dia mengangguk. “Iya, Bu. Sudah halus, kok.”

Aku sedikit menatap hasil kerjanya, lalu menoleh padanya. “Kamu tahu nggak, ini pertama kalinya aku merasa nyaman banget sama orang asing.”

Dia tersenyum tanpa berkata apa-apa. Itu adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar goresan di pintu mobil. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu kapan tepatnya mulai bersemi.

 

Kopi, Camilan, dan Goresan Kecil

Hari-hari setelah pertemuan itu berlalu dengan cepat. Setiap kali aku datang ke tempat parkir, Tama—pria dengan rompi oranye lusuh itu—selalu ada di sana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya, meskipun kami tidak banyak bicara. Namun, anehnya, ada sesuatu yang membuatku ingin berlama-lama di sana, menunggu momen itu tiba.

Suatu sore, aku tiba lebih awal dari biasanya. Seperti biasa, aku mencari tempat parkir yang kosong, lalu melaju pelan menuju ruang yang sudah dikenal. Tama berdiri di sudut, tampak sibuk dengan ponselnya. Saat mobilku melaju mendekat, dia langsung menoleh dan memberikan senyum yang sudah aku kenal.

“Udah lama nunggu?” tanyaku sambil memarkirkan mobil dengan hati-hati.

Dia menggeleng, masih memandangku dengan senyum simpul yang semakin lama semakin tidak bisa kuabaikan. “Nggak kok. Baru aja. Kamu lebih cepat dari biasanya.”

Aku sedikit tertawa, keluar dari mobil dan berjalan ke arah tempatnya. “Iya, kebetulan kafe nggak terlalu ramai.”

Dia melihatku sambil mengangkat alis, seolah bertanya kenapa aku begitu ramah. “Kerja di kafe kan? Jadi, mesti buru-buru?”

Aku mengangguk. “Iya. Kadang kalau nggak buru-buru, nanti malah kelamaan. Yang datang makin banyak, aku jadi nggak keburu beresin semuanya.”

Tama hanya mengangguk-angguk, lalu tanpa peringatan dia berkata, “Kamu suka kopi, kan?”

Aku meliriknya bingung. “Kok tahu?”

Dia mengangkat bahu. “Sering lihat kamu bawa kopi waktu datang ke tempat parkir.”

Aku tertawa pelan, sedikit malu. “Ah, iya sih. Kalau nggak bawa kopi, rasanya hari nggak lengkap.”

“Kalau gitu, gimana kalau aku beliin kamu kopi besok pagi?”

Aku terkejut mendengar tawarannya, merasa aneh. “Kamu beliin aku kopi?”

Tama mengangguk, wajahnya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa nyaman. “Iya, biar nggak ngantuk. Kayaknya kamu butuh tambahan tenaga.”

Aku terkikik. “Kamu mau jadi sponsor kopi buat aku?”

Dia hanya tersenyum, lalu melanjutkan, “Gimana? Besok pagi aku tunggu di kafe.”

Aku mengangkat alis, merasa agak ragu. “Emang kamu beneran mau?”

“Ya, kalau nggak suka, ya nggak usah. Tapi, aku rasa kamu bakal suka deh.”

Ada sesuatu dalam kata-katanya yang meyakinkan. Tanpa bisa kujelaskan kenapa, aku merasa agak tersentuh. “Oke deh, besok aku tunggu di kafe.”

Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk datang sedikit lebih awal. Sesuai janji, aku menunggu di kafe yang tidak terlalu ramai, duduk di meja pojok sambil melamun. Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan di ambang pintu, berdiri Tama dengan secangkir kopi di tangannya.

“Beliin kopi, nggak pake lama!” katanya dengan senyum lebar, menyerahkan cangkir itu padaku.

Aku menerima kopi itu sambil terkejut. “Kamu beneran beli?”

“Ya, kan udah janji,” jawabnya singkat. “Tapi kamu jangan pilih-pilih ya. Ini kopi yang biasa aku pesen.”

Aku membuka tutupnya dan mencium aroma kopi yang begitu khas. Rasanya sudah cukup familiar, tapi kali ini rasanya lebih enak. “Gimana bisa tahu ini yang aku suka?” tanyaku penasaran.

Tama duduk di depanku dengan santai, lalu menjawab, “Aku cuma asal tebak aja. Sepertinya kamu lebih suka yang agak pahit, ya?”

Aku terkekeh. “Kamu pengamat yang tajam, ya. Ternyata kamu tahu lebih banyak tentang aku daripada yang aku kira.”

Dia tersenyum, seolah merasa puas dengan jawaban itu. Kami menghabiskan beberapa menit hanya duduk dan saling bertukar cerita tentang keseharian masing-masing. Aku merasa nyaman, meskipun obrolan kami lebih banyak soal hal-hal sepele.

Setelah beberapa lama, aku mulai merasakan kehangatan yang datang bukan hanya dari kopiku, tetapi dari kedekatan yang mulai terjalin dengan Tama. Rasanya seperti sesuatu yang tak terduga. Dari seorang pria yang awalnya hanya memberi instruksi di tempat parkir, kini dia menjadi seseorang yang mulai membuatku tertarik.

“Aku kira kamu bakal terus kerja jadi tukang parkir aja,” kataku iseng. “Tapi, ternyata kamu bisa lebih dari itu.”

Tama tertawa kecil, “Tukang parkir juga bukan pekerjaan yang jelek, kok. Lagian, banyak yang suka datang ke sini, jadi aku nggak ngerasa bosan.”

Aku mengangguk, memandangnya sambil sedikit berpikir. “Aku kira cuma ada dua jenis orang di tempat parkir ini. Yang bener-bener cuma kerja, dan yang pengen cari teman. Tapi kamu, entah kenapa, beda.”

Dia menatapku, sejenak terdiam, lalu tertawa ringan. “Aku cuma pengen bantu. Kalau bisa bikin hari orang jadi lebih baik, kenapa nggak?”

Aku merasa aneh mendengar kata-katanya. Tama memang berbeda. Dia nggak sekadar pria biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, meskipun dia seringkali tampak begitu sederhana. Namun, aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang mulai berkembang di antara kami—sesuatu yang tak bisa kujelaskan, tetapi bisa kurasakan di setiap kata yang terucap dan setiap senyuman yang dia berikan.

Dan meski begitu, aku tahu ini belum berakhir. Sebab, ini baru dimulai.

 

Tentang Waktu dan Kelembutan yang Tersisa

Minggu demi minggu berlalu, dan aku mulai merasa seperti bagian dari rutinitasnya. Setiap pagi, aku menemui Tama di kafe kecil itu, meminum kopi yang dia pilihkan dengan senyum yang selalu terasa seperti hadiah. Kadang, kami hanya duduk bersama tanpa banyak bicara, menikmati kenyamanan dalam keheningan. Tapi, ada kalanya percakapan kami mengalir begitu alami, seolah-olah kami sudah lama saling mengenal.

Hari itu, seperti biasa, aku datang lebih pagi. Aku sudah memarkir mobil dan melangkah ke dalam kafe, mencari tempat duduk yang strategis di pojok. Biasanya, Tama yang akan datang lebih terlambat, karena pekerjaan di tempat parkir tak pernah bisa diprediksi. Aku mulai membuka ponsel, membuka aplikasi untuk melihat jadwal, namun tak lama kemudian, sebuah suara memecah kesunyian.

“Selamat pagi, Riri.”

Aku menoleh dan melihat Tama masuk ke dalam kafe, membawa dua cangkir kopi. Senyum lebar tampak di wajahnya saat dia mendekat, meletakkan satu cangkir di hadapanku.

“Sepertinya hari ini aku lebih cepat,” katanya sambil duduk di seberang meja. “Ada yang menarik?”

Aku tersenyum sambil mengambil cangkir kopi yang sudah aku kenal itu. “Nggak ada yang menarik. Hanya mengingat hal-hal kecil yang kita lakukan, ya, seperti ini.”

Tama menatapku sebentar, lalu terkekeh. “Kayaknya kamu mulai terbiasa ya sama kebiasaan ini. Kalau aku bilang kamu udah jadi bagian dari rutinitasku, kamu bakal keberatan nggak?”

Aku menatapnya, sedikit terkejut, tapi tidak tahu harus berkata apa. “Aku nggak tahu, Tama,” jawabku pelan. “Mungkin, ya.”

Tama tersenyum tipis, kemudian meminum kopinya dengan santai. “Jadi, kalau aku bilang aku mulai nyaman sama kebiasaan kita ini, kamu gimana?”

Aku terdiam sejenak. Jawabannya terasa begitu sederhana, namun mendalam. “Aku juga mulai nyaman, Tama.”

Kata-kata itu terdengar ringan di telingaku, tapi berat di hatiku. Kenyamanan itu datang begitu perlahan, tanpa pernah aku sadari, sampai akhirnya aku sadar bahwa setiap detik bersamanya menjadi waktu yang ingin kuperpanjang. Tapi, sepertinya ada keraguan yang tersembunyi dalam pikiranku. Sesuatu yang membuatku berpikir lebih dalam.

Aku tidak tahu apakah ini hanya sekadar kebiasaan atau sesuatu yang lebih dari itu. Namun, Tama selalu membuatku merasa tenang, membuatku merasa bahwa dunia bisa sedikit lebih baik dari yang aku kira.

Di sela-sela kebisuan yang nyaman itu, Tama mengubah topik pembicaraan dengan cara yang tidak aku duga. “Riri, kalau aku tanya sesuatu, kamu jawab jujur ya?”

Aku menatapnya, sedikit bingung. “Tanya apa?”

“Apakah kamu pernah merasa kalau waktu berjalan begitu cepat, tapi kita malah merasa semakin jauh dengan orang yang kita anggap dekat?”

Pertanyaan itu melayang begitu saja, tanpa peringatan. Seolah-olah Tama sudah memikirkan hal itu jauh sebelum dia mengajukan pertanyaan ini. Aku terdiam, merenung.

“Kenapa?” tanyaku, berusaha menjaga nada bicara tetap santai.

Dia menatapku dalam, seolah-olah mencoba membaca pikiranku. “Aku merasa begitu, Riri. Kita bisa saja sering bertemu, tetapi kadang, rasanya kita malah semakin jauh.”

Aku tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirku. “Mungkin itu yang terjadi kalau kita terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing.”

Tama mengangguk perlahan, lalu menundukkan kepala, seolah memikirkan sesuatu dengan serius. “Aku rasa, kita berdua punya dunia masing-masing, kan?”

“Ya, dan itu yang membuat kita jadi semakin sulit memahami satu sama lain.”

Kami terdiam sejenak, duduk dalam hening, seperti dua orang yang mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar, hanya keheningan yang terasa berat dan hangat.

Kemudian, Tama tersenyum lagi, senyum yang kali ini lebih dalam dan lebih tenang. “Tapi aku ingin mencoba memahami lebih banyak tentang kamu, Riri. Kalau kamu juga ingin.”

Aku menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang bergeming dalam dadaku. “Aku ingin, Tama. Aku ingin mencoba juga.”

Dia tersenyum lebar, senyum yang menghangatkan seluruh ruang di sekitarnya. “Kalau begitu, jangan ragu untuk menceritakan lebih banyak tentang dirimu. Aku suka mendengarnya.”

Aku tidak tahu kenapa, tapi mendengar kata-kata itu membuatku merasa lega. Seolah-olah, ada bagian dari diriku yang terbuka begitu saja tanpa perlu berpura-pura kuat.

Di situlah, aku mulai merasa bahwa sesuatu yang lebih besar dari sekadar kopi dan tempat parkir mulai berkembang di antara kami. Kami masih berada di tempat yang sama, di dunia yang berbeda, namun kehangatan yang kami bagi membuatku percaya bahwa mungkin ada harapan, bahkan di tempat yang paling tak terduga sekalipun.

 

Di Tempat yang Sama, Dengan Perasaan yang Berbeda

Sudah beberapa bulan sejak kebiasaan pagi itu dimulai. Pagi-pagi, aku datang ke kafe dengan rasa yang sudah mulai biasa, namun selalu ada sesuatu yang terasa berbeda. Bukan lagi sekadar kopi atau tempat parkir yang menjadi alasan aku menunggu. Ada Tama, yang kini rasanya seperti bagian dari dunia kecilku yang tak terduga, yang hadir tanpa permintaan, tapi dengan ketulusan yang aku mulai hargai.

Hari itu, seperti biasa, aku datang lebih awal. Tidak ada yang luar biasa tentang hari itu, kecuali fakta bahwa aku merasa sedikit lebih tegang dari biasanya. Ada sesuatu di udara, seperti pertanyaan besar yang tidak terucapkan, seperti keraguan yang melayang begitu saja, dan aku tahu Tama juga merasakannya.

Saat aku melangkah masuk ke dalam kafe, Tama sudah menungguku di meja yang biasa. Senyumannya yang lebar itu sudah tidak asing lagi, dan seakan memberi tahu bahwa semua yang ada di antara kami adalah sesuatu yang mudah dan tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Tapi aku tahu, dia juga punya pertanyaan yang sama. Hanya saja, kami tidak pernah membahasnya secara langsung.

“Aku bawa dua kopi,” katanya sambil meletakkan cangkir di depan aku dan satu lagi di hadapannya. “Seperti biasa, kan?”

Aku tersenyum, menerima cangkir kopi itu. “Iya, terima kasih.”

Kami duduk dalam keheningan sejenak, menikmati kopi kami masing-masing. Aku mencoba menenangkan diri, tapi ada perasaan yang tak bisa kuhindari. Perasaan yang tumbuh begitu perlahan, yang kadang membuatku takut jika aku terlalu berharap.

Tama memecah keheningan itu dengan suara lembutnya, “Riri, aku pernah mikir… gimana kalau kita berhenti sebentar dari kebiasaan ini?”

Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan kata-katanya. “Maksudmu?”

“Aku merasa kita mulai terlalu nyaman, sampai kita lupa kenapa kita mulai ini semua.” Tama menghela napas, matanya sedikit berpaling. “Aku nggak tahu apakah ini hanya kebiasaan atau sesuatu yang lebih, tapi kadang aku takut kalau aku terlalu berharap.”

Aku menunduk, merasakan jantungku berdegup lebih cepat. Sebuah keraguan yang sama tiba-tiba muncul dalam pikiranku. “Kamu takut kalau ini cuma kebiasaan?” tanyaku dengan suara pelan.

Tama mengangguk. “Iya. Aku nggak mau kita hanya bertemu karena kebiasaan. Kalau akhirnya salah, itu bakal lebih sakit, kan?”

Aku terdiam, merasa seperti waktu berhenti sejenak. Ada ketegangan yang mengisi ruangan itu, sesuatu yang tidak pernah kami ungkapkan secara terang-terangan. Tapi kami berdua tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kopi dan tempat parkir ini. Ada perasaan yang tumbuh dengan perlahan, meskipun kami berusaha menahan diri.

Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan hati yang sedikit berdebar. “Aku juga merasakannya, Tama. Tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku takut kalau aku terlalu berharap, nanti malah kecewa.”

Dia tersenyum tipis, senyum yang kali ini tidak mengandung lelucon, tetapi lebih ke pemahaman. “Aku juga takut, Riri. Tapi aku rasa kita nggak akan tahu kalau kita nggak coba.”

Aku merasa hatiku bergetar. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi kata-kata terasa tidak cukup. Namun, dalam keheningan itu, aku tahu satu hal—kami sudah melewati banyak hal bersama, meskipun kami hanya duduk di meja yang sama, di tempat yang tidak pernah kami rencanakan.

“Mungkin, kita mulai perlahan aja,” kataku akhirnya. “Tanpa terburu-buru. Kita lihat aja gimana.”

Tama menatapku dalam, seolah mencoba membaca apa yang ada di hatiku. “Jadi, kita coba?” tanyanya dengan nada yang sangat lembut.

Aku mengangguk pelan. “Kita coba. Tanpa beban.”

Kami tersenyum, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ini adalah awal yang baru, yang dimulai bukan dengan keraguan, tapi dengan harapan kecil yang mulai tumbuh. Kami belum tahu apa yang akan terjadi, tapi entah kenapa, aku merasa ini adalah langkah yang tepat. Tak ada lagi rasa takut atau kebingungan. Kami hanya perlu berjalan, perlahan, di jalan yang sudah kami pilih bersama.

Hari itu, di tempat yang sama, dengan perasaan yang berbeda, aku tahu—ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih indah. Sesuatu yang tak terduga, tetapi terasa benar.

 

Jadi, siapa bilang tempat parkir cuma buat parkir mobil? Kadang, di tempat yang nggak terduga itu, justru lahir kisah cinta yang paling bikin penasaran. Kadang, cinta datang dari hal-hal yang paling biasa, dengan cara yang paling nggak biasa.

Dan meskipun semuanya dimulai dari kebiasaan yang sederhana, siapa tahu, kebiasaan itu malah jadi awal dari sesuatu yang jauh lebih berarti. Jadi, siapa tahu? Mungkin kisah cinta kita juga bisa dimulai di tempat yang nggak terduga.

Leave a Reply